Azzahra Rishi

Azzahra Rishi Mrsfree Author KBM
Posting Novel setiap hari
Follow agar tidak ketinggalan updatenya

Jasprom wa
081232789494

Wanita ini di u sir dari rumahnya sendiri karena memergoki sang suami sedang en ak-en ak bersama wanita lain di siang bo...
28/10/2025

Wanita ini di u sir dari rumahnya sendiri karena memergoki sang suami sedang en ak-en ak bersama wanita lain di siang bolong. Dikira dia akan pasrah, ternyata ini yang dia lakukan!

5.

Rika terdiam sejenak. Tatapannya kosong, mengarah pada dinding rumah yang warnanya dulu ia pilih dengan penuh cinta. Perlahan, kepalanya bergerak menggeleng pelan, lalu semakin mantap.

"Nggak!" ucap Rika lirih, akan tetapi jelas terdengar di telinga semua orang yang ada dalam ruangan tersebut. Semua mata sontak tertuju padanya. "Aku tidak akan mem ba yar lima ratus juuta untuk tanah ini. Itu namanya Ibu sengaja mau memanfaatkan keadaan!" Lanjutnya dengan lebih tegas.

Bu Indah menyeringai, bibirnya membentuk lengkungan senyum sinis. "Manfaatin keadaan gimana, wong kamu sendiri yang sok-sokan mau be li tanah ini! Makanya kalau nggak punya duit nggak usah bertingkah!"

Rika bangkit dari duduknya, tatapannya ta jam ke arah Bu Indah dan Yuda yang terlihat puas karena Rika tak mampu mem be li tanah yang harganya sudah dinaikkan berkali-kali lipat itu.

"Mas, tolong carikan aku alat berat. Ekskavator, atau apa saja. Aku mau rumah ini di ro boh kan!"

Ruangan seketika hening. Rendy dan Iga terperangah, mereka tak menyangka jika akhirnya permintaan itu akan keluar dari bi bir Rika. Mengingat sebelum berangkat ia masih tak rela kehilangan rumah itu.

"Apa?" Yuda langsung me lom pat dari tempat duduknya, ekspresi wajahnya bercampur antara ma rah dan kaget. "Jangan macam-macam, seenaknya saja mau me ro boh kan rumah ini!"

"Ini rumahku," ucap Rika dingin.

"Aku yang mati-matian cari uaang untuk membangun rumah ini, dan aku lebih rela melihatnya ra ta dengan tanah daripada membiarkan kamu dan gundikmu itu menikmati hasil je rih pa yah ku!" tambahnya dengan penuh penekanan.

Yuda terkekeh si nis, mencoba untuk menutupi kegugupan.

"Pasti kamu hanya becanda, kamu nggak mungkin berani melakukan itu!" ejek lelaki itu.

Rika tak ingin membuang waktu untuk berdebat dengan suami be na lu nya itu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, menekan beberapa tombol, lalu menyodorkan benda pipih itu kepada Rendy. Terlihat situs penyewaan alat berat yang terpampang di layar ponsel milik Rika.

"Ini, Mas. Di situ ada nomor persewaan alat berat, tolong Mas hubungi dan bilang kalau aku bersedia ba yar tiga kali lipat asal bisa ro bo hin rumah ini besok pagi!" Suara Rika terdengar lebih tegas, sama sekali tak ada raut keraguan yang terpancar di wajah cantiknya.

Rendy terdiam sejenak, menatap mata adiknya dalam. Ia pun mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya sendiri.

"Simpan aja hapemu, pakai jasa temanku aja. Pasti besok dia bisa kalau aku yang minta!" ujar Rendy yang sudah mengeluarkan ponselnya sendiri.

Wajah Bu Indah yang tadi begitu ang kuh, seketika me mu cat. Wanita paruh baya itu mendekati Rika dan mendorongnya dengan sedikit keras. "Kamu nggak bisa lakuin itu, ini tanah Ibu!"

"Tanahnya memang punya Ibu, tapi bangunannya punyaku!" Rika menatap wanita paruh baya itu pandangan ta jam. "Semua bukti trans fer untuk material dan tukang ada sama aku. Jadi aku punya hak penuh atas bangunan ini, dan sekarang aku memilih untuk me ro boh kan nya karena kalian nggak bisa diajak bicara baik-baik."

"Benar-benar ku rang a jar ya kamu jadi pe rem pu an!" Ke ri bu tan akhirnya pe cah, Yuda mendekat hendak me nam par Rika. Namun Rendy bergerak cepat untuk memegangi tangan Yuda dan meng hem pas kan nya dengan ka sar.

"Berani kamu me nyen tuh Rika, aku pastikan kamu akan mem bu suk di pen ja ra!" ucap Rendy penuh penekanan.

Iga yang khawatir dengan Rika, menarik adik iparnya untuk sedikit menjauh dari ke ri bu tan tersebut.

"Rika, kamu udah yakin mau ro bo hin rumah ini?" bisik Iga, wajahnya penuh dengan ke ce ma san.

"Yakin dua ratus persen, Mbak. Aku nggak rela mereka menang dan bersenang-senang di atas ker ja ke ras ku," jawab Rika penuh keyakinan.

Pintu rumah Yuda tiba-tiba saja terbuka. Fara masuk dengan terburu-buru dan langsung menghampiri Yuda serta Bu Indah.

"Mas, Rika ngapain ke sini lagi? Di kan udah di u sir sama Ibu?" Fara berbisik di telinga Yuda. Sementara ekor matanya teris mengarah kepada Rika.

