B erl cosmetic pringgabaya

B erl cosmetic pringgabaya akun reading

Suamiku yang dianggap ODGJ ternyata sangat kaya raya sampai tujuh turunan.  Keluargaku menyesal dan akhirnya....Cuplikan...
20/10/2025

Suamiku yang dianggap ODGJ ternyata sangat kaya raya sampai tujuh turunan. Keluargaku menyesal dan akhirnya....

Cuplikan bab acak

Aku tidak menyangka, bisa punya suami seorang Sultan. Padahal ketika baru menikah dengannya aku sangat ketakutan.

Tega sekali bapak waktu itu, menikahkan aku dengan pria ODGJ untuk menggantikan Bagas yang kabur sebelum akad nikah.

Kini aku sudah sah menjadi istrinya. Semua orang sempat menyalahkan bapak, karena menikahkan aku dengan kang Bidin.

"Tidak ada cara lain. Acara sudah digelar, tamu undangan bersiap akan datang, pengantin prianya kabur, lalu aku bisa apa?" ucap bapak dengan wajah lelah.

"Kenapa harus menikah dengan Bidin, Pak!" Ibu menangis histeris, berusaha ditenangkan oleh saudara-saudara yang lain.

Bapak memijat pelipisnya pusing.

Aku hanya terdiam dengan wajah lemas, pasrah dengan semua yang terjadi. Hatiku terasa sakit karena dikhianati oleh dua orang terkasih. Pacar dan kakak kandungku sendiri.

"Atau begini saja, setelah beberapa hari kita minta saja Bidin untuk menceraikan Aisya," usul pakdeku.

Kang Bidin tiba-tiba muncul di ambang pintu. Masih mengenakan pakaian resepsi. Rambut gondrongnya dikuncir agak rapi. Tidak terlalu mengecewakan jika dirias. Padahal setiap hari style-nya terlihat berantakan dengan sarung dan rambut panjang gimbal yang tidak bisa disisir.

"Bidin, tolong ceraikan Aisya, setelah seminggu lagi!" ucap pakde.

"Tidak, saya tidak akan menceraikan Aisya. Dia sudah sah menjadi istriku!" ucap orang gila itu.

Aku terisak, karena takut. Membuat Ibu semakin histeris dan susah ditenangkan.

Bapak menarik kang Bidin, kemudian mengajak berbicara di luar rumah.

Aku dan keluargaku sangat terpukul dengan kejadian ini. Nyaris batal menikah, karena Bagas kabur dengan kakakku sendiri.

Kenapa harus bersama mbak Nana, kakak kandungku sendiri?

Tentu saja luka itu sangat menyakitkan bagiku dan kedua orang tuaku.

Malam itu aku tidur di kamar sendirian. Masih mengenakan gaun pengantin yang belum sempat kuganti. Mataku sembab, tubuhku gemetar, dan pikiranku penuh kabut. Di luar, terdengar suara tamu yang masih membicarakan kejadian hari ini.

Kang Bidin tidak pulang ke rumahnya.

Ia tidur... di rumah kami.

Di ruang tamu. Di atas tikar. Ditemani lampu remang-remang dan keheningan.

“Kalau kamu takut, kita kunci semua pintu,” ucap Ibu dengan mata bengkak. Ia menemaniku sebentar sebelum akhirnya kelelahan dan pergi ke kamarnya.

Aku menatap langit-langit. Bertanya-tanya... hidup macam apa yang menungguku setelah ini?

Sejak hari itu, suasana rumah kami seperti kuburan. Tak ada canda. Tak ada tawa. Hanya suara tangisan Ibu di malam hari, dan Pakde yang mondar-mandir sambil merokok tanpa henti.

“Aku gak terima,” kata Ibu berkali-kali. “Anakku dinikahkan sama orang gila. Dia seorang ODGJ!”

Bapak hanya diam. Entah lelah atau menyesal, tak ada yang tahu.

Pakde yang paling lantang. “Sudah cukup. Kita harus usir dia. Aku akan bicara langsung sama Kang Bidin. Dia harus pergi. Sekarang juga.”

Sore itu, kami semua berkumpul di ruang tamu. Kang Bidin duduk tenang di pojok ruangan. Wajahnya datar, rambut gondrongnya diikat asal. Dia seperti orang biasa—tapi tatapan matanya terlalu dalam, seperti menyimpan sesuatu.

“Kang Bidin,” Pakde mulai bicara. “Terima kasih karena sudah mau menggantikan posisi pengantin pria. Tapi pernikahan ini tidak bisa diteruskan. Kamu harus pergi dari rumah ini.”

“Tidak,” jawabnya datar.

“Kamu harus pergi sekarang,” Pakde menegaskan.

“Aisya istriku,” jawabnya singkat. “Aku akan tinggal bersamanya.”

“Dia gak mau!” bentak Ibu, mulai emosi. “Dia takut sama kamu! Lihat matanya tiap kamu datang! Pergi dari sini, sekarang juga!”

Kang Bidin berdiri perlahan. “Aisya... sudah milikku. Kalian semua tidak bisa memisahkan kami.”

Suasana langsung memanas. Bapak buru-buru berdiri, mencoba menenangkan keadaan. Tapi sorot mata Kang Bidin mulai berubah. Bukan marah. Tapi dingin. Tak tertebak.

Malam itu, semua pintu kamar dikunci. Termasuk kamarku. Aku benar-benar ketakutan. Rasa trauma, sakit hati, dan ketidakpastian bercampur menjadi satu. Aku tak bisa tidur.

Lalu... terdengar suara langkah kaki di lorong.

Perlahan. Mendekat ke kamarku.

Aku menahan napas.

Gagang pintu kamar bergerak—seperti ada yang mencoba membukanya.

Aku buru-buru bangkit, menahan pintu dengan tubuhku.

“Aisya...” suara Kang Bidin terdengar dari balik pintu. Tenang. Dingin.

“Buka pintunya. Aku ingin bicara.”

“Pergi!!!” teriakku sambil menahan tangis.

“Aku suamimu. Kita tidak boleh berpisah. Kamu milikku, Aisya... milikku...” katanya lagi.

Aku mendorong pintu sekuat tenaga. Pintu bergetar beberapa kali, seolah dipaksa dibuka dari luar. Aku nyaris menjerit, tapi suaraku tercekat.

Dan tiba-tiba...

Pintu berhenti bergerak.

Hening.

Tak ada suara. Hanya desahan napasku sendiri yang tercekat karena takut.

Hufftt, aku menghela napas kasar mengingat momen itu. Ternyata Kang Bidin tak seburuk seperti apa yang kubayangkan. Bahkan aku sekarang merasa bersyukur memiliki suami sesempurna dirinya.

Dia sangat lah tampan setelah memotong rambut dan brewoknya. Dia benar-benar seorang Sultan yang sangat berwibawa.

Dia menggandeng tanganku masuk ke dalam mobil Alphard yang dikemudikan anak buahnya.

Kami pun akhirnya berangkat menuju ke pernikahan Bagas dan Mbak Nana.

"Kuatkan mentalmu, Aisya!" ucap Kang Bidin sambil tersenyum tipis.

"Iya mas Bima," godaku sambil mengalihkan pandangan.

"Suka aku yang versi Kang Bidin apa versi Bima?" tanyanya.

"Mas Bima lah!" jawabku cepat.

