B erl cosmetic pringgabaya

B erl cosmetic pringgabaya akun reading

Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran Pak Galang untuk pindah ke luar negeri. Jalan keluar dari pernikahan yang selam...
14/12/2025

Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran Pak Galang untuk pindah ke luar negeri. Jalan keluar dari pernikahan yang selama ini men_yiksaku. Tapi sebelum itu, aku harus menyelesaikan perceraian ini, dan aku membutuhkan bukti pers_elingkuhan Abdi dan Ranti.

Aku kembali masuk ke mobil, menutup pintunya dengan hati-hati agar tidak terdengar dari dalam rumah. Begitu pintu tertutup, seluruh tubuhku ambruk ke kursi.

“Hhh….” napasku terc_ekat. “Kenapa mereka tega…?”

Beberapa menit aku hanya menangis dalam diam. Setelah cukup tenang, aku mengusap p**i, menarik napas, dan meraih ponsel.

Satu nama terlintas di kepala.
Satu-satunya yang tadi memberiku jalan keluar.

Aku pun menekan nomor Pak Galang.

“Ya?” suara Pak Galang terdengar tenang seperti biasa.

“P—Pak…” suaraku se_rak.

“Hhmmm… Ada apa?”

Aku memejamkan mata. Aku tidak ingin menangis lagi, tapi suara itu justru hampir membuatku pe_cah.

“Saya… saya mau jawab soal tawaran Bapak.” Aku menarik napas. “Saya… saya mau ikut, Pak. Saya mau pindah ke luar negeri.”

Sunyi sejenak di ujung telepon, lalu terdengar desahan lega.

“Baik,” ucapnya singkat.

“Kapan kamu bisa berangkat?” tanya Pak Galang.

Aku menelan ludah. “Saya minta waktu satu bulan.”

“Kenapa lama?”

“Saya… saya harus mengurus percer_aian saya dulu, Pak.”

Hening. Lalu suaranya terdengar lebih pelan.

“Ah… begitu.”

Aku mengangguk kecil meski ia tak bisa melihatnya. “Saya juga harus mengurus visa, dan yang lainnya.”

Pak Galang tidak menyela. Tidak mengomentari.

“Saya akan rapikan semua sebelum pindah.”

“Aku percaya kamu,” sahutnya singkat.

Ada kehangatan tipis pada suaranya yang biasanya datar. Hangat yang menenangkan.

Aku men_ggigit bi_bir. Air mataku turun lagi—bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ada seseorang yang tidak menuntutku tunduk.

“Terima kasih, Pak…”

Telepon terputus.

Aku menatap rumahku melalui kaca mobil. Lampu ruang keluarga masih menyala. Tawa kecil Raka dan suara rendah Abdi masih terasa meski aku tak lagi mendengar kata-katanya.

Tempat itu… sudah tidak hangat lagi.

Aku menjatuhkan ponsel ke pangkuan. Kedua tanganku menutupi wajah.

Dalam satu bulan…
Aku akan meninggalkan rumah ini.
Meninggalkan Abdi.
Meninggalkan semua luka yang mereka berikan.

Aku menyalakan mesin mobil.

Malam ini, aku tidak akan p**ang. Aku ingin mencari sedikit ketenangan.

Pagi menjelang siang udara masih dingin ketika aku memutar setir menuju rumah. Aku baru saja p**ang dari kantor hukum tempat pengacara kenalan Pak Galang

Aku mengingat ucapan pengacara itu.

"Bu Meira, kalau ingin cepat, kita butuh bu_kti. Foto, rekaman, chat, atau saksi. Apa pun yang bisa menunjukkan bahwa suami ibu benar-benar bersel_ingkuh."

Bukti.

Kata itu seperti gumpalan batu yang menekan dadaku sampai sulit bernapas.

Aku sudah melihatnya secara nyata dengan mata kepalaku sendiri. Tapi membuktikan secara fisik adalah hal yang berbeda.

Aku harus menang.
Aku harus be_bas, jerit batinku.

Mobil berhenti di depan rumah. Aku menatap pintu yang tertutup rapat, bukan rumah, tapi seperti mulut mon_ster yang siap menel_anku lagi.

Aku menghela napas, meraih tas, lalu turun.

Begitu pintu kubuka…

“Cuuihhh… akhirnya kau ingat p**ang juga!!”

Suara Abdi langsung menyambar seperti cam_buk.

Ia berdiri di ruang tamu, rambut acak-acakan, wajah kusut, tapi tatapannya penuh ama_rah yang meledak-ledak.

“Mana tran_sferannya?!” bent_aknya tanpa basa-basi.

Aku mengerutkan alis. “Tran_sfer apa?”

Abdi mendengus kasar. “Jangan pura-pura be_go! Ua_ng bulanan sama ua_ng sekolah Raka! Aku kan sudah mengingatkanmu semalam! Jangan berlagak lupa deh!!”

