14/12/2025
Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran Pak Galang untuk pindah ke luar negeri. Jalan keluar dari pernikahan yang selama ini men_yiksaku. Tapi sebelum itu, aku harus menyelesaikan perceraian ini, dan aku membutuhkan bukti pers_elingkuhan Abdi dan Ranti.
Aku kembali masuk ke mobil, menutup pintunya dengan hati-hati agar tidak terdengar dari dalam rumah. Begitu pintu tertutup, seluruh tubuhku ambruk ke kursi.
“Hhh….” napasku terc_ekat. “Kenapa mereka tega…?”
Beberapa menit aku hanya menangis dalam diam. Setelah cukup tenang, aku mengusap p**i, menarik napas, dan meraih ponsel.
Satu nama terlintas di kepala.
Satu-satunya yang tadi memberiku jalan keluar.
Aku pun menekan nomor Pak Galang.
“Ya?” suara Pak Galang terdengar tenang seperti biasa.
“P—Pak…” suaraku se_rak.
“Hhmmm… Ada apa?”
Aku memejamkan mata. Aku tidak ingin menangis lagi, tapi suara itu justru hampir membuatku pe_cah.
“Saya… saya mau jawab soal tawaran Bapak.” Aku menarik napas. “Saya… saya mau ikut, Pak. Saya mau pindah ke luar negeri.”
Sunyi sejenak di ujung telepon, lalu terdengar desahan lega.
“Baik,” ucapnya singkat.
“Kapan kamu bisa berangkat?” tanya Pak Galang.
Aku menelan ludah. “Saya minta waktu satu bulan.”
“Kenapa lama?”
“Saya… saya harus mengurus percer_aian saya dulu, Pak.”
Hening. Lalu suaranya terdengar lebih pelan.
“Ah… begitu.”
Aku mengangguk kecil meski ia tak bisa melihatnya. “Saya juga harus mengurus visa, dan yang lainnya.”
Pak Galang tidak menyela. Tidak mengomentari.
“Saya akan rapikan semua sebelum pindah.”
“Aku percaya kamu,” sahutnya singkat.
Ada kehangatan tipis pada suaranya yang biasanya datar. Hangat yang menenangkan.
Aku men_ggigit bi_bir. Air mataku turun lagi—bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ada seseorang yang tidak menuntutku tunduk.
“Terima kasih, Pak…”
Telepon terputus.
Aku menatap rumahku melalui kaca mobil. Lampu ruang keluarga masih menyala. Tawa kecil Raka dan suara rendah Abdi masih terasa meski aku tak lagi mendengar kata-katanya.
Tempat itu… sudah tidak hangat lagi.
Aku menjatuhkan ponsel ke pangkuan. Kedua tanganku menutupi wajah.
Dalam satu bulan…
Aku akan meninggalkan rumah ini.
Meninggalkan Abdi.
Meninggalkan semua luka yang mereka berikan.
Aku menyalakan mesin mobil.
Malam ini, aku tidak akan p**ang. Aku ingin mencari sedikit ketenangan.
Pagi menjelang siang udara masih dingin ketika aku memutar setir menuju rumah. Aku baru saja p**ang dari kantor hukum tempat pengacara kenalan Pak Galang
Aku mengingat ucapan pengacara itu.
"Bu Meira, kalau ingin cepat, kita butuh bu_kti. Foto, rekaman, chat, atau saksi. Apa pun yang bisa menunjukkan bahwa suami ibu benar-benar bersel_ingkuh."
Bukti.
Kata itu seperti gumpalan batu yang menekan dadaku sampai sulit bernapas.
Aku sudah melihatnya secara nyata dengan mata kepalaku sendiri. Tapi membuktikan secara fisik adalah hal yang berbeda.
Aku harus menang.
Aku harus be_bas, jerit batinku.
Mobil berhenti di depan rumah. Aku menatap pintu yang tertutup rapat, bukan rumah, tapi seperti mulut mon_ster yang siap menel_anku lagi.
Aku menghela napas, meraih tas, lalu turun.
Begitu pintu kubuka…
“Cuuihhh… akhirnya kau ingat p**ang juga!!”
Suara Abdi langsung menyambar seperti cam_buk.
Ia berdiri di ruang tamu, rambut acak-acakan, wajah kusut, tapi tatapannya penuh ama_rah yang meledak-ledak.
“Mana tran_sferannya?!” bent_aknya tanpa basa-basi.
Aku mengerutkan alis. “Tran_sfer apa?”
Abdi mendengus kasar. “Jangan pura-pura be_go! Ua_ng bulanan sama ua_ng sekolah Raka! Aku kan sudah mengingatkanmu semalam! Jangan berlagak lupa deh!!”
Aku melepas sepatuku perlahan. “Aku memang lagi nggak punya uang. Biaya sekolah Raka bisa kamu ambil dari cicilan yang ibu kamu bayar. Bukannya beliau sendiri yang berjanji mau mengembalikan ua_ng modal yang pernah aku pinjamkan?”
