10/10/2025
𝙶𝚊𝚍𝚒𝚜 𝙿𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝙺𝚎𝚖4𝚝𝚒𝚊𝚗 (2)
Wulan menatap tajam gadis berambut pendek di sampingnya. Ia semakin gelisah. “Kamu kehilangan tasmu?” tanya Wulan seketika.
Gadis yang ditanya ternganga. “Bagaimana kamu tahu? Bahkan aku—”
“Termasuk dompet dan ponselmu?” potong Wulan.
Gadis itu mengangguk pelan dengan wajah yang semakin bingung.
“Ya Tuhan …,” ucap Wulan tak percaya.
Ia segera memasukkan earphone ke saku jaket dan berteriak, “Berhenti, Pak. Hentikan bus ini! Aku mau turun!”
Gadis berambut panjang itu segera berlari ke depan, mendekati sopir dan juga kernet bus. “Kumohon, hentikan busnya, Pak. Aku mau turun di sini saja!” pinta Wulan memelas.
Sopir bus yang terlihat bingung, memberi kode pada kernetnya untuk bicara pada Wulan.
“Jangan ngaco kamu, ini masih di tengah hutan. Duduk lagi sana, sebentar lagi kita akan sampai ke desa sebelah dan kamu baru boleh turun di sana,” balas sang kernet kesal.
“Tidak, Pak. Bus ini akan masuk ke jurang, kita semua akan mati! Aku mohon, Pak. Hentikan busnya sekarang juga. Kita putar arah saja.” Wulan terus memohon pada kernet itu dengan wajah memelas.
“Berisik sekali kamu! Anakku sedang tidur. Duduk dan tunggulah kita keluar dari hutan ini, setelahnya baru keluar!” Umpatan dari salah satu penumpang yang tengah mengelus kepala seorang balita di pangkuannya, membuat Wulan bergidik takut.
“Tapi kita semua akan mati,” balas Wulan lirih.
“Jaga ucapanmu anak muda!” teriak salah satu penumpang lainnya.
“Sudahlah, turunkan saja dia di sini! Biarkan hewan buas menikmati tubuh kurusnya itu!” Seorang penumpang lain yang terlihat sangat marah, segera menarik Wulan mendekati pintu, meminta sopir menghentikan kemudi dan membukakan pintu.
Wulan diseret keluar dengan umpatan. Gadis itu terjerembap ke tanah, di pinggir hutan dengan Matahari yang tak lagi menampakkan sinarnya.
Bus pun kembali melaju, mata Wulan beradu dengan gadis berambut pendek yang berdiri di dekat jendela pintu belakang. Wulan terduduk lemas, lalu menekuk dan memeluk lututnya dengan badan gemetar.
Ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan yang sama seperti 8 tahun silam. Ia takut jika apa yang ada di mimpinya tadi akan menjadi kenyataan sama seperti dulu. Perlahan, Wulan menenggelamkan wajah pada lututnya.
“Kamu baik-baik saja?”
Wulan sontak mendongak, gadis berambut pendek yang bersamanya di dalam bus, kini ada di hadapannya.
“Ka-kamu?” tanya Wulan tak percaya.
“Ini.” Gadis berambut pendek tersebut menyerahkan earphone dan juga ponsel pada Wulan. “Terjatuh di bus,” ucapnya lagi.
“Terima kasih,” gumam Wulan pelan hampir tak terdengar.
Gadis itu ikut duduk di depan Wulan. “Aku Nadin.” Tangannya terulur ke hadapan Wulan.
“Wulan,” balas gadis berambut panjang itu dengan menyambut jabatan tangan Nadin.
“Aku sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi, tapi entah kenapa hati kecilku mengatakan kalau aku harus ikut turun denganmu. Dan earphone ini menjadi alasan terkuat untuk mengikuti bisikan hatiku,” ucap Nadin.
Wulan diam saja, ia bimbang. Haruskah menceritakan semua yang ia ketahui pada gadis yang baru dikenalnya? Kalaupun bercerita, ia pasti akan dianggap gila.