Bu Indah langsung me nga du kepada se ling ku han anaknya. "Itu lho, Fara. Rika datang ke sini, dia mau be li tanah ini tapi nggak mampu ba yar harga yang Ibu kasih. Eh, malah mau nge ro bo hin rumah ini. Apa nggak gi la itu namanya!"

"Me ro boh kan rumah ini? Terus Ibu sama Mas Yuda percaya gitu? Paling juga cuma omong kosong." Fara me nge jek Rika sekaligus menenangkan Bu Indah.

"Siapa yang bilang ini cuma omong kosong? Itu Mas Rendy sudah telepon pemilik alat berat untuk me ro boh kan rumah ini besok pagi," jawab Rika, suaranya terdengar datar. Namun berhasil membuat Fara gentar.

Tatapan Fara bergeser ke arah Rendy yang masih menempelkan ponsel di telinga. Perlahan, senyum percaya diri di wajah jan da mu da itu memudar. Ia sedikit merapatkan tu buh nya ke arah Yuda.

"Mas Yuda, sebaiknya kamu panggil Pak RT. La por kan kalau dia mau melakukan pe ru sa kan," perintah Fara dengan suara rendah.

Seperti ro bot yang sedang dikendalikan, Yuda mengangguk patuh dan segera bergegas untuk keluar dari rumah.

Sejurus kemudian, Rendy menutup teleponnya. "Sudah, Rik. Besok pagi jam delapan ekskavator datang."

Rika mengangguk seraya menghembuskan napas lega. Di saat bersamaan, Yuda kembali bersama seorang pria paruh baya yang merupakan RT.

"Ada apa ini, Mbak Rika? Kata Mas Yuda, Mbak mau melakukan pe ru sa kan?" tanya Pak RT dengan suara serak.

Yuda mengarahkan jari telunjuknya ke arah tiga tamunya.

"Mereka, Pak. Rika mengajak mereka datang ke sini dan katanya besok mau me ro boh kan rumah ini!" sahut Yuda, ia tak ingin memberi kesempatan kepada Rika untuk bicara.

Pak RT menatap Rika dengan kening berkerut. "Apa benar itu, Mbak Rika?"

Rika mengangguk. "Benar, Pak. Besok pagi saya akan me ro boh kan rumah ini."

"Kenapa? Bukankah Mbak Rika dulu rela ker ja bertahun-tahun di luar negeri hanya demi membangun rumah ini? Kok sekarang malah mau di ro boh kan?" Pak RT nampak kaget dengan keinginan istri Yuda itu.

Rika mengulas senyum, ia cukup lega karena ternyata orang lain tahu bahwa rumah itu dibangun dengan uaangnya.

"Bapak benar, bahkan mungkin Bapak juga tahu kalau selama ini saya yang bekerja untuk meng hi du pi Mas Yuda." Rika menarik napas sejenak untuk menahan e mo si.

"Tapi sekarang saya rasa semuanya percuma, Pak. Mas Yuda tidak menghargai saya dan malah membawa wa ni ta lain ke rumah ini saat saya bekerja," lanjut Rika bercerita, Yuda hanya bisa me lo tot tanpa mampu membantah tuduhan dari Rika.

Pak RT terdiam, ia menoleh sekilas ke arah Yuda. Lalu kembali pada Rika.

"Jadi Mas Yuda se ling kuh?" tanya Pak RT memastikan.

"Iya, Pak. Itu se ling ku han nya, didukung p**a sama Bu Indah." Kali ini Rendy mengangguk, sedangkan Fara menundukkan kepala setelah disebut sebagai se ling ku han Yuda.

Pak RT mengusap wajah sembari geleng-geleng kepala, ia seperti menyesal sudah mengikuti keinginan Yuda untuk datang ke rumah ini.

"Oalah, Mas, Mas! Udah dikasih istri yang can tik dan baik kok malah se ling kuh. Ya pantas rumahnya mau di ro bo hin sama Mbak Rika. Kalau begini saya nggak mau ikut campur. Saya p**ang aja." Pak RT memutar ba dan, akan tetapi Bu Indah langsung menghadang.

"Kok malah p**ang sih, Pak! Bukannya ngebujuk Rika biar nggak jadi ro bo hin rumah ini," keluh Bu Indah panik.

Pak Rt menghela napas berat. "Maaf, Bu. Kalau kasusnya ternyata Mas Yuda se ling kuh, saya nggak mau ikutan. Membela Mas Yuda sama dengan mendukung per se ling ku han. Lebih baik kalian minta maaf saja sama Mbak Rika, permisi!"

Bu Indah terpaksa me nying kir dari pintu dan membiarkan pria paruh baya itu pergi.

Rika tersenyum pu as melihat apa yang terjadi, ia menoleh ke arah Rendy dan Iga yang masih setia menunggunya. "Mbak, Mas. Urusan kita selesai, ayo p**ang! Besok pagi kita ke sini buat nonton peng han cu ran rumah ini."

"Rika tunggu!" Suara Bu Indah membuat wanita mu da itu urung melangkah. Ia menatap Bu Indah dengan sebelah alis terangkat.

"Ibu turunkan har ga, nggak usah lima ratus juuta. Kamu be li aja seratus jutaa nggak apa-apa, asal jangan ro boh kan rumah ini. Gimana?"

