Ifa.id Network

Ifa.id Network Informasi Faktual dan Amanah
~ Inspiratif dan Edukatif ~
Part of ww.ifa.id https://www.ifa.id/about-us

Di bawah terik matahari siang, sebuah gerobak kecil bergerak perlahan di sepanjang jalan.Bukan karena roda berat, tapi k...
30/10/2025

Di bawah terik matahari siang, sebuah gerobak kecil bergerak perlahan di sepanjang jalan.

Bukan karena roda berat, tapi karena orang di belakangnya harus berjuang dua kali lebih keras untuk mendorongnya.

Dialah bapak penjual cakwe, tubuhnya tidak lagi tegap seperti dulu.

Bahunya miring ke samping, langkahnya goyah, dan setiap kali berjalan, terlihat rasa sakit yang ia tahan dengan senyuman.

Mungkin penyakit membuat tubuhnya melemah, tapi tidak dengan hatinya.

Setiap pagi, ia tetap bangun, menyiapkan adonan cakwe, lalu mulai mendorong gerobaknya keliling kampung.

Dari satu gang ke gang lain, dari panas menyengat hingga hujan deras,
ia tak pernah berhenti.

Semua itu ia lakukan demi keluarganya di rumah.

Meski tubuhnya lemah, ia tahu ada anak dan istri yang menunggu rezeki darinya.

Karena bagi bapak ini, selama ia masih bisa berusaha, itu artinya Tuhan masih memberinya kesempatan untuk berjuang.

Kisah bapak penjual cakwe ini adalah pengingat, bahwa kekuatan bukan hanya soal otot, tapi tentang keteguhan hati dan cinta yang tak mengenal batas fisik.

Tubuhnya mungkin miring, tapi semangatnya tetap berdiri tegak.

Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, sebuah meja kecil berdiri di pinggir trotoar.Di atasnya, tertata rapi kotak be...
30/10/2025

Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, sebuah meja kecil berdiri di pinggir trotoar.

Di atasnya, tertata rapi kotak berisi donat yang masih penuh, sementara di kursi kayu di belakangnya, seorang bapak tampak tertidur pulas.

Wajahnya tampak lelah, tangannya masih menggenggam topi lusuh, dan di sampingnya ada sepeda tuanya yang biasa ia gunakan untuk berkeliling.

Sejak pagi, bapak ini sudah berjualan donat.

Berjalan dari satu tempat ke tempat lain, menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang mau mendengar.

Namun, hingga malam menjelang, donat-donat itu belum juga laku.

Tubuhnya sudah tak kuat lagi, hingga akhirnya ia duduk, menunduk, lalu tertidur di kursi itu di tengah malam yang sepi.

Tapi di balik lelahnya, ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan yaitu keluarga di rumah.

Anak dan istrinya yang menunggu dengan harapan, membuat ia tak pernah berhenti mencoba, meski hasilnya belum seberapa.

Setiap tetes keringatnya adalah bentuk kasih, setiap langkahnya adalah doa tanpa suara.

Mungkin bagi orang lain, bapak ini hanya penjual donat pinggir jalan.

Tapi bagi keluarganya, ia adalah pahlawan yang tak pernah menyerah,
meski dunia seolah menutup mata pada perjuangannya.

Kisahnya mengingatkan kita, bahwa cinta sejati seorang ayah sering kali hadir dalam bentuk yang sederhana.

Seperti donat di meja kecil itu, yang dibuat dengan peluh, doa, dan kasih tanpa batas.

Di sebuah sudut jalan kecil, terdapat warung sederhana beratap seng dan berdinding bambu.Dari dalamnya, aroma nasi liwet...
30/10/2025

Di sebuah sudut jalan kecil, terdapat warung sederhana beratap seng dan berdinding bambu.

Dari dalamnya, aroma nasi liwet hangat tercium samar-samar, namun yang lebih menggetarkan bukanlah aromanya.

Melainkan pemandangan seorang nenek yang sedang bersujud.

Dialah nenek yang sudah berusia 75 tahun, penjual nasi liwet yang setiap hari membuka warung kecilnya sejak pagi buta.

Tubuhnya sudah mulai membungkuk, tangannya bergetar saat menuang nasi,
namun di sela-sela berjualannya, ia tak pernah lupa untuk menunaikan solat.