“Bagaimana kalau kita mencoba berjalan ke desa terdekat?” Ucapan Nadin memecah keheningan.
Wulan menoleh sekilas ke arahnya, lalu mengedarkan pandangan. Hari sudah mulai gelap.
“Desa terdekat masih jauh,” ucapnya pelan.
“Setidaknya akan terasa dekat saat kita mencoba berjalan, bukan?” balas Nadin seraya berdiri. Tanpa menjawab Wulan bangkit, membersihkan baju dan celana lalu berjalan menyejajari Nadin yang sudah berjalan terlebih dulu.
Mereka berjalan dalam diam, ditemani suara serangga penghuni hutan dan beberapa suara yang membuat bulu kuduk merinding.
“Aku datang dari kota. Mau ke desa kecamatan.” Nadin memulai bercerita.
“Kamu berasal dari sana?” Wulan mengerutkan dahi karena tak pernah melihat gadis berambut pendek itu. Wulan menghabiskan kesehariannya di desa kecamatan. Ia sangat mengenal setiap pemuda-pemudi di desa kecamatan serta desa-desa kecil di sekitarnya, dan tak sekali pun Wulan melihat gadis di sebelahnya itu. Lagipula, meskipun cukup berjauhan, adalah wajar jika masyarakat antara suatu desa dengan desa lainnya saling mengenal karena warga yang tak seberapa dan sering berinteraksi sesama. Berbeda dengan kehidupan di kota.
Nadin menggeleng pelan. “Aku tinggal di kota, tapi kakakku bekerja di desa kecamatan itu. Aku ke sini untuk mengunjunginya. Kebetulan sedang libur kuliah dan lumayan lama.”
Wulan manggut-manggut. Dalam hatinya, terselip rasa iri. Nadin hampir sebaya dengannya dan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan ia, harus membantu bibinya untuk bertahan hidup.
'Ah, kenapa aku berpikir seperti itu?' Wulan berusaha mengenyahkan pikiran buruknya.
“Apa itu?” Nadin menahan lengan Wulan saat rumpun semak tinggi di pinggir jalan bergoyang tiba-tiba.
Wulan menelan saliva. Kakinya terasa kaku dan sulit digerakkan. Adalah hal biasa jika ada beragam hewan liar menyeberangi jalan yang membelah hutan itu. Nadin semakin menggenggam tangan Wulan dengan erat, saat rumpun semak itu bergoyang hebat.
“Se-bentar, tunggu di sini,” ucap Wulan sambil melepas genggaman Nadin dan berjalan ke arah semak itu.
“Mau apa? Sudah, biarkan saja,” balas Nadin yang bingung dan berusaha menahan.
Baru beberapa langkah Wulan mendekat, tiba-tiba dari arah belakang semak meloncat sesosok yang membuat mereka terkejut. Dengan cepat, sosok itu menerkam tubuh Wulan dan menariknya ke rerumpunan semak belukar.
“Wulan!” teriak Nadin berusaha meraih tangan gadis kurus itu. Namun, terlambat. Dalam sekejap Wulan menghilang bersama teriakan minta tolong yang menyayat hati.
*** (Diharapkan baca dengan teliti dan pelan-pelan, karena part-part awal akan ada banyak perpindahan scene antara nyata dan mimpi) ***
“Wulan!” teriak Nadin. “Wulan, Wulan, hei! Ada apa denganmu? Kenapa diam saja!” Nadin mengguncang kedua bahu teman barunya yang mendadak terpaku tanpa sebab.
Wulan terkesiap. Segera tersadar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia memeriksa anggota tubuh yang seingatnya tengah ditarik paksa oleh sosok di balik semak. Ia seketika terdiam saat melihat semak menjulang tinggi tak jauh darinya bergerak dan mengeluarkan suara, persis seperti keadaan beberapa saat lalu.
Wulan menelan saliva. “Tidak mungkin,” gumamnya tak percaya.
“Ada apa? Apa yang tidak mungkin?” tanya Nadin yang ternyata mendengar gumaman Wulan. Mereka berpandangan sekilas, lalu segera memalingkan wajah ke arah semak yang semakin bergerak keras.
