
30/07/2025
# # # **BONGKAHAN EMAS PALING BESAR DI HUTAN LINTARO**
Nama sungai itu adalah **Sungai Angkara**, tersembunyi jauh di dalam belantara **Hutan Lintaro**, wilayah yang dikenal penduduk hanya lewat cerita—tempat di mana kabut tak pernah benar-benar sirna dan suara burung malam terdengar bahkan di siang hari. Hutan Lintaro bukan sekadar lebat dan liar, tapi juga sakral. Para sesepuh menyebutnya tanah yang hidup, dijaga oleh sesuatu yang tidak s**a diganggu. Di jantung hutan itulah Sungai Angkara mengalir seperti luka tua yang belum sembuh, dalam, tenang, tapi berbahaya.
Konon, dasar sungai itu dijaga oleh makhluk gaib yang tidak s**a keserakahan. Setiap orang yang mencoba mengambil lebih dari yang layak, akan ditelan air hitamnya, lenyap tanpa jejak. Tapi bagi **Darto**, seorang lelaki desa yang renta namun belum dikalahkan oleh umur, kisah-kisah itu tak lagi punya daya menakutkan. Putri semata wayangnya, **Laras**, terbaring sakit keras di rumah; tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan batuknya kian hari kian dalam. Utang untuk biaya pengobatan telah menumpuk hingga melebihi harga hidup mereka sendiri.
Pagi itu, saat kabut masih menyelimuti ranting-ranting bengkok pohon Lintaro, Darto memasuki hutan dengan langkah berat dan tekad yang lebih berat lagi. Tak ada yang mengantar, tak ada yang tahu. Ia hanya membawa satu karung tua, seutas tali, dan sebilah parang tumpul. Langkahnya menyusuri jalur sempit yang hanya dikenal oleh para pemburu dan penebang ilegal. Daun-daun lebar menyentuh wajahnya seperti tangan-tangan roh yang memperingatkan. Tapi ia tak peduli. Darto tidak mencari kayu. Ia mencari **keajaiban**.
Setelah setengah hari berjalan, ia sampai di Sungai Angkara. Sungai itu mengalir pelan tapi pasti, airnya keruh kehitaman, berkilau aneh di bawah sinar matahari yang malu-malu menembus celah pepohonan tinggi. Ia berdiri di tepiannya, mengucapkan doa lirih yang tak pernah diajarkannya pada siapa pun, sebelum perlahan turun ke dalam air.
Air itu dingin seperti tangan kematian. Lumpur di dasarnya menelan telapak kakinya, ranting-ranting mati menyentuh kulitnya seperti cacing hidup. Tapi ia terus. Selama berjam-jam ia menyelam, meraba, menggali. Tangannya yang kapalan mengorek-ngorek dasar sungai yang pekat. Yang ia temukan hanya batu, tulang ikan, dan lumpur pekat yang menempel seperti sumpah.
Matahari mulai tenggelam saat Darto merasakan sesuatu yang berbeda. Kakinya menghantam benda keras yang bukan batu. Ia menggigil. Napasnya tertahan. Dengan hati-hati, ia menekuk lutut, menyelam, dan mulai mengais lumpur di sekitarnya. Lalu, dari kedalaman keruh itu, **sesuatu menyala.** Kilau yang aneh, bukan seperti cahaya matahari atau pantulan air. Kilau kuning pekat. Kilau **emas**.
Bukan serpihan. **Bongkahan.** Seukuran karung padi. Bentuknya tidak teratur, kasar, dan terasa berat bahkan sebelum terangkat.
Euforia meledak di dada Darto. Ia menggigil bukan karena dingin, melainkan karena rasa tak percaya. Ia ingin tertawa, ingin menangis. Di bawah langit yang mulai menggelap dan bayangan pohon Lintaro yang membungkus sungai seperti katedral raksasa, Darto mengangkat bongkahan itu—atau mencoba mengangkatnya.
Ia gagal.
**Emas itu menolak.** Beratnya seperti tubuh seekor kerbau mati. Ketika Darto mencengkeramnya lebih erat, seolah-olah emas itu menyeretnya ke bawah. Air sungai tiba-tiba bergejolak, arusnya menekan seperti tangan-tangan marah dari dasar bumi. Darto terjatuh, tubuhnya tergulung lumpur, matanya pedih oleh air kotor, dan napasnya mulai menghilang. Tapi ia tidak melepas genggamannya.
Gambaran wajah Laras muncul di benaknya—matanya yang dulu bening, kini kosong oleh demam panjang. Ia tidak boleh mati. Ia tidak boleh p**ang dengan tangan kosong.
Dengan raungan yang keluar dari kedalaman jiwanya, Darto berhenti mencoba mengangkat emas itu. Ia berubah cara: **menyeret.** Ia melilitkan tali ke bongkahan itu, menariknya selangkah demi selangkah, sambil menapak di lumpur yang seolah ingin menelannya hidup-hidup. Otot-otot tuanya seperti mau robek, punggungnya terasa seperti patah, dan setiap langkah adalah penderitaan.
Namun ia tidak berhenti.
Dalam gelapnya hutan yang mulai bersuara, dalam jeritan burung malam dan lolongan jauh dari serigala hutan Lintaro, Darto bergerak. Perlahan, menggeser emas itu dari dasar kutukan menuju daratan yang basah. Ia berjalan bukan hanya demi dirinya, tapi demi putrinya, demi hutang-hutang, dan demi harapan yang nyaris habis.
Akhirnya, ketika cahaya bulan muncul samar di balik kabut, Darto jatuh tersungkur di tepi sungai. Tubuhnya menggigil hebat, kakinya berdarah, dan matanya nyaris tak bisa terbuka. Tapi di sampingnya, **emas itu ada di sana**, tergeletak seperti makhluk tua yang akhirnya menyerah.
Ia telah menang. Ia telah mengalahkan sungai terlarang. Tapi ketika ia menatap bongkahan emas itu, dengan napas yang tersengal dan tubuh yang sekarat, Darto tahu: **kutukan belum berakhir.** Ia telah membawa p**ang bukan hanya harta, tapi **dendam** dari Hutan Lintaro. Ia telah mengusik sesuatu yang lebih tua dari sejarah desanya, dan harga dari emas itu bisa jauh lebih berat dari yang ia duga.
Namun, untuk malam itu, ia hanya bisa tertidur di tanah basah, ditemani emas dan bisikan-bisikan halus dari hutan yang tak pernah tidur.