Resep Masakan Mertua

Resep Masakan Mertua 📍 Pringsewu - Lampung
👉 Konten Random Dan Untuk Hiburan
🤣 Mari Menertawakan Diri Sendiri 😂

26/07/2025
24/06/2025
29/05/2025

Hi

SERVISAN ISTRI TEMAN MEMBUAT RUD4LKU TEG4NG DAN KECANDUAN. KUBOOKING DIA SETIAP MALAM UNTUK MEMBERIKANKU KEPU4SANBAB 10P...
17/04/2025

SERVISAN ISTRI TEMAN MEMBUAT RUD4LKU TEG4NG DAN KECANDUAN. KUBOOKING DIA SETIAP MALAM UNTUK MEMBERIKANKU KEPU4SAN

BAB 10

POV ZIANA

Aku berlari keluar dari hotel, nyaris tersandung saat memasuki lobi, tapi ... aku tidak peduli. Dengan napas tersengal, aku mendorong pintu kaca dan langsung mencari taksi.

“Pak, ke Rumah Sakit Harapan Bunda! Cepat!” suaraku hampir bergetar saat aku masuk ke dalam.

Sopir taksi mengangguk dan segera melajukan mobil. Aku mencengkeram tas di pangkuanku erat-erat, merasakan tebalnya amplop berisi u4ng di dalamnya. U4ng ini ... harus cukup. Harus!

Bertahanlah, Rania ... Mama akan segera datang.

Tanganku gemetar saat merogoh ponsel dan mengetik pesan untuk Sari, tetangga yang membantuku menjaga Rania.

[Aku sedang dalam perjalanan. Gimana keadaan Rania?]

Hanya butuh beberapa detik, akhirnya balasan masuk.

[Dokter bilang kondisinya melemah, detak jantungnya gak stabil. Mereka butuh keputusan segera untuk tindakan kateterisasi.]

Dada dan tenggorokanku terasa sesak. Aku menggenggam tasku erat, menyalurkan ketakutan yang nyaris tak tertahankan.

Taksi melaju di antara kendaraan yang padat.

Di depan sana lampu merah.

Ah, lama sekali!

Aku menggi-git bibir, menahan dorongan untuk berteriak agar sopir menerobos saja. Lututku lemas, keringat dingin mulai membasahi punggungku, tak henti-hentinya aku terus memikirkan Rania.

*

Akhirnya, setelah perjalanan panjang taksi berhenti di depan rumah sakit, aku hampir melompat keluar saat mobil benar-benar belum berhenti. Aku berlari masuk ke lobi rumah sakit, mataku langsung mencari meja administrasi.

“Bu Ziana?” seorang petugas menoleh ketika aku tiba di depannya.

“Iya! Saya mau bayar biaya kateterisasi an4k saya!” Napasku membu-ru saat aku membuka tas dengan tangan gemet4r, mengeluarkan amplop u4ng tunai dari Mas Leon.

Petugas itu tampak terkejvt. “Oh, baik, Bu. Tolong isi formulir ini dulu.”

Tanganku bergetar saat menerima kertas itu. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mengisi setiap kolom dengan terburu-buru.

[Nama: Rania Azzahra

Usia: 4 tahun

Diagnosa: Penyakit jantung bawaan]

Huruf terakhir hampir tak terbaca karena tanganku gemet4r. Setelah selesai, aku menyerahkan formulir beserta amplop berisi u4ng.

“Ini u4ngnya. Semua ada di dalam,” ucapku.

Petugas itu mengecek isinya, lalu mengangguk. “Baik, Bu. Kami akan segera memprosesnya.”

Tanpa menunggu lebih lama, aku berbalik dan berlari ke lantai tempat Rania dirawat.

Saat tiba di depan kamar rawat, pintunya terbuka.

Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius, diikuti Sari yang terlihat cemas.

“Bu Ziana,” dokter itu menatapku dengan tajam, “Kami hampir kehilangan waktu. Anda setuju untuk segera melakukan tindakan?”

Aku mengangguk cepat. “Iya! Saya sudah bayar, lakukan saja sekarang, Dok!”

Selama ini aku sibuk mencari u4ngnya, sekarang u4ngnya sudah ada. Meskipun, aku harus mengorb4nkan tubvhku.

Dokter itu memberi isyarat pada tim medis di belakangnya. “Bawa pasien ke ruang kateterisasi sekarang.”

Aku menahan napas saat melihat dua perawat masuk, mendorong tempat tidur Rania yang dipenuhi alat medis.

Anakku ...

Aku nyaris tak bisa bernapas melihat wajahnya yang puc4t. Selang oksigen masih terpasang di hidung mungilnya, kelopak matanya tertutup. Tubuhnya terlihat begitu kecil dan ringkih di balik selimut rumah sakit.

“Rania ...,” suaraku tercek4t.

Aku ingin berlari menghampiri, menggenggam tangannya, tapi perawat mendorong tempat tidurnya dengan cepat. Aku mengikuti langkah mereka, tapi belum sempat aku masuk ke ruang tindakan, Sari menarik tanganku.

“Ziana, biarkan dokter bekerja. Kita harus menunggu di luar,” bisiknya.