Seringkali, pembeli datang dan melihatnya tengah berdoa di pojok warungnya,
beralaskan sajadah lusuh, berbicara pelan pada Tuhan dengan air mata yang menetes di pipinya.

Hidupnya tidak mudah.

Setiap hari ia harus berbelanja bahan sendiri, memasak sendiri, dan melayani pembeli dengan tenaga yang tersisa.

Namun tak sekalipun ia mengeluh.

Bagi nenek ini, rezeki bukan hanya soal uang, tapi juga soal kesempatan untuk terus berbuat baik dan bersyukur.

Di usia 75 tahun, ketika seharusnya ia bisa beristirahat, ia masih memilih untuk berdiri karena bagi dirinya, bekerja juga bagian dari ibadah.

Kisah nenek ini mengajarkan, bahwa kekuatan sejati tidak hanya dari tubuh yang sehat, tapi dari hati yang tidak pernah berhenti percaya dan berdoa.

Di tengah kerasnya hidup, nenek ini tetap teguh berdiri bukan karena kuat, tapi karena iman yang menguatkannya.

Di pinggir jalan raya yang padat, di bawah teriknya matahari siang,seorang bapak terlihat terkapar di dekat trotoar.Tubu...
30/10/2025

Di pinggir jalan raya yang padat, di bawah teriknya matahari siang,
seorang bapak terlihat terkapar di dekat trotoar.

Tubuhnya terbaring lemah, kepalanya bersandar pada pinggiran jalan,
napasnya berat, wajahnya pucat, dan di sampingnya terparkir sebuah sepeda tua.

Namanya Pak Ahmad.

Setiap hari, ia mengayuh sepedanya dari Depok hingga Pulo Gadung.

Jarak yang sangat jauh untuk ditempuh, apalagi oleh tubuh renta.

Ia melakukannya bukan untuk hobi, tapi untuk mencari rezeki.

Di saat banyak orang mengeluh karena macet atau pekerjaan, Pak Ahmad justru berjuang dengan sisa tenaga yang ia punya.

Hanya agar bisa membawa sedikit uang untuk keluarganya di rumah.

Namun hari itu, tubuhnya tak lagi kuat.

Perjalanan yang panjang membuatnya kelelahan dan hampir pingsan.

Ia terkapar di pinggir jalan, tak berdaya, menatap langit dengan pasrah.

Sampai akhirnya, ada orang baik yang lewat.

Melihat kondisi Pak Ahmad, ia berhenti, memberinya air minum dan makanan.

Momen sederhana itu menyentuh siapa pun yang melihatnya.

Karena di balik tubuh lelah itu, ada hati yang kuat.

Hati seorang ayah yang tak mau menyerah.

Kisah Pak Ahmad mengajarkan kita, bahwa perjuangan tak selalu tentang tenaga,
tapi tentang cinta dan tanggung jawab yang tak pernah padam.

Kadang Tuhan mengirimkan pertolongan kecil, melalui tangan-tangan baik yang datang di waktu yang tepat.

Sore itu, angin berhembus pelan di sebuah rumah kecil di pinggir desa.Pintu kayu tua berderit setiap kali terbuka, dan d...
30/10/2025

Sore itu, angin berhembus pelan di sebuah rumah kecil di pinggir desa.

Pintu kayu tua berderit setiap kali terbuka, dan di dalamnya, tampak sosok wanita tua duduk sendirian di kursi bambu.

Dialah Emak Raisem, seorang lansia yang kini hidup sebatang kara.

Di usianya yang sudah sangat tua, seharusnya beliau bisa menikmati masa tua bersama anak cucu.

Berbagi tawa, makan bersama, atau sekadar mendengar cerita kecil dari orang tersayang.

Namun kenyataannya berbeda.

Tidak ada suara tawa di rumah itu, tidak ada panggilan “Mak” yang menyapa.

Hanya suara jam dinding dan nyanyian jangkrik yang menemaninya.

Setiap hari, Emak Raisem menjalani hari dengan penuh kesabaran.

Memasak sekadarnya, menyapu halaman kecil, lalu duduk di depan rumah, menatap jalanan yang sunyi.

Sesekali ia tersenyum, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.

Bukan karena ia tidak merasa kesepian, tapi karena ia sudah belajar berdamai dengan takdir.

Bagi Emak Raisem, hidup sendiri bukan alasan untuk berhenti bersyukur.

