
13/06/2025
Rakyat Tidak Butuh Teriakan Kosong, Tapi Kejujuran Berpikir
Dalam dunia pergerakan, keberanian bersuara adalah keutamaan. Tapi dalam dunia berpikir, keberanian untuk menguji ulang suara sendiri adalah kualitas yang lebih luhur. Beberapa hari yang lalu, opini yang disampaikan oleh Ketua DPK GMNI UPG 45 Arison Rihi di kompasiana.com dan link itu di share oleh akun facebook Arison menyeret nama Bupati Sabu Raijua dalam tuduhan “pengkhianatan terhadap Marhaen.” Tuduhan yang terdengar gagah, tetapi secara intelektual tergelincir ke dalam jurang kesimpulan yang prematur, retoris, dan cacat logika.
Dengan dalih ideologi dan kemarahan atas rencana tambang mangan, opini itu menyulut narasi dramatis: bahwa diamnya Bupati Sabu Raijua Krisman Riwu Kore adalah tanda persekongkolan, bahwa ini pengkhianatan ideologis, bahwa rakyat akan bangkit. Tapi sesungguhnya, tulisan itu lebih banyak menumpuk prasangka daripada menawarkan kejelasan, lebih banyak membakar asumsi daripada menyalakan nalar.
Diam tidak sama dengan setuju kawan dan tidak setiap ketidakhadiran adalah pengkhianata. Tuduhan paling mendasar yang dibangun Arison adalah bahwa diamnya Bupati berarti keberpihakan kepada pemodal. Tapi logika ini rapuh. Karena diam tidak pernah serta-merta berarti menyetujui. Apalagi bila tidak ada bukti keterlibatan, komunikasi resmi, ataupun dukungan eksplisit dari Pemda.
Menarik, komentar Laurens A. Ratu Wewo, Ketua Komisi III DPRD Sabu Raijua yang juga konsisten menolak tambang mangan di Liae, justru membongkar kekeliruan tersebut.
“Memang secara terbuka di ruang publik belum ada pernyataan resmi Bupati, tentu dengan berbagai pertimbangan — salah satunya, karena surat dari PT Eri tidak pernah dikirim ke Pemda, hanya ke Pemdes Waduwalla. Yang pasti, posisi pemerintah yang kami tahu berdasarkan surat Pemda tahun 2019 ke Dinas ESDM Propinsi dan Kementerian ESDM terkait aktivitas pertambangan di Sabu adalah: tidak diperbolehkan sama sekali. Begitu juga dengan Perda RT/RW belum pernah direvisi dan dalam perda ini tidak ada wilayah peruntukan pertambangan. Sehingga posisi pemerintah pasti menolak jika merujuk pada poin-poin tersebut.” Laurens A. Ratu Wewo
Pernyataan ini penting karena tidak berasal dari buzzer kekuasaan, tapi dari Ketua Komisi III DPRD, lembaga legislatif yang mengawasi langsung jalannya pemerintahan. Kalau fakta seperti ini diabaikan oleh GMNI, maka keberpihakan mereka bukan lagi kepada rakyat, melainkan kepada emosi mereka sendiri.
Mengutip B**g Karno tapi memelintir marhaenisme, sungguh ironis bahwa ketua GMNI, sebagai pemimpin organisasi yang mengaku pewaris semangat B**g Karno, menggunakan ideologi Marhaenisme bukan sebagai kompas etis, tapi sebagai palu retoris. Opini itu memanggil nama B**g Karno berkali-kali, tapi tidak sekali pun menghadirkan kebijaksanaan marhaenis yang memisahkan antara musuh ideologis dan musuh khayalan.
Dalam Marhaenisme, kritik kepada negara/pemerintah dibenarkan, tapi harus berpijak pada kenyataan rakyat, bukan spekulasi penghakiman. Ketika Ketua GMNI menyatakan “politik tanpa ideologi adalah tuna arah”, mereka lupa bahwa ideologi tanpa data adalah buta, dan ideologi tanpa kehati-hatian adalah bahaya.
B**g Karno tidaKk pernah mengajarkan kritik dengan tudingan kosong. B**g Karno bicara tentang “mengejar kebenaran revolusioner”, bukan kebenaran retorika. Maka ketika aktivisme kehilangan akarnya pada kejujuran dan fakta, ia bukan lagi perjuangan. Ia hanya menjadi panggung ego.
Kritik yang menyingkirkan fakta bukanlah advokasi, tapi provokasi brother….Apa kalian tidak tahu soal surat penolakan tambang dari Pemda tahun 2019? Apakah kalian tidak tahu soal Perda yang tidak pernah membuka ruang untuk pertambangan? Atau apakah kalian tahu, tapi memilih mengabaikan itu semua demi menyalakan api yang lebih besar?
Jika iya, maka inilah yang disebut “politik kesengajaan menyederhanakan masalah demi membakar semangat.” Ingat kawan semangat yang dibakar dengan kayu rapuh akan mati oleh tiupan angin realita. Di era keterbukaan informasi, aktivisme tanpa verifikasi (data) bukanlah keberanian, tapi bentuk baru dari kemalasan intelektual.
Kita semua sepakat: tambang mangan yang merusak lingkungan, merampas hak rakyat, dan mengabaikan prinsip keadilan harus ditolak di Sabu Raijua. Tapi menolak tambang tidak berarti boleh menabrak akal sehat, tidak berarti boleh menyerang siapa pun yang diam sebagai “pengkhianat.”
Kalau hari ini kita memaksa semua orang bicara sesuai tekanan emosi massa, lalu kapan ruang berpikir tenang akan kita hargai? Kalau hari ini kita cap pemimpin sebagai musuh hanya karena belum bersuara, maka besok atu lusa kita akan kehilangan kemampuan membedakan mana kritik, mana penghakiman. Marhaenisme bukan suara yang paling keras di jalan. Marhaenisme adalah keberanian untuk menolak yang salah, dan kehormatan untuk tidak menuduh tanpa dasar.
Ingat: Lawan yang layak adalah kebenaran yang keras, bukan musuh yang dibayangkan.
.