"Jadi nanti malam boleh minta jatah? Di kamar tadi?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Bikin anak?

Hanya cuplikan saja, part engkapnya ada di KBM app ya, judulnya Suamiku Kurang Waras, karya Nurudin Fereira

Pov RahayuAku menelan ludah saat Tuan Rendy terus mendekatkan wajahnya, memejamkan mataku kuat-kuat seraya menahan napas...
19/10/2025

Pov Rahayu
Aku menelan ludah saat Tuan Rendy terus mendekatkan wajahnya, memejamkan mataku kuat-kuat seraya menahan napas, tapi tiba tiba pria ini malah tertawa terbahak-bahak.

"Aku cuma bercanda. Tenang saja, aku tidak bernafsu dengan gadis sepertimu." Ia mengerlingkan mata yang membuatku mengalihkan pandangan.

Aku mengembuskan napas lega. Tak ada rasa sakit hati sedikitpun mendengarnya mengatakan hal itu, karena jujur saja, aku malah bersyukur kalau dia tidak berselera denganku.

Krucukk krucukk

Perutku berbunyi. Reflek aku memegang perut, lalu berbalik, tapi pertanyaan Tuan Rendy menghentikan langkah ini.

"Kau lapar?" Aku diam saja. "Tunggu di meja makan, aku akan memesankan sarapan."

"Terimakasih, Tuan."

Ia tak menjawab, hanya menutup pintu kamarnya. Aku menuju ke meja makan, kemudian duduk di salah satu kursinya. Kembali kuminum air hangat yang ada di meja. Tidak berapa lama Tuan Rendy keluar kamar. Mengenakan kaos oblong berwarna coklat dan celana pendek berwarna hitam.

Ia membuka pintu utama, lalu mengambil makanan dari seseorang. Sepertinya pesanan sarapan sudah datang. Diletakkannya makanan itu di meja. Ia menatapku sesaat, lalu berjalan mengambil gelas dan menuang air putih.

"Itu sarapannya, di makan! Kau tidak akan kenyang hanya dengan melihatnya." Ia langsung meminum air putih setelah mengatakan itu.

Aku berdiri, mengambil mangkuk dan sendok. Kutuang makanan yang ia beli, menyeduhnya, lalu meletakkannya satu di depannya. Aku kembali duduk di kursiku, menikmati oatmeal yang dia beli. Sebenarnya, aku tidak terbiasa dengan sarapan seperti ini, tapi dari pada kelaparan mending aku makan saja.

"Sudah berapa lama kau kerja di perusahaanku?"

"Baru satu minggu, Tuan."

"Berapa Agus memberimu uang?"

"Saya tidak tahu, Tuan. Di rumah, dia bicara dengan bibiku. Semua uangnya bibiku yang menerima."

"Kau tidak diberi sama sekali?" Aku menggeleng. "Apa lagi yang ia janjikan sampai kau mau menikah denganku."

Aku diam, menatapnya, menghentikan sarapanku, lalu berkata.

"Katanya, Tuan bisa membebaskan aku dan nenek dari bibiku."

Tuan Rendy menghentikan makannya, ikut menatapku. "Membebaskanmu? Memangnya kenapa kau dengan nenekmu?"

Aku menarik napas, kemudian memberanikan diri untuk bicara. "Sejak kecil aku dan nenek tinggal bersama bibi. Karena keadaan nenek yang sakit sakitan, jadi bibi meminta aku yang mencari uang. Bibi bahkan tidak segan memukuliku jika aku tidak menghasilkan." Aku menarik napas, ada rasa sesak yang menggulung dalam dada jika ingat semuanya. "Bibi bahkan pernah memintaku menjual ... diri untuk memenuhi kebutuhan kami." Tanpa permisi air mataku jatuh ke pipi. Cepat aku menghapusnya.

Tuan Rendy menatapku tak berkedip. Entah apa yang dia pikirkan. "Kenapa kau tidak lapor polisi?"

"Karena bibi mengancam akan melakukan hal nekat kalau aku melapor, Tuan. Dia bahkan pernah melukai nenek saat aku berniat lari dari rumah."

Pria ini manggut-manggut. "Jadi bibimu pernah memaksamu untuk menjual diri?" Aku mengangguk. "Dan ... apa kau sudah--"

"Tidak, Tuan. Aku menolak, lebih baik aku menjadi tukang cuci atau bekerja apapun dari pada menjual diriku."

"Oh, syukurlah ..." Ia terlihat lega. "Aku akan membantumu, dijamin bibimu itu akan masuk ke dalam penjara karena sudah melakukan ini semua. Kau tenang saja."

"Terimakasih."

"Jangan mengucapkan terimakasih. Apa yang kulakukan ini adalah bentuk simbiosis mutualisme yang sudah kita sepakati bersama melalui Agus dan sesuai perjanjian. Kita akan berpisah, setelah semua urusanmu selesai. Satu lagi, selama di sini urusi saja urusan kita masing masing. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dan kau ... jangan campuri urusanku. Oke!?"

"Baik, Tuan."

"Bagus. Habiskan sarapanmu." Aku mengangguk, kembali makan. Sungguh hati ini sangat bahagia mendengar semuanya.

'Nek, bertahanlah. Aku akan membawa nenek keluar dari neraka itu!'

Tuan Rendy pergi bekerja jam delapan pagi. Katanya dia akan pulang malam ini. Aku ijin keluar, untuk menjenguk nenek di rumah bibi siang ini. Dia mengijinkan dan memberiku uang saku.

"Cukup?" tanyanya setelah memberi uang satu juta rupiah kepadaku.

"Lebih dari cukup, Tuan."

"Kalau kurang bilang saja, biar nanti kutambahi. Aku akan membuatkanmu tabungan supaya bertransaksi melalui mobile bank-ing saja ke depannya. Sungguh merepotkan sekali membawa uang cash ke mana mana."

"Tapi saya tidak bisa, Pak."

"Kenapa tidak bisa?"

"Saya bingung menggunakannya."

"Agus akan mengajarkanmu semuanya. Tenang saja. Lagipula sekarang statusnya kau itu istriku. Jadi jangan sampai membuatku malu." Aku diam saja. "Nanti malam Agus akan membawamu berbelanja. Selama menjadi istriku penampilanmu harus dijaga. Jangan sampai membuatku malu. Buang semua pakaianmu yang tidak layak itu. Kau mengerti?"

"Iya, Tuan."

"Bagus. Kalau begitu aku pergi dulu. Nanti akan ada sopir yang akan menjemputmu." Dia berlalu dari hadapanku, kemudian keluar dari apartemen ini.

Aku membereskan meja, baru saja akan menyapu ada bel berbunyi. Aku melihat siapa yang datang, ternyata Pak Agus bersama seseorang. Kubuka pintu dan tersenyum melihatnya.

"Pak Agus?"

"Hay Rahayu. Ini pekerjaan rutinku, setiap hari mengantar petugas bersih bersih ke apartemen ini."

"Petugas bersih-bersih?"

"Iya, dia akan membereskan rumah ini."

"Ehhh, sepertinya selama ada saya disini tidak perlu lagi Pak Agus. Karena saya yang akan melakukan semua itu."

"Maaf Tuan, apa orang ini pembantu yang baru?" tanya petugas kebersihan itu tiba tiba, yang membuat aku dan Pak Agus saling bertatapan.

