10/09/2025
istriku memergoki aku sedang bercvmbv' dengan sahabatku di kantor reaksinya sungguh di luar dugaan.
Dia....
Part #1
Langkah kaki Anisa mantap. Sepasang sepatu flat yang dipakainya nyaris tak berbunyi di lantai marmer putih yang berkilau. Meski perutnya sudah me m b u n c i t karena ke h 4 m i l a n nya sudah masuk empat bulan, ia tetap tampil anggun dan sigap. Di satu tangannya, ia menenteng tas berisi ponsel Musa, suaminya. Di tangan lain, ia menuntun dua buah hatinya dengan kelembutan dan kekuatan seorang ibu yang tak pernah gentar menghadapi dunia.
Mereka sampai di depan ruangan Musa.
Tanpa ragu. Tanpa curiga.
Tanpa tahu dunia akan r u ntu t u h seketika.
Cklek.
Pintu terbuka.
Dan seperti suara k e c i l pintu itu menggelegar di kepala Anisa, meng h a n t a m jantungnya, mel u mpl p u h kan sendi-sendi tubuhnya. Suara tawa pelan. D3 s a h nafas pelan tapi memburu. B1bir yang bertaut. Le n g a n laki-laki yang mem e l UK pinggang ramping perempuan bersetelan rok m i n i dan kemeja satin ketat warna burgundy. Rambut bergelombang perempuan itu menjuntai ke bahu Musa. Tangannya mencengkeram kerah suami Anisa dengan g 4 i r a h. Buahnya sama-sama tampak m3m b a r a dan meng g 3 l 0 r a.
“Mas Musa?”
Suara Anisa keluar seperti bisikan. Tapi bagi Musa dan Anyelir, seolah tembok kaca di ruangan itu m e l e d a k dalam satu l e d akan sunyi.
Anisa tak bert e r i a k. Tak menangis.
Yang ia lakukan hanya menggenggam tangan Atika dan Ryan lebih e r a t. E r a t sekali.
“Atika, Ryan, main dulu di playground ya. Ingat kan, tempat yang Ayah buat di ujung koridor?”
Suara Anisa datar, lembut. Tapi, ada gemetar di ujungnya.
Kedua anak itu, tak mengerti apa yang terjadi, menurut. Ryan sempat menoleh. Atika bertanya, “Bunda kenapa?”
Anisa memaksakan senyum. “Bunda cuma mau bicara dengan Ayah.”
Begitu pintu tertutup kembali. Anisa menatap Musa dan Anyelir dengan kepala tegak.
Hening.
Anyelir merapikan rambutnya tanpa merasa bersalah. Musa tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya menatap Anisa, kaku dan tak berny a w a, seperti patung batu yang lupa caranya jadi manusia.
“Sudah selesai?" pertanyaan Anisa keluar begitu saja, bagai embun yang membeku. Tapi bukan dingin yang terasa, melainkan b a r a.
“Sudah puas b e r c u m b u di balik meja kerja yang kita beli bersama, Mas? Atau kalian butuh waktu lagi untuk melanjutkan?” tanya Anisa lagi.
“Anisa-”
“Jangan,” potong Anisa pelan. “Jangan bicara dulu sebelum kau bersihkan m u lu t mu. Aku masih bisa c 1 u m bau lipstick perempuan lain dari kerah baju dan b 1 b i r mu.” tambah Anisa.
Anyelir menyilangkan tangan di d 4 d a, berdiri santai. Senyumnya mencibir. Mata indahnya penuh tantangan. Tak tahu malu dan tak merasa bersalah sedikitpun.
“Kalau mau marah, marah saja. Kalau mau cuma mengintip silahkan pulang!"
"Aku mengantar ponselmu, Mas. Dan ternyata aku dapat kejutan!" ucap Anisa dingin.
"Bagus! Sudah selesai kan? Silakan pulang!" bukan suara Musa tapi suara Anyelir yang kembali bicara layaknya seorang majikan pada pembantunya.
"Aku justru bertanya pada kalian, kalian sudah selesai apa belum? Jika belum silakan dilanjutkan aku akan menonton kalian hingga selesai! Jika sudah, mari kita bicara!" tegas Anisa, dia memang terkejut tapi tidak 100% karena dia sudah mencurigai Musa punya A f f a i r dengan perempuan lain terutama Anyelir dalam beberapa bulan terakhir. Sikap Musa berubah, Musa-nya sudah berbeda. Dan Anisa bukan perempuan bodoh yang akan diam saja tanpa antisipasi apapun.
