10/05/2025
POLOPADANG & INDO' DEATANNA ( BAG.3 - TAMAT)
Cerita Rakyat Toraja
Setelah berhasil mengisi air ke dalam buria’, para penghuni langit mulai meyakini kalau Polopadang adalah seorang dewa. Mereka lalu mengajukan syarat baru. Polopadang diminta untuk menebang sebuah pohon beringin besar dengan menggunakan pisau kecil. Polopadang menyanggupi permintaan itu. Dengan tekad penuh dan semangat yang berkobar-kobar demi mendapatkan kembali Paerunan, ia mulai menusukkan pisau kecil yang diberikan oleh penghuni langit ke pohon beringin besar itu. Namun, tak sedikit pun beringin itu tergores, bahkan kulitnya sekalipun. Polopadang menghempaskan tubuhnya lalu mulai menangis. Seekor tabuan (lebah) mendengar tangisan Polopadang lalu datang mendekat. Ketika mendengar penuturan Polopadang tentang maksud kedatangannya ke langit, lebah itu kemudian memanggil teman-temannya untuk membantu Polopadang. Perlahan-lahan, mereka menggerogoti pangkal pohon beringin hingga akhirnya tumbang. Namun lagi-lagi, Polopadang belum dibolehkan untuk mengambil Paerunan.
Syarat baru diajukan. Polopadang harus bisa memakan habis bite’ (keladi) yang terhampar di sebuah lembah yang luas. Baru sebutir keladi tuntas ia habiskan, Polopadang mulai merasa sekujur tubuhnya gatal. Ia menggaruk-garuk seluruh tubuhnya sambil menangis meraung-raung. Seekor babi hutan yang sedang melintas di tempat itu mendengar tangisan Polopadang lalu bertanya, “kenapa kamu menangis sambil menggaruk badan?”
Polopadang lantas menceritakan permintaan para penghuni langit untuk menghabiskan keladi sebanyak satu lembah agar ia bisa mengdapatkan kembali Paerunan. Babi hutan itu memanggil kawan-kawannya dan dalam sekejap menghabiskan semua keladi yang ada di lembah itu.Polopadang menenui para penghuni langit dengan muka berseri-seri. Ia yakin ia akan segera bertemu dengan Paerunan.
Ketika sampai di halaman rumah di mana Paerunan disembunyikan, seorang tetua adat menyambut Polopadang. Dengan santai ia berkata kepada Polopadang, “meskipun kamu telah menghabiskan keladi sebanyak satu lembah, namun untuk membawa pulang Paerunan, kamu harus sanggup mengumpulkan kembali bua ba’tan’ sebanyak 7 bakul ini.” Lelaki tua itu kemudian menghamburkan jawawut (sejenis biji-bijian berukuran kecil yang sering dijadikan makanan burung) di halaman rumah. “Tak boleh ada sebiji pun yang tertinggal!” lelaki tua itu menambahkan.
Polopadang terpana melihatnya. Ia sungguh tak menyangka kalau ujian yang diberikan kepadanya masih belum berakhir. Belum sempat mengajukan protes, lelaki itu sudah berlalu meninggalkan Polopadang. Tak punya pilihan lain, Polopadang segera mengumpulkan biji jawawut yang tersebar di halaman rumah. Dengan susah payah, ia memunguti biji jawawut itu satu per satu dan mengumpulkannya ke dalam bakul. Belum penuh sebakul, Polopadang mulai tampak pasrah. Halaman rumah yang dipenuhi dengan bebatuan yang berselang-seling dengan rumput tebal dan tanah becek membuatnya sangat kesulitan mengumpulkan biji-biji jawawut itu. Ia kemudian menangis terisak-isak. Seekor burung pipit yang terbang melintas di tempat itu mendengar tangisannya lalu hinggap di pundak Polopadang. Setelah mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh Polopadang, burung pipit itu memanggil kawan-kawannya untuk membantu Polopadang.