“Apa?! Kau itung-itungan dengan ibuku!! Jangan kurang ajar kau ya!! Dia itu ibuku. Wanita yang melahirkan ku!!” bentak Abdi.
Aku mengangkat wajah. “Ua_ng yang aku kasih pinja_m itu gak sedikit loh. Tentu aku akan mengh_itungnya!!”
Abdi menunjuk wajahku dengan telunjuk bergetar. “Dasar menantu dur_haka!! Kamu tuh perempuan paling eg_ois yang pernah aku temuin!”
Dadaku mengencang. Tapi aku tidak mundur.
“Aku eg_ois?” ulangku pelan.
“Ya!” Ia mendekat, suaranya naik turun tidak karuan. “Kamu kemarin bawa pergi mobil begitu saja. Raka nangis semalaman! Semua gara-gara ulah kamu!”
Aku terkekeh hambar. “Aku pergi cuma semalam, Mas. Dan anak kita nangis karena itu. Woowww… sungguh aku memiliki putra yang luar biasa.”
Abdi langsung memelototiku. “Kan beli mobil itu memang untuk Raka. Hidup Raka sudah nyaman. Kenapa kau bikin ka_cau sih!!”
“Jadi… aku salah karena tidak memanjakan dia?” tanyaku lirih.
“Bukan cuma itu!” Abdi semakin dekat. Napasnya berbau asam, membuatku ingin mundur. “Kamu tuh istri durh_aka! Nggak patuh! Nggak tahu diri!”
“Buat anak aja perhitungan. Padahal di dalam darahnya mengalir darahmu. Kau ibu yang tega!!” oceh Abdi lagi.
Abdi tidak mau aku ada, dia hanya mau ua_ngku.
“Aku akan tran_sfer nanti,” jawabku datar.
Namun Abdi mend_orong meja kecil hingga terj_atuh, suaranya memecah ruangan.
“Semua selalu nanti! Kamu tuh cuma butuh ditekan baru mau nurut! Tanpa aku, kamu itu nol besar, Meira!”
Aku tersenyum dingin. “Tanpa kamu, hidu_pku justru lebih rin_gan.”
Dia terdiam sepersekian detik—terkejut, lalu menganga marah.
“Apa katamu?”
Ranti melangkah maju tiba-tiba. Aku tak memperhatikan dari mana wanita ga_tal itu keluar. Tau-tau sudah ada diantara kami.
“Mbak Meira jangan gitu dong… Mas Abdi itu cuma khawatir sama Raka…”
Aku memandangnya dari ujung rambut ke ujung kaki. “Kamu tidak punya hak bicara. Memangnya siapa kamu?”
Wajahnya berubah.
Abdi menunjukku lagi. “Lihat kan?! Lihat?? Kamu tuh memang perempuan jah_at! Nggak punya ha_ti! Makanya Raka lebih nyaman sama Ranti daripada sama kamu!”
Sakit.
Kalimat itu seperti paku yang dipukul tepat ke dad_aku.
Tapi aku tidak boleh terlihat goyah.
“Ua_ng sekolah Raka jatuh tempo. Kamu kalau telat lagi, nanti aku yang m_alu!” teriak Abdi.
Aku mengerjap. “Kenapa kamu harus malu? Kamu saja tidak bek_erja.”
Wajahnya mem_erah. Sangat me_rah.
“Aw_as kamu, Meira! Kalau kamu macam-macam, aku beneran cera_ikan kamu!!”
Ah.
Cukup.
Aku menghembuskan napas pelan, lalu berjalan melewatinya menuju kamar kami.
“Mau ke mana kau hah?!” bent_aknya.
“Istrahat lah tub_uhku lelah,” jawabku tanpa menoleh.
“Heii!! Aku belum selesai bicara!!” teriaknya.
Aku terus melangkah tanpa mempedulikan ocehan Mas Abdi. Aku masuk ke kamar lalu mengunci pintunya.
Aku duduk di sofa. Sebenarnya aku merasa ji_jik berada di dalam kamar ini. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus memiliki bukti persel_ingkuhan mereka.
Aku mengeluarkan kamera kecil yang tadi aku beli. Aku bersiap memasang kamera itu di tempat yang aman.
Aku berdiri di tengah kamar, menggenggam kamera kecil itu erat-erat. Dada terasa sesak, bukan hanya karena ama_rah yang ku telan sejak tadi… tapi karena satu keputusan besar yang terus bergema di kepalaku.
Aku akan menj_ual rumah ini.
Rumah yang kubangun dengan keringatku.
Rumah yang selama ini hanya mereka nikmati sementara aku terus berk_orban.
Aku ingin mereka—Abdi dan bahkan Raka—mengetahui satu hal:
hidup nyaman yang mereka banggakan itu berasal dari kerja kerasku, bukan dari kemalasan dan manip**asi mereka.
Baca selengkapnya di KBM apk.
Judul : Wanita Karir (Meira)
Penulis : Pita_002