Selengkapnya di KBM App

Bab 5

Judul : Pengantin Pengganti
Penulis : Sylviana Mustofa

Pov : RahayuAku meringkuk di bawah ranjang. Dia, yang berstatus suamiku telah berhasil merenggut mahkota paling berharga...
19/10/2025

Pov : Rahayu

Aku meringkuk di bawah ranjang. Dia, yang berstatus suamiku telah berhasil merenggut mahkota paling berharga pada tubuh ini. Terisak aku seraya menutup tubuhku dengan selimut. Aku tidak pernah membayangkan jika hal ini akan terjadi. Aku berdiri, menahan perih pada bagian sensitif pun hati. Kulihat laki-laki itu sekilas, ia sudah kembali terlelap. Aku menghapus air mata, lalu buru-buru memunguti pakaian, setelah itu keluar dari kamarnya.

Sesampainya di kamarku sendiri, aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya ada yang perih setiap kali teringat kejadian barusan. Di mana ia dengan beringas dan memaksa mengajakku tidur bersama. Meskipun sudah kujelaskan berulang kali kalau aku bukan gadis yang ia kira, tapi tetap saja hawa nafsu dan setan sudah menguasai jiwanya, terlebih ia dalam keadaan mabuk berat. Tubuhku merosot di balik daun pintu kamar. Kembali menangis.

Paginya setelah sholat subuh aku langsung turun ke dapur. Berjalan sedikit pincang, sebab masih terasa sakit di area sensitifku. Masih dengan hati dongkol yang membuat sarapan. Aku sudah berlanja banyak bahan sehingga bisa memasak apa saja. Jam tujuh pagi pintu kamar Tuan Rendi terbuka. Aku menatapnya cukup lama, lalu langsung megalihkan pandangan. Kejadian semalam masih saja membekas di ingatan. Aku membencinya.

“Masak apa?” tanyanya sambil menguap.

Aku diam saja, menyusun makanan di meja makan, lalu duduk siap sarapan. Dia mendekat, menatapku lekat.

“Kau tidak dengar?”

“Tuan bisa lihat apa yang ada di meja,” sahutku tanpa menatapnya.

“Gadis kemarin yang mengantarku ke sini, pulang jam berapa?” tanyanya seraya menarik salah satu kursi yang ada di depanku.

“Saya tidak tahu.”

Merasa aneh dengan jawabanku, ia yang hendak mengambil makanan menghentikan gerakan tangannya.

“Bagaimana kau bisa tidak tahu?”

“Saya pergi bersama Pak Agus ke mall.” Alasanku.

Dia hanya mengangguk mengerti, lalu ikut menyantap makanan yang ada di meja ini. Melihatnya membuatku teringat kejadian semalam. Aku memejamkan mata beberapa saat, lalu memutuskan untuk kembali ke kamar. Dia hanya menoleh sekilas melihat aku beranjak dan pergi dari sana. Sesampainya di kamar aku menutup pintu rapat-rapat. Menarik napas yang panjang, lalu mencoba terus beristighfar. Aku berjalan ke arah ranjang, duduk di sisinya, menunggu lelaki itu pergi bekerja, tapi tiba-tiba ...

Tok!
Tok!
Tok!

Aku diam beberapa saat. Untuk apa dia mengetuk pintu kamar ini? Jangan jangan dia ...

“Aku mau pergi bekerja, tapi ternyata Agus lupa membawa pakaianku ke laundry. Biasanya itu tugasnya yang biasa bersih bersih di sini sih.”

Ya Tuhan, aku baru ingat kalau aku meminta Pak Agus untuk tidak membawanya lagi ke sini, karena aku masih sanggup mengerjakan pekerjaan rumah. Gegas aku keluar kamar. Kubuka pintu dan nampaklah wajah pria yang bergelar suamiku ini.

“Mana pakaiannya?” tanyaku setelah pintu terbuka sempurna.

“Di lemari, di mana lagi?”

“Ya sudah, akan kuambil, Tuan tunggu saja di sini.”
Aku berjalan ke arah kamarnya, tapi kemudian berhenti mendengar panggilannyan.

“Hey! Kenapa dengan kakimu? Kau sakit?” tanyanya sebab melihatku berjalan agak kesusahan. Mungkin.

“Tidak apa apa,” sahutku kembali melangkahkan kaki.

“Kalau sakit periksa ke dokter, nanti aku minta Agus mengantarmu!” ucapnya sedikit berteriak karena aku sudah mulai menjauh.

“Tidak perlu!”

Aku masuk ke kamarnya, mengambil beberapa jas dan kemejanya, pun celana berbahan dasar juga jins nya, lalu membawanya ke ruang tengah. Di sana aku menyetrika pakaiannya. Dia mendekat, mengambil sepasang, kemudian masuk ke kamarnya. Ya Tuhan, setiap kali berhadapan dengannya, rasanya aku masih kesal dan benci.

Aku tahu, kemarin dia juga sedang tidak sadar, sebab yang ada dalam pikirannya, dia tidur bersama Lily bukan denganku. Aku cepat-cepat menyelesaikan setrikaanku, setelah itu buru-buru masuk ke kamar.

“Aku pergi!” teriaknya terdengar dari dalam sini.

Aku diam saja, memutuskan keluar setelah yakin kalau dia sudah tidak ada lagi di sini. Jika ingat diri ini sudah tak suci lagi, rasanya hati ini sakit. Meskipun saat ini status kami suami istri, tapi pernikahan ini terjadi bukan atas dasar cinta. Kemarin pun dia melakukan nya atas dasar nafsu semata, dan aku merasa seperti di perkosa. Astaghfirullah ...

***

Hari ini aku akan kembali mencari keberadaan bibi. Aku harus menemukannya. Aku takut, dia tidak bisa mengurus nenek dengan baik. Aku keluar kamar, membereskan rumah, setelahnya bersiap untuk kembali mencari alamat bibi yang baru. Bermodalkan foto dan sisa uang yang diberikan oleh Tuan Rendi kemarin, aku nekat mencari keberadaan Bibi ke sana sini. Semua teman temannya yang aku kenal, sudah kutemui. Sayangnya sepuluh orang yang kudatangi, tapi masih saja belum membuahkan hasil.

Aku istirahat di samping pagar sebuah sekolah, memesan es dawet untuk menghilangkan dahaga, sambil berpikir ke mana lagi kaki ini akan melangkah untuk mencari keberadaan nenek tercinta.

“Mau ke mana, Mbak?” tanya si penjual dawet.

Wanita yang kuperkirakan berumur empat puluh tahunan itu mengangsurkan segelas es kepadaku.

“Mau cari keberadaan nenek dan bibi saya, Mbak.”

“Namanya siapa?”

“Namanya Bi Komsiah sedangkan nenek saya, Suparti.”

Si penjual duduk seperti sambil memikirkan sesuatu.

“Mbak kenal?” tanyaku.

“Kaya nya ada orang baru di desaku. Emm, apa kau punya fotonya?”

“Oh, ada ada. Bentar, Mbak." Aku langsung mengeluarkan foto nenek dan bibi dari dompet. "Ini, Mbak."

Ia mengamati beberapa saat.

“Kaya nya bener deh, ini orangnya. Dia nyewa tanah di sini dan buat bangunan sendiri. Rumah papan warna putih, Mbak.”

