B erl cosmetic pringgabaya

B erl cosmetic pringgabaya akun reading

(6) Demi Keponakan, Aku Biarkan Istriku Melahirkan Sendiri. Tapi Dua Hari Kemudian, Aku Menangis Saat Menemukan Surat Ce...
15/09/2025

(6) Demi Keponakan, Aku Biarkan Istriku Melahirkan Sendiri. Tapi Dua Hari Kemudian, Aku Menangis Saat Menemukan Surat Cerai dan Kejutan Lain yang Menghancurkan Hidupku!

"Makasih ya Om, sudah ngajakin Nindia shopping. Om Hendri memang paling baik sedunia!"

Nindia berseru dengan mata berbinar. Gadis kecil itu berjalan sambil memelvk lengan sang paman, seolah tak ingin dilepaskan.

"Nindia s**a banget sama baju, tas, dan koleksi aksesories yang Om beliin," sambungnya sambil terkikik senang, memamerkan gelang warna-warni di pergelangan tangannya.

Tak tanggung-tanggung pamannya langsung mengajaknya masuk butik ternama di salah satu pusat perbelanjaan saat dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit.

"Uni juga makasih, Hen." Dahlia menyusul di belakang, memelvk tas tangan coklat berlogo emas.

"Uni pikir seumur hidup gak akan pernah nenteng tas ma hal kayak di butik tadi."

Mereka tertawa bersamaan. Hendri merentangkan tangan, seolah ingin merangku\vl keduanya sekaligus.

"Uni gak perlu makasih. Aku akan usahakan apa pun demi kebahagiaan Uni dan Nindia," katanya yakin, lalu membungkuk sedikit untuk mengusap rambut keponakannya.

Nindia tertawa geli, wajahnya berseri. Gadis kecil itu sangat bahagia karena Hendri selalu memanjakan dirinya sejak kecil.

"Pokoknya asal Uni dan Nindia senang, pasti aku usahakan."

Hendri menghenyakkan tvbuhnya ke sofa. Ia melepaskan napas lega seperti seseorang yang telah melakukan hal besar dan mulia.

Di sisi lain ruangan, Dahlia sudah menurunkan beberapa kantong belanjaan ke atas meja kaca. Mata wanita itu berbinar karena tadi Hendri mengizinkan mereka belanja sepuasnya. Tak sia-sia ia mengeluh terus menderita di rumah selama ini.

"Anggap saja ini hadiah karena Nindia gak perlu nginep lama di rumah sakit," katanya lagi sambil melirik keponakannya yang masih sibuk mencoba kaca mata hitam mainan di depan cermin kecil.

Hatinya mengembang melihat p**i gembul itu berseri kemerahan karena girang. Di balik senyumnya, terselip rasa bangga. Ia berhasil membahagiakan sang kakak dan keponakan satu-satunya.

"Tiara benar-benar kelewatan," desis Hendri sambil menggeleng pelan. Ia teringat akan istrinya.

"Selama kita di rumah sakit, dia sama sekali gak nanyain keadaan Nindia. Dia gak khawatir sama sekali."

Nada suaranya berubah getir. Tangannya mengepal di atas pahanya. Ia kesal karena istrinya jangankan datang, menelepon ke nomor Uni Dahlia pun tidak.

"Gak papa, Hen." Dahlia duduk perlahan, ekspresinya berubah sendu. Ia paling s**a saat Hendri merasa kesal pada Tiara.

"Uni maklum kok kalau istrimu memang gak s**a sama kami."

Dahlia membetulkan letak tas di pangkuannya, lalu melirik adiknya sejenak. Ia membaca raut wajah Hendri yang kembali mengeras.

"Kamu belanjain kami begini, pasti Tiara nanti marah-marah," ucapnya lirih, tapi nada provokatif itu tak bisa disembunyikan.

Hendri mengangkat dagunya. Tatapannya lurus, meyakinkan. Ia pasti akan melindungi keluarganya. Ia sudah berjanji pada Amak akan menjaga Uni Dahlia dan Nindia.

"Uni jangan takut. Aku gak peduli tanggapan Tiara. Uangku ya milik Uni dan Nindia juga."

Senyum yang ia lemparkan kali ini tak hanya menenangkan, tapi juga menyembunyikan sesuatu.

Yah... ua ng Tiara berarti ua ngnya juga kan? Lagip**a ua ng dua ratus jvta di A T M itu kan tabungan bersama. Ua ng istri ya ua ng suami juga. Ia tak perlu merasa bersalah karenanya.

Aku akan secepatnya mengganti ua ng tabvngan untuk pers4linan anak kami. Tiara gak akan tahu kalau ua ngnya sudah kupakai untuk menyenangkan Uni dan Nindia terlebih dahulu. Hendri bergumam dalam hati.

Ia menyandarkan punggungnya. Matanya terpejam sebentar. Ia sama sekali tak menyadari ada sepasang telinga yang tengah mendengar percakapan di antara mereka dengan hati remvk redam.

