Azzahra Rishi

Azzahra Rishi Novel Indo
Drama Indo

Pilu, Wanita Hamil T3w4s Terseret Banjir Saat Berboncengan Sepeda Motor dengan Suami. 😭
10/09/2025

Pilu, Wanita Hamil T3w4s Terseret Banjir Saat Berboncengan Sepeda Motor dengan Suami. 😭

Rumah tanggaku hancur karena suamiku dan sahabatnya yang matre. Dia yang mengincar harta mertuaku harus menerima kenyata...
10/09/2025

Rumah tanggaku hancur karena suamiku dan sahabatnya yang matre. Dia yang mengincar harta mertuaku harus menerima kenyataan bahwa seluruh harta sudah kuasai. Bagaimana reaksinya setelah tahu bahwa laki-laki yang diembatnya adalah gembel?

Part #3

Cklek.
Pintu tertutup. Tapi suara itu tak menyegel l v k a , tak meredam a p i, tak memutus jerat yang membelit dada.

Anisa berdiri beberapa detik di luar ruangan Musa, membeku.

Para karyawan lalu-lalang tak melihat air mata yang mulai berderai di pipinya, karena wajahnya menunduk, jilbabnya menjuntai menutupi ekspresi remuk redam yang tak sanggup lagi ia sembunyikan. Tubuhnya limbung. Perutnya terasa berat bukan karena keh a m a m i l a n, tapi karena beban batin yang tak sanggup ditanggung oleh manusia manapun yang masih punya hati. Punya nurani dan punya iman.

Anisa mencari tempat untuk berlindung, bukan dari orang, tapi dari kenyataan. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri.
Lorong kecil di dekat toilet perempuan yang sunyi. Sudut yang tak dilewati siapa pun.

Di sanalah Anisa akhirnya j a t v h, r u n t u h.
Tak anggun. Tak terhormat.
Ia merosot hingga duduk di lantai, lalu perlahan tubuhnya meringkuk, kedua tangan memeluk lutut, sedikit kesulitan karena perutnya yang sudah sedikit membuncit, Anisa menangis seperti an4k kecil yang mencari pelukan ibu.

“Ya Allah…”
Isak Anisa keluar seperti hembusan doa yang hancur.
“Aku… kenapa begini…? An4kku... Bagaimana dengan an4kku, ya Allah!"

Tangis Anisa meledak. Tak bisa ditahan lagi.

Tadi ia kuat karena harus! Karena Atika dan Ryan melihat. Karena Musa dan perempuan l 4 k n 4 t itu tidak boleh melihat betapa hancurnya dirinya.

Tapi sekarang?
Kini, ia bisa luruh.
Kini, ia bisa mati sejenak dalam tangis dan derita yang tak bisa dijelaskan.

“Aku tidak hanya kehilangan suami…” bisik Anisa, parau.
“Aku kehilangan akal sehatku… harga diriku… kehormatanku... Dan an4kku... An4kku akan berbeda dengan saudaranya, Ya Allah."

Tangan Anisa terulur ke perutnya sendiri.
Mengelus pelan, lalu memeluk.
“An4k ini… an4k ini… ya Allah, an4k ini...”

Isakan Anisa berubah menjadi teriakan tertahan.
Tangan kirinya menc 3 n g k r 4 ram lantai. Kuku-kukunya menggores keramik, seolah ingin mengoyak sesuatu, siapa saja. Dinding. Lantai. Tuhan.

“Dia... dia s3ntuh aku... padahal dia sudah murt4d!”
suara Anisa memecah ruang sempit itu, menggema lirih seperti d0a yang ditolak.

“Dia tetap tidur denganku... mencv m bv ku, padahal aku bukan istrinya lagi! Dia tahu! Dia tahu pernikahan kami sudah rusak! Sudah FASAKH!”

Kata itu, fasak! Mem b a k4r lidahnya, men u s v k jantungnya.

Pernikahan mereka secara hukum agama sudah batal. Sudah tidak sah. Sudah menjadi asing. Dan Musa tahu itu.

Tapi Musa tetap meny 3 n tuhnya. Tetap mencv m b vnya. Tetap men 1 d u r 1 nya. Tetap... membuatnya h4mil.

“Br3ngs3k!!”
Jerit Anisa menggema di antara dinding, lalu tertelan kesunyian.

“Kau bukan cuma pengkhi4nat iman... kau perampas kemuliaan!”

Anisa membenturkan kepalanya pelan ke lututnya sendiri.
Tangisnya berubah jadi napas tercekat, dada terc 3 k i k oleh kebenaran yang tak sanggup ia terima.

Anisa memeluk perutnya lebih erat, seolah j4n i n itu bisa mendengar.
“Nak… maafin Bunda…” suara Anisa patah.
“Kau suci… kau tak tahu apa-apa… Tapi aku... aku melahirkanmu dari hubungan yang… ya Allah…”

Tangis Anisa pecah lagi.
“Aku bahkan tidak tahu harus manggil diriku apa sekarang… Ibu? Janda tanpa Talak? K0rban? Atau pend0sa?”

Anisa merangkak sedikit ke dinding, bersandar. Memandang kosong ke langit-langit.
“Kalau pernikahan kami fasakh... berarti… aku telah dizin4hi? Tapi aku gak tahu... aku gak tahu, ya Allah… aku gak tahu!”

Tangan Anisa mencengkeram jilbabnya, ingin melepaskannya, ingin menutup wajah, ingin lenyap.