“Tetua adat di sini mewajibkan untuk memenuhi kembali 7 bakul ini,” pesan Polopadang kepada burung pipit. Setelah sekawanan burung pipit itu selesai mengumpulkan biji-biji jawawut, Polopadang heran karena jumlahnya kurang dari 7 bakul. Ia lalu bertanya kepada burung pipit, “Adakah kamu memakan biji jawawut hingga jumlahnya kurang?”
Burung pipit itu mengatakan tidak dan bersumpah jika mereka memakan biji jawawut hingga jumlahnya kurang maka perut mereka akan berpindah ke leher. Polopadang tak percaya. Tanpa sepengetahuan burung pipit, ia mengetuk leher burung pipit itu dengan perlahan dan seketika keluarlah biji-biji jawawut dari perut burung pipit. Kelak, keturunan burung pipit memiliki tembolok di bagian leher sebagai kutukan atas sumpah yang keluar dari mulut mereka sendiri.
Setelah mengembalikan 7 bakul berisi jawawut kepada tetua adat tadi, Polopadang belum juga dibolehkan menemui Paerunan. Sebuah tugas baru menanti. Polopadang diminta untuk mengalirkan air ke halaman rumah sehingga penduduk di sekitar tempat itu tak perlu lagi jauh-jauh ke mata air di puncak gunung untuk mengambil air. Dengan dibekali sebuah linggis, Polopadang mulai mencari-cari mata air yang sekiranya berada di sekitar tempat itu. Namun, mata air itu tak kunjung ketemu. Seekor kepiting menghampiri Polopadang dan bertanya mengapa Polopadang tampak muram dan membawa linggis ke mana-mana. Polopadang lalu menceritakan kesulitan yang ia alami keapada kepiting itu yang kemudian menawarkan bantuan. “Saya akan pergi ke puncak gunung untuk melubangi mata air yang di sana hingga sampai ke tempat ini. Nanti, kalau ada bagian tanah yang bergerak, segera tancapkan linggis itu.” Begitu pesan si kepiting. Maka, beberapa lama kemudian, ketika Polopadang melihat ada bagian tanah yang bergerak, ia segera menancapkan linggis yang ada di tangannya ke dalam tanah. Air menyembur dari dalam tanah. Tanpa ia sadari, linggis itu mengenai punggung si kepiting. Beruntung, cangkang kepiting yang keras melindungi tubuhnya sehingga tidak sampai terbelah. Karena kejadiam itu, keturunan kepiting memiliki semacam garis di bagian punggungnya.
Para penghuni langit mulai kehabisan akal untuk mencelakakan Polopadang. Semua ujian yang mereka berikan, dapat diatasi Polopadang. Karena tak menemukan muslihat lain untuk memperdaya Polopadang, mereka kemudian menyuruh Polopadang untuk mencari sendiri Paerunan di dalam rumah yang sebelumnya sudah dikunci rapat-rapat oleh istrinya, Indo’ Deatanna.
Polopadang mengitari rumah itu untuk mencari pintu masuk. Karena tak memiliki daya lihat yang sebanding dengan orang-orang yang ada di langit, Polopadang kesulitan menemukan pintu di rumah itu. Di matanya, seluruh dinding rumah itu sama saja. Tak ada bagian bercelah yang menandakan adanya pintu ataupun jendela. Polopadang mulai menangis lagi. Seekor tikus kemudian datang bertanya kepadanya. “Apakah gerangan yang membuatmu menangis, Polopadang?”
“Saya ingin bertemu dengan anak saya, Paerunan, yang disembunyikan di dalam rumah. Namun, saya tak melihat ada pintu masuk ke dalam rumah ini,” jawab Polopadang pasrah. Tikus itu kemudian menawarkan bantuan kepada Polopadang untuk menemukan pintu masuk ke dalam rumah. Ia mengendus seluruh dinding luar rumah hingga akhirnya menemukan sebuah celah yang ternyata merupakan pintu masuk yang tak tampak oleh mata manusia bumi. Dengan petunjuk tikus itu, Polopadang kemudian berhasil masuk ke dalam rumah.