Anyelir? Dia terkejut dengan kata-kata Anisa, Anyelir pikir Anisa akan menjerit layaknya istri pada umumnya, meng 4 m u k seperti perempuan-perempuan kebanyakan ketika mengetahui suaminya selingkuh. Tapi kenapa Anisa, si perempuan yang Anyelir juluki perempuan kampung dan udik itu tampak tenang. Kini justru Anyelir yang tampak emosional.
"Kami belum selesai dan aku minta kau keluar dari ruangan ini-"
"Anye, cukup!" tegus Musa, dia speechless dalam waktu yang cukup lama. Karena tak menyangka Anisa akan setenang itu. Prediksinya salah, ternyata dia tidak mengenal Anisa 100% sekalipun sudah bersama hampir 10 tahun.
Anisa menatap Anyelir. Lama. Selalu beralih pada Musa.
“Perempuan macam kamu, Anyelir! Kau seharusnya malu. Dan aku heran padamu, Mas! Kenapa kau menyukai perempuan m u r 4 h a n dan tak tahu malu seperti dia, sudah punya berlian di rumah masih juga menelan batu kerikil!”
Dan kata-kata tajam Anisa memicu ledakan berikutnya.
“Malu? Batu krikil?” Anyelir melangkah maju.
“Harusnya kau yang malu, harusnya aku yang m 4 r a h. Kamu yang masuk ke hidup kami dan merusaknya. Musa dan aku sudah bersama bahkan sebelum kamu muncul, Nyonya yang s**a tampil alim tapi penuh drama.” ucap Anyelir sambil berdecih.
Anisa mengerutkan dahi. Napasnya tercekat.
“Bersama? Kalian-”
“Kami sepasang kekasih, perempuan kampung!" Anyelir menoleh ke arah Musa, yang kembali diam.
“Kami hampir menikah dulu. Tapi hubungan kami renggang... karena hal-hal sepele. Karena cara kami berd0a beda.”
Anisa mematung. Tidak, jantungnya berdetak kencang, terlalu cepat.
Kepalanya berputar.
Tubuhnya lemas tak bertulang, dia mencoba bertahan sekuat tenaga agar tidak jatuh pingsan.
“Jadi... aku orang ketiga?” gumam Anisa. Dia benar-benar kembali dibuat syok oleh Anyelir bahkan juga Musa.
Anyelir makin mendekat, langkahnya ringan, suaranya pelan, tapi menghantam.
“Kamu cuma kebetulan datang pas kami berada dalam persimpangan. Kamu pikir, karena kamu pasangan s a h, kalau bisa memilikinya? S3 u t u h nya? Kamu cuma... pengalih l u k a, pem u 4 s n 4 f s u, perempuan kampung! Ingat kamu hanya pengalih l u k a, pem u 4 s n 4 f s u ketika kami berada dalam persimpangan dan dia butuh pe l 3 p 4 s 4 n!” ucap Anyelir penuh penekanan.
"Anye-"
"Diam kamu Musa! Biarkan aku bicara, setelah hampir tahun main kucing-kucingan dengan perempuan kampung ini! Sudah cukup!" potong Anyelir tegas, membuat Musa diam seketika.
Dan dunia Anisa runtuh untuk kedua kalinya. Hampir sepuluh tahun dia di khianati dan dia baru menyadari beberapa bulan terakhir ini.
Tangan Anisa meraba perutnya. J a n i n kecil itu bergerak pelan. Seolah tahu ibunya sedang tersayat.
“Dan sekarang,” Anyelir melanjutkan, dengan senyum penuh kemenangan, “hubungan kami sudah tak berbeda lagi, Anisa. Cara berd0a kami... sudah sama.”
Deg.
Anisa menoleh cepat pada Musa.
“Kamu...?”
Ia berharap meski hanya setitik, bahwa yang dimaksud adalah Anyelir masuk ke a g 4 m a mereka. Anisa sadar dampaknya akan sangat menyakitkan baginya, karena ia yakin Anyelir akan masuk ke dalam rumah tangganya untuk menjadi orang ke t i g 4 alias istri muda Musa. Bahwa masih ada sedikit jejak Musa yang dulu ia kenal. Musa yang mengi m 4 m i sh a l a t di rumah. Musa yang menangis saat anak pertama mereka lahir.
"Mas?" lirih Anisa, suaranya bergetar karena yakin dunianya takkan lagi sama.
