
16/05/2025
Dari balik jendela, aku berdiri diam.Mataku mengikuti punggung Zamira yang melangkah pergi sambil menggend**g Rayyan dan membawa satu tas besar di punggung.
Entah kenapa, ada rasa berat yang menggantung di dadaku.
Padahal bukankah ini yang kuinginkan? Mengusir dia... mengakhiri semua keributan yang dia buat.
"Mas..." suara Jelita terdengar dari belakang, nadanya manja tapi penuh tuntutan. "Mas yakin kan nggak bakal nyesel?"
Aku menghela napas keras.
"Ngapain nyesel?" jawabku ketus. "Perempuan kayak dia... cuma bikin masalah."
Jelita tersenyum kecil, lalu melingkarkan tangannya di lenganku.
"Iya, Mas. Bener. Dia juga udah berani ngelawan. Udah nggak pantas lagi tinggal di rumah ini," bisiknya.
Aku diam. Mataku masih terpaku ke jalanan depan rumah.
Langkah Zamira makin menjauh.
Dia bahkan nggak sekali pun menoleh ke belakang.
"Nah, itu baru kamu Hanan," suara Ibu ikut menyusul dari ruang tengah. Aku menoleh sekilas, melihat beliau berjalan ke arahku dengan tatapan tajam. "Kalau perempuan kayak Zamira dibiarkan di sini, rumah tanggamu bisa hancur.
Syukur sekarang kamu berani ambil keputusan."
Aku mengepalkan tangan.
Berusaha menepis rasa kosong yang diam-diam merayap di hati.
Ibu berdiri di sampingku, melipat tangan di dada. "Udah, Hanan. Biarin aja dia. Mau hidup di jalanan juga bukan urusan kita."
"Iya, Mas. Biar dia ngerasain hidup tanpa kamu," timpal Jelita sambil terkekeh pelan.
Aku mendengus.
"Biar aja," gumamku, meski ada sesuatu di hatiku yang terasa aneh... kayak bolong.
Dalam hati, aku sadar.
Zamira itu berguna. Dia yang beresin rumah, ngurusin semua anak, masak, bersih-bersih.
Dan aku nendang dia cuma karena sedikit pembangkangan?
Tapi gengsiku terlalu tinggi buat narik dia balik. Lagi p**a... dia pasti nggak akan bertahan lama di luar sana. Selain itu ibunya di kampung hanyalah dari keluarga miskin dan bahkan kudengar tak punya rumah alias mengontrak.
"Dia juga nggak punya siapa-siapa di sini," kataku, mencoba meyakinkan diriku sendiri.
"Mau makan apa? Mau tinggal di mana? Paling juga nanti merengek balik."
Ibu tersenyum puas. "Udah, Hanan. Fokus sama keluarga barumu aja."
Aku hanya mengangguk pelan.
Tapi kenapa... saat pintu gerbang tertutup di belakang punggung Zamira, ada suara kecil dalam hatiku yang bergema pelan:
'Kali ini... dia nggak akan balik lagi.'
Aku menggeleng keras, menepis pikiran itu.
Nggak Dia bakal balik. Pasti.
Belum lama Zamira benar-benar pergi dari depan rumah, suasana di dalam sudah mulai berantakan.
"Mas... aku lapar..."
Jelita merengek sambil memegangi perutnya, duduk malas di sofa.
Wajahnya cemberut, memelas. Aku mengusap wajahku kasar.
Baru juga lima menit dia pergi, kok rumah ini udah kayak kapal pecah?
Tiba-tiba, suara tangis bayi pecah dari kamar.
"Aduuuh... itu anakmu nangis, Jel," suara Ibu terdengar dari dapur.
Nada suaranya malas, seolah kesal harus mendengar suara tangisan itu.
Jelita hanya manyun, tidak bergeming dari tempat duduknya.
"Mas, gend**gin dulu lah... aku lapar, capek..."
Aku mendengus keras.
"Kenapa kamu nggak urus sendiri, Jelita?!" bentakku, mulai kesal.
Jelita malah makin cemberut, suaranya manja.
"Biasanya kan yang ngurus Mbak Zamira... aku kan kerja juga capek, Mas. Aku kan butuh istirahat."
