17/04/2025
SERVISAN ISTRI TEMAN MEMBUAT RUD4LKU TEG4NG DAN KECANDUAN. KUBOOKING DIA SETIAP MALAM UNTUK MEMBERIKANKU KEPU4SAN
BAB 10
POV ZIANA
Aku berlari keluar dari hotel, nyaris tersandung saat memasuki lobi, tapi ... aku tidak peduli. Dengan napas tersengal, aku mendorong pintu kaca dan langsung mencari taksi.
“Pak, ke Rumah Sakit Harapan Bunda! Cepat!” suaraku hampir bergetar saat aku masuk ke dalam.
Sopir taksi mengangguk dan segera melajukan mobil. Aku mencengkeram tas di pangkuanku erat-erat, merasakan tebalnya amplop berisi u4ng di dalamnya. U4ng ini ... harus cukup. Harus!
Bertahanlah, Rania ... Mama akan segera datang.
Tanganku gemetar saat merogoh ponsel dan mengetik pesan untuk Sari, tetangga yang membantuku menjaga Rania.
[Aku sedang dalam perjalanan. Gimana keadaan Rania?]
Hanya butuh beberapa detik, akhirnya balasan masuk.
[Dokter bilang kondisinya melemah, detak jantungnya gak stabil. Mereka butuh keputusan segera untuk tindakan kateterisasi.]
Dada dan tenggorokanku terasa sesak. Aku menggenggam tasku erat, menyalurkan ketakutan yang nyaris tak tertahankan.
Taksi melaju di antara kendaraan yang padat.
Di depan sana lampu merah.
Ah, lama sekali!
Aku menggi-git bibir, menahan dorongan untuk berteriak agar sopir menerobos saja. Lututku lemas, keringat dingin mulai membasahi punggungku, tak henti-hentinya aku terus memikirkan Rania.
*
Akhirnya, setelah perjalanan panjang taksi berhenti di depan rumah sakit, aku hampir melompat keluar saat mobil benar-benar belum berhenti. Aku berlari masuk ke lobi rumah sakit, mataku langsung mencari meja administrasi.
“Bu Ziana?” seorang petugas menoleh ketika aku tiba di depannya.
“Iya! Saya mau bayar biaya kateterisasi an4k saya!” Napasku membu-ru saat aku membuka tas dengan tangan gemet4r, mengeluarkan amplop u4ng tunai dari Mas Leon.
Petugas itu tampak terkejvt. “Oh, baik, Bu. Tolong isi formulir ini dulu.”
Tanganku bergetar saat menerima kertas itu. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mengisi setiap kolom dengan terburu-buru.
[Nama: Rania Azzahra
Usia: 4 tahun
Diagnosa: Penyakit jantung bawaan]
Huruf terakhir hampir tak terbaca karena tanganku gemet4r. Setelah selesai, aku menyerahkan formulir beserta amplop berisi u4ng.
“Ini u4ngnya. Semua ada di dalam,” ucapku.
Petugas itu mengecek isinya, lalu mengangguk. “Baik, Bu. Kami akan segera memprosesnya.”
Tanpa menunggu lebih lama, aku berbalik dan berlari ke lantai tempat Rania dirawat.
Saat tiba di depan kamar rawat, pintunya terbuka.
Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius, diikuti Sari yang terlihat cemas.
“Bu Ziana,” dokter itu menatapku dengan tajam, “Kami hampir kehilangan waktu. Anda setuju untuk segera melakukan tindakan?”
Aku mengangguk cepat. “Iya! Saya sudah bayar, lakukan saja sekarang, Dok!”
Selama ini aku sibuk mencari u4ngnya, sekarang u4ngnya sudah ada. Meskipun, aku harus mengorb4nkan tubvhku.
Dokter itu memberi isyarat pada tim medis di belakangnya. “Bawa pasien ke ruang kateterisasi sekarang.”
Aku menahan napas saat melihat dua perawat masuk, mendorong tempat tidur Rania yang dipenuhi alat medis.
Anakku ...
Aku nyaris tak bisa bernapas melihat wajahnya yang puc4t. Selang oksigen masih terpasang di hidung mungilnya, kelopak matanya tertutup. Tubuhnya terlihat begitu kecil dan ringkih di balik selimut rumah sakit.
“Rania ...,” suaraku tercek4t.