Tapi jawaban itu datang dalam bentuk bisu. Musa menunduk. Tak menyangkal. Tak mengonfirmasi. Dan justru itu jawaban yang paling menyakitkan.
“Kamu yang pi n d a h a g 4 m a...?" tebak Anisa dengan suara bergetar pada Anyelir.
“Kaget, ya? Kamu pikir cuma kamu yang bisa jadi pusat dunia Musa? Ternyata enggak. Ternyata dia lebih milih T u h a n yang aku s 3 m b a h.” Anyelir menyela dengan nada puas.
Anisa merasa tanah di bawahnya runtuh.
Bumi tak lagi berputar.
Langit merobek dirinya sendiri.
Dunia kehilangan porosnya.
Anisa seperti tertarik dalam pusaran g e l a p hingga membuat matanya berkunang-kunang. Perempuan yang sedang h4 m i l itu mengerjapkan mata berkali-kali. Fasakh! Pernikahannya dengan Musa sudah Fasakh demi a g a m a karena Musa R i d d a h atau M u r t 4d. Tapi, sejak kapan Musa R i d d a h? Sejak kapan? Bukankah tadi malam mereka masih m3 n c v m b u nya? Musa masih meny3 n t uh nya?
Anisa mundur beberapa langkah, dia berpegangan pada pada sofa agar tubuhnya tidak ambruk.
Beberapa detik kemudian Anisa kembali mundur satu langkah, ketika ia menyadari satu hal. Dadanya sesak. Tapi air mata tak mau keluar. Mungkin terlalu kering. Mungkin terlalu hancur.
“Mas Musa...”
Anisa panggil suaminya, untuk terakhir kalinya dengan suara seperti itu.
Musa menatapnya. Tapi tak bergerak. Tak meny 3 n t u h. Tak mengucap maaf. Tak menjelaskan.
Dan saat itu juga, Anisa tahu.
Orang yang ia cintai tidak lagi ada.
Yang berdiri di hadapannya hanyalah cangkang. Seseorang yang dulu pernah ia p 3 l u k, ia doakan, ia perjuangkan. Tapi sekarang... kosong. Mereka tak lagi sama.
Anisa seketika menegakkan tubuhnya, membetulkan jilbabnya. Menegakkan kepala.
“Kalau begitu, tak ada yang perlu dibicarakan lagi,” ucap Anisa pelan. Annisa belum mencerna semuanya dengan sempurna. Ia terlalu sok hingga otaknya sedikit linglung. Sedangkan Anyelir tersenyum p u 4 s melihat wajah Anisa yang pucat pasi.
“Terima kasih untuk segalanya. Untuk kebohongan yang dijahit rapi selama ini. Untuk an4k-an4k yang akan tetap jadi cahaya hidupku. Untuk luka yang mungkin akan lama sembuhnya-”
"Dia milikku, Anisa, milikku." ucap Anyelir, di sertai kekeham renyah, perempuan seksi itu berkata sambil melakukan gerakan sensual memilih rambut ikalnya. "Tidak perlu berdrama!" lanjutnya, Anyelir merasa berada di atas angin.
Anisa melangkah ke arah pintu. Membukanya perlahan.
Lalu menoleh.
Tatapan terakhir.
“Dan terima kasih karena sudah mengingatkan... bahwa i m 4 n tak bisa dipertaruhkan atas nama cinta.”
Cklek.
Pintu hampir tertutup.
Dan suara Anyelir sekali lagi, mengakhiri segalanya.
"Setahun yang lalu, dia sudah berd0a dengan cara yang sama denganku, Anisa. Sebenarnya aku juga cukup terkejut melihatmu hamil karena ternyata dia masih meny3 n t v h mu, menc v m b v mu seakan-akan dia tetap sama seperti 9 tahun yang lalu." ucap Anyelir, lagi-lagi dengan nada penuh kemenangan dan pongah.
Suara Anyelir menggema seperti letupan s 3 n a p a n yang p 3 l u r u nya langsung men 3 m b v s j4ntung Anisa.
Anisa berhenti. Tubuhnya seketika lemah. Bahunya merosot, lututnya bergetar. Tangannya refleks memeluk perutnya, menggenggam erat jan 4 n i n yang belum tahu betapa porak-porandanya dunia tempat ia akan dilahirkan. Anisa jatuh berlutut. Bahunya bergetar tapi air matanya tak keluar.
"B 4 y i k u? A n 4 k di luar nikah?"
Fasakh! Ternyata Aku Janda
Penulis MrsFree
Selengkapnya di KBM