Aku melepas sepatuku perlahan. “Aku memang lagi nggak punya uang. Biaya sekolah Raka bisa kamu ambil dari cicilan yang ibu kamu bayar. Bukannya beliau sendiri yang berjanji mau mengembalikan ua_ng modal yang pernah aku pinjamkan?”

“Apa?! Kau itung-itungan dengan ibuku!! Jangan kurang ajar kau ya!! Dia itu ibuku. Wanita yang melahirkan ku!!” bentak Abdi.

Aku mengangkat wajah. “Ua_ng yang aku kasih pinja_m itu gak sedikit loh. Tentu aku akan mengh_itungnya!!”

Abdi menunjuk wajahku dengan telunjuk bergetar. “Dasar menantu dur_haka!! Kamu tuh perempuan paling eg_ois yang pernah aku temuin!”

Dadaku mengencang. Tapi aku tidak mundur.

“Aku eg_ois?” ulangku pelan.

“Ya!” Ia mendekat, suaranya naik turun tidak karuan. “Kamu kemarin bawa pergi mobil begitu saja. Raka nangis semalaman! Semua gara-gara ulah kamu!”

Aku terkekeh hambar. “Aku pergi cuma semalam, Mas. Dan anak kita nangis karena itu. Woowww… sungguh aku memiliki putra yang luar biasa.”

Abdi langsung memelototiku. “Kan beli mobil itu memang untuk Raka. Hidup Raka sudah nyaman. Kenapa kau bikin ka_cau sih!!”

“Jadi… aku salah karena tidak memanjakan dia?” tanyaku lirih.

“Bukan cuma itu!” Abdi semakin dekat. Napasnya berbau asam, membuatku ingin mundur. “Kamu tuh istri durh_aka! Nggak patuh! Nggak tahu diri!”

“Buat anak aja perhitungan. Padahal di dalam darahnya mengalir darahmu. Kau ibu yang tega!!” oceh Abdi lagi.

Abdi tidak mau aku ada, dia hanya mau ua_ngku.

“Aku akan tran_sfer nanti,” jawabku datar.

Namun Abdi mend_orong meja kecil hingga terj_atuh, suaranya memecah ruangan.

“Semua selalu nanti! Kamu tuh cuma butuh ditekan baru mau nurut! Tanpa aku, kamu itu nol besar, Meira!”

Aku tersenyum dingin. “Tanpa kamu, hidu_pku justru lebih rin_gan.”

Dia terdiam sepersekian detik—terkejut, lalu menganga marah.

“Apa katamu?”

Ranti melangkah maju tiba-tiba. Aku tak memperhatikan dari mana wanita ga_tal itu keluar. Tau-tau sudah ada diantara kami.

“Mbak Meira jangan gitu dong… Mas Abdi itu cuma khawatir sama Raka…”

Aku memandangnya dari ujung rambut ke ujung kaki. “Kamu tidak punya hak bicara. Memangnya siapa kamu?”

Wajahnya berubah.

Abdi menunjukku lagi. “Lihat kan?! Lihat?? Kamu tuh memang perempuan jah_at! Nggak punya ha_ti! Makanya Raka lebih nyaman sama Ranti daripada sama kamu!”

Sakit.
Kalimat itu seperti paku yang dipukul tepat ke dad_aku.

Tapi aku tidak boleh terlihat goyah.

“Ua_ng sekolah Raka jatuh tempo. Kamu kalau telat lagi, nanti aku yang m_alu!” teriak Abdi.

Aku mengerjap. “Kenapa kamu harus malu? Kamu saja tidak bek_erja.”

Wajahnya mem_erah. Sangat me_rah.

“Aw_as kamu, Meira! Kalau kamu macam-macam, aku beneran cera_ikan kamu!!”

Ah.
Cukup.

Aku menghembuskan napas pelan, lalu berjalan melewatinya menuju kamar kami.

“Mau ke mana kau hah?!” bent_aknya.

“Istrahat lah tub_uhku lelah,” jawabku tanpa menoleh.

“Heii!! Aku belum selesai bicara!!” teriaknya.

Aku terus melangkah tanpa mempedulikan ocehan Mas Abdi. Aku masuk ke kamar lalu mengunci pintunya.

Aku duduk di sofa. Sebenarnya aku merasa ji_jik berada di dalam kamar ini. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus memiliki bukti persel_ingkuhan mereka.

Aku mengeluarkan kamera kecil yang tadi aku beli. Aku bersiap memasang kamera itu di tempat yang aman.

Aku berdiri di tengah kamar, menggenggam kamera kecil itu erat-erat. Dada terasa sesak, bukan hanya karena ama_rah yang ku telan sejak tadi… tapi karena satu keputusan besar yang terus bergema di kepalaku.

Aku akan menj_ual rumah ini.
Rumah yang kubangun dengan keringatku.
Rumah yang selama ini hanya mereka nikmati sementara aku terus berk_orban.

Aku ingin mereka—Abdi dan bahkan Raka—mengetahui satu hal:
hidup nyaman yang mereka banggakan itu berasal dari kerja kerasku, bukan dari kemalasan dan manip**asi mereka.