Aku ingin protes, ingin tetap berada di sisi anakku, tapi Sari benar. Aku hanya bisa memercayakan Rania pada mereka.

Tanganku mengepal saat pintu ruang tindakan tertutup. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar takut kehilangan.

Setiap detik terasa begitu lambat.

Aku melirik ponsel, berpikir untuk menghubungi Mas Gani. Tapi untuk apa? Dia bahkan tak peduli sejak Rania lahir.

Aku menghela napas panjang, menatap pintu di depanku dengan doa yang terus kuucapkan dalam hati.

Tolong selamatkan anakku ....

*

Aku duduk di bangku lorong rumah sakit dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuanku. Kaki-kakiku terasa lemas, nyaris mati rasa setelah berdiri terlalu lama. Aku tak tahu sudah berapa kali menatap jam di layar ponsel, waktu terasa lama sekali.

Sari duduk di sebelahku, tangannya sesekali menepuk punggungku pelan. “Sabar, Ziana. Rania anak yang kuat.”

Aku hanya mengangguk lemah. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirku selain doa yang terus-menerus kupanjatkan dalam hati.

Kemudian, tak berselang lama ...

Pintu ruang tindakan akhirnya terbuka.

Aku langsung berdiri dan mendekat ke arah dokter.

“Bu Ziana?”

Aku menatapnya dengan napas tertahan. “Iya, Dok. Bagaimana anak saya?”

Dokter itu mengangguk kecil. “Kateterisasi berjalan lancar. Rania sudah kami pindahkan ke ruang pemulihan. Detak jantungnya sudah lebih stabil sekarang.”

Aku hampir terjatuh karena merasa lega. Tubuhku limbung, tapi Sari sigap meraih lenganku. Dadaku bergetar hebat, mataku panas, dan akhirnya air mataku tumpah.

“Alhamdulillah ...,” suaraku bergetar, hampir tak terdengar. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menahan isak yang akhirnya pecah.

Sari ikut tersenyum lega. “Syukurlah, Ziana. Doa kita dikabulkan.”

Aku mengusap air mataku cepat-cepat, lalu menatap dokter dengan mata yang masih basah. “Boleh saya melihat Rania sekarang?”

Dokter itu tersenyum tipis. “Tentu, tapi untuk saat ini, dia masih tidur. Jangan terlalu banyak bicara atau mengguncangnya, biarkan dia beristirahat.”

Aku mengangguk cepat, tidak peduli dengan apapun selain melihat an4kku. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak!”

Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung mengikuti perawat menuju ruang pemulihan. Langkahku masih sedikit gemetar, tapi aku terus berjalan.

Saat masuk ke dalam, mataku langsung tertuju pada sosok mungil di tempat tidur rumah sakit.

Rania terbaring di sana dengan wajah puc4t, dadanya naik turun dengan lebih teratur. Selang oksigen masih terpasang, tubuhnya tak lagi ses4k seperti sebelumnya.

Hatiku mencelos. Aku melangkah pelan mendekat, menahan napas saat menyentuh tangannya yang dingin.

“Sayang ...,” bisikku, menahan tangis yang hampir pecah lagi.

Kelopak matanya sedikit bergerak, seolah merespons. Aku menggenggam jemarinya lebih erat, mencium punggung tangannya dengan penuh kasih.

Aku tak tahu berapa lama duduk di sampingnya, tapi untuk pertama aku bisa bernapas lega.

Anakku selamat ...

*

Setelah semalaman di rumah sakit, aku akhirnya pulang. Tubuhku terasa lengket, pakaian ini masih menyimpan aroma ruangan hotel, bahkan samar-samar aku masih bisa mencium wangi parfum Mas Leon di kulitku. Rasanya ingin segera mandi, membersihkan semua jejak yang tertinggal.

Sepanjang perjalanan, aku terus melamun. Pikiranku berkecamuk, aku merasa bersalah, marah, dan juga sedih. Aku terpaksa melakukan ini demi menyelamatkan Rania. Aku rela mengorbankan tu-buhku, melayani n4fsu lelaki yang bahkan tidak mengenalku secara utuh, hanya agar Rania bisa sehat kembali.

Sebelum sampai di rumah, aku berhenti sejenak di depan kaca jendela sebuah toko yang masih tutup. Aku mengeluarkan tisu dari dalam tas, lalu mulai menghapus sisa make-up semalam. Lipstik merah itu masih samar-samar di b!birku, eyelinar yang sudah luntur membuat mataku tampak sayu dan lelah. Aku harus memastikan wajahku bersih agar Mas Gani tak curig4.

Aku mengembuskan napas panjang, melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Baru saja kakiku menapak di lantai ruang tamu, suara bentakan t4jam langsung menyambutku.

“Dari mana kamu sampai tak pulang semalaman, hah?!”

Seketika, tubuhku menegang.

Mas Gani berdiri di tengah ruangan dengan wajah merah padam, matanya menyipit menatapku penuh curig4. Aku menelan ludah, berusaha mengatur napas yang tiba-tiba terasa berat.

“A-aku dari rumah sakit, Mas ... menemani Rania,” jawabku dengan suara bergetar.

Aku tidak berbohong, aku memang di rumah sakit. Aku memang bersama Rania, tapi ... tidak sepanjang malam. Aku memilih tidak menyebut bagian saat diriku mel4yani Mas Leon.