Aku ingin berlari menghampiri, menggenggam tangannya, tapi perawat mendorong tempat tidurnya dengan cepat. Aku mengikuti langkah mereka, tapi belum sempat aku masuk ke ruang tindakan, Sari menarik tanganku.
“Ziana, biarkan dokter bekerja. Kita harus menunggu di luar,” bisiknya.
Aku ingin protes, ingin tetap berada di sisi anakku, tapi Sari benar. Aku hanya bisa memercayakan Rania pada mereka.
Tanganku mengepal saat pintu ruang tindakan tertutup. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar takut kehilangan.
Setiap detik terasa begitu lambat.
Aku melirik ponsel, berpikir untuk menghubungi Mas Gani. Tapi untuk apa? Dia bahkan tak peduli sejak Rania lahir.
Aku menghela napas panjang, menatap pintu di depanku dengan doa yang terus kuucapkan dalam hati.
Tolong selamatkan anakku ....
*
Aku duduk di bangku lorong rumah sakit dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuanku. Kaki-kakiku terasa lemas, nyaris mati rasa setelah berdiri terlalu lama. Aku tak tahu sudah berapa kali menatap jam di layar ponsel, waktu terasa lama sekali.
Sari duduk di sebelahku, tangannya sesekali menepuk punggungku pelan. “Sabar, Ziana. Rania anak yang kuat.”
Aku hanya mengangguk lemah. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirku selain doa yang terus-menerus kupanjatkan dalam hati.
Kemudian, tak berselang lama ...
Pintu ruang tindakan akhirnya terbuka.
Aku langsung berdiri dan mendekat ke arah dokter.
“Bu Ziana?”
Aku menatapnya dengan napas tertahan. “Iya, Dok. Bagaimana anak saya?”
Dokter itu mengangguk kecil. “Kateterisasi berjalan lancar. Rania sudah kami pindahkan ke ruang pemulihan. Detak jantungnya sudah lebih stabil sekarang.”
Aku hampir terjatuh karena merasa lega. Tubuhku limbung, tapi Sari sigap meraih lenganku. Dadaku bergetar hebat, mataku panas, dan akhirnya air mataku tumpah.
“Alhamdulillah ...,” suaraku bergetar, hampir tak terdengar. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menahan isak yang akhirnya pecah.
Sari ikut tersenyum lega. “Syukurlah, Ziana. Doa kita dikabulkan.”
Aku mengusap air mataku cepat-cepat, lalu menatap dokter dengan mata yang masih basah. “Boleh saya melihat Rania sekarang?”
Dokter itu tersenyum tipis. “Tentu, tapi untuk saat ini, dia masih tidur. Jangan terlalu banyak bicara atau mengguncangnya, biarkan dia beristirahat.”
Aku mengangguk cepat, tidak peduli dengan apapun selain melihat an4kku. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak!”
Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung mengikuti perawat menuju ruang pemulihan. Langkahku masih sedikit gemetar, tapi aku terus berjalan.
Saat masuk ke dalam, mataku langsung tertuju pada sosok mungil di tempat tidur rumah sakit.
Rania terbaring di sana dengan wajah puc4t, dadanya naik turun dengan lebih teratur. Selang oksigen masih terpasang, tubuhnya tak lagi ses4k seperti sebelumnya.
Hatiku mencelos. Aku melangkah pelan mendekat, menahan napas saat menyentuh tangannya yang dingin.
“Sayang ...,” bisikku, menahan tangis yang hampir pecah lagi.
Kelopak matanya sedikit bergerak, seolah merespons. Aku menggenggam jemarinya lebih erat, mencium punggung tangannya dengan penuh kasih.
Aku tak tahu berapa lama duduk di sampingnya, tapi untuk pertama aku bisa bernapas lega.
Anakku selamat ...
*
Setelah semalaman di rumah sakit, aku akhirnya pulang. Tubuhku terasa lengket, pakaian ini masih menyimpan aroma ruangan hotel, bahkan samar-samar aku masih bisa mencium wangi parfum Mas Leon di kulitku. Rasanya ingin segera mandi, membersihkan semua jejak yang tertinggal.
Sepanjang perjalanan, aku terus melamun. Pikiranku berkecamuk, aku merasa bersalah, marah, dan juga sedih. Aku terpaksa melakukan ini demi menyelamatkan Rania. Aku rela mengorbankan tu-buhku, melayani n4fsu lelaki yang bahkan tidak mengenalku secara utuh, hanya agar Rania bisa sehat kembali.