Baca selengkapnya di KBM apk.

Judul : Wanita Karir (Meira)

Penulis : Pita_002

Istriku dijemput orang tuanya saat aku sedang makan bakso. Mereka marah, menuduhku tak menafkahinya karena istriku ketah...
13/12/2025

Istriku dijemput orang tuanya saat aku sedang makan bakso. Mereka marah, menuduhku tak menafkahinya karena istriku ketahuan memunguti sayuran sisa di pasar.

Padahal aku sudah bilang, kalau butuh apa-apa, tinggal titip ke ibuku, karena semua gajiku ada padanya.

Lalu aku salah apa?

***

POV Rumaya

“Aku akan mengurus berkas nantinya. Betul kata ibumu, lebih baik menjadi j4nda g4tal daripada membuat putranya hampir m4ti mencari nafkah.”

“Dan, Mas. Satu lagi yang harus kamu tahu, sampah yang kamu buwang tadi adalah sumber nutrisi Menik dan aku ketika kamu tidak adil dan zalim,” lirihku.

Rasa s4kit bercampur bahagia mengalir saat aku berhasil mengeluarkan segalanya dari bibir ini. Sebelumnya, aku butuh kekuatan besar untuk berani melawan arus.

Mas Hendi membelalakkan mata menatapku. Bapak meraih tanganku tanpa sepatah katapun, menarikku untuk cepat meninggalkan tempat di mana aku tidak pernah dihargai.

Ibu menyusul dengan Menik dalam pelukannya. Gadis kecilku terkulai lem4h tidak bertenaga. Sesampainya di halaman, Bapak memintaku untuk naik ke atas motor, di mana ojek telah menunggu kami sedari tadi. Bapak dan Ibu akan menyusul nantinya.

“Dengar, Dek! Aku tidak akan pernah menjemputmu!” suara nyaring terdengar. Kuputar kepalaku. Mas Hendi mengepalkan tangannya di atas teras. Kebisingan terdengar, bersama Ibu mertuaku dan Saskia yang melihat kepergian ini.

“Oalah, dijemput toh! Ya sudah, sana, p**ang ke rumahmu! Tapi ingat, yang namanya j4nda, jarang laku!” teriak Ibu mertuaku. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Meski demikian, ada rasa s4kit yang teramat dalam di lubuk hatiku.

“Ingat, anakku laki-laki mudah mencari istri! Lah kamu, Rum? Sudah tidak pandai bersyukur, mudah minggat lagi.”

Aku menetralisir dada yang bergemuruh, mungkin aku kuat jika dih!na seorang diri. Namun, jika Ibu dan Bapak sampai mendengarnya, sungguh, ya Allah.

Aku tidak ridho. Bapak meminta sopir ojek segera membawaku pergi. Motor melaju, meninggalkan rumah yang tak ingin kupijak lagi. Cukup sudah dit!ndas dan dis4kiti.

Andai bisa, ingin rasanya menolak takdir yang seolah mempermainkanku. Angin dingin menusuk lewat celah daster lusuhku. Kudekap tubuh ini sendiri.

Seorang istri bisa menahan banyak luk4, kecuali luk4 yang ditorehkan suaminya sendiri. Dan itulah yang paling menyesakkan.

“A-aku, aku tidak sanggup, Mas,” batinku.

Bibirku tersenyum menahan ses4k di dada. Tiga puluh menit perjalanan akhirnya membawaku p**ang ke rumah kayu penuh kenangan.

Nenek memelukku erat, mencium keningku tanpa banyak tanya. Saat beliau memintaku beristirahat, aku hanya menggeleng sambil mencium punggung tangannya.

Suara knalpot motor terdengar. Ibu dan Bapak telah sampai. Bibirku tersenyum, Menik dipeluk erat oleh ibuku, yang bahkan Ibu mertuaku enggan melakukannya.

Bapak membawa tas besar di tangan dan kantong plastik hitam di tangan satunya.

“Ayo masuk! Ini rumahmu, Nak. Bukan berarti kamu sudah menikah menjadi asing di keluarga ini,” lirih Bapak pelan. Aku mengangguk, mengg!git bibirku.

Bapak lebih dulu masuk ke rumah, disusul Ibu yang menggendong Menik.

Ibu memelukku, tersenyum sambil menyeka air matanya, lalu mencium kening Menik.

“Ayo, Nak, sekarang Rumaya sudah p**ang. Kita masuk dan beristirahat dahulu.”

“Nanti jika sudah mendingan, kita bawa Menik ke bidan, yah?” Aku mengangguk. Ibu menggandeng tanganku, menginjakkan kaki ke dalam ruangan yang telah terasa asing. Benar kata orang, seorang istri akan menjadi tamu di rumahnya sendiri dan tetap menjadi orang lain di rumah suaminya.

Suara pintu berderit, Bapak yang baru saja keluar dari kamar meminta aku untuk beristirahat sejenak.