Aku bahagia bukan main mendengar penjelasan ini.

“Serius, Mbak?”

“Betul, Mbak. Saya yakin.”

“Di mana rumahnya Mbak?” tanyaku antusias.

Dia menjelaskan secara detail alamat rumahnya. Sekitar 2 kilometer dari sini. Setelah es habis aku buru buru memesan ojek online. Si penjual dawet menjelaskan pada sopir ojek itu dan Alhamdulilah dia paham. Tidak lupa kuucapkan terimakasih sebelum pergi. Usai menempuh 2kilometer perjalanan sampailah kami di sebuah lapangan. Katanya, rumah itu rumah papan yang ada di depan lapangan bola.

"Kaya nya yang itu, Dek!" Sopir ojek menunjuk sebuah rumah.

Aku membayar, lalu berlari kecil mendekati rumah papan yang baru saja di bangun itu. Sesampainya di sana aku mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan. Aku memutari rumah ini. Mencoba mengintip dan mencari tahu siapa yang ada di dalam sini. Kemudian terdengar suara pintu bagian belakang di buka oleh seseorang.

Bergegas aku menuju ke sana. Terlihat seorang pria yang tidak kukenal keluar dari rumah.

"Permisi, Pak! Benar ini rumah Bi Komsiah?"

Ia menatapku sesaat, lalu ...

"Benar, ada apa ya?"

"Saya keponakannya, Pak. Nama saya Rahayu, saya ingin ketemu nenek saya."

"Oh kamu yang namanya Rahayu? Kebetulan Komsiahnya lagi pergi, nenek kamu kaya nya masih tidur."

"Boleh saya ketemu?"

"Emmm .... "

Aku mengeluarkan uang tiga ratus lima puluh ribu dari dalam tas. "Ini kalau Bapak mau untuk beli rokok!" seruku.

Dia mendekat, merebut uang itu, lalu tersenyum.

"Baiklah ... masuk aja! Di kamar dapur!"

Berlari aku masuk, mencari kamar yang ada di dapur, lalu membuka pintunya.

"Nenek!" teriakku saat melihat nenek yang tidur di lantai hanya beralaskan tikar. "Ya Allah, pakaian nenek basah! Dingin ya, Nek?" tanyaku menahan tangis.

Nenek juga sepertinya buang air besar, sebab tercium aroma busuk yang menyengat. Astaghfirullah, kenapa bibi tega memperlakukan nenek seperti ini. Buru buru aku meminjam ember dan mencari pakaian ganti nenek. Sambil menangis aku mengganti pakaiannya. Nenek yang tidak bisa bicara hanya menatapku dengan linangan air mata.

Sambil menyuapinya roti yang kubawa dari rumah, lirih bibirku berucap ...

"Sabar ya, Nek. Ada Rahayu di sini. Rahayu janji secepatnya akan bawa nenek pergi dari sini. Rahayu janji, Nek! Maaf karena terlalu lama membuat nenek menunggu di sini ... " ujarku sambil memeluk dan menyelimuti tubuhnya yang semakin kurus serta dingin.

Selengkapnya di KBM App

Bab 8

Judul : Pengantin Pengganti
Penulis : Sylviana Mustofa

"Tapi Mbak, Pak Rendy sudah membayar saya, jadi saya bertanggung jawab untuk itu semua.""Mbak, saya istrinya. Saya yang ...
19/10/2025

"Tapi Mbak, Pak Rendy sudah membayar saya, jadi saya bertanggung jawab untuk itu semua."

"Mbak, saya istrinya. Saya yang lebih bertanggung jawab menjaga suami saya." Aku melepaskan tangan Tuan Rendy yang bertengger di punggung wanita ini, lalu memindahkannya ke pundakku. "Pulanglah, suamiku biar jadi urusanku."

"Tapi, Mbak --" Lekas kututup pintu, setelahnya memapah lelaki yang berstatus sebagai suamiku ini menuju ke kamarnya.

"Lelyyy! Awas kalau kau bohong, ya ... aku sudah membayarmu ratusan juta, kalau kau sudah tidak p3rawan, kupastikan aku tidak akan pernah lagi memakai mu," ujar Tuan Rendy.

Ia bicara dengan intonasi yang sangat pelan dan mata yang begitu sayu. Mungkin ini pengarih minuman keras itu. Aku tak memedulikan ocehannya, terus berjalan, masuk ke kamar, lalu menghempaskannya ke ranjang. Ah, pinggangku sakit sekali. Aku menguruti sebentar pinggang ini. Padahal umur baru 23 tahun, tapi kenapa aku sudah sakit pinggang seperti ini.

"Lelyyy! Ayo kita mulai sayang, kalau ada wanita pake jilbab, pakaiannya lusuh, jangan kau perduli kan. Percayalah dia tidak akan mengganggu kita. Anggap saja dia tidak ada." Kembali Tuan Rendy berujar.

Tubuhnya tertelungkup di ranjang, tapi kali ini matanya sudah mulai memejam. Pakaianku lusuh? Masa sih separah itu? Aku berjalan ke arah lemari yang ada kacanya, lalu bercermin disana. Ternyata ... benar juga, aku memang lusuh sekali.

"Lely ..." Panggilnya saat aku masih memperhatikan diri di cermin.

Aku menoleh, lalu mendekat. "Lely, sini!" Kali ini suaranya lebih tinggi. "Aku bilang ke sini!" panggilnya sekali lagi.

Aku diam saja, berdiri dibibir ranjang. Masih mengenakan mukena. Tuan Rendy memperhatikan, tapi matanya nyaris memejam.

"Kenapa pakaianmu berbeda? Kau pakai apa itu?" tanyanya setengah sadar.

"Pak saya bukan Lely, saya Rahayu."

"Tidak usah sebut sebut namanya! Aku sedang tidak ingin mendengar nama itu. Berbaring di sini. Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan Lely. Aku sudah membayarmu mahal, jadi jangan kecewakan aku."

Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Bisa bisanya aku menikah dengan lelaki sepertinya. Aku diam saja, Tuan Rendy masih terus mengoceh semakin tak karuan memanggil nama Lely, Lely dan Lely. Aku keluar dari kamarnya dan memutuskan untuk kembali ke kamarku. Paling nanti lama lama dia juga tidur.

Duduk di ujung ranjang, memikirkan nasib. Entah sampai kapan ini akan berlangsung. Berat rasanya membiarkan lelaki itu terus melakukan dosa, sementara aku satu atap dengannya dan wajib mengingatkan. Bukankah aku akan berdosa juga jika tidak mengingatkannya.

Bel kembali berbunyi, aku melepas mukena, berganti mengenakan hijab instan yang tergantung di belakang pintu kamar. Kuintip siapa yang datang, ternyata Pak Agus. Segera kubuka pintu dan mempersilakannya untuk masuk.

"Kenapa belum siap-siap?" tanyanya saat pintu sudah terbuka.

"Ini udah siap kok, Pak!"

"Hanya begini?" Ia memperhatikan penampilanku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

"Iya, memang kenapa, Pak? Apa ... aku masih seperti pembantunya Tuan Rendy?"

**

Aku dan Pak Agus pergi ke super market jam sembilan malam. Tak kuceritakan kalau Tuan Rendy pulang bersama wanita penghibur dan mabuk berat.