'Aku mohon, jangan menjadi nyata,' batin Wulan yang akhirnya menyadari kalau firasat itu datang lagi padanya.
Semak-semak itu bergerak semakin kencang.
“Kita harus segera pergi dari sini!” ucap Wulan setengah berbisik.
"O-oke", jawab Nadin.
Mereka pun berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Sesekali terdiam dan memandang ke sekeliling, sambil memasang telinga saat sayup-sayup mendengar suara gemerisik aneh. Setelah berjalan agak jauh, Wulan memandang ke arah belakang, lalu mengembuskan napas lega.
“Ada apa di sana?” tanya Nadin.
“Emm, mungkin binatang hutan,” jawab Wulan ragu.
Beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kamu dari mana tadi?” Nadin kembali mengajak bercerita untuk memecah kesunyian.
Wulan menoleh. “Aku dari desa sana.” Wulan menunjuk ke arah belakang tubuhnya. ”Sekitar 10 kilometer dari sini.”
“Kamu tinggal di sana?”
Wulan menggeleng. “Tidak.”
“Lalu, untuk apa kamu sendirian pergi ke desa itu sampai menjelang malam seperti ini?”
“Ke pemakaman ibu dan adikku.”
“Ah, maaf. Aku tidak tahu.” Nadin mendadak tak enak hati. “Tapi ... emangnya, di desamu tak ada pemakaman umum? Sampai harus dibawa ke desa seberang?”
“Sudah penuh, karena saat itu yang meninggal bukan hanya ibu dan adikku, tapi juga hampir empat puluh warga lainnya.”
“Sebanyak itu?” tanya Nadin terkejut. “Maaf, apa ada sebuah kecelakaan?”
Wulan bergeming, lalu mengembuskan napas panjang. “Bisa dibilang seperti itu.”
Nadin mengangguk-angguk tanda mengerti. “Kamu mau ke desa kecamatan juga?”
Wulan menggeleng. “Desaku tinggal, melewati desa kecamatan.”
"Jaraknya jauh dari desa kecamatan?" tanya Nadin sambil mengelus lengan berlapis jaket.
“Tidak. Cuma 3 kilometer.”
Nadin mendengkus. “Itu jauh! Aku biasanya naik taksi atau ojek untuk menempuh jarak itu.”
“Kami orang kampung terbiasa berjalan jauh. Malah aku dan teman-teman dulu setiap hari berjalan kaki pergi ke sekolah. Beberapa tahun terakhir ini, bus sudah banyak melewati desa saat pagi dan sore hari. Lalu, sudah banyak warga desa yang memiliki sepeda motor.”
“Kalau dari sini, kira-kira berapa kilometer lagi menuju desa kecamatan?”
Wulan mengira-ngira. Kemudian menjawab, “Sekitar 5 kilometer lagi.”
“Jadi, sejauh itu kita akan melewati hutan seperti ini?" keluh Nadin.
"Hei, apa kamu mau berlomba lari denganku? Aku dulu selalu juara saat pertandingan olahraga di sekolah,” ajak Nadin tiba-tiba. “Ayo, kita berlomba, siapa yang duluan sampai ujung hutan, dia yang akan ditraktir makan bakso sepuasnya.”
Tanpa menunggu jawaban dari Wulan, Nadin langsung berlari dan mau tak mau, Wulan ikut berlari mengejar gadis berambut pendek tersebut.
Mereka terus berlari melewati hutan, sampai akhirnya langkah mereka terhenti saat melihat kobaran api di depan sana.
“Apa itu?” tanya Nadin yang langsung mempercepat langkahnya, menuju bibir jurang yang tak lagi berpagar, di mana kobaran merah menyala di bagian bawah lembah berbatu.
Sementara Wulan berjalan perlahan. Dengan tangan yang mulai terasa dingin, ia menelan ludah kuat-kuat. Firasatnya tak enak.
Nadin menengok ke dalam jurang, menyeledik, sampai akhirnya kedua matanya membulat sempurna saat mengetahui apa yang tengah terbakar di sana. “Itu ….” Cepat ia mengalihkan pandangan ke arah Wulan yang terlihat ketakutan.