“Kamarmu sudah Bapak bersihkan, Nduk. Nanti tidur di sana, ya. Biar Menik tidur sama Bapak dan Ibu, Rumaya istirahat! Jangan banyak pikiran,” ucap Bapak menghampiriku.

“Nggih, Pak,” lirihku. Nenek meminta aku untuk duduk di atas tikar yang telah digelar, sementara Ibu memilih menidurkan Menik ke dalam kamar.

Aku memilih duduk di depan televisi yang telah usang, Nenek mendekatiku. Meletakkan secangkir teh hangat di depanku, aku tersenyum.

“Wes to, ndak papa, Rum. Bala, jodoh, rezeki, mawut, ki gusti Allah yang ngatur,” tuturnya padaku. Aku mengangguk, mengiyakan.

Tapi, apakah nanti takdirku lebih baik dari ini? Ya Allah, hamba kuat.

Aku melirik teh hangat di atas tikar, ingatanku kembali melayang. Menjadi memori penuh luk4 yang sengaja dis!ram cuka oleh mereka, Mas Hendi.

Mataku terpejam, rasa panas kian menjalar. Tubuhku bergetar, dada kian ses4k membuatku susah bern4fas. Rasanya, aku benar-benar lelah. Teringat kembali perlakuan Ibu mertuaku dan suamiku yang tidak pernah adil kepada kami.

Air mataku kembali menetes. Alam bawah sadarku tertarik kembali mengingatkan kejadian-kejadian yang membuatku tertekan setiap harinya.

***

“Assalamualaikum, Bu,” ucapku sambil mengetuk pintu.

Udara masih dingin, pagi ini kembali diguyur hujan. Pintu perlahan terbuka, kutarik sudut bibirku. Saskia mengerlingkan mata jenggah, menatapku dari atas hingga ke bawah.

“Ngapain bawa dandang segala?” ketusnya. Aku tersenyum canggung, menunduk menatap dandang yang telah menghitam termakan api dan asap setiap harinya.

“I-itu dek, anu ...” lirihku.

“A,u a,u apaan sih? Ngomong yang jelas dong!” sentaknya, aku terkejut.

“Mba, minjem beras ya, Dek? Satu kilo saja, nanti kalau Mas Hendi p**ang—”

“Nggak ada! Enak aja pinjem! Pinjam juga nggak pernah digantikan?” imbuhnya.

“Diganti kok, Dek,” lirihku, mencoba untuk tetap tersenyum, meski rasanya benar-benar ngilu.

Menik menarik ujung bajuku, aku menunduk. Gadis kecil itu menunjuk tangan Saskia yang memegang sepotong roti.

“Apa lihat-lihat? Celamitan amat jadi anak, udah sana! Nggak ada beras, lagian hidup kok bisanya nyusahin aja!”

Brak! Pintu terbanting kuat. Kuusap dadaku cepat. Berjongkok, menatap Menik yang membulatkan mata, kuusap pucuk kepalanya lembut.

“Pulang yuk? Nanti Bapak p**ang, Menik jajan, ya!” lirihku hati-hati, takut jika Menik tantrum karena tidak bisa memenuhi keinginannya.

Tapi, gadis kecilku mengangguk, menggamit jemariku kuat. Kutatap daun pintu yang tertutup rapat, menghela napas dan berlalu pergi.

Aku menggandeng putriku kembali ke rumah kami, rumah yang beratapkan sama dengan Ibu mertuaku. Kudorong pelan daun pintu, melirik air yang telah mendidih di atas tungku.

Menik mendongak menatapku, bibirku tersenyum, jemariku mengusap rambutnya.

“Besok aja ya, Nak. Kita buat bubur nasi. Hari ini Bunda masakin bubur pepaya aja, ya? Gimana? Menik mau, kan?” lirihku.

Menik tersenyum, barisan gigi terlihat di sana. Gegas kuletakkan kembali dandang di tepi meja, merogoh golok di samping tungku.

Kugendong putriku kembali, membuka pintu. Menatap pohon pepaya yang tumbuh subur di dekat sumur, senyumku mengembang ketika satu buah pepaya telah matang kekuningan.

Tanganku meraih galah, satu buah pepaya menggelinding di tanah. Kuraih buah yang sudah sangat langka itu di sini, mencucinya bersih lalu mengupasnya.

Menik menarik lengan ku, ingin mencicipi buah manis di tanganku.

“Lho, Nak, dimasak dulu, ya? Ini kan separuhnya sudah busuk ... nanti s4kit perut Menik,” lirihku. Menik memanyunkan bibirnya, tentu membuatku kian gemas.

Tak ingin berlama-lama, kubawa kembali pepaya yang telah dibersihkan, sembari tubuh ini menggendong Menik dan mendudukkannya di atas r4njang.

Kuangkat air yang telah matang di atas tungku, menaruh wajan hitam yang telah patah gagangnya.

Mulutku meniup kembali bara api, memasukkan ranting kayu ke dalam tungku. Tidak lupa, menambahkan sedikit minyak tanah yang kubeli dua minggu yang lalu.