"Beli saja apa yang ingin kau beli, besok kita ke bank. Aku akan menemanimu membuatkan kartu atm untuk keperluan berbelanja," katanya saat kami baru saja sampai di lantai dua super market ini.

"Baik, Pak. Uang yang diberikan Tuan Rendy kemarin masih bersisa. Apa aku berikan ke Pak Agus saja?"

"Kau pegang saja, Tuan Rendy pasti tidak lagi mengingatnya. Apalagi nominalnya hanya sedikit. Oh iya ngomong-ngomong apa kabar nenekmu? Bukankah tadi kau ke rumah bibimu?"

Langkahku melambat saat mendengar pertanyaannya. Rasa sedih tiba tiba menerobos ruang dada. Aku jadi kepikiran di mana bibi membawa nenekku sekarang. Semoga dia mengurus nenek dengan baik ya Allah. Aamiin.

"Rahayu." Pak Agus sampai menjawil lengan, karena aku hanya diam.

"Bibiku pindah, entah kemana dia membawa nenekku, Pak."

"Ya ampun, serius?" Aku menganggguk. "Padahal besok baru saja aku akan menemui pengacara untuk mengurus semuanya. Ya sudah nanti kita cari dulu saja keberadaan nenekmu. Kita berdoa saja, semoga nenekmu baik baik saja. Memang seharusnya tidak langsung kuberikan uang 200juta itu kepada bibimu, supaya dia tidak foya foya dan senang senang dulu."

Aku hanya diam, pura pura melihat lihat pakaian, padahal sesungguhnya hati ini gelisah luar biasa memikirkan di mana nenekku berada. Selesai membeli pakaian, tas dan yang lain aku mampir ke lantai dasar untuk membeli sembako dan bahan bahan makanan. Aku ingin masak di rumah besok. Jam dua belas malam kami pulang. Pak Agus mengantarku sampai ke depan pintu apartemen, lalu langsung pulang.

Sesampainya di dalam aku memandangi begitu banyak belanjaan. Tuan Rendy meminta aku untuk mengubah penampilan selama menjadi istrinya. Istrinya? Apa benar aku istrinya. Kami bahkan tidak tertawa dan bercanda seperti pasangan pada umumnya. Tiba tiba aku ingat Tuan Rendy, saat dia tertidur tadi dia bahkan belum melepas sepatu dan jasnya.

Aku segera berdiri, kemudian berjalan menuju ke kamarnya. Sesampainya di sana, aku membuka pintu kamarnya. Nampak lelaki itu tidur dengan nyenyaknya. Sebenarnya kehidupan seperti apa yang dijalani lelaki ini? Melakukan maksiat semaunya tanpa memikirkan akhirat, miris sekali. Aku masuk, lalu mendekat. Bersusah payah membalikkan tubuhnya yang berat, lalu melepas sepatunya. Dengan penuh perjuangan aku melepas jas nya yang masih menempel di badannya yang kekar.

Sialnya saat aku kesusahan melepas jas nya aku terjatuh tepat di atas tubuhnya, aku terdiam beberapa saat. Menatap wajahnya yang tepat ada di bawahku, lalu buru buru hendak menjauh, tapi tiba tiba tangannya mendekapku.

"Lely, kenapa kau lama sekali. Ayo kita lakukan, Lely! Aku sudah tidak sabar. Laly layani aku ..., " ujarnya sedikit bergumam.

"Tuan ... Tuan, saya bukan--"

Langsung saja dia menarik kepalaku dan ....

Selengkapnya di KBM App

Bab 7

Judul : Pengantin Pengganti
Penulis: Sylviana Mustofa

Suamiku yang dianggap ODGJ ternyata sangat kaya raya sampai tujuh turunan.  Keluargaku menyesal dan akhirnya....Cuplikan...
19/10/2025

Suamiku yang dianggap ODGJ ternyata sangat kaya raya sampai tujuh turunan. Keluargaku menyesal dan akhirnya....

Cuplikan bab acak

Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah pelan dari arah samping. Awalnya Aisya tak terlalu sadar. Namun kemudian sebuah suara pelan tapi dalam menyahut dari belakang.

“Betah banget nangisnya …”

Aisya tersentak. Ia menoleh perlahan dan mendapati Bagas berdiri di sana, hanya beberapa meter di belakangnya. Wajah Bagas terlihat datar dan sendu.

Bagas melangkah mendekat, tangannya dimasukkan ke saku celana, posturnya tetap tenang seperti biasa. Ia bersender pada batang pohon mahoni, berjarak beberapa langkah di belakang Aisya yang masih duduk di tanah.

“Sebesar apa cintamu kepada suamimu?” ucapnya tenang sambil menyalakan sebatang rokok.

Aisya hanya diam. Dia baru tahu jika sekarang Bagas merokok. Padahal saat pacaran dengannya dulu, dia bukan seorang perokok.

“Apakah sudah mengalahkan cintamu kepadaku dulu?” tanyanya sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

Aisya menghela napas kasar. “Aku tidak suka membahas masa lalu.”

Bagas tersenyum tipis. "Padahal dulu pas awal-awal Kang Bidin pindah ke sini. Kamu sangat takut kepada dia. Dia adalah ODGJ yang bikin kamu was-was jika bertemu di jalan. Takut dikejar dan diganggu. Lalu, kenapa sekarang jadi secinta itu, bahkan teelihat sangat terpukul ketika dia pergi dari hidupmu?"

Aisya mengusap-usap wajahnya. "Diam lah Bagas, kepalaku pusing mendengar ocehanmu."

“Aku hanya heran saja, apakah secepat itu cintamu memudar kepadaku?"

Aisya mendengus kesal. "Itu sudah tidak penting untuk dibahas. Kalau masih cinta emangnya kenapa? Tidak akan merubah segalanya. Tidak akan menghapus kesalahanmu. Pergilah, aku tidak suka mengobrol dengan seorang pengkhianat!"

Bagas kembali menghisap rokoknya. "Beruntung sekali ya Kang Bidin."

"Tentu saja dia beruntung, karena dia tidak berkhianat sepertimu!!" teriakku kesal, sudah tidak bisa menahan emosi.

Bagas tersenyum tipis. "Itu tandanya kamu masih mencintaiku kan?"

"Enggak!!"

"Jujur saja, karena aku juga masih mencintaimu, Aisya! Aku tidak pernah mencintai kakakmu!" balas Bagas sedikit emosi.

"Lalu kenapa kamu berkhianat, menghamili mbak Nana, dan kabur saat kita akan menikah?" tanyaku sambil melirik ke arahnya dengan sinis.

"Aku dijebak oleh kakakmu, kamu harus ingat itu!"

"Munafik, kalau dijebak kenapa mbak Nana sampai hamil?" ucapku penuh amarah.

"Apa kamu yakin itu anakku?"

Aku terdiam.

Bagas kemudian pergi sambil membuang putung rokoknya.

*

Hari itu terdengar suara deru mesin mobil masuk ke gang kecil tempat mereka tinggal. Suara itu bukan satu atau dua, tapi berentetan. Aisya sontak berdiri dan menengok ke ujung jalan.

Beberapa mobil box besar dengan logo mencolok bertuliskan "PT Wijaya Group" masuk perlahan. Setiap pintu mobil dibuka, tampak para petugas berseragam rapi turun membawa paket-paket sembako besar lengkap dengan amplop coklat yang tampak tebal.

“Lho, ada acara apa ini?” bisik warga.