Ia masih bisa bernafas, masih bisa berdiri, dan itu sudah cukup untuk berterima kasih pada Tuhan.

Kisah Emak Raisem mengajarkan kita.

Bahwa kadang kekuatan sejati tidak selalu datang dari orang lain, tapi dari hati yang ikhlas menerima dan tetap bersyukur.

Ia mungkin hidup sendirian, tapi tidak pernah kehilangan cahaya di dalam jiwanya.

Di pinggir jalan kota yang ramai, terlihat dua sosok kecil duduk di trotoar jalan.Bajunya lusuh, rambutnya acak-acakan, ...
29/10/2025

Di pinggir jalan kota yang ramai, terlihat dua sosok kecil duduk di trotoar jalan.

Bajunya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan kaki mereka telanjang menempel di aspal yang dingin.

Namun di tengah kesederhanaan itu, ada pemandangan yang membuat siapa pun terdiam.

Sang kakak, yang usianya mungkin tak lebih dari sepuluh tahun, dengan penuh kasih menyuapi adiknya yang tampak lebih kecil.

Suapan demi suapan diberikan perlahan, sambil tersenyum lembut.

Tak ada mainan, tak ada rumah, tak ada tempat tidur empuk.

Namun ada sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang, rasa sayang yang tulus dan murni.

Di usia sekecil itu, mereka sudah belajar arti “berbagi” dan “melindungi”.

Sang kakak tak peduli seberapa sedikit makanan yang ia miliki, yang penting adiknya tidak kelaparan.

Mungkin malam nanti mereka akan tidur di bawah jembatan, atau di emperan toko yang sudah tutup, tapi setidaknya mereka tidur saling berpelukan, agar tidak kedinginan dan tidak merasa sendiri.

Kisah dua anak ini adalah pengingat, bahwa cinta sejati tidak diukur dari apa yang kita punya, tapi dari seberapa besar hati kita untuk memberi bahkan saat tak punya apa-apa.

Mereka mungkin tunawisma, tapi mereka tidak kehilangan “rumah” dalam arti yang sebenarnya, karena rumah mereka ada di hati satu sama lain.

Suara kapal bersahutan di pelabuhan sore itu.Di tengah hiruk pikuk penumpang dan suara ombak, terlihat seorang bapak sed...
29/10/2025

Suara kapal bersahutan di pelabuhan sore itu.

Di tengah hiruk pikuk penumpang dan suara ombak, terlihat seorang bapak sedang menunduk, mengencangkan otot-otot di lengannya.

Bukan untuk pamer kekuatan, tapi untuk mengangkat sesuatu yang berat, sebuah motor.

Dengan tubuhnya yang sudah tak muda lagi, ia mengangkat motor seberat ratusan kilo seorang diri.

Langkahnya pelan tapi pasti, keringatnya menetes deras, namun sorot matanya tetap fokus dan penuh keyakinan.

Ia bukan pekerja biasa.

Ia seorang ayah yang tahu, kalau ia berhenti bekerja hari ini, anak dan istrinya di rumah tidak bisa makan.

Setiap kali pundaknya terasa nyeri, ia teringat wajah anaknya yang tersenyum.

Setiap kali napasnya terasa sesak, ia terbayang istrinya yang setia menunggu di rumah.

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang ia lakukan hanyalah pekerjaan kasar.

Tapi bagi bapak ini, setiap beban yang ia angkat adalah bentuk cinta yang nyata untuk keluarga.

Ia tidak punya gelar tinggi, tidak bekerja di ruangan berpendingin, tapi ketulusan dan semangatnya lebih kuat dari baja yang ia angkat setiap hari.

Ketika ditanya dari mana kekuatannya berasal, ia hanya tersenyum dan berkata,

“Dari doa anak-istri, Nak. Dari cinta.”

Bapak ini mengajarkan kita, bahwa cinta bukan hanya kata, tapi tindakan sederhana yang terus diperjuangkan.

Meski harus mengangkat motor seberat hidup itu sendiri.

Hujan deras mengguyur kota sore itu.Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, sementara di tengah jalan basah,terli...
29/10/2025

Hujan deras mengguyur kota sore itu.

Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, sementara di tengah jalan basah,
terlihat seorang anak kecil berjalan perlahan.

Di tangannya tergenggam sebuah keranjang berisi makanan sederhana.

Tubuh mungilnya sudah basah kuyup, rambutnya meneteskan air hujan, namun langkahnya tak berhenti.