“Apa ini yang kamu takutkan ketika di dalam bus tadi?” tanya Nadin lirih dengan tatapan tajam.
Napas Wulan tersengal, kini ia tahu apa yang ada di dalam jurang tanpa perlu melihatnya. Ia mengangguk pelan dengan mimik wajah ketakutan, membuat Nadin seketika menutup mulut tak percaya.
“Siapa kamu sebenarnya?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Nadin membuat Wulan terkesiap. Ia melangkah mundur perlahan, menjauh dari Nadin. Sejurus kemudian, Wulan langsung berlari kencang meninggalkan gadis berambut pendek itu seorang diri.
"Jangan lari, Wulan! Tunggu!"
Sesekali Wulan menengok ke belakang, untuk memastikan kalau Nadin tak lagi mengejar. Naas, tiba-tiba Wulan tersandung sesuatu dan membuat tubuhnya terbanting keras ke aspal sampai tak sadarkan diri.
***
Ketika membuka mata, badan Wulan gemetar hebat karena tengah berada di depan warga desa. Tatapan mereka seolah menyalahkannya atas kecelakaan itu.
“Kamu pembunuh!” teriak Nadin, lantang.
Wulan terperanjat saat jari telunjuk Nadin mengarah padanya. Semua mata semakin tajam memandang gadis kurus itu, seakan menyelidik dan tak menyangka kalau ternyata, gadis berwajah polos itulah penyebab kecelakaan.
“Bukan, bukan aku!” sergah Wulan, tapi suaranya tenggelam oleh umpatan dari beberapa kerabat korban kecelakaan.
“Ya. Kau pasti sudah merencanakan semua ini! Siapa kau sebenarnya? Apa seseorang yang ingin membalas dendam? Atau seseorang yang sedang mencari tumbal, hah? Katakan!” gertak Nadin.
Wulan menelan ludah, lidahnya mendadak kelu.
Di sisi lain, beberapa pria berseragam cokelat yang telah selesai berdiskusi dengan penyidik setempat, berjalan mendekati Wulan yang berdiri kaku sendirian di pojok ruangan.
“Saudari Wulan! Melihat beberapa bukti yang sudah kami kumpulkan, maka dari itu, terpaksa Anda kami tahan sebagai tersangka dalam kecelakaan ini,” ucap salah satu pria berseragam itu dengan tegas.
Mata bulat Wulan terbelalak. “Aku tidak melakukan apa-apa, Pak. Aku bukan pembunuh, aku tidak bersalah,” kilah Wulan dengan peluh yang mulai membanjiri dahi.
“Dasar pembunuh! Nyawa harus ditukar dengan nyawa!” teriak salah satu keluarga korban.
“Bukan! Aku bukan pembunuh!” balas Wulan tak kalah lantang. “Aku hanya memberi tahu apa yang ada dalam mimpiku saja! Aku bukan pembunuh!”
“Tahan dia, Pak! Kalau perlu ambil saja nyawanya!” teriak Nadin lantang.
“Jangan mendekat!” teriak Wulan saat dua petugas berseragam cokelat berjalan mendekatinya. Ia berjalan mundur hingga punggung menempel di dinding, sedangkan air mata luruh membasahi pipinya.
“Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh! Jangan mendekat!” teriak Wulan histeris sembari berjongkok dan membenamkan wajah ke lutut, sedangkan kedua tangannya menutup telinga.
Wulan bertekad akan memberontak bila ditahan para petugas. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tak ada siapa pun yang menyentuhnya. Sampai akhirnya ia membuka kedua mata cepat dengan napas tersengal, lalu menatap sekitar. Sepi.
'Ke mana semua orang-orang tadi?' batin Wulan bingung.
Lantas, ia segera tersadar jika dirinya terduduk di ranjang kamarnya sendiri. Juga menyadari bahwa semua yang ia alami, hanyalah mimpi. Sesuatu yang sangat mengganggunya akhir-akhir ini.