Di sudut yang berbeda, Tiara mengepalkan tangannya erat-erat. Sendi-sendi jemarinya bergetar, menahan kemarahan yang mendiidih hingga ke ubun-ubun. Nafasnya memburu, tersendat oleh d a d a sesak dan hati yang remvk.

Tega kamu, Bang. Ua ng yang harusnya untuk persiapan pers4linan anak kita, malah kamu pakai untuk bersenang-senang.

Desis itu bergema di dalam hati, p a n a s dan t a j a m seperti b e l a t i.

Air matanya menetes pelan, menelusuri p**inya yang pucat. Ia menyekanya cepat-cepat. Ini bukan saatnya untuk rapuh. Bukan di hadapan orang-orang yang memperlakukannya dengan c u r a n g.

Dengan tvbuh yang masih lemah, Tiara menggeser pintu kamar. Bunyi engsel berdecit pelan saat ia melangkah keluar. Tangannya menempel pada sisi tembok agar tak terjatuh.

"Bagus, ya, Bang," suaranya serak, sarat akan kepahitan.

"U a n g untuk persalinan malah kamu pakai untuk menyenangkan mereka."

Tiara mengacungkan tangan ke arah Dahlia dan Nindia. Ia melangkah pelan. Tatapannya lurus seakan menembvs orang-orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu itu.

Tawa yang tadi menggema pun terhenti seketika. Mereka tampak terkejut menyadari ternyata Tiara mendengar percakapan barusan.

"Dua ratus jvta kamu habiskan dalam waktu sehari. Kamu..."

Tiara tertawa getir. "Di mana otakmu, Bang!"

Jeritannya pecah, menggema ke seisi rumah. Hendri tersentak kaget, nyaris menjatuhkan ponselnya. Ia tak mengira istrinya akan meradang seperti itu.

"Dek? Sayang?" Hendri melangkah mendekat.

"Kamu... di kamar dari tadi?"

Seketika wajah Hendri memucat. Ia kira istrinya pasti sedang jalan-jalan keluar seperti yang selama ini sering diceritakan oleh kakak perempuannya. Ia bahkan tak menyadari kalau perut besar istrinya sudah mulai mengempis. Matanya juga buta karena tak menyadari betapa pucatnya wajah di depannya itu saat ini.

"Memangnya kamu berharap aku di mana, Bang?" Tiara tersenyum sinis. Tatap matanya tajam seakan ingin mengiris suaminya saat itu juga.

Hendri menghela napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri, lalu mengangkat tangan seolah menyuruh semua orang diam. Tiara selama ini selalu menurut dengannya. Kali ini pun pasti demikian.

"Sudahlah, Dek. Abang melakukan ini untuk Nindia," katanya. "Itung-itung hadiah karena dia sudah sehat kembali."

Ia menoleh ke Dahlia dan Nindia yang kini sudah duduk kaku di sofa. Seperti biasa, Hendri berdiri di sisi keluarganya. Ia seakan lupa kalau setelah menikah istri lah yang seharusnya menjadi yang utama dan bagian dari keluarga.

"Nindia baru keluar dari rumah sakit. Dia masih capek. Jangan bikin dia sedih," sambungnya lagi, suara tenang yang terdengar lebih seperti tuduhan.

"Bang!!!"

Tiara meravng, matanya mencari-cari. Suaminya sudah sangat keterlaluan. Selalu saja mereka yang terus dikhawatirkan.

Vas bunga di sisi lemari menarik perhatian Tiara. Ia beringsut ke sana, tangannya gemetar berusaha untuk menjangkau.

"Sudahlah, Tiara. Kamu juga... Masa keponakanku di rumah sakit kamu sama sekali gak nanyain?"

Hendri masih saja mencari pembenaran. Alih-alih minta maaf, ia malah kembali menyalahkan.

"Kalaupun ponselku mati, harusnya kamu bisa telepon Uni untuk nanyain kabar!"

Tiara berhasil menggenggam leher vas. Kesabarannya sudah di titik penghabisan.

"Menikah denganku harusnya kamu juga terima keluargaku. Jangan mentang-mentang—"

Kata-katanya terhenti. Dalam sekejap vas bunga di tangan Tiara melayang di udara, meng han tam dinding tepat di samping kepala Hendri.

PRAAAANG!!

Bunyi p e c a hannya memecah keheningan. Nindia men je rit kecil, Dahlia memeluk anaknya erat-erat.

"S i a l a n kamu, Bang!" Tiara menjerit hingga suaranya serak.

"Kembalikan ua ng persalinan untuk anakku sekarang!"

Baca versi tamat di aplikasi KBM
Judul: Balas Dendam untuk Suami Pengkhianat
Penulis: LiaRoeslan

Suami se l i n g kuh. Nangis guling-guling? Labr4k dan m a ki- m a ki wanitanya? Atau ... marah-marah sama suami? Tidak ...
15/09/2025

Suami se l i n g kuh. Nangis guling-guling? Labr4k dan m a ki- m a ki wanitanya? Atau ... marah-marah sama suami? Tidak untuk Arini. Dia pergi melamar perempuan itu. Dan yang terjadi, justru membuat suami dan keluarganya menyesal seumur hidup.