Setiap kali ia melihat orang berteduh di bawah atap toko, ia tersenyum kecil dan bersuara lirih,

“Beli, Kak… beli, Bu…”

Suara kecilnya nyaris kalah oleh suara derasnya hujan.

Namun semangatnya jauh lebih besar dari derasnya air yang turun dari langit.

Ia bukan sedang bermain hujan, ia sedang berjuang untuk hidup.

Mungkin untuk membantu orang tuanya, atau sekadar agar bisa makan hari itu.

Meski tubuhnya menggigil, matanya tetap menatap penuh harapan.

Anak kecil ini mengajarkan kita, bahwa perjuangan tak menunggu dewasa.

Kadang, justru di usia paling muda, hidup sudah memaksa seseorang untuk belajar arti tangguh.

Tak ada keluhan dari bibir kecilnya, hanya semangat dan doa dalam langkah kakinya.

Ia tahu, tidak mudah hidup seperti ini.

Tapi ia juga tahu, jika ia berhenti, tak akan ada yang berubah.

Maka meski hujan menembus bajunya, meski tubuhnya menggigil, ia tetap melangkah.

Bukan karena tak takut dingin, tapi karena ia tak ingin menyerah pada hidup.

Saat banyak pemuda menikmati masa muda dengan bermain, nongkrong, dan tertawa, seorang pemuda ini justru menghabiskan ha...
29/10/2025

Saat banyak pemuda menikmati masa muda dengan bermain, nongkrong, dan tertawa, seorang pemuda ini justru menghabiskan harinya di jalanan.

Ia mendorong gerobak kecil berisi cilok, menyusuri setiap sudut gang, dengan langkah yang pelan karena ia hanya memiliki satu kaki.

Sesekali ia berhenti untuk mengusap peluh, tapi tak pernah berhenti untuk berharap.

Setiap kali ada pembeli, senyumnya langsung merekah.

Senyum tulus, sederhana, tapi menyimpan kekuatan besar.

Ia tahu, hidup tidak selalu adil.

Tapi ia juga tahu, mengeluh tidak akan membuat hidupnya lebih baik.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia terus berkeliling dari pagi hingga sore, menjual cilok yang ia buat sendiri setiap hari.

Bagi sebagian orang, mungkin ini terlihat berat.

Namun bagi pemuda ini, inilah jalan hidup yang ia pilih, jalan kejujuran, bukan belas kasihan.

Setiap langkahnya adalah bentuk rasa syukur.

Setiap dorongan gerobaknya adalah bentuk doa yang bergerak.

Ia tidak iri melihat orang lain bersenang-senang.

Ia hanya ingin terus berjuang, agar bisa hidup dengan hasil dari keringatnya sendiri.

Pemuda ini mengajarkan kita satu hal penting.

Keterbatasan bukanlah akhir, tapi awal dari perjuangan yang sesungguhnya.

Selama hati masih kuat, dan semangat masih menyala, tidak ada alasan untuk menyerah.

Di depan sebuah supermarket besar, terparkir sebuah sepeda tua dengan keranjang penuh cemilan.Tak jauh dari situ, di tan...
29/10/2025

Di depan sebuah supermarket besar, terparkir sebuah sepeda tua dengan keranjang penuh cemilan.

Tak jauh dari situ, di tangga depan toko, terlihat seorang kakek terlelap dalam posisi duduk.

Tubuhnya sudah renta, rambutnya memutih, dan tangannya masih menggenggam erat topi lusuhnya.

Ia tertidur bukan karena malas, tapi karena lelah menunggu pembeli yang tak kunjung datang.

Seharian ia sudah berkeliling menawarkan dagangannya.

Namun, langkahnya kini tak lagi secepat dulu.

Napasnya tak lagi kuat.

Tapi demi sesuap nasi, kakek ini tetap berjuang.

Bayangkan… di usia yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, ia masih harus mengayuh sepeda, menenteng keranjang berisi cemilan, menembus panas dan hujan, dengan harapan sederhana:

“Semoga hari ini ada yang membeli.”

Namun hari itu, tidak ada satu pun pembeli.

Lelah, ia akhirnya duduk di tangga, bersandar sejenak, lalu tertidur karena kehabisan tenaga.

Pemandangan sederhana itu menyayat hati siapa pun yang melihat.