"An4kku... an4k di luar nikah! An4kku ya Allah... an4kku... tak bernasab padanya, Dia... dia.... " Anisa bahkan tak sanggup melanjutkan racauannya. Tak sanggup menyebut an4knya sebagai an4k haram.

Dendam mulai tumbuh.
Dendam pada Musa.
Dendam pada Anyelir.
Dendam pada dirinya sendiri yang begitu mudah percaya.
Dendam pada cinta yang selama ini dibanggakan sebagai kekuatan, ternyata hanya jebakan.

“Dia tenang... hidup nyaman... sedang aku... h4ncur.”
Napas Anisa semakin tidak teratur. Air mata terus menetes.
“Dia punya wanita barunya... bahkan Tuhan barunya… sementara aku cuma punya an4k-an4k dan rasa jij1k pada t v b v h sendiri. Tidak! Aku tidak akan tinggal dia! Aku akan melakukan apapun yang aku bisa, lihat saja kalian berdua! Akan ku buat kalian berdua sisa ampasnya!" ucap Anisa.

Fasakh! Ternyata Aku Janda
MrsFree
Selengkapnya di K--B--M

Part #2Hening terpecah oleh tawa kemenangan Anyelir.Anisa tiba-tiba berdiri lalu memutar tubuh perlahan.Langkahnya lebar...
10/09/2025

Part #2

Hening terpecah oleh tawa kemenangan Anyelir.

Anisa tiba-tiba berdiri lalu memutar tubuh perlahan.
Langkahnya lebar, seperti di t r i kk oleh kekuatan yang tak kasat mata dan tak bisa dijelaskan.
Mata yang tadinya berkabut kini meny a l a a. Napasnya mem b u r u u. Dada Anisa naik turun.

“Musa!" teriak Anisa. Selaras dengan bola matanya yang kini menyala-nyala. Tak ada lagi panggilan penghormatan, lewat sebut Mas.

Dan Musa, Laki-laki itu masih diam. Memb e k u, dia tidak siap men u a i badai yang ia tabur. Pandangannya tak jelas. Seolah ia sendiri tidak mampu berdiri di tengah reruntuhan yang ia ciptakan.

Anisa menghampirinya, tubuhnya menggigil namun langkahnya mantap.
Dengan satu gerakan cepat, ia men c e n g k 3 r a m kerah baju Musa.

“Sejak kapan!?” suara Anisa meledak.
Mata mereka bertemu.
“Sejak kapan kamu m u r t 4 d !?” teriak Anisa.

Musa menahan napas. Tapi bibirnya tetap terbuka, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Katakan! Katakan padaku, Br3 n g s 3 k! Sejak kapan kaum mur t4d d, Musa! Sejak kapan!" Anisa menjerit, perempuan itu akhirnya lost control. Menggoncang-goncang tubuh besar Musa sekuat tenaga seperti orang kes e t a n a n.

"Sejak kapan brengsek!" teriak Anisa lagi.

Dan dari Musa satu kalimat meluncur pelan, tapi seperti r a c c u n bagi Anisa. Mampu mem b u n v h seluruh sel yang ada dalam tubuh Anisa termasuk otaknya.

“Setahun yang lalu.”

BRAK!

Tubuh Musa ter h3 m p a s ke lantai, cukup keras. Tak siap. Tak melawan, Musa tak berkutik. Anisa mend 0 r 0 ngnya dengan tenaga yang lahir dari a m 4 r a h, dari l v k a, dari keh 4 n c v r an yang tak bisa lagi ditampung oleh tubuhnya yang rapuh.

“Satu tahun!? Satu TAHUN!?” Jeritan Anisa mengguncang ruangan itu.

Air mata akhirnya jatuh. Tapi tak menenangkan. Jeritannya mewakili luka dan derita yang sudah tak bisa dibungkam.
Anisa memeluk perutnya lagi, kali ini sambil terisak. Tak terhormat. Tak lagi tenang.

“Jadi… selama ini, kamu meny 3 n t v h ku-me n 1 d u r 1 aku-”
Anisa tersedak oleh kata-katanya sendiri. Dia men3nd4ng perut Musa cukup keras hingga berkali-kali. Hingga laki-laki itu meng3r4ng kes 4 k 1 t 4 n.
“...padahal pernikahan kita sudah rusak. Sudah FASAKH!”

Anisa mundur selangkah, lalu terhuyung. Tak ada yang memeganginya. Tak ada yang menenangkan.
Anyelir masih berdiri di sudut ruangan, memandang dengan angkuh. Dalam hati bersorak gembira penuh kemenangan.
Dan Musa… Musa kini terduduk di lantai. Masih bisu. Tak ada penyesalan yang tampak. Hanya kekosongan yang menj i j1 k k a n dalam tatapan Anisa.

“Kamu b****, Musa!**” teriak Anisa.
“Kamu bukan cuma Mv'rtad! Kamu pengkhi4n4t! Kamu perampas harga diri! Kamu penindas dalam diam!”

Anisa menepuk dadanya sendiri, napasnya pendek-pendek, seolah paru-parunya tak cukup menampung sesak yang menusuk.