○○○

Bab 4 Rencana Pembalasan Arini

Arini berdiri di dapur dengan senyum misterius di wajahnya. Wangi mi goreng yang kaya rempah menguar di udara, memenuhi ruangan kecil itu. Ia memasak dengan penuh ketelitian, memastikan setiap bumbu tercampur sempurna. Tapi, ada satu bahan tambahan yang istimewa dalam masakannya kali ini—bubuk penca h a r yang telah ia taburkan secara merata, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

“Ini akan menjadi malam yang panjang untuk kalian semua,” gumamnya sambil terkekeh pelan.

Saat semuanya siap, Arini menyusun hidangan dengan rapi di meja makan, lengkap dengan minuman spesial yang juga telah ‘diperkaya’. Ia mengunci pintu sebelum bergegas ke k a m a r, pura-pura sibuk dengan sesuatu.

Ketukan keras menggema di pintu. “Assalamualaikum! Arini, buka pintunya!” Suara Adam terdengar tak sabaran.

Arini sengaja menunda sejenak sebelum menjawab, “Iya, sebentar!”

Dengan sedikit berlari, ia mengambil kunci yang tergantung di dekat kulkas, lalu membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, Adam men d o r o n g nya k a s a r hingga t u b u h Arini terbentur tembok.

“Ngapain sih dikunci segala?!” bentaknya.

Arini menahan s a k i t di punggungnya, lalu berusaha tersenyum. “Aku tadi m a n di, Mas. Takut ada orang masuk, jadi aku kunci,” katanya beralibi.

Adam tidak tertarik mendengar alasannya. “Aku lapar. Masak apa kamu?” katanya sambil berjalan ke meja makan. Begitu membuka tudung saji, matanya berbinar.

“Mie goreng istimewa!” seru Arini dengan nada riang.

Tanpa menunggu lebih lama, Adam langsung mengambil piring dan mulai melahap mie goreng itu dengan begitu lahap. Arini hanya berdiri di sampingnya, memperhatikan setiap suapan dengan tatapan penuh arti. Senyuman mengembang di b i b i r nya, menatap p u a s dengan apa yang sedang ia tonton saat ini. Hatinya bersorak, siap menanti a d e g a n selanjutnya, nanti m a l a m.

“Hm, enak banget, Ar!” katanya dengan m u l u t penuh. “Nambah d**g!”

Arini bersorak dalam hati. Yes! Misi pertama berhasil! Ia dengan cekatan menyendokkan lagi mie ke piring suaminya.

“Oh ya, Mas,” katanya dengan nada p o l o s. “Aku juga masak lebih buat Ibu, Bapak, dan adik-adik. Tapi tolong Mas yang antar, ya. Bilang aja Mas beli di luar, biar mereka nggak nolak.”

Adam tertawa kecil. “Belum tahu aja mereka kalau masakan kamu seenak ini. Kalau tahu, pasti mereka nggak bakal nolak.” Adam dengan percaya diri, tersenyum tampak begitu p u a s.

Arini tersenyum manis, meski dalam hatinya men d i d i h mengingat perlakuan Juleha, ibu mertuanya. Juga toxic nya adik-adik iparnya kepadanya. Arini bersumpah, tidak akan menjadi perempuan yang l e m a h lagi mulai sekarang. Dia akan memperlihatkan ke keluarga suaminya itu. Kalau dia bukanlah Arini yang lem a h, dan bisa mereka t i n d a s begitu saja. Ia teringat, kala dulu ia sering mengirimkan makanan ke r u m a h mertuanya.

Flashback on

“Makanan apa ini? Cuma opor ayam aja dikasih ke sini?” Juleha men c i b i r sambil membuang opor pemberian Arini ke tong s a m p a h.

Arini hanya bisa terdiam, menahan air mata. Baru dua bulan menikah, tapi perlakuan mertuanya sudah begitu k e j a m. Semua yang ia berikan selalu ditolak mentah-mentah, seakan-akan dirinya hanyalah sa m p a h tak berguna.

Flashback off

Kini, giliran mereka yang akan menerima ‘hadiah’ darinya. Mata Arini menyipit, dengan perasaan hati yang tak dapat dilukiskan lagi g e r a m nya.

Adam mengangguk p u a s saat melihat bungkusan mi goreng yang telah dikemas dengan rapi.

“Rapi banget, Ar. Sip, pasti mereka nggak akan curiga," ucapnya, menatap bungkusan rapi yang dibuat Arini, istrinya

Arini mengangguk. “Hati-hati, Mas,” katanya manis.

Membiarkan Adam pergi meninggalkan rumah mereka, menuju r u m a h ibunya, Juleha. Ia sengaja membuntuti langkah suaminya diam-diam. Ingin mengetahui, apa reaksi mereka, mendapatkan mie goreng buatannya itu. Dalam sekejap, Adam sudah pergi. Arini menyaksikannya dari jauh, jantungnya berdebar menunggu reaksi keluarga suaminya.