Kemudian aku menaruh dua gelas air mendidih di atas wajan itu, mencampur pepaya yang telah ku potong dadu. Hingga lembut dan siap dimakan, kupindahkan ke dalam mangkuk baru.

Aku memilih mangkuk kaca di atas meja, kulap pelan mengenakan bajuku. Bibirku tersenyum, menatap bubur pepaya di atas wajan. Setidaknya, Menik tidak akan meminta jajan setelah ini.

Lagi aku meletakkan mangkuk itu di atas lantai, lalu meniupnya supaya cepat dingin. Menik menuruni r4njang, berlari ke arahku. Namun, karena terburu-buru, Menik terj4tuh dan tepat mengenai bubur pepaya itu.

Menik menj3rit hi5teris, rasa lapar di perutku meluap begitu saja. Kutarik tubuh Menik yang menge74ng di l4ntai, bubur pan4s mengenai tangannya.

Bubur berceceran di lantai dan terbuwang sia-sia. Rasanya, percuma saja aku memasaknya.

Dengan gil4 dan ber!ng4s, kuj4mb4k putriku. “Menik tahu nggak, Bunda ini lapar, Nak! L4par! Sama seperti kamu! Kenapa cer0boh sekali!” pekikku.

Namun, karena kesalahan sendiri, Menik menjadi sasaran. Hingga Mas Hendi p**ang dan melihatku yang meny!ks4 putri kami.

Tanpa mau mendengarkan, Mas Hendi men4rik tubuhku, meny!r4m sedikit kakiku dengan air p4nas yang baru saja men!ndih.

“Kalau g!la, jangan menyik5a an4k sendiri!” ucapnya padaku.

“A-aduh Mas, duh, aww, p4nas!” jerit4nku menggema.

Tidak sampai di situ, Mas Hendi juga membuwang separuh bubur di dalam wajan ke lantai. Bibirku bergetar, Mas Hendi mendelik.

“Kayak nggak pernah makan, Dek! Apa susah sabar? Jangan m4in tangan sama an4k! Bikin an4k tr4uma kamu!”

“Aku lapar, Mas,” imbuhku. Mas Hendi tersenyum s!nis, meraih tangan Menik yang terlihat mem3rah.

“Masih bisa menelan makanan kamu, Dek? Coba lihat? Lihat pakai matamu, tangan an4kmu itu melepuh!” tariknya lenganku.

“Itu terkena bubur pan4s, Mas, bukan karena aku cubwit,” lirihku menunduk.

Entah sejak kapan Ibu datang menghampiri kami. Bukan membantu, malah meminta Mas Hendi lebih kej4m dari ini.

“Sudah, Hen, yuk makan dulu. Itu Ibu baru masak rendang, kan sayang kalau nggak habis,” ucapnya di ambang pintu. Mas Hendi melepaskan tangannya, cepat meraih tubuh Menik, dan pergi menyusul ibunya, yang bahkan tidak mendengar tangisan putriku ketika lapar ingin makan.

Aku tersenyum getir. “Makanlah, Mas, habiskan rendang itu ... tidak perlu tahu tentang perutku yang melilit sedari pagi karena menunggu belas kasih dari keluargamu,” ucapku terduduk, meraup bubur pepaya di atas lantai dan mulai melahapnya.

***

“Rum?” Aku tersentak, gegas mendongak. Ibu tersenyum, duduk bersimpuh di depanku.

“Jangan melamun,” lirihnya. Aku mengangguk, mengusap ujung mataku yang terasa p4nas. Ibu meraih tanganku.

“Sudah, ada Ibu sama Bapak. Nenek pun ada di sampingmu … hem, jadi jangan bersedih lagi, ya,”

“Wes to, minggir Bu. Ini Bapak masak ikan asin, bisa buat Rumaya makan!” Bapak menghampiri kami dan sedikit mendorong Ibu. Ibu terkekeh, memukul punggung Bapak gemas.

Bapak adalah laki-laki yang tidak pernah ma!n tangan dan k4sar, selalu lembut dengan Ibu. Meski begitu, rasa sayangnya padakku dan anak-anak laki-lakinya tidak pernah lekang oleh waktu.

“Enyoh, maem dulu!” ucapnya. Wajahku mendongak, menatap manik matanya. Bapak tersenyum, meski bibirnya bergetar.

Kedua matanya yang berkaca-kaca berusaha menahan air mata yang bersiap luruh. Namun, Bapak tidak bisa menyembunyikan kesedihannya melihat tubuh putrinya bagai tulang dibalut kulit.

“Maem, nduk,” lirihnya hampir tidak terdengar. Aku mengangguk, membuka mulutku, mataku terpejam dengan air mata kian tumpah.

Suapan pertama berhasil lolos, meski untuk menc4ri mulutku, Bapak tak mampu. Kubuka mata ini perlahan, tangan Bapak gemetar.

Ibu mengelus punggung Bapak, meraih piring plastik di tangannya. Mengambil alih untuk menyuapkan putri satu-satunya ini.

Bapak membuang muka, menyeka air matanya.