Mas Gani mendecakkan lidah, lalu menatapku dengan ji-jik. “Sudah berapa kali aku bilang, tak perlu memperdulikan an4k peny4kitan itu!”

Deg!

Hatiku serasa ditusuk belati. Aku mengerjap, menatapnya dengan mata membulat tak percaya. An4k peny4kitan? Itu an4knya sendiri!

Kmvret memang!

“Dia an4kku, Mas! D4-rah dagingku! Teganya kamu bicara seperti itu!” Aku menahan tangis yang mulai naik ke tenggorokan.

Tapi Mas Gani hanya mendengus, seolah yang baru saja kukatakan tak ada artinya. Dengan santai, dia melangkah ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana.

“Halah, sudah! Cepat buatkan aku sarapan!” ucapnya.

Aku masih berdiri di tempat, berusaha menelan semua emosi yang berkecamuk di dadaku. Aku ingin berteriak padanya, ingin membalas semua kata-kata k4sarnya. Tapi aku tak bisa.

Akhirnya, aku menghela napas panjang dan menyeka sudut mataku yang mulai basah. Tanpa berkata apa-apa, aku melangkah menuju dapur. Jika keinginannya tidak dituruti, dia pasti akan marah lagi.

Tanganku mulai bekerja, menyalakan kompor dan menggoreng telur seadanya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa makan setelah ini.

Saat aku sibuk di dapur, suara TV terdengar dari ruang tamu. Mas Gani menonton dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah dia tidak baru saja mengatakan sesuatu yang meny4kitkan.

Aku mencengkram spatula dengan erat, berusaha menahan amarah dan rasa sedih yang terus menumpuk di dadaku.

Setelah selesai menata sarapan di meja, aku menghela napas panjang. Perutku perih, tapi aku sama sekali tidak berselera makan. Aku meneguk air putih sebelum berjalan ke ruang tamu untuk memanggil Mas Gani.

Namun, langkahku terhenti di ambang pintu.

Di sofa, Mas Gani duduk dengan tubuh sedikit cond**g ke depan. Kedua alisnya berkerut dalam, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya.

Astaga! Itu ponselku!

Degup jantungku berdetak lebih cepat. Aku lupa meletakkannya di tas setelah pulang tadi!

Tatapanku jatuh pada layar ponsel yang masih menyala. Aku tidak bisa melihat isinya dari sini, tapi ekspresi Mas Gani berubah ... datar.

Aku menelan ludah, kedua tanganku mencengkeram sisi bajuku dengan gugup.

‘Ya Tuhan … aku belum sempat hapus chat dengan Mas Leon semalam!’

Darahku berdesir, tubuhku menggigil.

Mas Gani perlahan mengangkat wajahnya. Matanya langsung menatapku tajam.

Aku terpaku ditempat, dunia seolah berhenti berputar.

“Apa maksud semua ini, Ziana?!” teriak Mas Gani menggelegar, melempar ponsel itu dihadapanku.

Deg!

Bersambung ....

Judul : TERJERAT ISTRI ORANG
Penulis : Rafasya
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App ✅

02/04/2025
"Sayang, kamu ngak papa kan?" Sebisa mungkin Ayra tersenyum pada suaminya"Ngak papa mas, harus adilkan? Berdosa kalau Ay...
06/03/2025

"Sayang, kamu ngak papa kan?" Sebisa mungkin Ayra tersenyum pada suaminya

"Ngak papa mas, harus adilkan? Berdosa kalau Ayra egois mas Saba juga ada hak atas diri mas" Ayra mengulum senyumnya

"Maafkan mas sayang " Ayra menggeleng

"Tak ada yang salah mas, ngapain harus minta maaf, ayo kamu harus cepat mandi, kasihan Saba lama menunggu kamu" ucap Ayra

"Kita mandi bareng yuk" ajak Arhan, Ayra menggeleng

"Ayolah, tak baik menolak ajakan suami " mata Ayra berkaca-kaca sedih membayangkan kalau sampai Saba diperlakukan sama oleh suaminya

"Kamu mandi saja dulu mas, aku besok saja soalnya dingin, aku ngak kuat" Arhan pun mengalah dia pun mulai melangkahkan kaki ke kamar mandi

Saat suara percikan air menderu dari kamar mandi seketika itu juga air mata Ayra menderu keluar dari sudut matanya, dia menutup mulutnya dengan tangan agar suara tangisnya terendam

Arhan sudah segar kembali, Ayra menatap suaminya dengan penuh arti, sebelum keluar dari kamar dia menc*ium kening istri tuanya itu dahulu

Saat yang sama Hanum datang bertepatan dengan Arhan membuka pintu

"Astaghfirullah hal'azim, kamu seperti hantu saja Hanum" Arhan memegang dadanya karena terkejut

"Kalau hantu secantik aku orang-orang pada ngejar mas" jawab Hanum

"Udah-udah jangan ngaku sendiri, ngapain kesini lagi?" Tanya Arhan menatap lekat pada adiknya itu

"Umi yang nyuruh mas" Hanum mengintip sedikit dan mengedipkan sebelah matanya pada Ayra dan disambut dengan senyum oleh kakak iparnya itu, sekarang Arhan melihat ke arah istrinya