“Katanya bagi-bagi bantuan gratis,” sahut yang lain. “Dari perusahaan besar… Wijaya Group…”

Kampung yang tadinya tenang itu mendadak ramai. Anak-anak berlarian melihat mobil-mobil itu. Para ibu-ibu berkerumun di depan rumah masing-masing. Dan benar, dari mobil-mobil itu, petugas mulai membagikan bantuan ke tiap rumah satu per satu.

Aisya memperhatikan dengan hati berdebar.

Satu rumah, dua rumah, tiga rumah... Semua mendapat bagian. Termasuk rumah-rumah warga biasa, yang kondisinya tidak terlalu miskin. Bahkan rumah orang terkaya di kampung itu juga mendapat bagian.

Namun ada yang janggal.

Rumah-rumah tertentu dilewati.

Rumah Pakde Sahlan—yang dulu ikut memukul Kang Bidin. Rumah Bu Lilis, yang dulu berteriak menyebut Kang Bidin “gila dan pesugihan”. Juga rumah Pak RW, yang sempat memimpin warga mengobrak-abrik rumah papan mereka. Rumah paman dan sepupu-sepupu Aisya yang bekerja di Wijayanto Group juga dilewati.

Semua dilewati begitu saja. Tak satu pun dari mereka diberi bingkisan. Bahkan saat mereka mencoba bertanya, para petugas hanya tersenyum sopan dan menjawab dengan singkat, “Maaf, data nama penerima sudah ditentukan pusat."

Cerita lengkapnya hanya ada di KBM app ya, judulnya Suamiku Kurang Waras, karya Nurudin Fereira

𝙶𝚊𝚍𝚒𝚜 𝙿𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝙺𝚎𝚖4𝚝𝚒𝚊𝚗 (2) Wulan menatap tajam gadis berambut pendek di sampingnya. Ia semakin gelisah. “Kamu kehilangan...
10/10/2025

𝙶𝚊𝚍𝚒𝚜 𝙿𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝙺𝚎𝚖4𝚝𝚒𝚊𝚗 (2)

Wulan menatap tajam gadis berambut pendek di sampingnya. Ia semakin gelisah. “Kamu kehilangan tasmu?” tanya Wulan seketika.

Gadis yang ditanya ternganga. “Bagaimana kamu tahu? Bahkan aku—”

“Termasuk dompet dan ponselmu?” potong Wulan.

Gadis itu mengangguk pelan dengan wajah yang semakin bingung.

“Ya Tuhan …,” ucap Wulan tak percaya.

Ia segera memasukkan earphone ke saku jaket dan berteriak, “Berhenti, Pak. Hentikan bus ini! Aku mau turun!”

Gadis berambut panjang itu segera berlari ke depan, mendekati sopir dan juga kernet bus. “Kumohon, hentikan busnya, Pak. Aku mau turun di sini saja!” pinta Wulan memelas.

Sopir bus yang terlihat bingung, memberi kode pada kernetnya untuk bicara pada Wulan.

“Jangan ngaco kamu, ini masih di tengah hutan. Duduk lagi sana, sebentar lagi kita akan sampai ke desa sebelah dan kamu baru boleh turun di sana,” balas sang kernet kesal.

“Tidak, Pak. Bus ini akan masuk ke jurang, kita semua akan mati! Aku mohon, Pak. Hentikan busnya sekarang juga. Kita putar arah saja.” Wulan terus memohon pada kernet itu dengan wajah memelas.

“Berisik sekali kamu! Anakku sedang tidur. Duduk dan tunggulah kita keluar dari hutan ini, setelahnya baru keluar!” Umpatan dari salah satu penumpang yang tengah mengelus kepala seorang balita di pangkuannya, membuat Wulan bergidik takut.

“Tapi kita semua akan mati,” balas Wulan lirih.

“Jaga ucapanmu anak muda!” teriak salah satu penumpang lainnya.

“Sudahlah, turunkan saja dia di sini! Biarkan hewan buas menikmati tubuh kurusnya itu!” Seorang penumpang lain yang terlihat sangat marah, segera menarik Wulan mendekati pintu, meminta sopir menghentikan kemudi dan membukakan pintu.

Wulan diseret keluar dengan umpatan. Gadis itu terjerembap ke tanah, di pinggir hutan dengan Matahari yang tak lagi menampakkan sinarnya.

Bus pun kembali melaju, mata Wulan beradu dengan gadis berambut pendek yang berdiri di dekat jendela pintu belakang. Wulan terduduk lemas, lalu menekuk dan memeluk lututnya dengan badan gemetar.

Ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan yang sama seperti 8 tahun silam. Ia takut jika apa yang ada di mimpinya tadi akan menjadi kenyataan sama seperti dulu. Perlahan, Wulan menenggelamkan wajah pada lututnya.

“Kamu baik-baik saja?”

Wulan sontak mendongak, gadis berambut pendek yang bersamanya di dalam bus, kini ada di hadapannya.

“Ka-kamu?” tanya Wulan tak percaya.

“Ini.” Gadis berambut pendek tersebut menyerahkan earphone dan juga ponsel pada Wulan. “Terjatuh di bus,” ucapnya lagi.

“Terima kasih,” gumam Wulan pelan hampir tak terdengar.

Gadis itu ikut duduk di depan Wulan. “Aku Nadin.” Tangannya terulur ke hadapan Wulan.

“Wulan,” balas gadis berambut panjang itu dengan menyambut jabatan tangan Nadin.

“Aku sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi, tapi entah kenapa hati kecilku mengatakan kalau aku harus ikut turun denganmu. Dan earphone ini menjadi alasan terkuat untuk mengikuti bisikan hatiku,” ucap Nadin.

Wulan diam saja, ia bimbang. Haruskah menceritakan semua yang ia ketahui pada gadis yang baru dikenalnya? Kalaupun bercerita, ia pasti akan dianggap gila.

“Bagaimana kalau kita mencoba berjalan ke desa terdekat?” Ucapan Nadin memecah keheningan.

Wulan menoleh sekilas ke arahnya, lalu mengedarkan pandangan. Hari sudah mulai gelap.

“Desa terdekat masih jauh,” ucapnya pelan.

“Setidaknya akan terasa dekat saat kita mencoba berjalan, bukan?” balas Nadin seraya berdiri. Tanpa menjawab Wulan bangkit, membersihkan baju dan celana lalu berjalan menyejajari Nadin yang sudah berjalan terlebih dulu.

Mereka berjalan dalam diam, ditemani suara serangga penghuni hutan dan beberapa suara yang membuat bulu kuduk merinding.

“Aku datang dari kota. Mau ke desa kecamatan.” Nadin memulai bercerita.

“Kamu berasal dari sana?” Wulan mengerutkan dahi karena tak pernah melihat gadis berambut pendek itu. Wulan menghabiskan kesehariannya di desa kecamatan. Ia sangat mengenal setiap pemuda-pemudi di desa kecamatan serta desa-desa kecil di sekitarnya, dan tak sekali pun Wulan melihat gadis di sebelahnya itu. Lagipula, meskipun cukup berjauhan, adalah wajar jika masyarakat antara suatu desa dengan desa lainnya saling mengenal karena warga yang tak seberapa dan sering berinteraksi sesama. Berbeda dengan kehidupan di kota.