Saat Adam tiba di r u m a h ibunya, ia berkata, "Bu, aku b e l i oleh-oleh nih. Enak banget, aku sudah makan satu porsi. Jangan minta nambah, ya, karena itu tinggal stok terakhir."

"Wah, enak ini kayaknya," sahut Ibu Juleha segera mengambil satu bungkus, diikuti oleh ayah dan adik-adik Adam. Tak ada yang mengetahui bahwa di balik senyuman Arini, ada rencana yang lebih dalam.

"Wah, enak bener ini, Dam! Besok beli lagi, ya!" Juleha bersuara dengan lahap, saat Arini berada di balik tembok, mendengarkan semua pujian itu.

Di dalam hati, Arini terkekeh penuh kemenangan. “Tunggu saja setelah ini. Apa yang kalian akan rasakan. M o n c r o t-m o n c r o tlah, n i k m a t i hadiah pertamaku,” gumamnya, meninggalkan dapur dengan senyuman menyeringai, merencanakan langkah selanjutnya dalam misi besarnya.

Arini tahu, ini baru permulaan. Kejutan sesungguhnya masih menunggu, dan s a k i t hati ini akan ter b a y a r tuntas. Dengan tekad yang membara, semangatnya semakin meng g e l o r a: saatnya menunjukkan siapa Arini sebenarnya!

bersambung

Judul : Melamar Se l i n g k u han Suami
Penulis : Akay_ferihana

Selengkapnya, sudah tamat di aplikasi KBM App.


"Istriku, nanti malam ada waktu luang nggak, bertengkar yuk!""Enggak, nanti malam ada jadwal demam dan pusing," jawab is...
15/09/2025

"Istriku, nanti malam ada waktu luang nggak, bertengkar yuk!"

"Enggak, nanti malam ada jadwal demam dan pusing," jawab istriku ketus.

"Yaudah berati nanti malam acaranya ngurusin kamu yang lagi sakit," ucapku sambil nyengir kuda.

Yumna mendengus kesal.

"Kenapa sih ngambek mulu?" tanyaku sambil menatap wajah cantik istriku yang terlihat masam.

"Jengkel punya suami kayak kamu!"

"Lah kenapa?"

"Udah lah sana mas, berangkat kerja kek biar nggak dihina pemalas sama keluargaku. Biar bisa beliin istrimu barang-barang mewah. Jadi suami kok nggak punya inisiatif buat nyenengin istri!" Yumna berdecak sebal.

"Aku lagi ngetes kesabaran kamu, Dek. Nanti kalau lulus, aku beliin cireng!" Aku terkikik.

"Nggak jelas!" Yumna memalingkan wajah.

"Oke-oke aku turutin kemauan kamu. Aku mau berangkat kerja. Enaknya kerja apa tapi?"

"Terserah, yang penting jangan tidur mulu di rumah. Sekarang kamu tuh jadi santapan empuk orang-orang kampung, Mas," jelas Yumna.

"Emangnya mereka pikir aku ubi rebus?"

"Ishh, kamu itu sekarang masuk jajaran teratas bahan ghibah orang-orang, Mas!" Yumna meninggikan nada suaranya kesal.

"Alhamdulillah."

"Kok Alhamdulillah sih!"

"Iyalah, dosanya berkurang."

"Aku nggak mau ngomong sama kamu sebelum kamu mau berangkat kerja."

"Yaudah iya!"

Aku masuk ke kamar, membuka lemari kemudian mencari pakaian untuk berangkat kerja. Enaknya kerja apa ya?

Mau ikut kerja orang-orang desa males. Adanya cuma buruh. Panas, nanti kulitku hitam. Mau ngelamar kerjaan ke kota juga males, gaji nggak seberapa, bosnya semena-mena, temen kerjanya toxic p**a.

Lebih baik pura-pura kerja aja, demi menyenangkan hati istri.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan kemeja lepek dengan bawahan celana formal berwarna hitam. Memakai topi dan juga tas kecil berisi sarung dan sajadah. Biar sewaktu-waktu kalau mau sholat enak.

"Yaudah dek aku mau berangkat kerja dulu!"

Yumna menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan wajah melongo. "Mau kerja apa mas, pake pakaian kayak gitu?"

"Servise AC!"

Yumna menepuk jidat. "Sejak kapan kamu bisa servise AC? Masang gas di kompor aja masih salah. Lagian mana ada AC di rumah orang desa?"

"Namanya juga usaha, Yum!"

"Yaudah pokoknya p**ang harus bawa uang banyak!"

"Buset, udah kayak tuyul aja."

"Bodo amat!" Yumna memalingkan wajah. "Nggak boleh p**ang sebelum bawa uang."

"Kalau gitu usah berangkat kerja kalau cuma butuh u4ng," jawabku.

"Mana bisa dapat uang kalau nggak kerja, Mas?"

"Gampang, kita pergi ke bank sambil bawa sertifikat tanah, terus ngajuin pinjaman!"

Yumna melempar wajan ke arahku!!