"Jangan jadikan umi sebagai alasan num, kamu pasti mau hasut kakak ipar kamu untuk lanjut nonton Drakor lagi kan?" Arhan menatap adiknya

"Ehh tau aja mas aku yang laku ini, minggir" Hanum menyelonong masuk dan sengaja menyenggol bahu Arhan di tangannya menenteng laptop, segera Arhan menyusul adiknya itu

"Kamu mas aduin sama umi dan Abi ya" ancam Arhan mencegah langkah Hanum

"Ihh takuuttt jangan masss" ucap Hanum sok manja

"Aduin aja Sono, dasar bareninya cuma sama Abi dan umi aja padahal udah gede " ledek Hanum meneruskan langkahnya

"Kamu ya..." Arhan menunjuk wajah Hanum, dan gadis itu langsung menurunkan hari telunjuk kakak nya itu

"Mas pikir enak jadi kak Ayra? Sendiri merenung sambil menangisi malam pertama mas dengan kak Saba" serang Hanum, Arhan terdiam

"Sudah pergi sana, jangan ganggu kebahagiaan kami, bersenang-senanglah dengan istri muda mas dari tadi di kegatelan cari mas " Arhan masih terdiam dan berdiri di tempat, katanya dari tadi menatap Ayra begitu juga sebaliknya, Hanum sebap dengan adegan ini dia seperti patung disini

"Hijrah cinta ku menguatkan,,, alasan ku untuk menjadi manusia... Lebih baik namun saat sinarnya datang mana mungkin aku berlari.... Apa lagi sinar itu datang dari Saba nan cantik jelita... Wajah ayu seorang Hafizah...." Hanum berputar-putar layaknya penari balet dengan menyanyikan lagu milik Rossa hijrah cinta

"Pergi lah mas, Saba dari tadi menunggu kamu" kali ini Ayra yang berbicaralah, Hanum mengangguk pada mas nya

"Jangan khawatir ada Hanum disini" sambung Ayra, Hanum tersenyum pada Arhan dan mengedip-ngedipkan kedua matanya

"Tapi sayang...." Hanum sekarang kesal dengan darma Bollywood yang terjadi dia menarik lengan mas nya keluar dari kamar

"Udah, jangan ganggu masa remaja kami berdua mas, pergi sana " usir Hanum, yang malah membuat ayra tertawa dengan aksi berani adik iparnya itu.

Melihat Ayra tertawa ragu Arhan agak sedikit pudar, dia pun pergi dan berpamitan pada istri pertamanya itu.

"Kak tadi kita sampai episode berapa?" Tanya Hanum setelah mengunci pintu, dia merangkul tangan Ayra dan mengajak agar segera menonton

"Makasih num, kamu sudah mau menemani kakak" Ayra tulus menatap adik iparnya

"Alah lupain sedih-sedih itu kak, sekarang kakak real di madu terima kenyataan kak jadi jangan terasa seperti makan racun kak. Aku akan bawa kakak enjoy, kakak iparku yang paling cantik ini ngak boleh galau apalagi sampai bengkak matanya" Ayra tersenyum, mereka duduk di kasur

"Tadi sampai episode dua belas num" Hanum langsung mencari file film tadi dan memutarnya

"Jangan cepatin kayak tadi ya kak, ngak seru tau" protes Hanum

"Ya iyalah, orang adegan kiss begitu, ngak boleh, belum cukup umur" Ayra menyipitkan matanya

"Kalau cukup umur, mati Hanum d**g kak" Hanum menaik-naikkan alisnya

"Bukan begitu konsepnya neng, kamu belum punya KTP" jawab Ayra

"Sabar Hanum... Setahun lagi kamu bakal dapat KTP jadi ngak perlu di skip-skip lagi " ujarnya

"Eittsss" mata Ayra melirik pada adik iparnya

"Kakak yang bilang tadi loh" protes Hanum

"Iya-iya" jawab Ayra sambil menggeleng-geleng

Merekapun serius menonton drama kolosal

Arhan sangat enggan rasanya untuk masuk ke kamar ini lagi, berulang kali ia tarik ulur untuk membuka pintu tapi saat dia melihat uminya memperhatikan tingkahnya dari bawah terpaksa Arhan menarik gagang pintu itu.

Saba langsung berdiri melihat suaminya sudah memasuki kamar. Dari tadi dia sibuk merapikan penampilannya di depan cermin, dia berencana akan memberikan malam pertama yang angkat berkesan dan tak terlupakan oleh suaminya

"Mas kamu dari mana? Aku mencari kamu dari tadi mas" ucap Saba manis pada suaminya

Arhan terdiam, dia mendaratkan bo*kong nya di kasur mengeluarkan hp dari kantong celananya lalu memainkan game online, tak lama Arhan menyandarkan punggungnya ke sofa tempat tidur dan kakinya selonjoran

Saba menarik nafas, dia sabar menunggu suaminya menyelesaikan game nya, tapi malah sudah sejam belum juga berakhir, syok nya lagi Saba mendengar Arhan berteriak-teriak mengeluarkan kata-kata kasar. Lantas gadis yang di didik dilingkungan ramah dan tabu dengan kata-kata yang seperti itu menjadi takut

"An*jing cepat sana tembakk, bantuin gua to*lol, t*ai loe semuanya, b*Abi gitu aja loe semua ngak bisa dasar pe*ak" teriak Arhan sengaja agar Saba ilfeel padanya

Setelah itu Arhan meletakkan ponselnya begitu saja sembarangan dilemparnya ke kasur yang berhasil membuat Saba terkejut, bahkan saat ini gadis itu tak berani mengeluarkan kata-kata.

