17/12/2025
“Bawa Lara dan A***n pulang. Ke rumah Mama,” jelas Zidane. “Di sini, dia sendirian. Pengasuh tidak akan cukup. Dia butuh seseorang yang menjaganya setiap saat. Aku tidak mungkin menjaganya sendiri, kita… kita bukan siapa-siapa lagi.”
Ada jeda yang berat dalam kalimatnya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Bukan karena ia tidak mau. Oh, Tuhan, jika bisa, ia akan berlutut di sisi ranjang Lara, menjaganya sepanjang malam. Tapi rasa bersalah dan penyesalan telah memaksanya untuk menjadi dewasa. Ia harus menghormati Lara. Menghormati batas yang kini terbentang di antara mereka. Menempatkan seorang wanita yang bukan istrinya dalam perawatannya hanya akan menambah lu ka di atas lu ka.
“Aku akan terus mencari Nabila,” lanjut Zidane, matanya berkilat dengan tekad yang dingin dan mematikan. “Aku akan mengerahkan semua yang aku punya. Aku akan membalik setiap batu di negara ini jika perlu. Tapi Lara… dia butuh Mama sekarang.”
Nyonya Maheswara menatap putranya lama. Ia melihat seorang pria yang ha n cur, seorang pria yang dipaksa dewasa oleh rasa sakit yang ia ciptakan sendiri. Ia mengangguk pelan. “Baiklah. Mama akan mengurusnya.”
Saat Nyonya Maheswara kembali masuk ke kamar untuk membujuk Lara, Zidane tetap berdiri di ambang pintu, menjadi penjaga yang tak berani melangkah masuk ke dalam kuil penderitaan yang telah ia bangun.
Ia melihat ibunya berbicara lembut pada Lara, mencoba membangunkannya dari mati suri emosionalnya. Ia melihat Lara yang tidak merespons, hanya terus memeluk A***n lebih erat.
Dan kemudian, ia melihat putranya.
A***n tidak menangis. Ia hanya berbaring diam di pelukan ibunya, wajahnya menghadap ke arah pintu. Matanya yang biasanya penuh percik kecerdasan atau a m arah kekanakan, kini tampak tua. Terlalu tua untuk a na k seusianya. Ia menatap lurus pada Zidane.
Tatapan itu tidak mengandung ketakutan. Tidak juga kebencian. Tatapan itu adalah tatapan seorang hakim kecil yang telah menjatuhkan vonisnya.
Dengan gerakan perlahan, seolah tak ingin mengganggu ibunya, A***n melepaskan diri dari pelukan Lara. Ia turun dari tempat tidur dan berjalan dengan langkah-langkah kecil namun mantap ke arah pintu, ke arah Zidane.
Ia berhenti tepat di depan ayahnya, mend**gak.
“Ini semua gara-gara Anda,” kata bocah itu. Suaranya tidak gemetar. Suaranya datar, dingin, dan penuh dengan kemarahan yang mengerikan. Ia tidak memanggilnya ‘Ayah’ atau ‘Papa’. Ia menggunakan kata ganti yang menciptakan jarak terjauh.
“Bunda jadi seperti ini karena Anda.”
Zidane membeku, setiap kata putranya adalah paku yang men anc ap di hatinya.
“Dulu, saat hanya ada aku dan Bunda, kami bahagia. Lalu Anda datang. Semuanya jadi berantakan.”
A***n menatap ayahnya, matanya yang polos kini menyorotkan kebijaksanaan pa hit yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang anak.
“Semua gara-gara Anda… laki-laki tak dikenal.”
Lara sang Kapten
Penulis MrsFree
Selengkapnya di K-B-Mapp
Mau lanjut? Like dan komentar ya Readers kesayangan