Bapak gegas bangkit berdiri, “Bapak kelilipan, iki Rum. Bapak ke belakang dulu ya, kayaknya ada kucing di belakang,” tuturnya pelan.

Ibu mengusap wajahku, dengan lembut menyuapi diri ini.

“Bu,” lirihku menunduk, memilah ujung dasterku.

“Nggih sayang,” lirihnya.

“Rumaya minta maaf, Bu. Seharusnya, Rumaya tidak minggat dan menyusahkan Ibu dan Bapak seperti ini,” lirihku.

“Jangan bicara seperti itu, Rum. Pulang tanpa suami bukanlah aib, nak. Batinmu lebih penting daripada harus menderita setiap saat.” Ibu menghela nafas.

“Untung Ibu dengar dari tetangga bahwa kamu setiap Jum'at ke pasar mencari sayur busuk untuk menyambung hidup.” mata Ibu meliriku, sama seperti bapak sebelumnya, mata Ibu pun berkaca-kaca.

“Ji-jika tidak, mungkin Ibu akan menyesal seumur hidup,” sambungnya.

“Jadi, Bapak tahu juga ya, Bu?” lirihku terisak.

Ibu mengangguk. “Tahu, karena Bapak yang langsung berlari dari sawah ke rumah mendengar Rumaya dis!ks4 karena menahan lapar.” Tangis Ibu kian pecah.

Aku tersentak, secepat mungkin aku berdiri bangkit. Aku memilih menyusul Bapak yang berada di belakang, sesampainya di ambang pintu dapur, mataku tertuju ke arah punggung lelaki tua di depan tungku.

Punggungnya bergetar, menutup wajahnya dengan sebelah tangannya. Kep**an asap hitam membumbung tinggi memenuhi atap. Dengan langkah bergetar, ku dekatkan diri ini ke arahnya.

Aku memilih berjongkok di samping Bapak, Bapak yang melihatku terkejut. Tangan bapak spontan meraih bambu untuk meniup bara api.

“Eh, nduk ... asep ini lo!” imbuhnya.

“Asapnya bikin mata merah ya, Pak?” lirihku. Bapak tersentak, cepat merengkuh tubuhku erat. Sangat erat, tangisku terisak. Bapak mengusap kepalaku, menciumku.

“Maaf, nduk. Maaf, ini Bapak masak nasi yang banyak ...”

“Rumaya makan yang banyak ya? Ini … ini dagingmu habis, Rum,” lirihnya melepaskan pelukannya. Aku tersenyum, melirik tungku yang masih menyala.

“Rumaya mau makan bakso, boleh ndak, Pak?” gumamku lirih.

***

Judul PUDARNYA SENYUM ISTRIKU
Penulis Widyakristina13

Tersedia di KBM app. Download KBM di play store. Sudah Tamat.

12/12/2025

Senam sehat

Istriku dijemput orang tuanya saat aku sedang makan bakso. Mereka marah, menuduhku tak menafkahinya karena istriku ketah...
10/12/2025

Istriku dijemput orang tuanya saat aku sedang makan bakso. Mereka marah, menuduhku tak menafkahinya karena istriku ketahuan memunguti sayuran sisa di pasar.

Padahal aku sudah bilang, kalau butuh apa-apa, tinggal titip ke ibuku, karena semua gajiku ada padanya.

Lalu aku salah apa?

PUDARNYA SENYUM ISTRIKU 1

“Beras, minyak, sama micin habis, Mas,” lirih Rumaya pagi ini. Aku yang baru saja selesai membersihkan diri terdiam sejenak. Rumaya segera meraih Menik, putri kami yang masih berusia empat tahun, yang baru saja terbangun dari tidurnya.

“Hmm,” jawabku pelan. Rumaya sejenak terdiam, lalu melirik ke arahku. Sementara itu, terdengar pekikan wanita di luar, siapa lagi kalau bukan Ibu dan Saskia.

Saskia adalah adik kandungku yang masih tinggal bersama Ibu. Rumah yang kami tempati terletak di bagian belakang rumah Ibu, terhubung oleh sekat tipis. Sebagai buruh bangunan, upah yang kudapatkan sangat sedikit, belum cukup untuk menyewa kontrakan atau membangun rumah impian kami.

“Nanti coba pinjam dulu sama Ibu ya, Dek? Mas ‘kan hari ini gajian,” kataku menenangkan.

“Sabar dulu,” tambahku. Asap hitam mengepul di dalam ruangan. Aku melirik Rumaya yang tampak enggan berdiri. Akhirnya, aku memutuskan untuk mematikan bara api di tungku. Air yang telah matang kupindahkan ke ember hitam bertangkai, memudahkan untuk membawanya ke sumur depan.

Rumaya segera bangkit setelah melepas pakaian Menik. Putri kami akan dimandikan dengan air hangat karena baru saja sembuh dari demam.

“Sudah, Mas. Biarin aja airnya, biar Rumaya yang angkat. Lagian sudah siang, Mas berangkat saja!” Bibirku tersenyum, kemudian aku meletakkan air panas untuk mandi Menik kembali.