Nadin menggeleng pelan. “Aku tinggal di kota, tapi kakakku bekerja di desa kecamatan itu. Aku ke sini untuk mengunjunginya. Kebetulan sedang libur kuliah dan lumayan lama.”

Wulan manggut-manggut. Dalam hatinya, terselip rasa iri. Nadin hampir sebaya dengannya dan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan ia, harus membantu bibinya untuk bertahan hidup.

'Ah, kenapa aku berpikir seperti itu?' Wulan berusaha mengenyahkan pikiran buruknya.

“Apa itu?” Nadin menahan lengan Wulan saat rumpun semak tinggi di pinggir jalan bergoyang tiba-tiba.

Wulan menelan saliva. Kakinya terasa kaku dan sulit digerakkan. Adalah hal biasa jika ada beragam hewan liar menyeberangi jalan yang membelah hutan itu. Nadin semakin menggenggam tangan Wulan dengan erat, saat rumpun semak itu bergoyang hebat.

“Se-bentar, tunggu di sini,” ucap Wulan sambil melepas genggaman Nadin dan berjalan ke arah semak itu.

“Mau apa? Sudah, biarkan saja,” balas Nadin yang bingung dan berusaha menahan.

Baru beberapa langkah Wulan mendekat, tiba-tiba dari arah belakang semak meloncat sesosok yang membuat mereka terkejut. Dengan cepat, sosok itu menerkam tubuh Wulan dan menariknya ke rerumpunan semak belukar.

“Wulan!” teriak Nadin berusaha meraih tangan gadis kurus itu. Namun, terlambat. Dalam sekejap Wulan menghilang bersama teriakan minta tolong yang menyayat hati.

*** (Diharapkan baca dengan teliti dan pelan-pelan, karena part-part awal akan ada banyak perpindahan scene antara nyata dan mimpi) ***

“Wulan!” teriak Nadin. “Wulan, Wulan, hei! Ada apa denganmu? Kenapa diam saja!” Nadin mengguncang kedua bahu teman barunya yang mendadak terpaku tanpa sebab.

Wulan terkesiap. Segera tersadar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia memeriksa anggota tubuh yang seingatnya tengah ditarik paksa oleh sosok di balik semak. Ia seketika terdiam saat melihat semak menjulang tinggi tak jauh darinya bergerak dan mengeluarkan suara, persis seperti keadaan beberapa saat lalu.

Wulan menelan saliva. “Tidak mungkin,” gumamnya tak percaya.

“Ada apa? Apa yang tidak mungkin?” tanya Nadin yang ternyata mendengar gumaman Wulan. Mereka berpandangan sekilas, lalu segera memalingkan wajah ke arah semak yang semakin bergerak keras.

'Aku mohon, jangan menjadi nyata,' batin Wulan yang akhirnya menyadari kalau firasat itu datang lagi padanya.

Semak-semak itu bergerak semakin kencang.

“Kita harus segera pergi dari sini!” ucap Wulan setengah berbisik.

"O-oke", jawab Nadin.

Mereka pun berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Sesekali terdiam dan memandang ke sekeliling, sambil memasang telinga saat sayup-sayup mendengar suara gemerisik aneh. Setelah berjalan agak jauh, Wulan memandang ke arah belakang, lalu mengembuskan napas lega.

“Ada apa di sana?” tanya Nadin.

“Emm, mungkin binatang hutan,” jawab Wulan ragu.

Beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kamu dari mana tadi?” Nadin kembali mengajak bercerita untuk memecah kesunyian.

Wulan menoleh. “Aku dari desa sana.” Wulan menunjuk ke arah belakang tubuhnya. ”Sekitar 10 kilometer dari sini.”

“Kamu tinggal di sana?”

Wulan menggeleng. “Tidak.”

“Lalu, untuk apa kamu sendirian pergi ke desa itu sampai menjelang malam seperti ini?”

“Ke pemakaman ibu dan adikku.”

“Ah, maaf. Aku tidak tahu.” Nadin mendadak tak enak hati. “Tapi ... emangnya, di desamu tak ada pemakaman umum? Sampai harus dibawa ke desa seberang?”

“Sudah penuh, karena saat itu yang meninggal bukan hanya ibu dan adikku, tapi juga hampir empat puluh warga lainnya.”

“Sebanyak itu?” tanya Nadin terkejut. “Maaf, apa ada sebuah kecelakaan?”

Wulan bergeming, lalu mengembuskan napas panjang. “Bisa dibilang seperti itu.”

Nadin mengangguk-angguk tanda mengerti. “Kamu mau ke desa kecamatan juga?”

Wulan menggeleng. “Desaku tinggal, melewati desa kecamatan.”

"Jaraknya jauh dari desa kecamatan?" tanya Nadin sambil mengelus lengan berlapis jaket.

“Tidak. Cuma 3 kilometer.”

Nadin mendengkus. “Itu jauh! Aku biasanya naik taksi atau ojek untuk menempuh jarak itu.”

“Kami orang kampung terbiasa berjalan jauh. Malah aku dan teman-teman dulu setiap hari berjalan kaki pergi ke sekolah. Beberapa tahun terakhir ini, bus sudah banyak melewati desa saat pagi dan sore hari. Lalu, sudah banyak warga desa yang memiliki sepeda motor.”

“Kalau dari sini, kira-kira berapa kilometer lagi menuju desa kecamatan?”

Wulan mengira-ngira. Kemudian menjawab, “Sekitar 5 kilometer lagi.”

“Jadi, sejauh itu kita akan melewati hutan seperti ini?" keluh Nadin.

"Hei, apa kamu mau berlomba lari denganku? Aku dulu selalu juara saat pertandingan olahraga di sekolah,” ajak Nadin tiba-tiba. “Ayo, kita berlomba, siapa yang duluan sampai ujung hutan, dia yang akan ditraktir makan bakso sepuasnya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Wulan, Nadin langsung berlari dan mau tak mau, Wulan ikut berlari mengejar gadis berambut pendek tersebut.

Mereka terus berlari melewati hutan, sampai akhirnya langkah mereka terhenti saat melihat kobaran api di depan sana.

“Apa itu?” tanya Nadin yang langsung mempercepat langkahnya, menuju bibir jurang yang tak lagi berpagar, di mana kobaran merah menyala di bagian bawah lembah berbatu.

Sementara Wulan berjalan perlahan. Dengan tangan yang mulai terasa dingin, ia menelan ludah kuat-kuat. Firasatnya tak enak.

Nadin menengok ke dalam jurang, menyeledik, sampai akhirnya kedua matanya membulat sempurna saat mengetahui apa yang tengah terbakar di sana. “Itu ….” Cepat ia mengalihkan pandangan ke arah Wulan yang terlihat ketakutan.

“Apa ini yang kamu takutkan ketika di dalam bus tadi?” tanya Nadin lirih dengan tatapan tajam.

Napas Wulan tersengal, kini ia tahu apa yang ada di dalam jurang tanpa perlu melihatnya. Ia mengangguk pelan dengan mimik wajah ketakutan, membuat Nadin seketika menutup mulut tak percaya.

“Siapa kamu sebenarnya?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Nadin membuat Wulan terkesiap. Ia melangkah mundur perlahan, menjauh dari Nadin. Sejurus kemudian, Wulan langsung berlari kencang meninggalkan gadis berambut pendek itu seorang diri.

"Jangan lari, Wulan! Tunggu!"

