
15/09/2025
(6) Demi Keponakan, Aku Biarkan Istriku Melahirkan Sendiri. Tapi Dua Hari Kemudian, Aku Menangis Saat Menemukan Surat Cerai dan Kejutan Lain yang Menghancurkan Hidupku!
"Makasih ya Om, sudah ngajakin Nindia shopping. Om Hendri memang paling baik sedunia!"
Nindia berseru dengan mata berbinar. Gadis kecil itu berjalan sambil memelvk lengan sang paman, seolah tak ingin dilepaskan.
"Nindia s**a banget sama baju, tas, dan koleksi aksesories yang Om beliin," sambungnya sambil terkikik senang, memamerkan gelang warna-warni di pergelangan tangannya.
Tak tanggung-tanggung pamannya langsung mengajaknya masuk butik ternama di salah satu pusat perbelanjaan saat dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit.
"Uni juga makasih, Hen." Dahlia menyusul di belakang, memelvk tas tangan coklat berlogo emas.
"Uni pikir seumur hidup gak akan pernah nenteng tas ma hal kayak di butik tadi."
Mereka tertawa bersamaan. Hendri merentangkan tangan, seolah ingin merangku\vl keduanya sekaligus.
"Uni gak perlu makasih. Aku akan usahakan apa pun demi kebahagiaan Uni dan Nindia," katanya yakin, lalu membungkuk sedikit untuk mengusap rambut keponakannya.
Nindia tertawa geli, wajahnya berseri. Gadis kecil itu sangat bahagia karena Hendri selalu memanjakan dirinya sejak kecil.
"Pokoknya asal Uni dan Nindia senang, pasti aku usahakan."
Hendri menghenyakkan tvbuhnya ke sofa. Ia melepaskan napas lega seperti seseorang yang telah melakukan hal besar dan mulia.
Di sisi lain ruangan, Dahlia sudah menurunkan beberapa kantong belanjaan ke atas meja kaca. Mata wanita itu berbinar karena tadi Hendri mengizinkan mereka belanja sepuasnya. Tak sia-sia ia mengeluh terus menderita di rumah selama ini.
"Anggap saja ini hadiah karena Nindia gak perlu nginep lama di rumah sakit," katanya lagi sambil melirik keponakannya yang masih sibuk mencoba kaca mata hitam mainan di depan cermin kecil.
Hatinya mengembang melihat p**i gembul itu berseri kemerahan karena girang. Di balik senyumnya, terselip rasa bangga. Ia berhasil membahagiakan sang kakak dan keponakan satu-satunya.
"Tiara benar-benar kelewatan," desis Hendri sambil menggeleng pelan. Ia teringat akan istrinya.
"Selama kita di rumah sakit, dia sama sekali gak nanyain keadaan Nindia. Dia gak khawatir sama sekali."
Nada suaranya berubah getir. Tangannya mengepal di atas pahanya. Ia kesal karena istrinya jangankan datang, menelepon ke nomor Uni Dahlia pun tidak.
"Gak papa, Hen." Dahlia duduk perlahan, ekspresinya berubah sendu. Ia paling s**a saat Hendri merasa kesal pada Tiara.
"Uni maklum kok kalau istrimu memang gak s**a sama kami."
Dahlia membetulkan letak tas di pangkuannya, lalu melirik adiknya sejenak. Ia membaca raut wajah Hendri yang kembali mengeras.
"Kamu belanjain kami begini, pasti Tiara nanti marah-marah," ucapnya lirih, tapi nada provokatif itu tak bisa disembunyikan.
Hendri mengangkat dagunya. Tatapannya lurus, meyakinkan. Ia pasti akan melindungi keluarganya. Ia sudah berjanji pada Amak akan menjaga Uni Dahlia dan Nindia.
"Uni jangan takut. Aku gak peduli tanggapan Tiara. Uangku ya milik Uni dan Nindia juga."
Senyum yang ia lemparkan kali ini tak hanya menenangkan, tapi juga menyembunyikan sesuatu.
Yah... ua ng Tiara berarti ua ngnya juga kan? Lagip**a ua ng dua ratus jvta di A T M itu kan tabungan bersama. Ua ng istri ya ua ng suami juga. Ia tak perlu merasa bersalah karenanya.
Aku akan secepatnya mengganti ua ng tabvngan untuk pers4linan anak kami. Tiara gak akan tahu kalau ua ngnya sudah kupakai untuk menyenangkan Uni dan Nindia terlebih dahulu. Hendri bergumam dalam hati.
Ia menyandarkan punggungnya. Matanya terpejam sebentar. Ia sama sekali tak menyadari ada sepasang telinga yang tengah mendengar percakapan di antara mereka dengan hati remvk redam.