Arhan tersenyum puas, di baringkan tubuhnya lalu menenggelamkan seluruh badannya ke dalam selimut tak menampakkan sejengkalpun kulitnya.

Saba pun kesal, dia mengacak-acak jibab yang sudah lama dipasang dan dirapikan berharap Arhan akan membukanya dengan lembut dan tatapan penuh cinta padanya.

Begitulah Arhan berhasil menggagalkan malam pertamanya sendiri.

Bersambung....

"Apa yang kamu lakukan?"Aku sedang mencuci tangan di westafel belakang rumah, saat Mas Ipar tiba-tiba bersuara. Aku lang...
06/03/2025

"Apa yang kamu lakukan?"
Aku sedang mencuci tangan di westafel belakang rumah, saat Mas Ipar tiba-tiba bersuara. Aku langsung membalik badan. Sialnya dia sudah berhasil mengurung tubuhku. Pandangannya tajam menatapku. Kali ini aku tidak mungkin bisa kabur darinya.
Part 3. Tidak Pulang Malam Ini
Haruskah aku tumpahkan buah-buahan di meja? Tapi bagaimana caranya?
Aku terus mencari cara. Malam ini adalah kesempatan untuk membalas Mas Ipar. Mataku nanar memperhatikan satu-persatu cucu mama. Siapa di antara mereka yang paling aktif dan bisa kumanfaatkan?
Ajeng, anak sulung Mas Rasyid, sudah berusia 8 tahun. Dan terlalu pendiam, tidak mungkin bisa dimanfaatkan. Apalagi dia sudah mulai tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Coret.
Aku terus memperhatikan cucu Mama yang lain. Dan terpaku kepada Wildan Anak kedua Mbak Tutik. Anak itu baru saja keluar dari kamarku, dengan wajah penuh coretan merah. Tangannya memegang lipstik milikku. Wildan berusia hampir empat tahun.
"Yaa Allah, Wildaaaan." Mbak Tutik berteriak. Yang lain seketika menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. Mbak Tutik langsung berdiri, bermaksud menangani Wildan.
"Biar aku saja, Mbak." Cegahku. "Mbak duduk aja."
"Beneran?" Tanya Mbak Tutik.
"Iyah." Aku mengangguk mantap.
"Makasih ya." Sahut Mbak Tutik.
"Ayo Wildan, ikut Tante." Ajakku pada Wildan. Aku membawa anak itu ke kamar lagi. Kubersihkan wajahnya dengan pembersih make up, sambil terus kubisikkan sesuatu di telinganya. Anak itu mengangguk.
"Baik, Tante." Ucapnya. Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah keluar kamar. Wildan kubopong ke dapur untuk membilas wajahnya.
"Sana ke meja." Aku mendorong tubuh gempal anak itu agar berlari ke meja makan, di mana ada buah anggur kesukaannya.
Semua orang sedang sibuk mengobrol. Ketika Wildan mencampur semua buah yang siap santap di meja. Lalu menuangnya dengan air gelas mineral yang tadi sengaja kubuka dan kuletakkan di sampingnya.
"Wildan, jangan diberantakin lagi ya, Sayang." Aku pura-pura. Dalam hati aku berkata, "Teruskan, teruskan Anak Manis."
"Wildan sini, Sayang." Mbak Tutik memanggil. Wildan tidak peduli. Aku segera melangkah mendekatinya. Mengangkat tubuh anak itu turun dari kursi, dan menyuruhnya pergi ke mamanya. Lalu, tanganku bergerak cepat memisahkan kembali antara buah pir dengan yang lainnya. Airnya segera kubuang. Setelah selesai aku kembali duduk di tempatku semula.
Selang beberapa menit, kulihat Mama berdiri.
"Suamimu tidak pulang, Na." Katanya, seraya menyerahkan kembali ponselku.
"Iya, Ma." Sahutku. Nyesek dan kecewa. Pulang seminggu sekali saja masih sering dikorting.
"Apalah Arsen nie, semua kumpul dia seorang yang tidak pulang. Betah nian di Bogor, punya istri muda atau apa dia tu!" Itu suara si mulut lamis, kakak tepat di atas Mas Arsen.
"Hush Haris! Kalau ngomong tu dijaga!" Kali ini Mbak Tutik yang menimpali. Mungkin dia bermaksud menjaga perasaanku sebagai sesama wanita. Ah iya, aku belum menyebutkan nama Mas Iparku yang bermulut lamis itu ya. Namanya Harris Mustofa. Nama yang bagus bukan? Sayangnya orangnya tidak sebagus namanya. Itu menurutku.
"Iya ih, Harris. Demen banget bikin orang marah." Mama menimpali, seraya menaruh piring berisi buah ke atas karpet di tengah-tengah orang-orang itu. "Kasihan itu Helena. Nanti berpikir yang tidak-tidak dia." Mas Harris tertawa. Kulihat Mbak Tutik mengambil sepotong apel di depannya. Dilemparnya ke kepala Mas Haris. Pria itu berusaha menghindar.
"Sukurin!" Mendapat pembelaan dari Mbak Tutik dan Mama, aku jadi memiliki keberanian untuk menjulurkan lidahku pada Mas Harris yang menyebalkan itu. Membalas ejekannya selama ini. Kulihat Mas Harris memungut potongan apel yang tadi mengenai kepalanya. Lalu menggigitnya. Aku memperhatikan dengan seksama. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Antara takut dan rasa penasaran menunggu reaksi alergi yang bakal menyerang tubuh Mas Iparku itu. Separah apakah?
Mas Harris menghabiskan lumayan banyak buah potongnya, sebelum berdiri pindah ke meja makan.
Mama mengambil panci kecil, menyendok nasi biryani lengkap dengan beberapa lauk untuk dimasukkan ke sana.
"Nyisain buat Arsen." Katanya. Ah, Mama memang sangat peduli. Bukan cuma untuk Mas Arsen, Tetapi juga untuk suami dan anak Mbak Romlah di rumah.