Aku baru saja mau membalas, saat Ibu muncul sambil mengibaskan tangan.
"Dengar ya, Ibu nggak mau ikut campur soal bayi itu, ya!" katanya ketus.
"Udah ada Jelita, kenapa p**a ibu yang harus urus? Dulu Zamira, iya, karena dia tahu diri. Lah ini? Enak aja!"
Aku terdiam, mulutku mengatup rapat.
Tangisan bayi makin keras terdengar dari kamar.
Aku melirik ke arah Jelita, berharap dia bangun dan mengurus anaknya. Tapi dia malah memasang muka kesal dan mengalihkan pandangan.
"Mas... aku lapar, Mas... masakin, ya?" pintanya manja, sama sekali nggak peduli bayi itu makin kencang nangis.
Kepalaku pening. Semua ini jauh dari yang kubayangkan.
Biasanya, kalau aku p**ang, makanan udah siap di meja. Rumah rapi. Anak-anak tenang.
Sekarang?
Bayi nangis. Istri muda ngambek. Ibu juga ogah-ogahan.
Aku memijit pelipis.Dulu semua beres tanpa aku perlu repot.
Dulu ada Zamira.
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membakar.
Sementara suara tangisan bayi makin memekakkan telinga.
Aku merasa seperti berada di tengah badai kecil.
Dengan berat hati, aku melangkah ke dapur.
Kalau nunggu Jelita masak, bisa kelaparan semua orang di rumah ini.
Aku membuka lemari dapur.
Hanya ada beberapa butir telur, sebungkus mie instan, dan beras sisa sedikit.
Aku mendesah.
"Ya sudahlah, yang penting ada yang bisa dimakan..."
Aku mengambil wajan dan bersiap menyalakan kompor.
Tapi begitu kuputar knop gas, tidak ada suara mendesis, apalagi api.
Kompor itu mati total.Aku mengetuk tabung gas. Bunyi blong kosong terdengar jelas.
"Gas habis?" gumamku, kesal.
Belum sempat berpikir harus bagaimana, terdengar suara tik tik dari meteran listrik.
Beberapa detik kemudian, gelap.
Listrik mati.
"Apa-apaan sih ini!!" aku berseru keras.
Jelita dari ruang tamu berteriak, "Mas! Gelap, Mas! Mana anak nangis lagi!"
Aku berjalan cepat ke ruang tamu, menggeram.
"Ibu, token habis!" seruku ke arah dapur.
Ibu hanya mengangkat bahu, wajahnya santai. "Ya isilah sendiri. Ibu mah nggak ngerti beginian."
Aku mengacak-acak rambutku, frustasi.
"Mas... cepetan d**g ... aku laper banget," rengek Jelita, mendekatiku dengan wajah memelas.
Aku menggertakkan gigi.
Masalahnya, uang di dompetku juga tinggal receh.
Kemarin uang habis buat servis mobil yang rusak.
Padahal aku sudah janji servisannya bulan depan. Tapi karena takut kenapa-kenapa, akhirnya aku paksakan juga sekarang.
Aku menghela napas keras.
"Lah, kamu pegang uang, kan?!" tudingku ke Jelita.
Jelita langsung manyun. "Nggak ada, Mas. Gaji aku bulan ini habis buat cicilan online... aku pikir Mas yang nanggung kebutuhan rumah..."
Aku menatapnya dengan mata melotot.
"Nanggung apanya? Zamira yang biasa pegang keuangan. Aku nggak pernah mikirin kebutuhan dapur! Selama ini Zamira yang urus semuanya!" suaraku meninggi, emosiku hampir meledak.
Baru aku sadar...
Selama beberapa bulan ini, aku memang nggak pernah kasih uang bulanan lagi ke Zamira.
Aku pikir, dia pasti cari akal sendiri seperti biasa yaitu kerja sampingan, dagang kecil-kecilan atau apapun itu dan aku nggak peduli.
Ternyata semua itu berdampak sekarang. Rumah ini... beneran kacau tanpa Zamira. Apa aku harus menyusul Zamira dan memintanya kembali?
**
Penasaran dengan lanjutannya?
Selengkapnya di aplikasi KBM
Judul : Balasan Istri Tertindas
Penulis Queensunrise