“Aku masih bersu jvd, dalam doaku untuk kamu! Masih berd0a agar kamu diberi rezeki! Agar kamu diberi kekuatan memimpin keluarga!”
Tangis Anisa pecah, mengguncang.
“Ternyata kamu sudah sujud ke arah lain! Ke T U H 4 N yang berbeda! Dan kamu tidak bilang! Kamu tetap menyentuhku! Tetap mem3 l u k ku! Bahkan kamu masih pura-pura shalat dan menjadi imamku!"

Tangan Anisa mengepal.
“Aku ini istrimu di mata siapa, Musa? Kalau Tvhanmu bahkan tak mengakuiku?”

Musa mengangkat wajahnya. Tapi tidak menjawab.
Suaranya hilang, dan mungkin memang pantas begitu.

Anisa menunduk, terisak lagi.
“Dan aku b0doh...” bisik Anisa.
“Aku merasa sakit karena kamu mencintai orang lain. Tapi ternyata kamu bahkan sudah tidak mencintai Tuhanku. Kamu tinggalkan semua...”

Anisa menoleh ke arah Anyelir, matanya merah.

“Dan kamu bangga!? Kamu bangga sudah membuat seorang hamba berpindah keyakinan hanya untuk bisa menc 1 v m b1birmu tanpa rasa dosa!?” dinginnya suara Anisa membuat Musa bergidik ngeri. Tapi tidak dengan Anyelir, perempuan tak tahu malu dan tebal muka justru merasa bangga.

Anyelir mengangkat dagu. “Dia memilih. Aku tidak m a k sva. Mungkin karena... kamu memang nggak cukup.”
Kalimat itu seperti belati yang menghunjam jantung.

Anisa menggeleng cepat. Menahan isakan. "Kau bilang apa? Kau bilang apa perempuan murahan?" ucap Anisa geram.

Kali ini seperti orang kesetanan Anisa menj4m b4k rambut bergelombang Anyelir hingga perempuan itu mend**gak dan menj e r it kes 4 k i t4n.

“Bukan! Aku bukan tidak cukup! Kalian berdua yang rakus dan dangkal.” ucap Anisa lalu mengh3mpas pegangannya pada r4mbut Anyelir hingga perempuan itu terhuyung, sintalnya menabrak lemari berkas yang ada di belakangnya.

"Arggh! Kau g1la, Anisa!" jeritnya melengking

Anisa mengabaikan j e r it4n Anyelir, di menoleh ke arah Musa, menatapnya dengan garang.

“Dan kamu... kamu bukan pria yang menikahiku dulu. Kamu bukan ayah dari an4k-an4kku lagi. Kamu m4yat hidup yang mengorbankan semuanya, bahkan Tvhanmu demi pelukan perempuan yang bahkan tak mengerti apa itu rasa malu.”

Tubuh Anisa bergetar hebat. Tapi kali ini bukan karena marah, melainkan karena kekosongan yang merayap naik dari perut ke dada.

“An4k ini...” ia menatap perutnya sendiri, lalu kembali menatap Musa.
“...tidak akan mengenalmu sebagai ayah. Karena kamu tidak pantas dipanggil begitu.”

Anisa berdiri, tegak, meski gemetar.
Air matanya mengalir, tapi wajahnya tetap mengeras.

Langkah kakinya menggema saat ia berjalan ke arah pintu.
Saat tangannya menyentuh gagang, ia berhenti sejenak.

Lalu, tanpa menoleh, ia berkata pelan,
“Kamu kehilangan lebih dari seorang istri, Musa. Kamu sudah membuat dirimu kehilangan an4k-an4k bahkan orang tuamu. Kamu kehilangan jiw4mu.”

"Kalau mau pergi, pergi saja! Jika dalam ag4mamu mengatakan bahwa Musa bukan lagi suamimu, maka sihlahkan kau angkat kaki dari rumahnya. Tak perlu berdrama!" sela anyelir pongah.

Dan sungguh di luar dugaan satu kata yang diucapkan oleh Anisa membuat dunia Anyelir terasa menggelap seketika.

"Rumah itu, rumah mertuaku! Dan putr4ku sejak setahun lalu adalah pewaris utama dari konglomerat Rahmad Sujiwa setelah ay4hnya murt4d! Karena seorang mvslim tidak bisa mewarisi hartanya pada non mvslim sekalipun itu adalah putr4nya sendiri! Jika ada yang harus angkat kaki dari rumah bahkan dari kantor ini, maka itu adalah Musa, kekasih gelapmu!"

Fasakh! Ternyata Aku Janda
Penulis MrsFree
Selengkapnya sudah Tamat di KBM

istriku memergoki aku sedang bercvmbv' dengan sahabatku di kantor reaksinya sungguh di luar dugaan. Dia....Part #1Langka...
10/09/2025

istriku memergoki aku sedang bercvmbv' dengan sahabatku di kantor reaksinya sungguh di luar dugaan.
Dia....

Part #1

Langkah kaki Anisa mantap. Sepasang sepatu flat yang dipakainya nyaris tak berbunyi di lantai marmer putih yang berkilau. Meski perutnya sudah me m b u n c i t karena ke h 4 m i l a n nya sudah masuk empat bulan, ia tetap tampil anggun dan sigap. Di satu tangannya, ia menenteng tas berisi ponsel Musa, suaminya. Di tangan lain, ia menuntun dua buah hatinya dengan kelembutan dan kekuatan seorang ibu yang tak pernah gentar menghadapi dunia.

Mereka sampai di depan ruangan Musa.

Tanpa ragu. Tanpa curiga.
Tanpa tahu dunia akan r u ntu t u h seketika.