“Ya sudah, Mas berangkat ya, Dek,” ucapku, hendak mencium keningnya, tapi dia menepis pelan.

“Mas sudah mandi, Rumaya belum. Sudah berangkat sana,” jawabnya. Aku hanya mengangguk.

Aku berjalan cepat menuju pintu, sempat berbalik barang sejenak untuk menatap istriku. Kulihat Rumaya menyeka matanya, kupikir dia terkena kep**an asap dari air panas tadi.

Menutup pintu kembali, aku sempat melirik ember cucian yang belum dijemur. Ketika hendak melangkah, suara lembut dari depan memanggilku.

“Hendi! Sini cepat,” panggil Ibu dari samping rumah, memintaku mendekat.

“Ada apa, Bu?” tanyaku pelan.

“Sudah sarapan belum kamu? Pasti Rumaya belum masak, kan? Ayo ke dapur Ibu, sarapan dulu sebelum kerja!” ajaknya sambil menarik tanganku. Sebelum benar-benar ikut, tak sengaja aku melihat ke arah pintu rumah, di mana Rumaya berdiri memandangku.

Rumah yang kami tempati hanya bisa diakses melalui halaman rumah Ibu. Dengan langkah berat, aku masuk ke dalam rumah Ibu yang berantakan. Adikku, Saskia, duduk santai di sofa dengan ponsel di tangannya, sebuah barang yang aku dan Rumaya tak mungkin miliki.

“Sesekali beres-beres, Sas. Masa nggak kasihan sama Ibu?” kataku sambil duduk di hadapannya. Saskia melirikku, lalu cepat-cepat membwuang muka.

“Ngapain? Kan, ada pembantu gratisan di rumah,” jawabnya tanpa ragu.

“Siapa yang kamu maksud?” balasku dengan nada tegas.

“Sudahlah, Hen,” Ibu menyela. “Ayo, sarapan dulu, sudah Ibu siapkan!” Aku hanya mengangguk dan segera bangkit meninggalkan kedua wanita itu.

Aku makan cepat. Ibu kemudian datang membawa segelas kopi untukku.

“Hen, hari ini gajian ‘kan?” Tanya Ibu sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk. Sudah biasa bagi ibu meminta sebagian dari gajiku, dengan alasan untuk keperluan rumah tangga.

Menurut Ibu, Rumaya sering datang untuk meminta makanan, jadi baginya tak masalah kalau aku memberi lebih banyak uang padanya daripada untuk istriku.

“Tiga ratus ribu buat Ibu ya, Hen? Kamu tahu, sekarang apa-apa mahal. Bapakmu juga jarang kirim uwang,” ucapnya penuh harap.

“Ya sudah nggak apa-apa, Bu. Lagi p**a, Rumaya sering ke sini kan?” jawabku.

“Sering banget! Minta garam lah, micin lah, bahkan beras juga. Makanya wajar kalau kamu kasih Ibu lebih banyak,” tambahnya.

“Iya, Bu,” lirihku sambil menyeruput kopi.

Waktu p**ang tiba, dan aku menerima gaji mingguan dengan perasaan campur aduk. Aku berjalan cepat menuju rumah, namun tiba-tiba berhenti di depan warung langgananku. Aku memberikan selembar lima puluh ribu kepada penjual, seorang janda di desa ini, untuk melunasi hutang rokokku selama seminggu.

“Sepuluh ribunya buat Neng aja ya, A?” tanyanya. Aku mengangguk, merasa tak perlu kembalian.

Di depan rumah, ibu menyambutku. Aku segera menyerahkan tiga ratus ribu kepadanya.

“Makasih ya, Hen. Kamu anak yang paling berbakti! Tunggu sebentar, Ibu ada sesuatu,” katanya sambil tersenyum. Ibu masuk dan kembali membawa satu baskom besar berisi santan daun singkong.

“Ini, kasih Rumaya biar dia gemukan sedikit. Ibu malu tadi siang pas arisan, Rumaya datang minta beras seperti nggak pernah makan,” serunya. Aku hanya bisa tersenyum getir.

Sesampainya di rumah, aku mendengar tangisan Menik. Dengan cepat kubuka pintu dan melihat Rumaya duduk diam di atas dipan, sementara Menik menangis di lantai. Aku meletakkan baskom berisi sayur dari Ibu di meja, lalu meraih putriku dan mendiamkannya.

“Astaghfirullah, Dek! Kok Menik nangis nggak diambil sih?” tanyaku panik. Menik akhirnya tertidur di pelukanku.

“Ini gaji minggu ini, tolong diirit ya, Dek. Mas malu kalau kamu terus minta sama Ibu,” kataku, tanganku menyerahkan seratus lima puluh ribu ke pangkuan Rumaya. Tapi dia hanya diam.

“Itu apa, Mas?” tanyanya, melirik baskom di atas meja.