Helaan napas lega ia embuskan. Keringat membanjiri kaus putih yang ia pakai, detak jantung pun masih terdengar saling berpacu. Dahi Wulan mengernyit bingung, kenapa tiba-tiba sudah berada di kamar? Padahal seingatnya, ia tengah berlari di tengah hutan, melewati desa kecamatan yang telah lengang dan … ia tak tahu apa-apa lagi.
Tangan gadis berambut panjang sepinggang itu mengusap wajahnya kasar. Kemudian meringis kesakitan, saat merasakan nyeri di lengan kanan. Juga pada kedua kakinya. Wulan melirik dan mendapati ada luka menganga di sana. Dengan napas yang masih tak beraturan, Wulan mengubah posisi duduknya dengan perlahan. Kedua kaki diluruskan lalu mengambil bantal untuk menopang tangan kanannya yang terasa semakin nyeri.
Kilas kejadian beberapa saat lalu, membuat ia bergidik ngeri. Mimpi yang sudah lama hilang dari hidupnya, kini kembali datang dan membawa petaka.
“Wulan, kamu sudah sadar?”
Wulan menoleh ke arah pintu yang terbuka. Dengan wajah khawatir, seorang wanita paruh baya meletakkan segelas teh hangat di meja lalu berjalan cepat ke arahnya.
“Akhirnya kamu sadar juga, Nduk,” ucap Laras sembari memeluk Wulan erat. “Bulik takut sekali tadi, kamu terus memanggil nama ibu dan adikmu.”
“Benarkah?” tanya Wulan bingung dengan menahan nyeri di tangan karena tersenggol bibinya.
Pelukan itu dilepaskan perlahan. “Iya. Sudah semalaman kamu pingsan, Nduk. Kamu ini kenapa? Apa yang terjadi?” Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari bibir Laras.
“Ceritanya panjang, Bulik. Tapi, siapa yang mengantarku pulang?” tanya Wulan penasaran.
“Tengah malam tadi, Pak Boni dan teman-temannya yang menemukanmu selepas berburu. Katanya, kamu tergeletak di pinggir jalan batas desa. Apa bus yang kamu tumpangi tidak mau mengantar sampai depan desa?” tanya Laras.
Wulan menerawang, mencoba mengingat kejadian yang terjadi beberapa saat lalu. Bukannya ingat, ia justru merasakan sakit kepala yang hebat.
“Kamu kenapa? Minum dulu.” Laras yang bingung melihat Wulan kesakitan, segera mengambil teh hangat tadi, lalu mendekatkan pada mulut ponakannya itu. Wulan meminumnya perlahan.
“Sudah azan Subuh, Nduk. Salat dulu, ya, lalu istirahatlah lagi,” ucap Laras menenangkan.
Wulan mengangguk pelan.
“Bulik,” panggil gadis kurus itu saat Laras akan beranjak dari ranjang.
“Ya?” Sang bibi urung beranjak.
“Dengar tentang ... kecelakaan bus di hutan?” tanya Wulan, lirih.
“Oh, iya, ada. Mengerikan sekali! Badan bus hancur dan hangus terbakar. Semua penumpangnya tewas,” balas Laras sembari bergidik ngeri. “Pihak berwajib masih mencari tahu apa penyebabnya. Tapi, dari mana kamu tahu soal kecelakaan itu, Nduk?” Laras mengerutkan dahi.
“Itu ….”
“Kamu melihat kecelakaan bus itu?”
Wulan mengangguk ragu. "Y-ya."
Laras mengernyit heran. “Tapi bukannya itu bus terakhir yang datang dari kota? Terus kamu naik bus yang mana?”
Wulan menelan saliva, tak bisa menjawab pertanyaan bibinya. Ia justru teringat Nadin. 'Bagaimana kabarnya sekarang?' batinnya, tiba-tiba merasa bersalah.
Baca part selanjutnya di sini 👇
Di KBM App sudah tamat, hanya 28 part
Judul: Gadis Pembaca Kematian (Firasat Kematian)
Follow: BintangPelangi (tanpa spasi)