30/07/2025
Timnas U23 harus menerima pil pahit manakala harus kalah dari Vietnam di final AFF U23 2025. Yap, satu gol dari pas**an Huyen cukup untuk membuat mimpi Geruda Muda angkat trofi di rumah sendiri harus kandas. Sekaligus menjadikan ini adalah hat-trick gelar AFF U23 bagi Vietnam secara beruntun. Nah, di luar dari skor yang ada, kita semua harus objektif kalau pemain Indonesia masih banyak kekurangannya. Oke lah secara skill, gocak-gocek kita gak kalah, tapi dalam urusan basic inilah yang maaf-maaf aja seolah jadi penyakit lama pemain didikan Liga Indonesia. Hal yang disinyalir membuat Gerald Vandenbergh kabarnya merasa tidak puas dan akan melakukan evaluasi besar-besaran. Selain itu, yang perlu menjadi sorotan adalah karakter kepemimpinan wasit Koji Takasaki, yang lagi-lagi cukup kontroversial. Ya, para pemain Vietnam tampaknya lebih memahami gimana karakter wasit yang satu ini, sehingga drama-drama yang mereka ciptakan terbilang sukses untuk merusak fokus pemain Indonesia. Namun dilihat dari sisi manapun, di laga final ini, Mimin pribadi secara jujur mengatakan, Kalau permainan kita, terutama dari sisi progresi, passing, serta meng-create chance, apalagi finishing, emang belum layak untuk jadi juara. Bahkan jika para pemain nggak introspeksi diri, jangan kaget kalau nanti di kualifikasi PL Asia, sektor-sektor sentral bakal diisi oleh pemain diaspora. Karena sejatinya, di timnas U23, kita masih ada nama-nama seperti Dion Marks, Tim Gepens, Wilbur Jardim, hingga beberapa nama yang kabarnya masih dalam proses seperti Mauro Zelsra, Adrian Wibowo, sampai mungkin Laurin Ulrich. We never know. Usaha sudah perjuangan timnas U23 di AFF kali ini, dimana seperti edisi sebelumnya, kita kembali kalah melawan Vietnam di final. Yap, hasil ini sendiri pada akhirnya semakin mengkukuhkan posisi Vietnam sebagai tim terbaik dengan hat-trick juara 3 kali beruntun. Dan Indonesia, meskipun diisi 12 pemain yang pernah mentas di piala AFF Senior akhir 2024 kemarin, pada akhirnya memang harus banyak berbenah. kalau di Asia nanti ingin berbicara banyak. Yap, di laga ini sendiri, Coach Gerald tampil dengan formasi yang sangat beda. Sebab, jika dari fase grup, sampai semifinal kemarin selalu main 4-3-3, tapi di final ini, dia bermain dengan pakem 3-back yang diisi Kakang, Ferrari, dan Kadek Arel. Nah, problem dari tim ini, sepertinya memang nggak punya backup yang setara. Terutama di sektor tengah, Arkan Fikri, Tony Firmansyah, boleh dibilang adalah kehilangan besar. Walaupun Arkan akhirnya main di 10 menit terakhir, Tapi terlihat jelas, dia ibaratnya masih 60% pulih. Pun begitu dengan Jens Ravn, kondisi fit aja dia kemarin sulit bekerja keras, menembus marking pemain Thailand. Lah ini, dengan kondisi yang nggak 100%, dia seolah dipaksa nggak punya ruang buat melewati man-to-man marking pemain Vietnam. Ibaratnya, belum juga balik badan, udah ada 2-3 pemain yang mengapungnya. Apalagi dia ini tipikalnya real striker, ya susah juga kalau harus dipaksa bermain mobile. Kemudian yang paling mencolok bahkan sejak awal turnamen adalah kemampuan pemain yang kayaknya sulit banget buat ngirim progresi passing ke depan dan keliatan banget. Gak ada Arkan Fikri, gak ada Tony Firmansyah, walah position si position, tapi ya gak dikit-dikit back pass. Itulah kenapa Coach Giralt sendiri diketahui juga mumet karena dia pun sebenarnya minta untuk lebih banyak berani kasih umpan ke depan. Tapi ya gimana Coach, kualitas pemain kita masih gitu, sekalinya passing ke depan? lebih sering gak nyampe, atau pas giliran nyampe, eh kontrolnya salah. Catatan penting, terutama buat Dion yang gak tau kenapa, sepanjang dia main dari match sebelumnya, lebih banyak main aman. Kemudian Frankie Misa, dia bagus kalau soal urusan gocek-gocek, tapi kontrol dan passing bolanya, please banget jangan gitu lagi. Lalu Robby Darwish, Mimin sebenarnya s**a sama etos kerjanya, tapi ya gitu, kontrol sering kejauhan, long ballnya sering ngawur, dan giliran syuting, eh cepat. Ini Mimin bilang begini bukan berarti Mimin benci lho ya, tapi ini fakta dan semoga semua pemain belajar. Karena kalau mainnya masih bawa penyakit lama pemain didikan lokal, yaudah berat pas nanti dikualifikasi Piala Asia. Dan sebenarnya, final ini seolah menunjukkan kalau tim ini memang masih banyak kurangnya. Mulai dari kedalaman squad, sampai hal-hal basic sepak bola terutama segi urusan progresi passing. Itulah kenapa, mungkin jika Laurin