"Ayo langsung makan saja." Ajak Mama. "Nungguin Arsen ya percuma."
Aku merasa tidak enak hati dengan ucapan mama barusan. Mama pasti kecewa sama suamiku. Bahkan Mama belain membuat bebek peking sendiri demi putra bungsunya itu, karena dia sangat menyukainya.
"Takut dia gak mau makan kambing. Dia kan angot-angotan, Na." Begitu kata mama tadi siang saat membuat marinasi bebek dan ayam. Nasi biryani yang mama pesan menggunakan daging kambing.
Setelah beberapa orang mengambil makanan, aku ikutan menyendok nasi yang melingkar di tampah besar di meja ke piringku. Kuambil sepotong daging kambing. Kalau di Arab, kambingnya tidak dipotong-potong seperti ini, tetapi utuh satu ekor. Aku menyuap, sambil terus memperhatikan Mas Harris yang mulai merasa tidak nyaman. Sekali dua kali dia menggaruk beberapa bagian badannya. Di lehernya kulihat mulai muncul bercak merah. Jantungku terasa semakin kencang berdebar.
"Kamu kenapa, Harris?" Mama sepertinya mulai menangkap gelagat tidak baik yang tengah terjadi pada putra ketiganya.
"Gak tau nih, Ma, alergiku kok sepertinya kambuh." Sahut Mas Harris mulai terlihat kepayahan.
"Kamu alergi daging kambing?" Mas Ibnu, anak ketiga Mama bertanya.
"Tidaklah. Entah ini kenapa." Harris mulai tampak semakin kepayahan.
"Padahal gak makan pir kan? Mbak Tutik ikut bertanya. Mama selalu terbuka kepada anak-anaknya, sehingga mereka saling paham kondisi dan kabar satu sama lain.
"Kamu lihat lah tadi. Aku tak makan pir sama sekali." Sahut Mas Harris. Kali ini disertai tatapan mata ta jamnya kepadaku. Bulu kudukku meremang. Apakah aku ketahuan?
***
Satu jam kemudian, kami selesai menikmati makan malam. Aku kenyang dengan nyaman meskipun tadi sempat ketakutan sebentar. Masa bo doh dengan Mas Arsen, toh dia juga gak bakal kelaparan di sana. Ugh…
Aku bergegas mencuci tanganku. Kulihat Mas Harris sudah melepas pakaiannya. Da da bidangnya cukup meng goda jika tidak sedang banyak bercak merahnya. Sama sih dengan da da Mas Arsen, bedanya da da Mas Harris ada sedikit bulu-bulu yang tumbuh di sana, sedang Mas Arsen tidak.
Mama sedang sibuk di dapur, membuatkan ramuan untuk mengatasi gatal dan bercak merah di tubuh Mas Harris. Kudengar, Mas Harris juga sudah menelepon seorang dokter untuk mengiriminya obat-obatan.
Aku berjalan ke belakang rumah.
"Di rumah ada pesta pun tidak pulang!" Aku masih menggerutu kesal sambil menyabun tangan.
"Istri muda." Tiba-tiba aku kepikiran ucapan Mas Harris satu jam yang lalu. "Mungkin kah?"
Aku mengembuskan napas sekali hentak. Kukebaskan tanganku yang basah. Lalu membalik tubuhku, berniat kembali bersama keluarga di dalam. Aku mencuci tanganku di wastafel belakang rumah, karena di dapur banyak yang antri.
"Emmpphhh" saat aku membalik badan, wajahku langsung menabrak sesuatu, tepat setelah badanku membelakangi westafel. Tubuh tinggi besar telan jang da da sudah ada di depanku.
"Mas Harris?" Kapan dia datang? Tak ada suara tak apa, tahu-tahu sudah berdiri di sini.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya. Tubuh kami hanya berjarak sekitar tiga centi saja.
"Cuci tangan." Sahutku. Aku tidak bisa mundur karena belakang tubuhku sudah mentok di westafel. Aku hanya bisa memundurkan sedikit kepalaku agar jaraknya sedikit menjauh dari wajahnya. Sialnya, aku tetap bisa mencium napasnya yang memburu. Sial, sial, sial!
"Bukan itu yang kutanyakan." Ucapnya, lebih terdengar berbisik dan penuh tekanan. "Tapi buah pir."
Aku paham arah pembicaraan Mas Harris.
"Kenapa aku? Kan Mas tahu buah-buahan tadi diminta Mama semua. Mama yang ngupas dan motong. Helen mah cuma nyeleseiin pir doang. Gak bercampur, gak apa." Sahutku.
Aku mulai sedikit gentar karena Mas Harris belum juga mau mundur. Aku juga takut jika sampai ada yang melihat, mereka bisa salah paham.
"Kamu pikir aku percaya ucapanmu?" Ia setengah berbisik.
"Terserah. Minggir, Helen mau lewat."
"Jawab dengan jujur dulu."
"Minggir, jangan bikin orang melihat dan salah paham ya!"
"Bo do amat, jawab dulu."
"Ris." Itu suara Mama. Kami menoleh secara bersamaan. Kesempatanku untuk merunduk, dan berlari dari hadapan Mas Harris.
"Ngapain kalian?" Tanya mama yang sudah di ambang pintu belakang.
"Cuci tangan, Ma. Di dapur ngantri." Sahutku. Lalu menerobos masuk lewat samping Mama. Kudengar Mama bicara dengan Mas Harris. Aku masuk ke kamarku. Membaringkan tu buh di atas ka sur. Bayangan ta jam tatapan Mas Harris saat di wastafel tadi, deru napasnya yang berbeda, membuat bulu kudukku kembali meremang.
“Apakah dia akan membvnuhku kali ini?"
BERSAMBUNG
Sudah tayang dan tamat di KBM App
Nama Penulis: Ida Raihan
Username: Idaraihan
Judul: PESONA MAS IPAR (KULKAS MAHAL MERTUA)
Link KBM:
Yuk saling silaturahmi dengan penulisnya, di FB, Ida Raihan dan The-Happiest Author ya, buat update lainnya