Di sudut yang berbeda, Tiara mengepalkan tangannya erat-erat. Sendi-sendi jemarinya bergetar, menahan kemarahan yang mendiidih hingga ke ubun-ubun. Nafasnya memburu, tersendat oleh d a d a sesak dan hati yang remvk.
Tega kamu, Bang. Ua ng yang harusnya untuk persiapan pers4linan anak kita, malah kamu pakai untuk bersenang-senang.
Desis itu bergema di dalam hati, p a n a s dan t a j a m seperti b e l a t i.
Air matanya menetes pelan, menelusuri p**inya yang pucat. Ia menyekanya cepat-cepat. Ini bukan saatnya untuk rapuh. Bukan di hadapan orang-orang yang memperlakukannya dengan c u r a n g.
Dengan tvbuh yang masih lemah, Tiara menggeser pintu kamar. Bunyi engsel berdecit pelan saat ia melangkah keluar. Tangannya menempel pada sisi tembok agar tak terjatuh.
"Bagus, ya, Bang," suaranya serak, sarat akan kepahitan.
"U a n g untuk persalinan malah kamu pakai untuk menyenangkan mereka."
Tiara mengacungkan tangan ke arah Dahlia dan Nindia. Ia melangkah pelan. Tatapannya lurus seakan menembvs orang-orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu itu.
Tawa yang tadi menggema pun terhenti seketika. Mereka tampak terkejut menyadari ternyata Tiara mendengar percakapan barusan.
"Dua ratus jvta kamu habiskan dalam waktu sehari. Kamu..."
Tiara tertawa getir. "Di mana otakmu, Bang!"
Jeritannya pecah, menggema ke seisi rumah. Hendri tersentak kaget, nyaris menjatuhkan ponselnya. Ia tak mengira istrinya akan meradang seperti itu.
"Dek? Sayang?" Hendri melangkah mendekat.
"Kamu... di kamar dari tadi?"
Seketika wajah Hendri memucat. Ia kira istrinya pasti sedang jalan-jalan keluar seperti yang selama ini sering diceritakan oleh kakak perempuannya. Ia bahkan tak menyadari kalau perut besar istrinya sudah mulai mengempis. Matanya juga buta karena tak menyadari betapa pucatnya wajah di depannya itu saat ini.
"Memangnya kamu berharap aku di mana, Bang?" Tiara tersenyum sinis. Tatap matanya tajam seakan ingin mengiris suaminya saat itu juga.
Hendri menghela napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri, lalu mengangkat tangan seolah menyuruh semua orang diam. Tiara selama ini selalu menurut dengannya. Kali ini pun pasti demikian.
"Sudahlah, Dek. Abang melakukan ini untuk Nindia," katanya. "Itung-itung hadiah karena dia sudah sehat kembali."
Ia menoleh ke Dahlia dan Nindia yang kini sudah duduk kaku di sofa. Seperti biasa, Hendri berdiri di sisi keluarganya. Ia seakan lupa kalau setelah menikah istri lah yang seharusnya menjadi yang utama dan bagian dari keluarga.
"Nindia baru keluar dari rumah sakit. Dia masih capek. Jangan bikin dia sedih," sambungnya lagi, suara tenang yang terdengar lebih seperti tuduhan.
"Bang!!!"
Tiara meravng, matanya mencari-cari. Suaminya sudah sangat keterlaluan. Selalu saja mereka yang terus dikhawatirkan.
Vas bunga di sisi lemari menarik perhatian Tiara. Ia beringsut ke sana, tangannya gemetar berusaha untuk menjangkau.
"Sudahlah, Tiara. Kamu juga... Masa keponakanku di rumah sakit kamu sama sekali gak nanyain?"
Hendri masih saja mencari pembenaran. Alih-alih minta maaf, ia malah kembali menyalahkan.
"Kalaupun ponselku mati, harusnya kamu bisa telepon Uni untuk nanyain kabar!"
Tiara berhasil menggenggam leher vas. Kesabarannya sudah di titik penghabisan.
"Menikah denganku harusnya kamu juga terima keluargaku. Jangan mentang-mentang—"
Kata-katanya terhenti. Dalam sekejap vas bunga di tangan Tiara melayang di udara, meng han tam dinding tepat di samping kepala Hendri.
PRAAAANG!!
Bunyi p e c a hannya memecah keheningan. Nindia men je rit kecil, Dahlia memeluk anaknya erat-erat.
"S i a l a n kamu, Bang!" Tiara menjerit hingga suaranya serak.
"Kembalikan ua ng persalinan untuk anakku sekarang!"
Baca versi tamat di aplikasi KBM
Judul: Balas Dendam untuk Suami Pengkhianat
Penulis: LiaRoeslan