Baca cerita lengkapnya di aplikasi KBMApp ya

Judul: Merobohkan Rumah di Tanah Mertua
Nama pena: Irma N
Platform: KBMApp

Lara membaringkan A***n dengan hati-hati di ranjang. Putranya terlelap, wajahnya yang damai menutupi tra uma yang baru s...
28/10/2025

Lara membaringkan A***n dengan hati-hati di ranjang. Putranya terlelap, wajahnya yang damai menutupi tra uma yang baru saja mereka lalui. Apartemen mewah ini hanyalah persinggahan sementara sebelum mereka pergi, meninggalkan hiruk pikuk ibukota. Rencana Lara sudah matang. Ia harus menyelesaikan drama terakhir ini dengan Zidane sebelum melangkah ke dunia barunya.

Lamunan Lara terhenti. Ponselnya bergetar lagi. Nama Zidane terpampang di layar kembali. Lara menatapnya tanpa emosi. Zidane sudah membebaskannya, lebih tepatnya membuangnya. Secara otomatis, Zidane bukan suaminya lagi, bukan urusannya.

Lara meraih tangan A***n yang hangat. A***n. Putranya kini berusia hampir enam tahun. Dia tak pernah merasakan kasih sayang orang tua yang utuh, diabaikan oleh sang ayah sejak lahir, lebih tepatnya sejak dia belum ada hingga ada dalam kandungan dia sudah mendapatkan penolakan dan pengabaian. Lara tak masalah dengan pengabaian Zidane, asalkan ia punya A***n. Ia tidak lagi sebatang kara, ia punya darah dagingnya. Ia punya pahlawannya.

"Kau tidak butuh Ayahmu, Nak. Kau hanya butuh Bunda. Bunda pastikan hidupmu tetap utuh," bisik Lara, mencium rambut A***n. Lembut.

Ia mengabaikan panggilan Zidane yang kembali masuk, mematikan ponselnya, membiarkan gelombang kepanikan itu menenggelamkan Zidane sendiri.

Sementara itu, di rumah besar Maheswara, keheningan telah digantikan oleh kekacauan.

Nadia merengek tanpa henti. Gadis kecil itu menolak makanan, menendang boneka, dan menangis meraung-raung, meminta Bunda Lara dan Bang A***n kembali. Tangisan itu bukan lagi pilu, melainkan histeris yang menusuk gendang telinga siapa saja yang mendengarnya para pembantuku olahan pun juga dengan Zidane.

Di tengah badai emosi Nadia, Aisyah bukannya menenangkan, ia justru merajuk. Ia duduk di sofa, menyilangkan tangan, memasang wajah cemberut yang kontras dengan gelar 'perempuan salihah' yang selalu ia tampilkan.

“Mas, kenapa kamu tidak bisa membuat dia diam? Aku sedang tidak enak badan. Aku ngidam spaghetti carbonara buatanmu. Bukan Lara yang pergi, tapi jiwaku yang terganggu oleh suara an a k ini!” keluh Aisyah, suaranya manja, tetapi penuh tuntutan yang terdengar memuakkan ditelinga para asisten rumah tangga.

Zidane merasakan kepalanya pening, berdenyut-denyut seperti baru saja menghadapi serangan artileri. Disiplin militernya tak mempan menghadapi keruwetan domestik rumanya. Nadia, putrinya, kini terasa asing dan sulit diatur. Aisyah, cinta sejatinya, ternyata tidak bisa diandalkan dalam keadaan darurat.

Ia tiba-tiba membandingkan.

Lara. Selama delapan tahun, Lara tak pernah sekali pun merengek. Lara adalah Pelabuhan yang tenang, menjaga rumah tangganya agar tetap utuh. Lara bisa menenangkan Nadia hanya dengan senyuman. Lara akan selalu menyiapkan kopi terbaik di meja kerja Zidane, tanpa harus diminta.

Kini, Nadia masih merajuk, menangis, membanting remot TV hingga pecah. Aisyah mendekat ke arahnya, memeluk lengannya dengan manja bukan memeluk Sang Putri.

“Mas, buatkan aku carbonara. Aku hanya ingin itu. Aku ingin perayaan kecil atas kepergian Lara,” rengek Aisyah, matanya berbinar penuh harap.

Kepala Zidan terasa seperti akan meledak. Nadia merajuk, rumah berantakan, dan Aisyah hanya memikirkan ngidam dan dirinya sendiri.

Zidane menepis tangan Aisyah, tatapannya dingin, lebih dingin dari malam yang Lara tinggalkan. Wajahnya yang datar, kembali menjadi Arca Batu tanpa ekspresi.

“Kenapa kau tak bisa menenangkan Nadia? Kenapa kau tak bisa diandalkan seperti Lara, Aisyah?”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Zidane, sebuah keceplosan pahit yang berasal dari dasar hati dan kekecewaan.

Seketika, hening menyergap. Tangisan Nadia terhenti. Aisyah terpaku, senyum kemenangannya membeku. Nama Lara, yang seharusnya sudah terkubur, kini beresonansi di tengah rumah yang baru saja ia 'taklukkan'.

"APA?! Apa katamu, Mas?!" Aisyah meradang. Wajah lembutnya seketika memerah, matanya memancarkan api cemburu yang membakar.

"Kau membandingkan aku? Aku, istrimu, cinta pertamamu dengan wanita dingin yang kau ceraikan itu?! Setelah semua yang aku korbankan untukmu?!"

