18/10/2025
Pecah Belah Umat: Saat Emosi Lebih Laku daripada Akal Sehat
Akhir-akhir ini kita disuguhi tontonan klasik: umat diadu domba, isu agama dijadikan bahan bakar politik, dan penghinaan terhadap tokoh dijadikan pemantik emosi massal. Tapi di balik semua hiruk-pikuk itu, ada hal yang lebih penting untuk direnungkan β mengapa kita begitu cepat bereaksi terhadap ejekan, tapi begitu lambat menanggapi kebusukan di tubuh sendiri?
Nahdatul Ulama Indonesia, sebagai organisasi besar yang punya pengaruh moral luar biasa, seharusnya menjadi penyejuk, bukan justru terseret arus reaktif. Saat penghinaan terhadap kiai viral, seluruh energi tumpah ke arah protes dan kecaman. Namun, ketika muncul kasus pelecehan santri, kekerasan di pesantren, penyalahgunaan kuota haji, atau dugaan korupsi di instansi yang bahkan dipimpin oleh orang dekat lingkungan sendiri, suara itu seperti mengecil β bahkan kadang hilang sama sekali.
Saya jadi teringat ucapan seorang kiai yang menasihati, βJangan ambil hak orang lain.β
Tapi ironisnya, oknum di Kemenag β yang bahkan sering duduk di majelis ngaji bersama para kiai β justru terseret kasus dugaan korupsi kuota haji. Aneh, bukan? Bagaimana bisa umat diajari kejujuran, tapi lembaganya dikeropos oleh perilaku serakah? Ayo kita jujur β ini bukan sekadar soal individu, tapi soal sistem dan budaya yang harus dibenahi bersama.
Lebih menyedihkan lagi, di Jawa Timur dan berbagai daerah lain, kita masih mendengar santri meninggal akibat kekerasan di pesantren. Ada yang dianiaya, ada yang dirundung, bahkan ada yang menjadi korban pelecehan seksual. Fakta-fakta ini nyata, tapi jarang dijadikan perbincangan serius. Mengapa? Karena membicarakan aib sendiri dianggap tidak populer β padahal di situlah letak ujian kejujuran moral kita.
Lalu, siapa sebenarnya aktor di balik semua ini?
Sebagian adalah politikus oportunis yang senang memanfaatkan agama sebagai panggung polarisasi. Ada juga media provokatif yang menjual sensasi, bukan kebenaran. Tapi jangan lupa, sebagian βaktorβ justru datang dari dalam: elit organisasi yang lebih sibuk menjaga citra ketimbang membersihkan noda.
Strategi pecah belah umat tidak akan berhasil kalau umatnya cerdas, kalau pemimpinnya jujur, dan kalau organisasi mau berbenah. Tapi selama kita lebih sibuk tersinggung ketimbang introspeksi, selama moral lebih sering dikhotbahkan daripada dicontohkan, umat akan terus mudah dimainkan.
Maka, refleksi sederhana untuk kita semua:
Berhentilah terlalu cepat marah pada mereka yang menghina, tapi diam terhadap mereka yang mencurangi. Umat tidak akan kuat karena banyaknya massa, tapi karena kedalaman akalnya dan keteguhan moralnya.
Admin Kabar Perubahan