Cklek.

Pintu terbuka.

Dan seperti suara k e c i l pintu itu menggelegar di kepala Anisa, meng h a n t a m jantungnya, mel u mpl p u h kan sendi-sendi tubuhnya. Suara tawa pelan. D3 s a h nafas pelan tapi memburu. B1bir yang bertaut. Le n g a n laki-laki yang mem e l UK pinggang ramping perempuan bersetelan rok m i n i dan kemeja satin ketat warna burgundy. Rambut bergelombang perempuan itu menjuntai ke bahu Musa. Tangannya mencengkeram kerah suami Anisa dengan g 4 i r a h. Buahnya sama-sama tampak m3m b a r a dan meng g 3 l 0 r a.

“Mas Musa?”
Suara Anisa keluar seperti bisikan. Tapi bagi Musa dan Anyelir, seolah tembok kaca di ruangan itu m e l e d a k dalam satu l e d akan sunyi.

Anisa tak bert e r i a k. Tak menangis.
Yang ia lakukan hanya menggenggam tangan Atika dan Ryan lebih e r a t. E r a t sekali.

“Atika, Ryan, main dulu di playground ya. Ingat kan, tempat yang Ayah buat di ujung koridor?”
Suara Anisa datar, lembut. Tapi, ada gemetar di ujungnya.
Kedua anak itu, tak mengerti apa yang terjadi, menurut. Ryan sempat menoleh. Atika bertanya, “Bunda kenapa?”

Anisa memaksakan senyum. “Bunda cuma mau bicara dengan Ayah.”

Begitu pintu tertutup kembali. Anisa menatap Musa dan Anyelir dengan kepala tegak.

Hening.
Anyelir merapikan rambutnya tanpa merasa bersalah. Musa tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya menatap Anisa, kaku dan tak berny a w a, seperti patung batu yang lupa caranya jadi manusia.

“Sudah selesai?" pertanyaan Anisa keluar begitu saja, bagai embun yang membeku. Tapi bukan dingin yang terasa, melainkan b a r a.
“Sudah puas b e r c u m b u di balik meja kerja yang kita beli bersama, Mas? Atau kalian butuh waktu lagi untuk melanjutkan?” tanya Anisa lagi.

“Anisa-”

“Jangan,” potong Anisa pelan. “Jangan bicara dulu sebelum kau bersihkan m u lu t mu. Aku masih bisa c 1 u m bau lipstick perempuan lain dari kerah baju dan b 1 b i r mu.” tambah Anisa.

Anyelir menyilangkan tangan di d 4 d a, berdiri santai. Senyumnya mencibir. Mata indahnya penuh tantangan. Tak tahu malu dan tak merasa bersalah sedikitpun.
“Kalau mau marah, marah saja. Kalau mau cuma mengintip silahkan pulang!"

"Aku mengantar ponselmu, Mas. Dan ternyata aku dapat kejutan!" ucap Anisa dingin.

"Bagus! Sudah selesai kan? Silakan pulang!" bukan suara Musa tapi suara Anyelir yang kembali bicara layaknya seorang majikan pada pembantunya.

"Aku justru bertanya pada kalian, kalian sudah selesai apa belum? Jika belum silakan dilanjutkan aku akan menonton kalian hingga selesai! Jika sudah, mari kita bicara!" tegas Anisa, dia memang terkejut tapi tidak 100% karena dia sudah mencurigai Musa punya A f f a i r dengan perempuan lain terutama Anyelir dalam beberapa bulan terakhir. Sikap Musa berubah, Musa-nya sudah berbeda. Dan Anisa bukan perempuan bodoh yang akan diam saja tanpa antisipasi apapun.

Anyelir? Dia terkejut dengan kata-kata Anisa, Anyelir pikir Anisa akan menjerit layaknya istri pada umumnya, meng 4 m u k seperti perempuan-perempuan kebanyakan ketika mengetahui suaminya selingkuh. Tapi kenapa Anisa, si perempuan yang Anyelir juluki perempuan kampung dan udik itu tampak tenang. Kini justru Anyelir yang tampak emosional.

"Kami belum selesai dan aku minta kau keluar dari ruangan ini-"

"Anye, cukup!" tegus Musa, dia speechless dalam waktu yang cukup lama. Karena tak menyangka Anisa akan setenang itu. Prediksinya salah, ternyata dia tidak mengenal Anisa 100% sekalipun sudah bersama hampir 10 tahun.

Anisa menatap Anyelir. Lama. Selalu beralih pada Musa.
“Perempuan macam kamu, Anyelir! Kau seharusnya malu. Dan aku heran padamu, Mas! Kenapa kau menyukai perempuan m u r 4 h a n dan tak tahu malu seperti dia, sudah punya berlian di rumah masih juga menelan batu kerikil!”

Dan kata-kata tajam Anisa memicu ledakan berikutnya.

“Malu? Batu krikil?” Anyelir melangkah maju.

“Harusnya kau yang malu, harusnya aku yang m 4 r a h. Kamu yang masuk ke hidup kami dan merusaknya. Musa dan aku sudah bersama bahkan sebelum kamu muncul, Nyonya yang s**a tampil alim tapi penuh drama.” ucap Anyelir sambil berdecih.

Anisa mengerutkan dahi. Napasnya tercekat.