Zidane menghela napas panjang, ia sudah terlalu lelah untuk berdebat. “Aku tidak membandingkan. Aku hanya… kelelahan.”

“Tidak, Mas! Kau membandingkan! Lupa, dulu kau bilang aku lebih salihah, lebih pantas mendampingimu! Lalu kenapa sekarang kau kau membandingkan aku, apa kau merindukan wanita itu?! Dia bahkan baru beberapa jam pergi dari rumah ini dan kau sudah merindukannya!" Aisyah histeris, air mata yang ia gunakan untuk manip**asi tadi kini mengalir karena amarah yang sesungguhnya.

"Lara, setidaknya, tidak merajuk saat rumah dalam keadaan darurat," balas Zidane, nadanya datar, tetapi mengandung penghakiman yang kejam.

Nadia, yang semula diam, kini kembali menangis kencang. “Bunda Lara baik! Tante Aisyah jahat!”

Aisyah beralih ke Nadia. “Diam! DASAR ANAK SIAL!”

Teriakan itu membuat Zidane tersentak. Ia menarik Aisyah menjauh dari Nadia.

“Aisyah! Jaga bicaramu! Dia putrimu!” Zidane membentak, pertama kalinya dalam hubungan mereka, Zidane melepaskan amarahnya pada Aisyah.

“Putriku?! Kau yang memintaku menjadi yang kedua hingga dia tidak dekat denganku tapi dekat dengan istri pertamamu! Dan kini kau membelanya?! Kau kini menganggap wanita tak tahu diri itu dibandingkan aku!” Aisyah menepis tangan Zidane kasar, air matanya tak terbendung.

Zidane menyentuh keningnya, teringat kata-kata Lara beberapa waktu tahun lalu. "Jika dia benar-benar wanita salihah, jika dia benar-benar wanita bermartabat dan wanita baik-baik maka dia tidak akan menjadi pelakor syar'i dalam rumah tangga siapapun! Siapapun! Suatu saat nanti kau akan tahu siapa dia yang sebenarnya!"

Zidane menatap Aisyah, “Cukup, Aisyah. Aku lelah. Kau urus Nadia, dan aku akan mencari Lara.”

Zidan berbalik, hendak melangkah menuju keluar rumah, tetapi Aisyah mencengkeram lengannya.

“Kau tidak akan mencarinya, Mas! Aku tidak pernah mengizinkanmu mencarinya! Kalian sudah bercerai!” Aisyah berteriak, suaranya pecah.

Zidan menarik napas dalam-dalam. Ia berbalik, menatap Aisyah dengan tatapan dingin tak terbaca.

"Diam, tenangkan Nadia, Aisyah! Tunjukkan bahwa kau lebih baik dari Larasati! Dan jangan buat aku menyesal sudah menceraikannya dengan memilihmu yang ternyata tak lebih baik darinya Aisyah!" ucapnya dingin dan datar lalu berbalik meninggalkan Aisyah yang terdiam mematung.

Delapan tahun. Delapan tahun ia memikul dosa dan pengkhianatan demi Aisyah.Delapan tahun ia menelantarkan putra kandungnya, A***n, demi seorang gadis yang ia akui sebagai cinta sejatinya. Apakah Zidane mulai menyesal?

Bersambung, mau lanjut Bab 6?
Yuk like dan komentar dulu

Lara sang Kapten
MrsFree
Selengkapnya di K---B----M

"Kamu pikir kelakuanmu ini hanya kena–kalan ank-ank biasa, Lulu?!"Lulu berdiri di tengah kamar dengan kepa- la tertunduk...
28/10/2025

"Kamu pikir kelakuanmu ini hanya kena–kalan ank-ank biasa, Lulu?!"

Lulu berdiri di tengah kamar dengan kepa- la tertunduk, menatap bingung pada ibunya yang menginterogasi dengan nada setinggi langit.

Jemari ke--cil Lulu meremas keliman kaus pinknya. Tapi ba--hunya tidak menggigil, bahkan tidak ada air ma- ta yang bergulir di wjah mung-ilnya.

Hanya keheningan ker- as kepa- la yang terlalu mirip Arsen dan membuat Yasmin semakin jeng- kel.

"Bunda tanya sekali lagi! Kenapa kamu ka- bur dari tempat penitipan?! Kenapa pergi ke Eternal Tower tanpa izin sampai mengajak adikmu mengecoh pengasuh?!" Suara Yasmin meningkat. "Kamu tau nggak Bunda hampir kena sera--ngan jan- tung?!"

Lulu menanggapi dengan keluguan khas ank-ank, yang seringnya menguji kesabaran orang dewasa.

"Tapi kan aku baik-baik aja, Bunda. Tadi Om Arsen juga nggak ga-lak kok ke aku."
Kalimat itu berhasil membuat

Yasmin berkacak ping-gang. Otot le-- hernya mengencang, berupaya menahan agar tidak mencub--it teli-nga Lulu.

Tidak. Yasmin tak pernah main tngan pada mereka. Lulu dan Lili sudah cukup mende- rita karena tidak diing--inkan oleh ayhnya. Dia tak ingin menambah pende- ritaan itu dengan menya- kiti fi_siknya.

"Kalau tahu begini, lebih baik kalian di Kyoto sama Tante Mima!"

Yasmin menghirup napas panjang berkali-kali, meredam gemuruh yang menggulung di hatinya.

"Jadi Bunda nggak perlu pusing sama kekaca--uan yang kamu bikin di hari kedua kita di sini!"