“Sayur santan dari Ibu. Ayo, makan dulu,” jawabku sambil tersenyum. Lalu aku mengambil handuk dan bersiap mandi.

Setelah mandi, aku kembali ke rumah. Sayur santan yang tadi masih di meja kini tumpah berhamburan di tanah. Kedua tanganku mengepal, aku mendorong pintu dan melihat Rumaya masih duduk, meniup nasi di tangannya. Dengan m4rah, kutarik r4mbut istriku yang berani membu4ng makanan seperti ini.

“Apa yang kamu lakukan ha?! Lihat, ini makanan Rumaya!” Pekiku. Menik menjerit, menuruni r4-njang lalu merengkuh tubuh Ibunya. Rumaya hanya diam meski isak t4ngisnya terdengar lirih.

Ku tunjuk sayur santan yang sudah tumpah itu, Deru nafas kian memburu. Kulepaskan cengkr4man tanganku, melangkahi kepal4nya yang terbaring di dekat pintu. Kuraih nasi yang hendak ia makan itu, bibirku tersenyum s!nis. Bisa-bisanya memilih memakan pakai kuah garam daripada sayur yang ibuku berikan.

Ku sir4m kuat kearah wajahnya, hingga Rumaya terkejut dan terbatuk. Raungan kian terdengar, Menik merasa takut melihatku demikian.

“Entah ot4kmu dipakai atau tidak, Dek, tapi setidaknya pakai hatimu! Apa kamu tidak bisa menghargai? Sayur sebanyak itu kamu bu4ng begitu saja? Mas ini kerja capek, Dek!”

“Jangan membuat drama setiap harinya!” Tekanku.

Rumaya gegas bangkit, mengusap wajahnya yang telah di lumuri nasi. Rambutnya yang terlihat acak-acakan menatapku.

Istriku Itu tampak tidak bersalah, malah ia sengaja mengeluarkan sejumlah u4ng dari sakunya, melempar kuat ke wajah ini. Rasanya benar-benar geram ingin membalas perlakuan nya.

“Ambil, Mas! Ambil, hidupku sungguh menderita menikah denganmu! Jika menurutmu makanan basi itu layak untuk dimakan, silahkan makan! Tapi ingat, perut putriku lebih berharga dari makanan sisa itu!”

“Rumaya!” Bentakku.

“Apa, Mas? Ingin menj4mbak rambutku lagi? Silakan! Aku tidak peduli, tapi satu yang harus kamu ketahui, aku menyesal menikah denganmu!”

Duar, bagai petir di siang hari tangis Rumaya pecah. Memvkul kuat p4rutnya hingga aku terdiam, Menik kian menangis histeris.

“Berhenti Rum,” lirihku.

“Jangan lapar! Jangan lapar!” ucapnya terisak, memukvl kuat perut itu kembali.

“Rumaya hentikan!” Tekanku. Rumaya menghentikan tangannya. Lalu mendongak menatapku, tersenyum getir dengan mata memerah.

Dan baru kusadari, bahwa baru kali ini melihat nya demikian. Rumaya menyeka air matanya, menatapku.

“Jika menurutmu karena mengisi perutku begitu melelahkan, aku pun demikian, Mas,” Rumaya menyeka sudut matanya lagi. Dadanya naik turun, kedua tangannya mengepal.

“Aku lelah menjadi b4bu gratisan adikmu, aku lelah dih!na Ibumu setiap saat, Mas! Hanya karena aku tinggal di bawah atap yang sama dengan mereka, bukan berarti aku ini pembantu, Mas!”

“Aku lelah memakan nasi karena harus meminta-minta setiap harinya pada Ibumu, Mas! Aku lelah setiap saat harus menerima semua ini, dan aku lelah melihat Menik harus menahan keinginan jajannya meski ayah nya bekerja mencari nafkah tapi bukan untuknya!”

“Rumaya,” lirihku.

“Lihatlah baskom santan itu, Mas, santan tidak secair itu. Bahkan, sayur yang menurutmu sangat enak itu telah berl3ndir, jika menurutmu aku layak memakan itu kenapa tidak Ibumu saja yang menghabiskannya bukan aku!”

“Hentikan Rumaya! Ibuku tidak mungkin seperti itu, kulihat sayur itu masih hangat!”

“Itu dihangatkan, Mas!”

Pl4k!

Satu t5mparan kuat mendarat di waj4hnya, ku tahan tubuhku yang terasa kian panas. Rumaya tersungkur, lalu cepat memeluk Menik yang kian ketakutan.

“Sekali lagi kamu menjelekkan Ibuku, Dek, tidak segan-segan ku cera!kan kamu!”

Rumaya hanya menangis tersedu. Dengan suara pelan, dia berkata, “Aku lelah, Mas ... lelah hidup seperti ini …”

Cih! Pemb0hong!

***

Judul: PUDARNYA SENYUM ISTRIKU
Penulis Widyakristina13
Tersedia di KBM APP, sudah Tamat 🥀

Address

Anggaraksa
Selong
83654

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when B erl cosmetic pringgabaya posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share