"Saya baik-baik saja, Bu. Saya harus kerja, nanti kalau saya nggak kerja, saya makan apa, lagipula sebentar lagi saya me...
06/03/2025

"Saya baik-baik saja, Bu. Saya harus kerja, nanti kalau saya nggak kerja, saya makan apa, lagipula sebentar lagi saya melahirkan. Saya harus punya tabungan yang cukup sampai nanti bisa kerja lagi usai nifas."
Hatiku terasa perih mendengar kata-katanya.
Aku terus membuntutinya saat dia berjalan menuju pasar. Di sana, dia mulai menjajakan kue-kue di trotoar. Satu per satu orang lewat, ada yang membeli, ada yang hanya melirik lalu pergi begitu saja.
Aku mengamati semua itu dari kejauhan. Perempuan yang dulu tinggal bersamaku di rumah besar kini harus berjualan kue di pinggir jalan. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini. Ada rasa bersalah, perih, dan entah apalagi.
Setelah beberapa jam berjualan, Nadia mengemasi barangnya. Aku pikir dia akan pulang, tapi ternyata dia berjalan menuju sebuah tempat laundry.
Aku menunggu dan mengamati dari luar. Di dalam, Nadia tampak sibuk melipat baju, mengangkat ember berisi cucian, bahkan sesekali terlihat mengusap perutnya dengan raut wajah lelah.
Siang itu panas terik, dan aku yakin dia pasti sangat kelelahan.
Aku menggenggam setir mobil dengan erat, berusaha menahan dorongan untuk turun dan menghentikan semua ini, tapi aku sadar, aku tidak punya hak lagi dalam hidupnya.
Aku mengikuti Nadia lagi saat sore menjelang. Kali ini, dia berjalan pulang. Aku pikir dia akan beristirahat, tapi ternyata tidak. Setelah magrib, dia kembali keluar.
Aku mengikutinya lagi. Nadia berjalan menuju kafe tempat aku pertama kali melihatnya. Dia mengenakan seragam dan mulai bekerja sebagai pelayan.
Aku tidak tahan lagi.
Aku berjalan ke arah pemilik kafe dan bertanya tentang Nadia. Aku mengaku sebagai saudaranya yang sudah lama tidak bertemu. Pemilik kafe mengatakan bahwa Nadia wanita tangguh pekerja keras.
"Dia datang ke sini sekitar tujuh bulan lalu, dalam keadaan sudah hamil. Katanya suaminya meninggal," kata pria itu santai.
Aku tertegun. Nadia berbohong.
Aku tidak tahu harus marah atau sedih. Aku hanya merasa semakin penasaran.
Setelah kafe tutup, aku kembali mengikuti Nadia.
Saat dia sampai di kontrakannya, aku segera mendekati seorang pria yang berdiri di depan kontrakan sebelah. Aku pura-pura bertanya seolah aku orang yang ingin menyewa tempat di sekitar sana.
Tetangga Nadia itu akhirnya bercerita.
"Dia gak punya suami, Mas. Dia tinggal sendirian di situ. Kasihan, hamil besar tapi harus kerja dari pagi sampai malam."
Hatiku mencelos.
Jadi dia benar-benar tidak menikah?
Lalu anak itu ...
Aku merasa dadaku semakin sesak.
Aku harus tahu yang sebenarnya.
Tanpa pikir panjang, aku menemui pemilik kontrakan dan memberinya sejumlah uang agar aku bisa masuk ke dalam kontrakan Nadia saat dia sedang tidak ada.
Pemilik kontrakan awalnya ragu, tapi akhirnya setuju. Aku diberi kunci cadangan.
Saat Nadia kembali bekerja di kafe malam itu, aku masuk ke dalam kontrakannya.
Begitu membuka pintu, aku terpaku. Ruangan itu sangat kecil.
Ada satu kasur tipis di lantai, beberapa pakaian tergantung di paku di dinding, dan sebuah meja kecil dengan satu kursi.
Aku berjalan masuk dan duduk di tepi kasur. Kasur ini keras dan tipis, bahkan tidak layak disebut tempat tidur.