Lulu menengadah, menatap Yasmin dengan campuran bersalah dan melin--dungi diri.

"Aku cuma mau nyusul Bunda ke gedung itu, kok. Biasanya juga Bunda nggak m*rah kalau aku dan Lili nyusul ke tempat kerja Bunda."

Yasmin tertawa sumbang. "Nyusul? Lulu, di Kyoto kalian tau jalanan! Kalian nyusul ke kantor Bunda sendiri, bukan ke kantor orang asing di tempat yang baru kalian tinggali dua hari!"

"Tapi kan Bunda kerja di Eternal Tower sekarang. Berarti bukan kantor orang asing, itu tempat kerja Bunda."

Yasmin terperangah mendengar jawaban lugas anknya.

"Itu kantor orang asing! Orang yang ... yang nggak boleh kalian kenal!"

Lulu mengama- ti Yasmin lebih lama. "Aku cuma mau ketemu Om Arsen sebentar, Bun. Mana aku tau kalau para penjaga di penitipan ank bakal menelpon Bunda, padahal aku juga pasti kembali ke sana."

Lu--tut Yasmin mendadak lemas. "Mau apa, hah? Mau apa kamu bertemu dia? Dia orang asing, Lulu! Jangan sekali-kali kamu melakukan itu lagi!"

"Aku cuma mau tanya ... apa Om Arsen punya saudara kembar yang men-ing-gal. Soalnya mataku dan Lili mirip ma-ta Om Arsen. Jadi aku pikir ... kalau ayh yang men-ing-gal itu saudara kembar Om Arsen, berarti Om Arsen itu Om kami, kan?"

Ra--hang Yasmin semakin mengencang sambil menatap ngeri bercampur shock pada putri pertamanya ini, ank yang ker-as kepa-la, terlalu pintar, dan peka.

"Kenapa ...?" Yasmin tergagap. "Kenapa berpikir ayhmu kembar dengan pria asing itu?"

Lulu meringis heran. "Karena aku dan Lili kembar. Katanya orang kembar itu mungkin keturunan orang tua. Bunda bilang kan nggak punya kembaran, tapi siapa tau ayh kami punya kembaran."

"Bunda, apa Bunda nggak ingat permintaan Lili?" Lulu lebih dulu menambahkan sebelum bundanya bisa menyahut.

Nada bicaranya agak melembut sekarang, ma- ta bulatnya menatap sang ibu dengan ketulusan yang jujur.

"Temen-temen di Kyoto sering cerita Shichi-Go-San, Bunda tau kan mereka membuat perayaan ank saat us-ia mereka 3-5-7 tahun? Orangtua mereka membawa ke ku--il untuk diberka--ti dan–"

"Kita mus--lim, dan kita nggak melakukan itu, Lulu!" Yasmin menyahut spontan.

"Iya, aku tau. Tapi maksudnya bukan perayaan kayak gitu yang Lili pengen, dia mau sesekali ulang tahunnya ada ayh. Bahkan setiap kali musim liburan, Bunda cuma ajak kami ke taman dan mall sama Tante Mima. Nggak ada peran ayh. Ya, aku juga tau Bunda sering ngundang dokter Kenzi sesekali buat makan malam. Tapi dia kan dokter kami, Bun. Bukan ayh kami."

Yasmin tergun-cang bukan main mendengar ke-luh kesah Lulu yang panjang lebar.

Sesuatu di da--da Yasmin hncur, tapi am*rah dan ketak- utannya lebih mendominasi.

"Ya, Bunda tau nggak bisa bikin ayh kalian hi--dup lagi!"

Yasmin berte--riak putus asa, tak ubahnya seperti orang tenggelam dan berusaha mencari oksigen. "Tapi jangan pernah cari tahu apa pun tentang Arsen. Jangan pernah dekati dia!"

"Kenapa?!" Lulu protes lebih ker- as.

Yasmin nyaris terhuyung. Ini pertama kali dalam hidupnya, ank itu berte--riak padanya.

"Kenapa Bunda nggak mau kita kenal Om Arsen?! Apa Bunda bo- hong soal ayh kami? Bunda selalu menghindar tiap kali kita bertanya tentang ayh. Sekarang, saat aku cuma mau tanya ke Om Arsen apa dia kembar, kenapa Bunda harus m*rah?"

"Lulu, cukup!"

"Om Arsen itu kembaran ayh kami? Iya kan, Bun?!" Lulu berker-as menun--tut sambil menahan tangis.

"Bunda tak-ut kami deket sama saudara ayh kalau memang iya? Apa Bunda bertng-kar dengan keluarga ayh? Apa Bunda–"

"Karena Om Arsen itu ayh kandung kalian!"

Pengakuan itu meruntuhkan semua tembok yang Yasmin bangun selama bertahun-tahun.

Keheningan menge--rikan mengisi ruangan.

Yasmin berdiri dengan napas tersengal-sengal. ma-tanya memanas, sekujur tu--buhnya menggigil karena tak kuasa mengendalikan emo-- si.

Lulu menatapnya dengan shock, terlu-ka, bingung. "Om Arsen ayh kami?"

"Ya. Arsen ayh kalian." Yasmin mengulangi dengan serak, pecah di setiap suku kata.

"Tapi dia nggak mau kalian. Dia ... dia nyuruh Bunda bu--ang kalian waktu masih di dalam pe-rut. Dia bilang ... dia bilang Bunda harus pilih, dia atau kalian."