Gelap gulita menyambutnya. Tak tampak sedikit pun cahaya dalam ruangan itu. polopadang memanggil-manggil Paerunan, namun tak ada jawaban. Setelah beberapa lama, sebuah suara yang sangat ia kenali menyapa Polopadang. “Kalau kamu memang benar-benar menyesali perbuatanmu mengucapkan katakata kasar di bumi, maka kamu harus bisa menemukan saya di dalam kegelapan.” Ternyata suara Indo’ Deatanna. Maka, berjalanlah Polopadang dalam ruangan itu sambil meraba-raba. Baru beberapa langkah, tangannya menyentuh badan seseorang. Polopadang segera memeluknya dan bertanya, “Apakah kamu adalah ibu dari Paerunan?”
“Kamu memilih perempuan yang keliru,” suara Indo’ Deatanna dari kejauhan. Polopadang segera melepaskan pelukannya. Ia meraba-raba lagi dalam kegelapan dan perlahan menyadari kalau di dalam ruangan itu ternyata ada banyak perempuan selain istrinya. “Kamu punya 2 kesempatan lagi untuk menemukan saya. Kalau kamu keliru, maka kamu harus segera kembali ke bumi tanpa saya dan Paerunan,” sambung Indo’ Deatanna. Tak seperti Polopadang yang kehilangan daya lihat dalam kegelapan, Indo’ Deatanna, seperti juga penghuni langit lainnya, dengan mudah bisa melihat posisi Polopadang.
Polopadang berjalan lagi mengitari ruangan itu. Ia memercayakan instingnya untuk menemukan Indo’ Deatanna. Di sebelah seorang perempuan yang ia duga adalah istrinya, Polopadang berhenti beberapa lama. Ia bermaksud meyakinkan diri jika perempuan yang berdiri di sampingnya itu adalah Indo’ Deatanna. Ia menguji suara batinnya. Setelah yakin, ia menyentuh badan perempuan itu dengan lembut sambil memohon, “Ampunilah kesalahanku. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi mengucapkan kata-kata kasar. Kembalilah ke bumi bersamaku dan Paerunan.”
Tak ada jawaban. Polopadang menungu sambil meraba-raba tubuh perempuan itu. Setelah beberapa lama, akhirnya ia sadar telah melewatkan satu kesempatan lagi. Sesuai syarat yang tadi diajukan Indo’ Deatanna, maka Polopadang hanya memiliki satu kesempatan lagi. Dalam situasi seperti itu, Polopadang akhirnya pasrah dan menyerahkan nasibnya kepada takdir.
Mendadak, dari seberang ruangan muncul seekor kaluppepe’ (kunang-kunang). Sedari tadi, ia telah mengetahui apa yang sedang terjadi. Kunang-kunang itu kemudian membisikkan sesuatu kepada Polopadang. Ia terbang mengitari seluruh ruangan dan berhenti di atas kepala seorang perempuan. Dari kejauhan Polopadang melihatnya sebagai cahaya yang berkelap-kelip. Cahaya itu tidak bergerak ke mana-mana yang merupakan pertanda yang tadi dibisikkan oleh kunang-kunang. Polopadang segera berlari ke tempat itu dan memeluk tubuh Indo’ Deatanna yang telah ditandai oleh kunang-kunang dengan cahaya kelap-kelip.
Polopadang kemudian berhasil bertemu kembali dengan istrinya dan juga anak lelakinya. Mereka kembali ke bumi dan hidup dalam penuh kedamaian. Polopadang tak lagi pernah mengucapkan katakata kasar sepanjang hidupnya karena tak ingin ditinggalkan lagi oleh anak dan istrinya, dan mereka pun hidup bahagia...
T a m a t