“Bersama? Kalian-”

“Kami sepasang kekasih, perempuan kampung!" Anyelir menoleh ke arah Musa, yang kembali diam.
“Kami hampir menikah dulu. Tapi hubungan kami renggang... karena hal-hal sepele. Karena cara kami berd0a beda.”

Anisa mematung. Tidak, jantungnya berdetak kencang, terlalu cepat.
Kepalanya berputar.
Tubuhnya lemas tak bertulang, dia mencoba bertahan sekuat tenaga agar tidak jatuh pingsan.

“Jadi... aku orang ketiga?” gumam Anisa. Dia benar-benar kembali dibuat syok oleh Anyelir bahkan juga Musa.
Anyelir makin mendekat, langkahnya ringan, suaranya pelan, tapi menghantam.

“Kamu cuma kebetulan datang pas kami berada dalam persimpangan. Kamu pikir, karena kamu pasangan s a h, kalau bisa memilikinya? S3 u t u h nya? Kamu cuma... pengalih l u k a, pem u 4 s n 4 f s u, perempuan kampung! Ingat kamu hanya pengalih l u k a, pem u 4 s n 4 f s u ketika kami berada dalam persimpangan dan dia butuh pe l 3 p 4 s 4 n!” ucap Anyelir penuh penekanan.

"Anye-"

"Diam kamu Musa! Biarkan aku bicara, setelah hampir tahun main kucing-kucingan dengan perempuan kampung ini! Sudah cukup!" potong Anyelir tegas, membuat Musa diam seketika.

Dan dunia Anisa runtuh untuk kedua kalinya. Hampir sepuluh tahun dia di khianati dan dia baru menyadari beberapa bulan terakhir ini.

Tangan Anisa meraba perutnya. J a n i n kecil itu bergerak pelan. Seolah tahu ibunya sedang tersayat.

“Dan sekarang,” Anyelir melanjutkan, dengan senyum penuh kemenangan, “hubungan kami sudah tak berbeda lagi, Anisa. Cara berd0a kami... sudah sama.”

Deg.

Anisa menoleh cepat pada Musa.
“Kamu...?”

Ia berharap meski hanya setitik, bahwa yang dimaksud adalah Anyelir masuk ke a g 4 m a mereka. Anisa sadar dampaknya akan sangat menyakitkan baginya, karena ia yakin Anyelir akan masuk ke dalam rumah tangganya untuk menjadi orang ke t i g 4 alias istri muda Musa. Bahwa masih ada sedikit jejak Musa yang dulu ia kenal. Musa yang mengi m 4 m i sh a l a t di rumah. Musa yang menangis saat anak pertama mereka lahir.

"Mas?" lirih Anisa, suaranya bergetar karena yakin dunianya takkan lagi sama.

Tapi jawaban itu datang dalam bentuk bisu. Musa menunduk. Tak menyangkal. Tak mengonfirmasi. Dan justru itu jawaban yang paling menyakitkan.

“Kamu yang pi n d a h a g 4 m a...?" tebak Anisa dengan suara bergetar pada Anyelir.

“Kaget, ya? Kamu pikir cuma kamu yang bisa jadi pusat dunia Musa? Ternyata enggak. Ternyata dia lebih milih T u h a n yang aku s 3 m b a h.” Anyelir menyela dengan nada puas.

Anisa merasa tanah di bawahnya runtuh.
Bumi tak lagi berputar.
Langit merobek dirinya sendiri.
Dunia kehilangan porosnya.
Anisa seperti tertarik dalam pusaran g e l a p hingga membuat matanya berkunang-kunang. Perempuan yang sedang h4 m i l itu mengerjapkan mata berkali-kali. Fasakh! Pernikahannya dengan Musa sudah Fasakh demi a g a m a karena Musa R i d d a h atau M u r t 4d. Tapi, sejak kapan Musa R i d d a h? Sejak kapan? Bukankah tadi malam mereka masih m3 n c v m b u nya? Musa masih meny3 n t uh nya?

Anisa mundur beberapa langkah, dia berpegangan pada pada sofa agar tubuhnya tidak ambruk.

Beberapa detik kemudian Anisa kembali mundur satu langkah, ketika ia menyadari satu hal. Dadanya sesak. Tapi air mata tak mau keluar. Mungkin terlalu kering. Mungkin terlalu hancur.

“Mas Musa...”
Anisa panggil suaminya, untuk terakhir kalinya dengan suara seperti itu.

Musa menatapnya. Tapi tak bergerak. Tak meny 3 n t u h. Tak mengucap maaf. Tak menjelaskan.

Dan saat itu juga, Anisa tahu.
Orang yang ia cintai tidak lagi ada.
Yang berdiri di hadapannya hanyalah cangkang. Seseorang yang dulu pernah ia p 3 l u k, ia doakan, ia perjuangkan. Tapi sekarang... kosong. Mereka tak lagi sama.

Anisa seketika menegakkan tubuhnya, membetulkan jilbabnya. Menegakkan kepala.

“Kalau begitu, tak ada yang perlu dibicarakan lagi,” ucap Anisa pelan. Annisa belum mencerna semuanya dengan sempurna. Ia terlalu sok hingga otaknya sedikit linglung. Sedangkan Anyelir tersenyum p u 4 s melihat wajah Anisa yang pucat pasi.
“Terima kasih untuk segalanya. Untuk kebohongan yang dijahit rapi selama ini. Untuk an4k-an4k yang akan tetap jadi cahaya hidupku. Untuk luka yang mungkin akan lama sembuhnya-”

"Dia milikku, Anisa, milikku." ucap Anyelir, di sertai kekeham renyah, perempuan seksi itu berkata sambil melakukan gerakan sensual memilih rambut ikalnya. "Tidak perlu berdrama!" lanjutnya, Anyelir merasa berada di atas angin.