Sebelum sampai di rumah, aku berhenti sejenak di depan kaca jendela sebuah toko yang masih tutup. Aku mengeluarkan tisu dari dalam tas, lalu mulai menghapus sisa make-up semalam. Lipstik merah itu masih samar-samar di b!birku, eyelinar yang sudah luntur membuat mataku tampak sayu dan lelah. Aku harus memastikan wajahku bersih agar Mas Gani tak curig4.
Aku mengembuskan napas panjang, melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Baru saja kakiku menapak di lantai ruang tamu, suara bentakan t4jam langsung menyambutku.
“Dari mana kamu sampai tak pulang semalaman, hah?!”
Seketika, tubuhku menegang.
Mas Gani berdiri di tengah ruangan dengan wajah merah padam, matanya menyipit menatapku penuh curig4. Aku menelan ludah, berusaha mengatur napas yang tiba-tiba terasa berat.
“A-aku dari rumah sakit, Mas ... menemani Rania,” jawabku dengan suara bergetar.
Aku tidak berbohong, aku memang di rumah sakit. Aku memang bersama Rania, tapi ... tidak sepanjang malam. Aku memilih tidak menyebut bagian saat diriku mel4yani Mas Leon.
Mas Gani mendecakkan lidah, lalu menatapku dengan ji-jik. “Sudah berapa kali aku bilang, tak perlu memperdulikan an4k peny4kitan itu!”
Deg!
Hatiku serasa ditusuk belati. Aku mengerjap, menatapnya dengan mata membulat tak percaya. An4k peny4kitan? Itu an4knya sendiri!
Kmvret memang!
“Dia an4kku, Mas! D4-rah dagingku! Teganya kamu bicara seperti itu!” Aku menahan tangis yang mulai naik ke tenggorokan.
Tapi Mas Gani hanya mendengus, seolah yang baru saja kukatakan tak ada artinya. Dengan santai, dia melangkah ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
“Halah, sudah! Cepat buatkan aku sarapan!” ucapnya.
Aku masih berdiri di tempat, berusaha menelan semua emosi yang berkecamuk di dadaku. Aku ingin berteriak padanya, ingin membalas semua kata-kata k4sarnya. Tapi aku tak bisa.
Akhirnya, aku menghela napas panjang dan menyeka sudut mataku yang mulai basah. Tanpa berkata apa-apa, aku melangkah menuju dapur. Jika keinginannya tidak dituruti, dia pasti akan marah lagi.
Tanganku mulai bekerja, menyalakan kompor dan menggoreng telur seadanya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa makan setelah ini.
Saat aku sibuk di dapur, suara TV terdengar dari ruang tamu. Mas Gani menonton dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah dia tidak baru saja mengatakan sesuatu yang meny4kitkan.
Aku mencengkram spatula dengan erat, berusaha menahan amarah dan rasa sedih yang terus menumpuk di dadaku.
Setelah selesai menata sarapan di meja, aku menghela napas panjang. Perutku perih, tapi aku sama sekali tidak berselera makan. Aku meneguk air putih sebelum berjalan ke ruang tamu untuk memanggil Mas Gani.
Namun, langkahku terhenti di ambang pintu.
Di sofa, Mas Gani duduk dengan tubuh sedikit cond**g ke depan. Kedua alisnya berkerut dalam, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya.
Astaga! Itu ponselku!
Degup jantungku berdetak lebih cepat. Aku lupa meletakkannya di tas setelah pulang tadi!
Tatapanku jatuh pada layar ponsel yang masih menyala. Aku tidak bisa melihat isinya dari sini, tapi ekspresi Mas Gani berubah ... datar.
Aku menelan ludah, kedua tanganku mencengkeram sisi bajuku dengan gugup.
‘Ya Tuhan … aku belum sempat hapus chat dengan Mas Leon semalam!’
Darahku berdesir, tubuhku menggigil.
Mas Gani perlahan mengangkat wajahnya. Matanya langsung menatapku tajam.
Aku terpaku ditempat, dunia seolah berhenti berputar.
“Apa maksud semua ini, Ziana?!” teriak Mas Gani menggelegar, melempar ponsel itu dihadapanku.
Deg!
Bersambung ....
Judul : TERJERAT ISTRI ORANG
Penulis : Rafasya
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App ✅