20/05/2025
Judul: Menikah karena Perjodohan
Penulis: Fitoralo Theoneandonly
📖📖📖
Tugas dan Kewajiban Istri Itu Ibarat Suwargo Nunut, Neroko Katut
“Apa pun itu, sebagai seorang istri, harus siap mengikuti ke mana pun suami tinggal.”
Tanpa menoleh, Mas Fadlan menjelaskan dengan gayanya yang santai. Konsentrasi pandangan tetap lurus ke arah jalan.
Aku dan suami dalam perjalanan p**ang dari memenuhi undangan party pembukaan perumahan baru sekaligus perkenalan dan ramah-tamah antar warga baru. Acara yang sebetulnya tidak terlalu penting dan menarik bagiku. Karena tidak ada alasan untuk menolak ajakan Mas Fadlan, terpaksa aku ikut datang.
Aku dan suami terlibat perdebatan dan pertengkaran kecil di dalam mobil yang dikemudikan sendiri oleh Mas Fadlan.
“Tapi Nad belum siap, Mas. Nad butuh waktu.”
Mukaku mulai bersungut. Mungkin tak enak lagi dipandang.
“Mau sampai kapan siapnya, Nadhira Putri? Hmm ...?”
“Kenapa, sih, orang menikah harus tinggal terpisah dari orang tua? Selama ini juga kita baik-baik saja, kan, tinggal di rumah Ayah dan Ibu?”
Aku tetap bertahan dengan keinginanku. Mas Fadlan diam tak menjawab. Tapi itu tadi, tatapan sekilas mata elangnya ke arahku, sempat membuatku sedikit bergidik. Dia marah? Ih, bodo amat!
“Lagian kenapa juga harus buru-buru pindah rumah. Nunggu satu, dua, atau tiga bulan lagi, nggak masalah, kan? Atau Mas Fadlan tidak s**a tinggal di rumah orang tuaku?” kataku lagi mencoba mempertahankan pendapat, atau lebih tepatnya aku yang keras kepala. Begitu yang selalu Ayah dan Ibu bilang. Ah, masak iya, aku keras kepala? Perasaan, sih biasa saja.
“Memangnya, Nad mau tinggal di rumah orang tua Mas di Jakarta? Atau di rumah satunya yang dekat dengan ponpes?”
“Nggak usah membalikkan kata-kata. Bilang aja, Mas nggak s**a.”
“Mas, s**anya itu, kita tinggal berdua saja di rumah kita yang baru. Setelah menikah, kita harus belajar mandiri. Nad sudah menjadi istri Mas. Sejak Mas mengucap Ijab Kabul, tanggung jawab Ayah Nad sudah selesai. Jadi tanggung jawab Ayah dan Ibu kepada Nad sudah diserahkan pada Mas. Sekarang Nad taatnya pada suami. Paham?”
Mas Fadlan menatapku tajam dengan sinar mata elangnya. Nada suaranya tetap tenang dan kalem, tapi kali ini penuh ketegasan. Ih, kenapa dia, nih. Biasanya kalem, kenapa sekarang pake ngegas?
Kali ini giliran aku yang terdiam. Mencoba mencerna kata-kata Mas Fadlan. Tetapi sulit sekali masuk ke otak warasku. Pikiranku tetap membenarkan apa yang menurutku benar. Aku tidak bisa begitu saja memahami apa yang telah dinasihatkan oleh suami, meskipun dia seorang ustaz.
Huh, ustaz juga manusia, bukan? Dia bisa saja mempunyai jamaah yang banyak dan membludak di setiap kajian-kajian yang dibawakannya. Kemudian serempak mereka meneriakkan, ya, ya, dan ya. Tanpa bantahan dan interupsi, selain hanya sebatas pada forum tanya jawab. Namun, tidak demikian denganku. Sebab aku adalah Nadhira Putri, istrinya yang dinikahi karena terpaksa, bukan karena cinta.
Ayahku dan abinya Mas Fadlan, adalah sahabat karib sejak kecil. Mereka telah menjodohkan kami tanpa meminta pendapat apalagi persetujuan dari kami berdua.
“Nad, kamu harus menikah dengan putra sahabat Ayah. Beliau adalah seorang Kyai yang mempunyai pondok pesantren terkenal di Bandung. Putranya baru saja lulus sarjana dari sekolah ilmu tinggi di universitas terkenal di Kairo. ”
Bagai disambar petir di siang bolong, saat aku mendengar perkataan Ayah waktu itu. Menikah adalah kata asing yang amat jauh dari jangkauan pikiranku hingga saat ini.
“A ... apa, Yah? Menikah? Tidak. Aku tidak bisa. Tidak siap. Aku tidak mau menikah. Bagaimana nanti dengan kuliahku, Ayah?”