Anisa melangkah ke arah pintu. Membukanya perlahan.

Lalu menoleh.

Tatapan terakhir.

“Dan terima kasih karena sudah mengingatkan... bahwa i m 4 n tak bisa dipertaruhkan atas nama cinta.”

Cklek.

Pintu hampir tertutup.
Dan suara Anyelir sekali lagi, mengakhiri segalanya.

"Setahun yang lalu, dia sudah berd0a dengan cara yang sama denganku, Anisa. Sebenarnya aku juga cukup terkejut melihatmu hamil karena ternyata dia masih meny3 n t v h mu, menc v m b v mu seakan-akan dia tetap sama seperti 9 tahun yang lalu." ucap Anyelir, lagi-lagi dengan nada penuh kemenangan dan pongah.

Suara Anyelir menggema seperti letupan s 3 n a p a n yang p 3 l u r u nya langsung men 3 m b v s j4ntung Anisa.

Anisa berhenti. Tubuhnya seketika lemah. Bahunya merosot, lututnya bergetar. Tangannya refleks memeluk perutnya, menggenggam erat jan 4 n i n yang belum tahu betapa porak-porandanya dunia tempat ia akan dilahirkan. Anisa jatuh berlutut. Bahunya bergetar tapi air matanya tak keluar.

"B 4 y i k u? A n 4 k di luar nikah?"

Fasakh! Ternyata Aku Janda
Penulis MrsFree
Selengkapnya di KBM

Yanti berteriak seperti keras**an, mencoba menahanku, namun tangannya kulepaskan kasar. Kami bergumul. Tangannya mencaka...
10/09/2025

Yanti berteriak seperti keras**an, mencoba menahanku, namun tangannya kulepaskan kasar. Kami bergumul. Tangannya mencakar, namun tanganku menampar. Dia mencoba menendang, tapi aku lebih dulu mendorongnya hingga tersungkur di tanah dan tepat saat itu, para tetangga mulai berdatangan.
“Dasar pelakor!”

“Gundik kampung berlagak nyonya!”

“Rumah orang diaku-akui, gak punya malu!”

Komentar dan cibiran menggema seperti genderang perang. Yanti menjerit, rambutnya acak-acakan, wajahnya merah padam. Dia menyerang lagi, tapi aku menang. Tanganku lebih dulu. Dia terkapar. Aku berdiri di atasnya.

"Dengarkan aku baik-baik, Gundik sialan! Kau yang kupungut dari jalanan, kau yang sesekali makan dari jerih payahku ternyata menusukku dari belakang!" geramku. "Aku jadi berpikir, diberi makan apa kau oleh orang tuamu? Pendidikan Apa yang kau terima dari ibumu sebagai madrasah pertama anak-anaknya? Kenapa akhlakmu begitu buruk? Kau tak hanya menyedihkan tapi juga menjijikan sebagai manusia!"

"Benar! Dia sahabat tak tahu diri!"

"Pantas saja pura-pura baik pada Angga dan Nabila ternyata ada udang dalam rempeyek."

Kembali para tetangga dan warga yang berkumpul menatap dan mencomooh Yanti dengan nista.

Yanti? Dia wajahnya memerah seperti udang yang tercebur dalam air mendidih. Aku puas! Tapi pengajaranku padanya belum selesai.

Namun, petaka baru datang.

"APA YANG KAU LAKUKAN, HALIMAH?!"

Suara itu, aku tahu. Suara suamiku.

Mas Anggit muncul dari balik kerumunan, matanya merah membara. Dan sebelum aku sempat menjelaskan, tangannya menghantam pipiku. Keras. Membakar.

“Astaghfirullah...” bisik salah satu tetangga.

Nabila menjerit. Angga memelukku erat. Tapi Anggit, lelaki yang pernah aku doakan setiap malam, justru mendorongku sampai jatuh.

"Kau keterlaluan!" bentaknya.

Aku bangkit, tubuhku gemetar. "Akulah istrimu yang sah! Akulah yang membangun rumah ini bersamamu dari nol!"

Dengan dingin, dia menjawab, "Mulai hari ini... kau bukan siapa-siapa. Aku... talak satu!"

Suasana hening. Dunia seolah berhenti.

Yanti tertawa sepuasnya. "Akhirnya!" serunya dengan mata berkaca-kaca karena puas.

Aku terduduk. Napasku tercekat. Tapi aku tidak menangis. Tidak di depan mereka.

Lalu, kalimat selanjutnya menusuk jantungku seperti pisau berkarat.

"Keluar dari rumah ini. Sekarang juga."

Aku menatap Anggit. Dalam. Lalu berdiri perlahan. Dengan tenang, kutatap kerumunan warga mulai berkumpul, kutatap Yanti, dan akhirnya... aku tatap lelaki yang pernah kupuja itu.

"Kalau aku pergi... aku akan pergi bukan sebagai perempuan kalah. Tapi sebagai perempuan yang akan kau tangisi suatu hari nanti."

Dia tertawa mengejek. "Omong kosongmu tak akan mengubah apa-apa, Halimah."

Aku melangkah mendekatinya. Hening. Mataku menusuk seperti bilah pedang.