***

Yuk baca cerita lengkapnya di KBM app, judulnya Sosok Asli suamiku, karya Nurudin Fereira

Bismillah Mulai ikhtiar lewat sini Semoga Allah permudah Amiin 🤲
15/09/2025

Bismillah
Mulai ikhtiar lewat sini
Semoga Allah permudah

Amiin 🤲

(4) "Om, beli satu aja tisunya, Ummi saya lagi sakit, belum makan dari tadi pagi."Biasanya aku cuek kalau lihat anak kec...
07/08/2025

(4) "Om, beli satu aja tisunya, Ummi saya lagi sakit, belum makan dari tadi pagi."

Biasanya aku cuek kalau lihat anak kecil jualan.
Tapi kali ini, ada yang aneh. Matanya, suaranya, bahkan caranya berdiri.

Dan saat dia menyebut namanya. Aku langsung lemas. Itu nama yang dulu kupilih. Untuk anakku, sebelum istriku menghilang tanpa jejak.

***

ANAK PENGEMIS ITU ANAK KANDUNGKU (4)

“Gibran, kamu dan Ummimu di mana?”

Alvaro mengedarkan pandangannya ke ruang tunggu rumah sakit yang sepi. Suaranya lirih, hanya angin AC yang menjawab.

“Mas, Mas di mana? Mas bilang cuma ke toilet, tapi aku udah nunggu di sofa lobi hampir setengah jam!”

Suara Syalsha memecah lamunannya dari ponsel yang terus berdering. Alvaro menarik napas dalam, lalu menempelkan ponsel ke telinga.

“Maaf, Syal. Ada urusan mendadak.”

“Nggak bisa gitu d**g, Mas! Kita cuma punya waktu seminggu lagi sebelum nikah. Hotel, katering, semua harus dicek hari ini. Kenapa Mas malah ngilang begini sih?”

“Aku... Aku di rumah sakit.”

“Di... APA? Rumah sakit?!”

Syalsha mendengkus keras. “Mas, kita ini mau menikah! Dalam seminggu! Mas pikir hotel dan dekor itu bisa disulap semalam? Please lah, jangan sok dermawan di saat krusial begini!”

Alvaro terdiam. Wajah Gibran yang pucat dan matanya yang berkaca-kaca saat meminta tolong terbayang jelas.

"Mas, aku nggak tahu harus gimana. Aku takut... Ummi... Ummi kenapa-kenapa..." Suara itu menggema di kepala Alvaro, menenggelamkan rengekan kesal calon istrinya.

“Mas! Halo?! Dengar nggak sih?!”

Alvaro menjauhkan ponsel, menekan tombol mute. Dia menghela napas berat, lalu menoleh ke seorang petugas perawat yang baru keluar dari ruang IGD.

“Permisi, Mbak, Pasien ibu-ibu, nama anaknya Gibran, Mbak tau gak ya?” Petugas membuka komputer di depannya, lalu menggeleng.

“Maaf, Pak. Ciri-cirinya tidak spesifik, kami tidak bisa mencari tau, kalau hanya anaknya saja yang bapak tau namanya.”

Alvaro membeku. "Kalau sudah tidak di sini, lalu ke mana?"

Ponselnya kembali bergetar. Panggilan masuk dari Syalsha. Lagi. Dengan kesal, Alvaro menekan jawab.

“Mas, aku sumpah nggak ngerti kenapa Mas begini banget. Kita udah atur semuanya rapi—”

“Syal, aku nggak bisa. Aku... Aku lagi nyari anak kecil. Dia panik tadi. Dia butuh aku.”

“ANAK KECIL?! Sejak kapan Mas jadi babysitter anak pengemis?!”

“Dia bukan pengemis,” suara Alvaro meninggi, tak bisa menahan amarah yang menumpuk.
Syalsha terdiam sejenak, terkejut.

“Mas... Mas barusan bentak aku?”

Alvaro menutup mata. Menyesal, tapi juga muak dengan drama yang tak berujung.

“Syal, tolong. Aku butuh waktu. Kalau kamu keberatan, kamu boleh terusin survey sendiri. Aku titip anak buahku nemenin kamu.”

“Mas, ini bukan cuma soal survey. Ini tentang kita. Tentang masa depan kita! Mas pilih anak kecil jalanan itu daripada aku?”

“Bukan begitu.”

“Lalu apa?!”

“Aku cuma... Aku ngerasa harus ada di sini. Ada yang aneh. Aku nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”

Alvaro mematikan panggilan tanpa menunggu jawaban. Ia menoleh ke arah bodyguard pribadinya yang berdiri tak jauh.

“Cari anak kecil bernama Gibran. Umurnya sekitar lima tahun. Dia bawa tas lusuh warna coklat. Cari tahu ke mana dia dan ibunya dirujuk.”

“Siap, Pak.”

Alvaro duduk di bangku panjang ruang tunggu, menatap lantai dingin rumah sakit yang memantulkan cahaya lampu.

"Kenapa aku ngerasa, seolah aku kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar anak kecil?"

Ponselnya bergetar lagi. Kali ini pesan masuk. Dari Syalsha.