Di salah satu sudut, ada lemari plastik kecil. Aku membukanya, isinya hanya beberapa potong pakaian dan satu album foto.
Aku membukanya perlahan.
Foto pernikahan kami ada di sana.
Aku membalik halaman demi halaman, dan di lembar terakhir, ada foto USG yang diselipkan.
Aku memandanginya lama. Air mataku runtuh tanpa lagi bisa kucegah. Nadia masih menyimpan album pernikahan kami, dia tak membenciku meski aku telah membuangnya dalam jurang penghinaan dan pengkhianatan.
Jadi, aku benar-benar ayah dari anak ini? Tanganku gemetar.
Aku mend**gak, menatap sekeliling kontrakan yang sempit ini, merasa seperti manusia paling jahat di dunia ini.
Malam itu, aku duduk di dalam kontrakan Nadia, menunggu dia pulang. Aku tidak peduli jika dia akan marah. Aku ingin dia menjelaskan semuanya.
Tapi aku juga tahu, apapun alasannya, aku tidak bisa menghapus semua penderitaan yang sudah dia alami.
Tepat pukul setengah 12 malam, terdengar Nadia membuka kunci dari luar. Ia langsung masuk dengan menenteng sebungkus makanan yang aku tak tahu apa isinya. Nadia langsung terkejut begitu melihatku yang tengah duduk di dalam. Wajah yang kian tirus itu langsung memucat, bahkan bungkusan kresek itu terjatuh dari genggamannya.
"M-Mas Abi ..." lirihnya gemetar. Nadia melangkah mundur, ia tergesa ingin keluar tapi kalah cepat dengan tanganku yang menghentikannya.
"Duduk, Nadia. Maaf aku lancang masuk rumahmu, kita butuh bicara!"
"Jangan, Mas. Nanti ada fitnah, tolong jangan ganggu aku. Kita sudah selesai!" balasnya. Nadia menunduk, ia tak berani mend**gak membalas tatapanku. Tubuhnya yang kecil membuatnya terlihat ringkih dan menyedihkan.
"Ke-keluar, Mas! aku mohon!" usirnya tak berdaya.
“Mana suamimu?” tanyaku langsung. Aku ingin tahu jawaban dari Nadia. Apakah dia masih bisa berbohong.
Nadia terdiam sejenak, ia masih menghindari tatapanku.
“Dia sedang bekerja,” jawabnya pelan.
Aku mengernyit. “Bekerja sampai selarut ini?”
Nadia mengangguk cepat.
“Iya. Mas, kamu nggak seharusnya ke sini."
"Jangan bohong, Nadia! kamu belum menikah, dan kamu masih bohong suamimu bekerja?!"
"Anak itu ... anak yang kau kandung, apa itu anakku?! itu anakku, kan?!" tanyaku tajam. Nadia langsung mend**gak, terlihat sekali ia tengah menahan tangisnya.
"Tidak!" jawabnya tegas.
"Kamu masih terus berbohong Nadia. Jika itu bukan anakku, lalu anak siapa, kamu belum menikah!" ucapku tajam.
"Aku mel4cur! selama ini aku m4lacur! puas, kamu?! aku kotor dan hina. Hidupku yang menyedihkan sekarang adalah karma dari perbuatan haramku. Kita tidak ada urusan lagi, Mas Abi Nalendra! atau kau kesini mau meny3waku?! maaf aku sedang tidak melayani pelanggan!"
"NADIA!!!" bentakku.
Nadia gemetar, matanya merah menahan tangis. Dia tak pernah berubah, masih saja menutupi hatinya yang rapuh.
"Keluar, kamu Mas! ini bukan anakmu. Aku tak pernah mengenalmu, kita adalah orang asing yang tak pernah kenal."
Aku membeku mendengar kalimat yang diucapkan Nadia. Kata-kata itu, adalah permintaan terakhirku saat aku meninggalkan Nadia tanpa belas kasih di malam itu.
Judul: Setelah Kuceraikan Istriku
Penulis: Anna
Tayang di Kbm

Address

Pringsewu

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Resep Masakan Mertua posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

info n order WA 085227342791

PAKET 3 IN 1 Bodycare (Liquid Scrub, Body Cream, dan Facial Wash)

· Elaxa Facial Wash

· Elaxa Body Cream