Air ma- ta jatuh di pi--pi Yasmin, tapi dia tidak mengusapnya.

"Dan Bunda memilih kalian. Bunda ka- bur. Bunda pergi jauh-jauh supaya kalian bisa la-hir. Supaya kalian bisa hi--dup."

Lulu berdiri membeku, wjahnya berubah sepu--cat kertas. pe-rutnya melilit ingin mual seperti habis diton--jok, meski belum pernah mengalaminya.

"Jadi jangan ... jangan pernah berpikir kalau Bunda nggak sayang kalian. Jangan pernah bilang kalian bu–tuh ayh yang nggak pernah ma-u kalian ada!"

Yasmin menyeka air mata dengan kedua tngan, tu--buhnya berguncang karena isakan yang tak sanggup ditahan.

Lulu tidak bergerak. Tidak berbicara. Tapi ada guncangan hebat yang membuat Yasmin sadar telah menghncurkan hati anknya.

Cerita ini ada di KBM Apps
Judul: Tujuh Tahun Setelah Berpisah
Penulis : Sima_1794

Pikiranku kembali muncul banyak pertanyaan. Dari mana Mama tahu kalau aku sudah mela hirkan, dan mendapatkan perlakuan b...
28/10/2025

Pikiranku kembali muncul banyak pertanyaan. Dari mana Mama tahu kalau aku sudah mela hirkan, dan mendapatkan perlakuan bu ruk dari ....

***

Part 8

Sinar mentari pagi menyapa hangat, menerobos celah jendela dan menyapa kulitku. Aku menggendong ba yiku, dan mengajaknya menikmati hangat mentari di halaman depan rumah. Udara segar pagi ini terasa begitu nikmat, menenangkan jiwa sebelum muncul drama yang akan diciptakan oleh mertuaku hari ini.

Sengaja kuajak Nabila keluar dari gerbang, karena ingin membeli sayuran dan buah-buahan yang dijual oleh tukang sayur langganan di komplek ini.

Ternyata, di sana ada Bi Imah yang tampak sibuk memilih sayuran. Ibu-Ibu yang lain belum terlihat, mungkin karena sekarang masih terlalu pagi.

"Lho, Mbak Dania, kok sudah mulai keluar rumah?" Tanya Bi Imah, seraya mengerutkan keningnya.

"Alhamdulillah, kondisiku sudah membaik, Bi. Aku mau belanja sayur sekalian Nabila berjemur," jawabku dengan ramah, "terima kasih karena kemarin malam, Bi Imah sudah menemaniku saat melah1rkan."

"Iya, sama-sama, Mbak. Duh, ba yinya cantik sekali," ujar Bi Imah menatap bay iku dengan mata gemas.

Sambil memilih sayur dan buah, kami berbincang sebentar, membahas tentang ba yi dan kesehatanku. Bi Imah tampak gembira melihat Nabila yang begitu tenang dalam gendonganku.

"Ehm ... Mbak Dania, maaf kalau Bibi lancang," ucapnya, sambil melihat wajahku dengan tatapan iba, "kenapa Mbak ndak p**ang saja ke rumah Pak Danang? Semenjak Bapak tiada, Bu Asri pasti merasa kesepian karena Mbak Dania ndak ada di sana."

Aku terdiam sejenak, terasa berat jika harus jujur bahwa sebenarnya aku memang ingin p**ang ke rumah Mama.

"Nabila masih ba yi, Bi ... kasihan kalau aku ajak ba yiku perjalanan jauh," jawabku dengan asal.

"Bu Asri merasa sedih, Mbak, karena ...."

"Dania! Rupanya kamu malah enak-enakan bergosip dengan pemban tunya Bu RT!" Teriakan ibu mertua memotong ucapan Bi Imah. Padahal aku penasaran, katanya mamaku merasa sedih.

Melihat Bu Ratna datang menghampiri, Bi Imah langsung pamit dengan tergesa-gesa. Wanita paruh baya itu tak ingin mendengar omelan mertuaku dan segera pergi membawa sayuran pesanan Bu RT.

"Heh, gen dut! Kamu ngapain ngobrol sama pem bantu itu? Kayak nggak ada kerjaan aja!" Ucap mertuaku dengan suara yang tak bisa pelan, saat berada di tukang sayur.

Aku belum sempat menjawab, wanita paruh baya itu kembali berbicara.

"Nggak usah sok-sokan ngobrol sama pem bantu, lama-lama kamu makin cocok jadi ba bu!" Mertuaku terus berteriak, matanya melotot tajam. Untungnya, ibu-ibu komplek belum berkumpul untuk berbelanja, jadi hanya aku yang menjadi sasaran amarahnya.

"Belanja apa kamu?" tanya Bu Ratna, kedua netranya tertuju pada belanjaan yang kupegang.

"Aku cuma beli bayam sama pepaya, Bu," jawabku dengan tenang, berusaha menahan amarah.

"Bayam sama pepaya doang, buat apa? Itu mah makanan orang m15kin!" Bu Ratna mencibir, "u ang Rafa mana? Kok kamu cuma beli sayur mura han?"

"U ang Mas Rafa kan sudah diambil semua sama Ibu, sebelum aku mela hirkan. Sekarang ini aku belanja pakai u ang tabunganku sendiri. Lagian, ini cuma buat aku, kok. Untuk sarapan keluarga, biar Ibu saja yang beli," jawabku, masih mencoba menahan emosi.