[Kalau Mas lebih milih anak jalanan daripada calon istrimu sendiri, jangan salahin aku kalau aku pergi.]

Alvaro tidak membalas. Ia hanya menatap layar ponsel itu lama, sebelum akhirnya menekannya hingga gelap. Ia berdiri.

“Pak, kami dapat info. Gibran dan ibunya dibawa ke RSU pusat, naik ambulans dari sini.”

“Baik. Siapkan mobil. Kita ke sana sekarang.”

Tapi langkah Alvaro terasa berat. Ada keraguan yang tak ia mengerti, seperti jiwanya sedang berjalan menyusuri jejak yang pernah ia tinggalkan, lama sekali, entah kapan.

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Anak Pengemis itu Anak Kandungku
Penulis : rahmalaa

Judul: Sahabatmu adalah Maduku (Tamat)Penulis: May Hape Platform: KBM "Ha mil di tengah krisis rumah tangga. Apakah ini ...
07/08/2025

Judul: Sahabatmu adalah Maduku (Tamat)
Penulis: May Hape
Platform: KBM

"Ha mil di tengah krisis rumah tangga. Apakah ini akhir atau awal yang baru?"

**********

Nafla melirik ke arah suaminya. Ia hanya tersenyum kecil tanpa kata-kata. Perlahan, ia meraih tangan Titan, menggenggamnya erat seolah ingin menyalurkan kekuatan yang ia sendiri tidak yakin ia miliki. Pandangan Nafla menembus manik-manik mata Titan, mencoba mencari jawaban atas kegelisahan yang mereka rasakan bersama.

"Kamu jangan merasa bersalah seperti itu, Mas Titan," kata Nafla lembut, suaranya bergetar. "Aku tidak masalah meskipun harus melakukan hal seperti ini. Kita ini suami istri. Jika ada ujian datang ke rumah tangga kita, aku akan tetap mendampingimu dan membantu semampuku. Akan tetapi--" Nafla berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. "Hanya satu ujian yang tak akan pernah bisa aku maafkan, yaitu per se ling kuh an."

Titan menatap Nafla dalam-dalam, merasakan ketulusan dan keteguhan hati istrinya. Ia hanya bisa mengangguk pelan, tak sanggup berkata apa-apa.

*

Hari-hari berlalu, dan usaha kecil mereka mulai menunjukkan hasil. Pesanan pizza buatan Nafla semakin banyak. Titan yang bertugas mengantar makanan selalu berusaha menepati waktu meski terkadang merasa lelah. Namun, peng ha sil an mereka masih jauh dari cukup untuk menutupi semua ta gih an yang terus menumpuk. Nafla bekerja keras setiap hari, mencoba mengimbangi kekurangan yang ada dengan semangat dan doa.

Namun, tubuh Nafla mulai terasa aneh belakangan ini. Ia sering merasa mual, pusing, dan kelelahan yang tak biasa. Pada suatu pagi, ia memutuskan untuk melakukan tes ke ha mil an. Jantungnya berdegup kencang saat melihat hasilnya—dua garis merah yang jelas. Nafla terduduk di lantai kamar mandi, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaan bahagia bercampur cemas menyelimuti hatinya.

Ketika Titan p**ang malam itu, Nafla mengumpulkan keberaniannya untuk memberi tahu kabar tersebut. "Mas Titan, aku hamil," katanya perlahan, suaranya bergetar.

Titan yang sedang melepas sepatu tiba-tiba terdiam. Ia menatap Nafla, raut wajahnya berubah. "Hamil?" tanyanya dengan nada tak percaya. "Bagaimana ini bisa terjadi? Kita tidak siap, Nafla! Keadaan kita sekarang buruk. Kita bahkan belum stabil secara finansial!"

Ucapan Titan bagai petir di siang bolong bagi Nafla. Ia merasa tersentak. Air matanya menggenang di sudut mata. "Aku tidak bisa mengontrol ini, Mas. Ini bukan salahku," balasnya, suaranya pecah. "Aku juga terkejut dan khawatir, tapi aku butuh dukunganmu, bukan kemarahan!"

Suasana semakin tegang. Nafla yang biasanya tenang, akhirnya tak kuasa menahan air matanya. Titan hanya bisa menunduk, merasa frustasi dengan situasi yang ada.

Beberapa hari setelah pertengkaran itu, suasana rumah mereka menjadi dingin. Nafla dan Titan jarang berbicara. Nafla merasa kesepian, meski ia tahu Titan juga berjuang menghadapi tekanan yang sama. Kekhawatiran akan masa depan terus menghantui mereka.

Akhirnya, Nafla memutuskan untuk mengunjungi Irene, ibu mertuanya, yang selalu menjadi tempatnya berbagi cerita. Ketika Nafla menceritakan semuanya, Irene mendengarkan dengan sabar.

"Anakku." Irene berkata dengan lembut, "kehamilan ini adalah berkah. Kadang, berkah datang di waktu yang tidak kita duga. Bahkan mungkin saat kita merasa tidak siap, tapi justru itulah tantangannya. Bersyukurlah, karena ini adalah kesempatan untuk memperkuat hubungan kalian."

