15/12/2025
Aku lahir di desa.
Tempat orang kota sering bilang,
“Di sana enak, hidup tenang.”
Tapi mereka tak pernah tahu rasanya
melihat harga cabai jatuh
sementara kami sudah capek dari pagi sampai sore.
Setiap panen,
aku dan ibu memetik cabai dengan harapan yang sama:
semoga hari ini harganya tidak anjlok.
Nyatanya?
Seringkali kami hanya bisa diam
saat tengkulak menyebut angka
yang bahkan tak cukup untuk menutup lelah.
Aku pernah bertanya dalam hati,
“Kalau terus begini,
apa nasib gadis desa sepertiku?”
Sampai suatu hari aku sadar,
masalahnya bukan di cabainya…
tapi di cara kami menjualnya.
Cabai segar cepat busuk.
Harga mudah dipermainkan.
Dan kami selalu menunggu belas kasihan pasar.
Aku mulai pelan-pelan.
Bangun lebih pagi.
Belajar memilih cabai terbaik.
Menyisihkan sebagian untuk diolah, bukan dijual mentah.
Tanganku kotor tanah.
Mataku perih kena cabai.
Tapi hatiku mulai hangat
karena ada harapan yang tumbuh.
Pembeli pertama datang.
Tak banyak, tapi nyata.
Untuk pertama kalinya,
aku membawa uang ke rumah
tanpa rasa takut besok akan kosong.
Sekarang aku masih gadis desa.
Masih menanam cabai.
Masih menginjak tanah yang sama.
Tapi satu hal berubah:
aku tak lagi menunggu harga menentukan hidupku.
Dari cabai kecil di kebun desa,
aku belajar bertahan.
Belajar mandiri.
Dan percaya…
anak desa pun bisa hidup layak dari tanahnya sendiri.
Jika kamu anak desa,
dan merasa kecil di mata dunia…
percayalah,
kadang yang kita butuhkan bukan pergi jauh,
tapi melihat lebih dekat
apa yang tumbuh di depan rumah kita sendiri.
🌱🌶️