"Halah, kalau ngomong s**a ngarang! Tabunganmu? Mana mungkin kamu punya tabungan! Kamu itu cuma pengang guran yang nggak berguna!" Mertuaku semakin marah. "Kamu itu harusnya bersyukur, tinggal di rumah mewah, makan enak, semuanya serba gratis!"

Aku menghela napas, terus mencoba untuk tetap tenang. "Aku memang nggak bekerja lagi, Bu. Tapi, aku bukan pengang guran. Selama ini, aku sibuk mengurus rumah tangga, mengurus Mas Rafa, mencuci pakaian kalian semua, memasak. Apa a nak Ibu menafkahiku? Kan sudah jelas, setiap bulannya u ang gaji dipakai sama Ibu dan Rani. Untung aku masih punya tabungan pribadi, jadi aku bisa mela hirkan dan nggak kelaparan, seperti yang sering kalian lakukan padaku."

"Omong kosong! Jangan harap kamu bisa menguasai u ang Rafa, karena itu milik keluarga!" Mertuaku berteriak, kemudian berlalu dengan wajah masam.

Diriku hanya menggelengkan kepala. Aku tahu, tidak akan pernah ada gunanya berdebat dengan Bu Ratna. Dia selalu menganggap dirinya paling benar dan selalu ingin mengendalikan segalanya. Aku hanya bisa pasrah, dan berharap suatu saat nanti, mertuaku akan mengerti bahwa aku juga manusia biasa yang punya hak dan keinginan sendiri.

Aku segera masuk ke dalam rumah, setelah selesai berjemur bersama ba yiku. Aku langsung menuju kamar, membawa Nabila dan sekantong bayam serta pepaya. Aku tak ingin menyimpannya di dapur, bisa-bisa nanti buah pepaya ini habis dimakan Rani, adik iparku yang terkenal rakus.

Setelah selesai memandikan Nabila, dia langsung tertidur p**as. Akhirnya, aku melangkah keluar dari kamar, membawa sayur bayam ke dapur, dan akan kumasak. Baru saja hendak memotong bayam, Mas Rafa menghampiriku.

"Kamu cuma beli bayam, buat kamu sendiri aja?" tanya suamiku, nada suaranya terdengar sedikit kesal. Sepertinya, tadi mertuaku mengadu pada an ak sulungnya ini.

"Ya, ini cuma buat aku. Kalau Mas mau makan yang enak, silakan belanja sendiri," jawabku dengan tenang.

"Heh, gen dut, selama ini aku selalu memberikan u ang gajiku padamu. Seharusnya, kamu bisa beli bahan masakan yang enak! Ini malah makanan gem bel yang dibeli," ucap Mas Rafa dengan nada penuh emosi.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, "Mas, aku kan nggak pernah memakai u ang kamu sedikit pun sejak awal menikah. Gaji kamu itu cuma numpang doang di dompetku, karena selalu diminta oleh ibu dan adikmu. Mas kan tahu sendiri."

"Ya, tapi kan kamu harusnya bisa mengelola keua ngan keluarga dengan baik. Jangan pelit sama keluarga sendiri," Mas Rafa malah mengajak berdebat.

"Aku nggak pelit, Mas. Gaji dari kamu itu selalu diminta oleh mereka, dan Mas juga tahu itu. Kalau Mas nggak s**a, ya kasih saja u angnya ke Sinta, biar dia yang mengelola," kataku, sedikit kesal.

"Ya sudah, terserah kamu. Tapi, jangan harap kamu bisa seenaknya menggunakan u angku!" Ucapnya dengan penuh amarah.

Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tahu, tidak akan pernah ada gunanya berdebat dengan suamiku. Dia selalu egois dan tidak adil, karena memihak keluarganya sendiri.

Tak lama kemudian, Sinta datang dengan wajah sumringah. "Mas, hari ini gajian, ya? Aku mau belanja ke supermarket, beli daging!"

Mas Rafa mengangguk, lalu menyerahkan dompetnya kepada Sinta. "Nih, kamu saja yang pegang u angnya. Aku nggak percaya sama si gen dut!"

Sinta langsung berbinar-binar, lalu mengajak Bu Ratna untuk ikut berbelanja. Mereka berdua pun pergi, diantar oleh Mas Rafa.

Tak lama kemudian, Rani menghampiriku dengan wajah merah padam.

"Mbak, kenapa nggak jemur baju aku semalam? Bau apek semua!" teriaknya.

"Baju kamu banyak banget, Rani. Aku mana kuat ngurusin semuanya. Lagian, aku juga harus ngurus Nabila," jawabku santai.

"Halah, sok sibuk! Mbak itu kan cuma numpang di sini, harusnya ...."

***

Judul : CANTIK DAN KAYA SETELAH MENJANDA
Penulis : RIRIN ASTRIYANI LTF
Platform : KBM APP

Isi Amplop Lima RibuBab 5Kbm Langit_cerahMalam hari aku membuka plastik berisi makanan untuk anak-anakku, makanan terseb...
27/10/2025

Isi Amplop Lima Ribu
Bab 5
Kbm Langit_cerah

Malam hari aku membuka plastik berisi makanan untuk anak-anakku, makanan tersebut aku ambil dari tempat hajatan Pak Ihsan, bukan mengambil lebih tepatnya jatah makanku tadi aku mas**an ke plastik untuk anak-anakku makan malam, mengingat di rumah belum ada makanan apapun.