Nafla terdiam, merenungkan kata-kata Irene. "Tapi Ma, ... Mas Titan tidak bahagia. Dia malah marah dan kecewa," katanya dengan suara yang hampir berbisik.

Irene menggeleng pelan. "Titan hanya merasa tertekan. Dia takut, sama seperti kamu. Percayalah, dia mencintaimu dan anak ini. Cobalah bicara dengannya lagi, dari hati ke hati. Jangan biarkan masalah ini menjauhkan kalian."

Sep**angnya dari rumah Irene, Nafla mulai memikirkan ulang segalanya. Dia menyadari bahwa pernikahan adalah tentang menghadapi segala hal bersama, baik s**a maupun duka. Keesokan harinya, Nafla mengajak Titan duduk bersama di ruang tamu.

"Mas Titan, kita harus bicara," ujar Nafla dengan suara penuh kesungguhan.

"Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Aku lelah dengan keadaan kita saat ini."

Bersambung





"Gantikan adikmu menikah! Atau saya akan membuat lisensi dokter-mu dicabut dengan berbagai macam cara. Ingat! Kamu cuma ...
31/07/2025

"Gantikan adikmu menikah! Atau saya akan membuat lisensi dokter-mu dicabut dengan berbagai macam cara. Ingat! Kamu cuma anak yang lahir dari rahim perempuan j a l a n g yang terpaksa saya biarkan hidup!"

Dia bahkan tidak mau aku memanggilnya Ayah, dan sekarang minta aku berkorban untuk anak kesayangannya?

——————————

Dering nyaring dari ponselnya membuat Kinan terbangun dengan kepala yang masih b e r a t. Ia menyipitkan mata, mencoba memahami a n g k a yang tertera di jam dinding kamarnya menunjukkan p u k u l 04.00 pagi. Di saat yang sama, suara gedoran k e r a s di pintu apartemennya membuatnya t e r s e n t a k.

Dengan jantung yang berdetak kencang, ia meraih ponselnya dan segera mengangkat panggilan itu.

Sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, suara d i n g i n dan penuh k e b e n c i a n terdengar dari seberang.

"Keluar dan ikut gue sekarang, a n a k ha ram!"

Klik.

Panggilan t e r p u t u s begitu saja, meninggalkan Kinan dalam keheningan yang semakin menyesakkan.

Ia menatap layar ponselnya dengan tangan sedikit gemetar. Kenzo. Kakak tirinya yang selama ini hanya berinteraksi dengannya dalam bentuk sindiran, s i k s a a n, hin aan, dan tatapan dingin penuh k e b e n c i a n.

Gedoran di pintu semakin k e r a s.

Kinan terdiam sejenak. Ia bisa saja mengabaikannya, mengunci diri di dalam kamar dan berharap Kenzo pergi. Tapi ia tahu itu tidak akan terjadi. Kenzo bukan tipe orang yang bisa diabaikan begitu saja.

Dengan langkah hati-hati, ia turun dari tempat tidur, meraih sweater tipis yang tergantung di lemari pakaian dan langsung ia kenakan, lalu berjalan menuju pintu. Detik-detik sebelum tangannya mencapai kenop pintu, suara Kenzo kembali terdengar dari luar, kali ini lebih rendah namun tetap t a j a m.

"Lama banget si! Jangan bikin gue dobrak pintu ini, Kinan."

Kinan menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya memutar kenop dan m e n a r i k pintu perlahan.

Di hadapannya, Kenzo berdiri dengan ekspresi penuh kejengkelan. Matanya yang t a j a m menatap Kinan seakan ingin m e n e l a n j a n g i setiap k e t a k u t a n yang berusaha disembunyikannya. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya sedikit berantakan, dan aroma r o k o k masih samar t e r c i u m dari t u b u h nya.

Tanpa banyak basa-basi, Kenzo meraih pergelangan tangan Kinan dan m e n a r i k nya keluar.

"Kak,"

Kinan terhuyung saat Kenzo m e n a r i k pergelangan tangannya dengan k a s a r. Ia mencoba m e m b e r o n t a k, namun genggaman pria itu terlalu k u a t.

"Gue bukan kakak lo!" suara Kenzo penuh dengan a m a r a h yang tertahan, seolah setiap kata yang keluar darinya adalah b e l a t i yang ingin m e n a n c a p di d a d a Kinan.

Kinan menatapnya dengan tatapan penuh l u k a, tapi ia menahan diri untuk tidak berkata apa-apa. Ia tahu, Kenzo tidak akan peduli.

Langkah mereka tergesa-gesa menuju lift. Kinan masih mengenakan sweater tipis, bahkan belum sempat mengenakan alas kaki. Kakinya yang t e l a n j a n g terasa dingin saat m e n y e n t u h lantai marmer apartemen.

"Lo mau bawa gue ke mana?" tanya Kinan dengan suara lirih saat mereka masuk ke dalam lift.