“Nad harus nurut, Nak. Kami sudah sepakat dan sama-sama berjanji untuk menjodohkan kalian suatu hari nanti. Sekaranglah waktu yang tepat. Soal kuliah, Nad bisa tetap melanjutkan kuliah setelah menikah nanti.”
“Tapi, Yah, Nad masih muda. Nad belum mau menikah. Nad ingin mengejar cita-cita menjadi dokter. Itu impian terbesar Nad, Ayah.”
“Tolong, Nak, turuti nasihat Ayah. InsyaAllah Nad akan bahagia menikah dengan Fadlan. Dia pemuda yang Saleh. Ayah pernah bertemu dengannya beberapa kali saat Ayah berkunjung ke Jakarta dan Bandung.”
“Kenapa harus secepat ini, Ayah? Tunggu sampe Nad lulus kuliah dan menjadi dokter.”
Aku mulai merengek, menangis memohon pada Ayah untuk menangguhkan pernikahan ini. Bila perlu, batalkan saja perjodohan ini.
“Nad ... Nadhira. Ka ... kamu ... ja ... aahh ...” ucapan Ayah terpotong, karena tak lama kemudian tubuh Ayah kulihat oleng dan jatuh. Sementara tangan kirinya memegangi dada.
Ayah memang mempunyai riwayat penyakit jantung. Bagaimanapun juga aku sangat menyayangi Ayah. Aku tidak mau terjadi hal buruk dan itu disebabkan olehku.
Satu minggu Ayah dirawat di rumah sakit. Aku tidak tega melihat kondisi Ayah dalam keadaan drop. Ibu juga terlihat sedih sekali dengan kondisi kesehatan Ayah.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengiyakan permintaan Ayah dengan menyetujui perjodohan itu.
Sebuah keputusan besar dalam hidupku telah kuambil. Aku menikah dengan orang yang sama sekali tidak kukenal dan bahkan tak sekali pun pernah bertemu sebelumnya.
Belakang hari baru kuketahui jika nasib Mas Fadlan pun tak jauh beda denganku. Dia terpaksa menerima perjodohan ini. Sebab, ini adalah wasiat terakhir abinya sebelum meninggal dunia.
Jadi, aku dan Mas Fadlan menikah karena keadaan yang memaksa. Rumah tangga dibangun tanpa pondasi cinta, selain hanya sebatas tanggung jawab, kewajiban semata.
Apa? Kewajiban? Tidak. Pernikahanku sudah berjalan dua minggu lebih dan selama itu p**a aku belum memenuhi kewajibanku sebagai istri seutuhnya, terutama dalam memberikan nafkah batin pada suami.
Aku belum siap. Sungguh. Syukurlah, sejauh ini Mas Fadlan bisa menerima dan tidak menuntut banyak. Terkadang terlintas juga di pikiranku, beruntung juga aku mempunyai suami seperti dia. Orangnya sabar dan pengertian.
Kami sudah sampai di depan rumah orang tuaku. Mobil memasuki halaman rumah yang cukup luas. Rumah penuh kenangan, dari masa kecil hingga dewasa. Di rumah besar ini aku dan kakak perempuanku dilahirkan dan dibesarkan.
Ah, tak lama lagi aku harus meninggalkan rumah ini. Minggu depan? Secepat itukah? Tak terasa air mataku menetes membasahi p**i. Kenangan indah penuh canda tawa bersama kakak saat bermain bersama, menari-nari di pelupuk mata.
“Nad, kita sudah sampe.” Sebuah tepukan halus di paha menyadarkanku dari lamunan.
Aku diam tak menjawab. Hanya anggukan pelan lalu buru-buru membuka pintu dan keluar dari mobil. Tak kuhiraukan panggilan Mas Fadlan. Aku langsung menghambur masuk ke rumah. Masih tersisa rasa tidak terima dengan keputusan Mas Fadlan yang mengajak pindah rumah.
Rumah dalam keadaan sepi. Mungkin Ayah dan Ibu sudah tidur. Malam memang telah larut. Aku pun segera masuk kamar dan tidur. Tutup selimut rapat-rapat. Menghindar dari semburan pertanyaan Mas Fadlan, yang sempat melihatku menangis tadi.
Benar saja, karena tak lama kemudian Mas Fadlan masuk ke kamar. Aku pura-pura tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhku. Salah satu kebiasaanku bila sedang dalam masalah.
***Bersambung***
Baca di StarLova App
Tugas dan kewajiban seorang istri itu adalah mengikuti ke mana pun suami tinggal dan menuruti apa kata suami, sepanjang tidak melenceng dari norma dan atur...