"Yeay makan ayam lagi!" terdengar sorak Juna karena bahagia mereka kembali makan enak, aku melihat senyum mengembang dari anak-anakku ikut merasakan perih, bagaimana tidak? Mereka tersenyum lebar bukan ingin mainan mahal seperti anak lainnya, melainkan hanya bisa merasakan makan enak, itu semua sudah cukup membuat anak-anakku tersenyum lebar.

"Ibu tidak makan?" tanya Gita padaku, karena sedari tadi aku hanya melihat mereka makan saja tanpa menyentuh maupun menyicipi.

"Tidak Ibu masih kenyang, tadi di rumah Pak Ihsan sudah makan banyak, kalian makan saja ya!" Gita hanya mengangguk kemudian kembali meneruskan makannya, bersama Juna dan Mira.

Aku tersenyum lirih sambil menahan perut yang sedari tadi terus keroncongan, tentu saja aku berdusta pada Gita, dari undangan aku tidak makan sama sekali, bahkan jatah makanku saja aku bungkus demi anak-anakku.

Seorang Ibu akan menahan rasa sakit asal anak-anaknya bahagia, apalagi ini hanya menahan lapar saja, aku sanggup melakukannya.

Asalkan aku tidak mendengar kembali mereka menangis karena kelaparan, biarlah aku yang merasakan semua itu.

Setelah selesai makan tidak lama anak-anakku tertidur mungkin karena faktor kekenyangan hingga berakhir mata mengantuk.

Aku melihat di piring ada sisa sedikit nasi serta beberapa potong sayu, melihat itu aku langsung saja menyuapi ke dalam mulutku, nasi dan sayur itu hanya cukup satu sendok suap saja.

'Alhamdulillah, paling tidak satu sendok ini cukup untukku bertahan untuk besok. Semoga saja suamiku segera p**ang, kalau tidak besok kami akan makan apa?' Aku bergumam memikirkan besok seandainya suaminya masih belum kembali p**ang ke rumah.

~

Besok paginya anak-anak sudah bangun dari tidur, Mira dan Juna mulai kembali merengek meminta makan, sedangkan Gita hanya diam saja karena mungkin anak sulungku tahu kondisiku sekarang.

"Sabar ya nak, semoga sebentar lagi Ayah p**ang!" Aku berusaha menghibur mereka.

"Bu, aku mau pergi dulu ya!" Tiba-tiba Gita meminta izin untuk pergi.

"Mau kemana? Lebih baik diam saja disini, nanti ada anak-anak nakal." Aku melarang Gita keluar dari rumah, karena anak-anakku selalu saja menjadi korban bully di kampungku, tentu saja perasaan Ibu akan merasakan sakit yang luar biasa melihat anak-anak dihina hanya karena kami tidak memiliki apapun.

"Sebentar Bu, aku mau ke sawah mencari kangkung liar dan aku jual, siapa tahu bisa buat beli makanan adik-adik aku, sambil nunggu Ayah p**ang." Mendengar itu air mata menetes begitu saja, anak sekecil itu bisa berpikir dewasa, dengan perasaan berat hati akhirnya aku mengizinkan Gita pergi.

Langkah kaki kecilnya pergi meninggalkan rumah sedangkan aku harus menjaga dua anakku yang masih belum bisa terlepas dari jangkauanku.

~

Gita setengah berlari menuju sawah, kedua mata kecilnya nampak serius mencari kangkung yang tumbuh liar, bukan hanya kangkung akan tetapi juga genjer, dari matahari terbit hangat kini matahari sudah terbit terik, keringat mulai membasahi tubuh mungil tersebut.

'Sepertinya kangkung dan genjer ini sudah cukup aku jual, yang penting adik-adikku bisa makan.' Gita langsung saja pergi meninggalkan sawah dengan membawa sayuran yang tumbuh liar cukup banyak, tangan kecilnya nampak kepayahan membawa sayuran tersebut, akan tetapi dengan tekad yang kuat kesulitan tersebut berubah menjadi bisa.

Aku dan juga Juna serta Mira tidak tega membiarkan Gita sendirian, akhirnya memutuskan untuk menyusul Gita.

"Ya Allah, nak sini biar Ibu saja yang bawa!" Aku melihat Gita membawa sayuran banyak segera saja mengambil sayuran tersebut.

"Ibu kenapa ada disini?" tanya Gita terlihat sekali ia nampak terkejut melihatku ada disana.

"Ibu khawatir sama kamu, ya sudah yu kita jual sayur ini sambil arah p**ang, biar Ibu saja yang bawa sayuran kamu tuntun adik-adikmu." ucapku, Gita hanya mengangguk saja.

"Kangkung!" teriakku mendagangkan kangkung dan juga genjer, semua orang di kampung melihatku dengan tatapan sinis, aku bisa merasakan tatapan mereka.

Entah apa salahku, hingga mereka membenciku padahal menjadi miskin bukanlah keinginanku.

Saat aku dan ketiga anakku berjalan tiba-tiba saja aku berpas-pasan dengan Bu Dian dan juga Bu Vina, "Eh ada Bu Rita, sekarang jualan kangkung ya untuk makan? Kemarin ke undangan isi amplop cuma lima ribu, sekarang jualan kangkung. Pasti untuk anak-anaknya makan ya? Makanya Bu, kalau miskin itu jangan punya anak banyak-banyak!"

Deeeghhh...

Address

Jalan Nasional
Probolinggo

Telephone

+13102851000

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Azzahra Rishi posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Azzahra Rishi:

Share