Sesekali Wulan menengok ke belakang, untuk memastikan kalau Nadin tak lagi mengejar. Naas, tiba-tiba Wulan tersandung sesuatu dan membuat tubuhnya terbanting keras ke aspal sampai tak sadarkan diri.

***

Ketika membuka mata, badan Wulan gemetar hebat karena tengah berada di depan warga desa. Tatapan mereka seolah menyalahkannya atas kecelakaan itu.

“Kamu pembunuh!” teriak Nadin, lantang.

Wulan terperanjat saat jari telunjuk Nadin mengarah padanya. Semua mata semakin tajam memandang gadis kurus itu, seakan menyelidik dan tak menyangka kalau ternyata, gadis berwajah polos itulah penyebab kecelakaan.

“Bukan, bukan aku!” sergah Wulan, tapi suaranya tenggelam oleh umpatan dari beberapa kerabat korban kecelakaan.

“Ya. Kau pasti sudah merencanakan semua ini! Siapa kau sebenarnya? Apa seseorang yang ingin membalas dendam? Atau seseorang yang sedang mencari tumbal, hah? Katakan!” gertak Nadin.

Wulan menelan ludah, lidahnya mendadak kelu.

Di sisi lain, beberapa pria berseragam cokelat yang telah selesai berdiskusi dengan penyidik setempat, berjalan mendekati Wulan yang berdiri kaku sendirian di pojok ruangan.

“Saudari Wulan! Melihat beberapa bukti yang sudah kami kumpulkan, maka dari itu, terpaksa Anda kami tahan sebagai tersangka dalam kecelakaan ini,” ucap salah satu pria berseragam itu dengan tegas.

Mata bulat Wulan terbelalak. “Aku tidak melakukan apa-apa, Pak. Aku bukan pembunuh, aku tidak bersalah,” kilah Wulan dengan peluh yang mulai membanjiri dahi.

“Dasar pembunuh! Nyawa harus ditukar dengan nyawa!” teriak salah satu keluarga korban.

“Bukan! Aku bukan pembunuh!” balas Wulan tak kalah lantang. “Aku hanya memberi tahu apa yang ada dalam mimpiku saja! Aku bukan pembunuh!”

“Tahan dia, Pak! Kalau perlu ambil saja nyawanya!” teriak Nadin lantang.

“Jangan mendekat!” teriak Wulan saat dua petugas berseragam cokelat berjalan mendekatinya. Ia berjalan mundur hingga punggung menempel di dinding, sedangkan air mata luruh membasahi pipinya.

“Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh! Jangan mendekat!” teriak Wulan histeris sembari berjongkok dan membenamkan wajah ke lutut, sedangkan kedua tangannya menutup telinga.

Wulan bertekad akan memberontak bila ditahan para petugas. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tak ada siapa pun yang menyentuhnya. Sampai akhirnya ia membuka kedua mata cepat dengan napas tersengal, lalu menatap sekitar. Sepi.

'Ke mana semua orang-orang tadi?' batin Wulan bingung.

Lantas, ia segera tersadar jika dirinya terduduk di ranjang kamarnya sendiri. Juga menyadari bahwa semua yang ia alami, hanyalah mimpi. Sesuatu yang sangat mengganggunya akhir-akhir ini.

Helaan napas lega ia embuskan. Keringat membanjiri kaus putih yang ia pakai, detak jantung pun masih terdengar saling berpacu. Dahi Wulan mengernyit bingung, kenapa tiba-tiba sudah berada di kamar? Padahal seingatnya, ia tengah berlari di tengah hutan, melewati desa kecamatan yang telah lengang dan … ia tak tahu apa-apa lagi.

Tangan gadis berambut panjang sepinggang itu mengusap wajahnya kasar. Kemudian meringis kesakitan, saat merasakan nyeri di lengan kanan. Juga pada kedua kakinya. Wulan melirik dan mendapati ada luka menganga di sana. Dengan napas yang masih tak beraturan, Wulan mengubah posisi duduknya dengan perlahan. Kedua kaki diluruskan lalu mengambil bantal untuk menopang tangan kanannya yang terasa semakin nyeri.

Kilas kejadian beberapa saat lalu, membuat ia bergidik ngeri. Mimpi yang sudah lama hilang dari hidupnya, kini kembali datang dan membawa petaka.

“Wulan, kamu sudah sadar?”

Wulan menoleh ke arah pintu yang terbuka. Dengan wajah khawatir, seorang wanita paruh baya meletakkan segelas teh hangat di meja lalu berjalan cepat ke arahnya.

“Akhirnya kamu sadar juga, Nduk,” ucap Laras sembari memeluk Wulan erat. “Bulik takut sekali tadi, kamu terus memanggil nama ibu dan adikmu.”

“Benarkah?” tanya Wulan bingung dengan menahan nyeri di tangan karena tersenggol bibinya.

Pelukan itu dilepaskan perlahan. “Iya. Sudah semalaman kamu pingsan, Nduk. Kamu ini kenapa? Apa yang terjadi?” Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari bibir Laras.

“Ceritanya panjang, Bulik. Tapi, siapa yang mengantarku pulang?” tanya Wulan penasaran.

“Tengah malam tadi, Pak Boni dan teman-temannya yang menemukanmu selepas berburu. Katanya, kamu tergeletak di pinggir jalan batas desa. Apa bus yang kamu tumpangi tidak mau mengantar sampai depan desa?” tanya Laras.

Wulan menerawang, mencoba mengingat kejadian yang terjadi beberapa saat lalu. Bukannya ingat, ia justru merasakan sakit kepala yang hebat.

“Kamu kenapa? Minum dulu.” Laras yang bingung melihat Wulan kesakitan, segera mengambil teh hangat tadi, lalu mendekatkan pada mulut ponakannya itu. Wulan meminumnya perlahan.

“Sudah azan Subuh, Nduk. Salat dulu, ya, lalu istirahatlah lagi,” ucap Laras menenangkan.

Wulan mengangguk pelan.

“Bulik,” panggil gadis kurus itu saat Laras akan beranjak dari ranjang.

“Ya?” Sang bibi urung beranjak.

“Dengar tentang ... kecelakaan bus di hutan?” tanya Wulan, lirih.

“Oh, iya, ada. Mengerikan sekali! Badan bus hancur dan hangus terbakar. Semua penumpangnya tewas,” balas Laras sembari bergidik ngeri. “Pihak berwajib masih mencari tahu apa penyebabnya. Tapi, dari mana kamu tahu soal kecelakaan itu, Nduk?” Laras mengerutkan dahi.

“Itu ….”

“Kamu melihat kecelakaan bus itu?”

Wulan mengangguk ragu. "Y-ya."

Laras mengernyit heran. “Tapi bukannya itu bus terakhir yang datang dari kota? Terus kamu naik bus yang mana?”

Wulan menelan saliva, tak bisa menjawab pertanyaan bibinya. Ia justru teringat Nadin. 'Bagaimana kabarnya sekarang?' batinnya, tiba-tiba merasa bersalah.

Baca part selanjutnya di sini 👇

Di KBM App sudah tamat, hanya 28 part
Judul: Gadis Pembaca Kematian (Firasat Kematian)
Follow: BintangPelangi (tanpa spasi)

Address

Anggaraksa
Selong
83654

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when B erl cosmetic pringgabaya posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share