Ulrich yang katanya, jadi salah satu pemain yang akan dinaturalisasi nonton match ini, so pasti dia juga ikut geregetan karena kepres dikit passing ke belakang. Intinya yaudah terima aja kalau kita emang layak kalah dari sisi teknis melawan Vietnam. Sementara itu, terkait hal-hal nonteknis, ini juga jadi catatan penting nih, terutama buat AFF. Pertama, jelas soal wasit. Nah, di laga ini, gak tau kenapa, kalau pemain Indonesia dilanggar, wasitnya seolah moto peteng. Tapi giliran pemain Vietnam di Senggol, walah langsung prit, terutama di babak pertama, yang sumpah bikin panas. Kedua, soal gaya main Vietnam yang asli tengil dan penuh provokatif. Nah, ini berkaitan dengan catatan ketiga. Terkat karakter wasit Koji Takasaki yang sepertinya udah dipahami betul sama Vietnam untuk ambil keuntungan. Ya bagi yang belum tahu, wasit Koji ini emang dikenal kontroversial dan Indonesia bukan pertama kalinya merasa jengkel sama keputusan-keputusannya. Sebab di Laga Indonesia vs Filipina di fase grup Piala FF Senior 2024 lalu, dia adalah orang yang ngasih kartu merah buat Muhammad Ferrari di akhir babak pertama karena dianggap berlebihan. Nah, laga itu sendiri menjadi laga debut Koji, mimpin laga internasional. Yap, Koji Takasaki ini emang dikenal dengan pendekatan disiplin tinggi dalam memimpin laga, yang mana ia nggak segan memberikan kartu untuk menjaga tempo dan integritas pertandingan. Data menunjukkan bahwa pada musim 2024, di J1 League, dari 13 pertandingan yang ia pimpin, tercatat ada 37 kartu kuning dan 3 kartu merah keluar dari sakunya. Kemudian di ajang AFF U16 2024, Ia bahkan pernah memberikan tujuh kartu kuning dan satu kartu merah, termasuk kepada baik muda Indonesia U16, Raihan Apriansyah, saat lagam awan Australia. Sehingga menjadi hal yang wajar jika Eric Thohir sedikit merasa agak males-males gitu pas deketan sama Presiden AFF. Karena ya gimana bisa? Sebuah laga final dipimpin oleh wasit yang jam terbangnya di level internasional terbilang masih cetek Ditambah dia adalah tipe wasit yang kalau pelanggaran dianggap ringan gak bakal disemprit Tapi yang bikin kocak, VAR seolah gak ada gunanya di laga ini Plus pemain Indonesia yang kayaknya polos-pol gitu loh Seperti misal pemain Vietnam guling dikit, eh bolanya langsung dibuang padahal lagi momentum. Padahal sama wasit belum niub, yaudah serang aja. Toh keliatan abis dihentikan, gak berselang lama pemain Vietnam udah ngibrit lagi. Jelas hal-hal ini juga perlu para pemain buat belajar, karena di level internasional gak bisa kita sepolos itu. Contohlah seperti Justin Hoepner, yang kita inget pas lawan Vietnam gimana dia melakukan intimidasi yang bikin pemain Nguyen gak berani aneh-aneh. Ya intinya jangan polos-polos lah, kan gitu. Yap, terlepas dari apapun, yang udah, yaudah. Kalah ya kalah, gak usah terlalu berlarut dalam kesedihan. Sebab di depan sana, masih ada kualifikasi Piala Asia yang mana kita segrup sama Korea Selatan, Laos, dan Makau. Jadi hal-hal basic serta pemahaman, situasi main di level tertinggi, entah itu teknis ataupun non-teknis, harus benar-benar ditingkatkan. Karena kalau enggak, jangan kaget, kalau nanti di kualifikasi Piala Asia atau semisal kita lolos ke Piala Asia, sektor-sektor sentral bakal diisi oleh pemain diaspora. Karena sejatinya, di timnas U23 kita masih ada nama-nama seperti Dion Marks, Tim Gepens, Welber Jardim, hingga beberapa nama yang kabarnya masih dalam proses seperti Mauro Zellstra, Adrian Wibowo, sampai mungkin Laurin Ulrich. Dan gak menutup kemungkinan, akan ada pemain-pemain lain yang bakal dinaturalisasi kalau itu memang dibutuhkan. Sebab nama-nama seperti Delano, Van Der Heiden, Luka Blondel, sampai Jim Kroku bisa aja sekalian diangkut sekalian. Ingat, kalau udah bicara timnas, ini soal kualitas, jadi gak ada istilah kasian-kasian. Yang ada bersen secara sehat dan buktikan semuanya di atas lapangan, kan gitu. Semoga kekalan ini jadi pelajaran kalau main bola gak cuma sekedar urusan teknis, tapi mental menguasai non teknis juga harus diperkuat. So masih ada waktu, maaf kalau mimin seolah mencurahkan semua unek-unek. Pokoknya ya, kalau bagus mimin bilang bagus, kalau jelek ya jelek. Bukan sok tau atau gimana-gimana, tapi ngasih kritik saran adalah hak kita sebagai fans Timnas Indonesia. Yang penting gak keluar dari koridor sepak bola, kan gitu. Maka dari itu, buat semua elemen Timnas, tetap semangat dan sukses selalu, oke? Kita Garuda! Terima kasih.