Kenzo hanya melirik sekilas dengan tatapan meremehkan sebelum menghembuskan napas k a s a r.

"Lo lupa? Hari ini lo akan menikah dan Ayah udah nunggu t u m b a l n y a datang ke rumah," katanya sambil tertawa s i n i s.

Jantung Kinan mencelos.

Ah, iya. Dia baru mengingatnya. Semalam, di tengah keputusasaan dan rasa pasrah yang m e n c e k i k nya, ia telah setuju untuk menggantikan posisi Keyla dalam pernikahan ini.

Mengorbankan dirinya demi adik tirinya yang k a b u r. Demi nama baik keluarga. Demi memenuhi kehendak seorang ayah yang tidak pernah benar-benar menganggapnya a n a k. Dan demi menyelamatkan karirnya sebagai dokter.

Tapi sekarang, saat kenyataan itu benar-benar m e n a m p a r n y a, napasnya terasa berat.

"Gue nggak siap," bisiknya nyaris tak terdengar, mencoba menahan k e t a k u t a n yang membuncah dalam d a d a nya.

Kenzo yang berdiri bersandar pada dinding lift hanya mendengus pelan, ekspresinya tak berubah sedikit pun. Dengan tangan bersilang di depan d a d a, pria itu menatap Kinan dengan tatapan meremehkan.

"Lo pikir ada yang peduli lo siap atau nggak?" suaranya dingin, m e n u s u k lebih t a j a m dari p i s a u. "Hari ini lo cuma perlu pakai gaun pengantin dan nikah sama laki-laki itu. Sesimpel itu, bukan?"

Kinan m e n g g i g i t bi bir nya, matanya mulai m e m a n a s. "Gue nggak ngerti... kenapa harus gue yang gantiin Keyla? Kenapa nggak dia aja yang hadapin ini sendiri?" suaranya bergetar, tapi ia tetap mencoba melawan.

Sejenak, mata Kenzo menyipit. Ada sesuatu di sana—kemarahan, p e n g h i n a a n, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam dan g e l a p. Tapi hanya sekejap, lalu ekspresi itu lenyap, digantikan dengan tatapan dingin dan senyum m i r i n g yang penuh ejekan.

"Karena Keyla a n a k kesayangan Ayah," katanya, nada suaranya penuh sinisme. "Dan lo? Lo cuma a n a k haram!"

D a r a h Kinan berdesir, seolah jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia sudah sering mendengar h i n a a n itu dari Kenzo, tapi kali ini rasanya lebih m e n y a k i t k a n.

"Seharusnya lo bersyukur," Kenzo melanjutkan, suaranya sarat dengan k e j a m nya kenyataan. "Laki-laki pilihan Ayah buat Keyla udah pasti yang terbaik. Dan sekarang, laki-laki itu akan jadi suami lo."

Kinan merasakan tubuhnya melemas. Ia ingin menolak, ingin melawan, tapi apa gunanya? Semua sudah diatur. Sejak ia mengirim pesan singkat berisi persetujuan itu, hidupnya tak lagi menjadi miliknya sendiri.

"Apa lo nggak kasihan sama gue, Ken?" Kinan bertanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.

Kenzo menatapnya t a j a m. "Kasihan?" Ia tertawa kecil, sinis. "Lo pikir lo siapa? Gue nggak punya alasan buat kasihan sama lo. Kita memang satu Ayah, tapi beda ibu! Ibu Lo p e l a c u r, ingat itu!

Kinan menunduk, kedua tangannya m e n g e p a l erat di sisi tubuhnya.

Kenzo tertawa j a h a t, lalu menambahkan kembali. "Dengerin gue baik-baik, Kinan. Hidup lo dari awal bukan punya lo. Lo itu cuma kesalahan yang dipelihara. Dan sekarang, kesalahan itu akhirnya punya gunanya."

Ding.

Suara lift menandakan mereka telah sampai di lantai dasar.

Pintu terbuka, memperlihatkan lobi yang sepi. Kinan masih berdiri kaku di tempatnya, sementara Kenzo sudah melangkah keluar.

Melihat Kinan tidak bergerak, pria itu menghela napas k a s a r sebelum kembali meraih pergelangan tangannya dan m e n a r i k nya dengan p a k s a.

"Jangan bikin gue kehilangan kesabaran, Kinan."

Kinan tidak menjawab. Langkahnya terasa berat, tapi ia tetap mengikuti Kenzo keluar.

Di luar, mobil hitam sudah menunggu.

Hawa dingin pagi m e n u s u k kulitnya, tapi tidak sedingin rasa ketakutan yang kini merayapi hatinya.

Hari ini, ia akan menikah. Dengan seseorang yang bahkan ia tidak kenal. Dan sejak detik ini, ia tahu—hidupnya bukan lagi miliknya sendiri

🥀🥀🥀
Judul: Suamiku, Tentara Dingin!
Penulis: Istri_V
L i n k ceritanya ada di kolom komentar 👇

Address

Anggaraksa
Selong
83654

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when B erl cosmetic pringgabaya posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share