"Mas Anggit..." bisikku penuh luka, "kau pikir kau sudah menang? Kau pikir menjatuhkan talak dan mengusirku membuatmu j4: n tan? Kau salah besar."

Anggit mendadak terdiam.

Aku menarik napas. Lalu berkata pelan namun menghentak seperti palu godam,

"Aku tahu... semua rahasia kotormu. Dan mulai besok, hidup kalian tidak akan pernah tenang. Aku pastikan... dunia tahu siapa sebenarnya kalian."

Yanti menegang.

Anggit menatapku, terkejut.

Aku tersenyum. Pahit. Tulus. Mematikan.

"Lihat saja... siapa yang akan terusir berikutnya!"

Karma untuk Gundik Suamiku
Penulis MrsFree
Selengkapnya di K---B----M

Asma kenapa, Bu?" Tanya Mas Aryo dengan tatapan lurus.Ibu gelagapan sesaat, lalu kembali memasang wajah angkuh."Kenapa p...
10/09/2025

Asma kenapa, Bu?" Tanya Mas Aryo dengan tatapan lurus.

Ibu gelagapan sesaat, lalu kembali memasang wajah angkuh.

"Kenapa pada diam?" Mas Aryo menatap Vani dan Bapak bergantian.

"Bu ... Ini kenapa lagi?" Ujar Mas Aryo dengan wajah memelas.

"Loh kenapa. Ibu cuma negur dia kok. Kamu ga terima?" Sahut Ibu dengan wajah marah.

"Bu... sudahlah. Bukannya minta maaf kamu itu, malah nyolot terus jadi orang." Bapak bersuara.

"Amit-amit minta maaf. Ibu salah apa!" Balasnya sengit. Bapak menghela napas, lalu pergi dengan tatapan muak.

"Kamu ajarin istrimu itu. Kalau masih mau tinggal disini jangan cuma makan saja bisanya. Nyuci piring saja banyak alasan. Mau jadi Nyonyah dia dirumah ini!" Cerocosnya lalu pergi begitu saja.

Aku pejamkan mata erat-erat, rasanya kaki tak sanggup berpijak.

"Omongan mereka jangan diambil hati," Ujar Mas Aryo tanpa tahu menahu masalah yang sedang terjadi.

"Ck!" Aku mendengkus, menatapnya lurus-lurus. "Ibumu hampir membu--nuh anakku, terlalu lama disini bukan hanya aku yang ma--ti tapi juga anakmu!" Desisku dengan tatapan menyalang.

Mas Aryo tersentak mendengar bentakkanku, Kedua alisnya menaut kencang.

Huh ... betapa dungunya aku selama ini, selalu menerima kegilaan mereka.

"Jangan ngomong sembarangan. Membu-nuh apa yang kamu maksud?"

Aku terkekeh geli, rasanya ingin sekali aku berteriak di telinganya. Tapi sudahlah ... malas, menghabiskan tenagaku saja.

"Ibu ... mungkin hanya emosi. Tidak mungkin dia membu--nuh cucunya sendiri. Kalau ngomong jangan ngawur." balasnya tak terima.

Aku terkekeh lagi, merasa lucu dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.

"Kalau Bapak tak datang, anakmu bisa saja sudah tidak bernyawa saat ini." jawabku, muak. Tubuhku bergetar mengingat kejadian mengerikan itu.

Mas Aryo terdiam, mungkin dia masih belum mengerti tentang yang terjadi. Yah ... Kejadian itu tak terlihat oleh matanya, sampai mulutku berbusah menceritakan yang terjadi, takkan dia percaya.

"Ibu tidak mungkin melakukan hal kasar seperti tadi, jika kamu mau mengerjakan tugas rumah seperti biasa," Mas Aryo masih saja membela keluarganya. Darah panas terasa bergejolak di atas kepala, benar-benar muak mendengar ocehannya.

"Maksudmu menjadi babu seperti biasa. Mengerjakan semua pekerjaan rumah, sampai mencuci semv*k dan dalaman Adik-Adikmu. Sementara mereka cuma ongkang-ongkang kaki, mence--kik ponselnya!" semburku murka. Hati ini menyelekit mengingat perlakuan mereka.

"Belum lagi Ibumu, dia selalu bersikap semena-mena padaku. Dia selalu bertingah jahat, apa yang aku lakukan selalu kurang dan salah. Apa dia lupa? Dia punya dua anak perempuan yang sudah remaja.

Tidak takut, kalau suatu hari anaknya akan menikah. Dan hidup satu atap dengan keluarga suaminya. Lalu di perlakukan buruk sepertiku?" Tanyaku sambil menatap lekat manik coklatnya. Mas Aryo lagi-lagi hanya menghela nafas. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.

"Aku bersumpah, Adik-Adikmu akan mendapat perlakuan yang lebih buruk dariku! Kau tahu sikap mereka padaku, dan lucunya kau hanya diam seolah mendukung kelakuan mereka. Ingat Mas! Karma itu berlaku, dan aku harap itu menimpa Adik-Adikmu. Terutama Vani!" kecamku dengan nafas yang memburu, baru kali ini aku meluapkan segala emosiku.

Mas Aryo memijat pelipisnya, mengusap kepala Rizki sekilas lalu bangkit dari tempatnya. Meninggalkan aku tanpa kata-kata, seperti biasa selalu tak menanggapi ucapanku saat aku mengeluh tentang keluarganya.