Karena di balik tubuh tuanya, tersimpan semangat yang lebih muda dari siapa pun.

Ia tidak meminta belas kasihan.

Ia hanya ingin bekerja jujur, menghidupi diri dari hasil keringatnya sendiri.

Kakek ini mengajarkan kita, bahwa perjuangan tak mengenal usia, dan kerja keras tak pernah berhenti meski waktu sudah menua.

Semoga setiap langkah kakek seperti ini, selalu dibalas dengan rezeki yang cukup, dan tangan-tangan baik yang siap membantu.

Di tengah panas siang yang menyengat, terlihat seorang kakek berjalan perlahan di trotoar kota.Di tangannya ada keranjan...
28/10/2025

Di tengah panas siang yang menyengat, terlihat seorang kakek berjalan perlahan di trotoar kota.

Di tangannya ada keranjang kecil berisi telur rebus.

Langkahnya pelan, napasnya berat, dan di samping tubuhnya tergantung selang kecil yang tersambung ke kantung plastik.

Namun yang paling mencolok dari sosoknya bukanlah selang itu, melainkan semangat di matanya.

Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti perjuangan.

Meski tubuhnya renta dan napasnya terengah, ia tetap berusaha.

Tidak malu, tidak menyerah, dan tidak meminta belas kasihan.

Kakek ini paham satu hal sederhana.

Selama ia masih bisa berdiri dan berjalan, selama Tuhan masih memberinya napas, itu artinya masih ada kesempatan untuk berjuang.

Di setiap jalan yang ia lewati, orang-orang mungkin hanya melihat penjual telur rebus biasa.

Tapi di balik itu, tersimpan kisah luar biasa tentang keberanian melawan batas tubuh.

Ia tidak menyalahkan takdir, ia justru mensyukurinya dengan cara tetap bekerja keras.

Kakek ini adalah cermin kehidupan bahwa perjuangan bukan tentang seberapa kuat tubuh kita, melainkan seberapa besar hati kita mampu bertahan meski dunia terasa berat.

Dan ketika matahari mulai tenggelam, ia masih berjalan, memanggul keranjang kecilnya, tersenyum di antara rasa sakit yang mungkin tak semua orang tahu.

Karena bagi kakek itu, selama masih ada harapan, tidak ada alasan untuk berhenti.

Di bawah panas matahari siang, di pinggir jalan yang ramai, terlihat seorang kakek duduk bersandar di samping karung bes...
28/10/2025

Di bawah panas matahari siang, di pinggir jalan yang ramai, terlihat seorang kakek duduk bersandar di samping karung besar berisi botol dan rongsokan.

Tubuhnya lemah, bajunya lusuh, dan tangannya dipenuhi goresan luka akibat logam dan pecahan kaca.

Ia baru saja selesai memunguti barang bekas dari tempat sampah ke tempat sampah lain.

Dengan napas terengah, ia membuka plastik kecil berisi nasi putih.

Tanpa lauk, tanpa sayur, hanya nasi biasa yang ia makan perlahan dengan tangan gemetar.

Mungkin bagi sebagian orang, itu terlihat memilukan.

Tapi di mata kakek itu, nasi putih itu adalah nikmat dari Tuhan.

Setiap suapan ia jalani dengan syukur, karena baginya, selama masih bisa makan dan masih kuat berjalan, itu artinya Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup.

Setiap hari ia berkeliling, menenteng karung di pundak, menyusuri tempat sampah, berharap ada rongsokan yang bisa dijual.

Bukan untuk harta, tapi sekadar untuk membeli air dan nasi.

Kadang hujan mengguyur tubuhnya, kadang panas membakar kulitnya, namun tak pernah terdengar keluhan keluar dari bibir tuanya.

Kakek ini adalah cermin dari ketulusan yang nyaris hilang di dunia modern.

Ia tidak meminta-minta, ia bekerja dengan caranya.

Memungut sisa dunia, dan mengubahnya jadi sumber kehidupan.

Setiap butir nasi yang ia makan adalah hasil kerja keras, dan setiap langkahnya adalah doa tanpa kata.

Kisahnya mengingatkan kita, bahwa rasa syukur tak harus datang dari kelimpahan, tapi dari hati yang tahu bagaimana menghargai sekecil apa pun yang dimiliki.

Address

Jalan Veteran
Purwakarta

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ifa.id Network posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share