Menaruh Rizki dengan hati-hati di atas ranjang, lagi-lagi hati ini mencelos mengingat kejadian mengerikan itu. Air mata mengalir deras, aku begitu cemas dengan keselamatan anakku.

Kembali mengemas pakaian, tak banyak yang aku bawa. Hanya perlengkapan Rizki dan beberapa potong pakaianku saja.

Menggend**g Rizki dengan kain jarik, membawa tas tak terlalu besar di belakang pundak. Tekat sudah bulat, ingin pergi dari rumah yang penuh dengan siksaan ini.

Ruang tamu dan televisi terlihat sepi, saat aku melangkah keluar, samar mendengar suara obrolan yang terdengar dari kamar Vani yang pintunya terbuka setengah.

"Mas Aryo sepertinya marah besar, Bu." terdengar suara Vani. Aku melangkah pelan, mendekatkan tubuh di samping pintu kamarnya. Penasaran, dengan obrolan mereka.

"Halah ... biarin saja. Marah juga tidak akan lama," balas Ibu.

"Kalau si Asma beneran minggat dari rumah, siapa d**g yang cuci bajuku. Belum lagi cucian piring, nyapu ngepel. Iih malas banget!"

Hening ... tak ada jawaban dari Ibu.

"Gimana d**g, Bu. Aku tidak mau ya, di suruh mengerjakan itu semua!" rengek Vani.

"Sudahlah ... mana mungkin si Asma pergi dari sini. Mau di cerai dia sama Masmu!" balas Ibu.

"Tapi sekarang dia resek, Bu. Sudah mulai ngelawan, Mas Aryo juga sejak Rizki lahir jadi kurang tegas sama si Asma." sahut Vani dengan raut jengkel. Dari jauh, aku bisa melihat ekpresi wajahnya yang terlihat benar-benar kesal.

Sepertinya perlawananku membuatnya tidak nyaman.

"Jangan-jangan Mas Aryo sudah mulai cinta sama si Asma." cebik Vani sambil melipat tangan di dadanya.

"Halah ... mana mungkin. Si Asma itu jelek, item. Kamu harus tahu. Masmu menikah dengan Asma itu karna terpaksa, dia itu frustasi di tinggal nikah sama si Fitri anak Pak Lurah."

Hatiku mencelos, mata ini memanas mendengar ucapan Ibu. Aku bukan tak tahu, tapi mengingat itu semua tentu saja membuat hatiku teriris.

Saat Mas Aryo melamarku, aku tahu hanya di jadikan pelampiasan saja. Mas Aryo sakit hati melihat pujaan hatinya lebih memilih laki-laki lain dari pada harus menunggu usaha bengkelnya maju.

Aku yang sejak dulu memang sangat s**a dan mendambanya, tentu saja tidak menyia-nyiakan lamaran itu. Aku menerima dengan s**a cita dan membantu modal usahanya.

Setelah menikah aku kira Mas Aryo sudah benar cinta, tapi ternyata dia hanya memanfaatkan aku dan menjadikan aku sebagai babu dirumah Ibunya.

Aku yang terlanjur sayang hanya bisa pasrah dan menerima. Jika mengingat itu semua, rasanya aku tidak berhenti untuk merutuki kebodohanku sendiri.

"Mbak Asma, lagi ngapain disitu?" Aku terlonjak saat melihat Yanti--Adik Mas Aryo yang kedua tiba-tiba ada di belakangku.

"Kok bawa tas segala, mau kemana?" belum sempat aku menjawab, Yanti sudah mencecar pertanyaan lain.

"Eh ... itu Mbak mau pulang kerumah, Bapak." jawabku sambil memaksakan senyum.

Usia Yanti dua tahun lebih muda dari Vani, meski sikapnya tidak semenyebalkan Vani tapi sifat malas mereka sebelas dua belas tidak berbeda. Selalu mengandalkan aku.

"Beneran mau minggat rupanya!" Vani sudah berdiri di depan pintu kamar, memandang sinis kearahku.

"Pergi saja. Aryo juga tidak akan mencari. Kehilangan istri jelek, tidak berarti apa-apa buat dia!" Ibu ikut menimpali, membuat dada ini langsung bergemuruh mendengarnya.

Andai Rizki tak ada di dalam gend**gan, sudah pasti akanku sumpal mulut busuknya.

"Woy! Vani keluar looo!" suara teriakan perempuan di luar mengusik ketegangan kami, Ibu dan Vani saling lempar pandang terkejut mendengar suara gaduh di luar rumah.

"Bocah ingusan, perempuan ga bener! Keluar lo pelakooooorrrr!!" Teriak suara yang sama.

Yanti yang penasaran langsung beranjak dari tempatnya, begitu pun aku yang menyusulnya dari belakang.

"Mana, si Vani!" Perempuan bertubuh gendut menatap murka kearahku, kedua tangannya berkacak pinggang dengan mata melotot dan nafas yang memburu.

Aku menoleh kebelakang, aku lihat tubuh Vani menggigil bersembunyi di belakang tubuh Ibunya. Sepertinya dia ketakutan

*Ofd.

Aissssshhh makin seruuu. Yuk lanjut baca di KBM APP di jaminnn gemesssss banget.

Penulis : ovi_fadila
Judul : KENA MENTAL

Address

Jalan Nasional
Probolinggo

Telephone

+13102851000

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Azzahra Rishi posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Azzahra Rishi:

Share