12/09/2025
UMUR – ANTARA NAPAS DAN KEHENDAK-NYA
Umur. Satu kata yang kerap membuat manusia bangga saat muda, lalu cemas saat tua. Ketika ditanya, “Berapa usiamu sekarang?”, orang akan menjawab dengan angka. Namun jarang yang menjawab, “Usiaku hanyalah sepanjang napas ini.” Karena bagi manusia, umur adalah angka. Ia menjadi ukuran keberhasilan, rencana, bahkan kebanggaan. Tapi apakah benar umur hanyalah soal hitungan?
Dalam syariat, umur dicatat secara lahiriah. Ada tanggal lahir, akta kelahiran, jenjang usia. Semua terikat angka dan tahun. Di usia sekian harus sekolah, usia sekian harus bekerja, menikah, menua, lalu wafat. Maka umur dijadikan dasar untuk merancang masa depan. Itu tidak salah. Namun ketika umur dijadikan beban pencapaian, hidup pun mulai kehilangan arah hakiki.
Dalam tarekat, umur bukan lagi soal angka. Ia adalah amanah. Setiap detik kehidupan adalah perjalanan pulang. Umur bukan milik diri, tetapi pinjaman dari-Nya. Maka umur bukan untuk dibanggakan, melainkan direnungi. Seorang murid tarekat diajari, “Berapa pun usiamu, ia adalah sisa waktu menuju perjumpaan.” Maka umur bukan tentang seberapa lama kita hidup, tapi seberapa dalam kita sadar akan hidup ini.
Dalam hakikat, umur bukan milik siapa pun. Umur bukan sebab hidup, melainkan hasil dari kehendak Allah. Tak ada yang hidup karena ingin hidup. Tak ada yang mati karena usianya tua. Ada bayi yang wafat, ada orang tua yang sehat. Maka umur tidak tergantung tubuh, tapi pada perintah-Nya. Napas pertama datang karena “Kun.” Napas terakhir pun karena “Fayakun.” Jika begitu, adakah kita benar-benar memiliki umur?
Dalam makrifat, umur adalah pancaran dari Hayat-Nya. Kehidupan kita adalah cerminan dari kehidupan Allah yang Maha Kekal. Setiap napas adalah penzahiran dari sifat-Nya. Jika masih diberi umur, itu bukan karena kita layak, melainkan karena Allah masih menuntun kita pulang. Maka umur bukan untuk diceritakan, tapi disyukuri dalam diam. Umur sejati bukan soal lamanya hidup, tapi tentang hadirnya Allah dalam setiap detik hidup.
Jika seseorang berkata, “Usiaku sudah sekian tahun,” maka katakan dalam hati, “Semuanya hanyalah sisa napas yang dititipkan.” Jika seseorang merasa sedih karena menua, bisikkan pada jiwanya, “Engkau sedang menuju pertemuan terindah.” Dan jika ada yang bangga dengan umurnya, ingatkan dirimu bahwa semua umur pasti berakhir – hanya Allah yang kekal.
Umur bukan simbol kekuatan, tapi kelemahan. Rambut memutih, tubuh melemah, mata kabur, semuanya bukan musibah – tapi kasih sayang agar kita sadar: tiada daya, tiada upaya. Semuanya milik Allah. Umur panjang bukan tanda dicintai, umur pendek pun bukan tanda dibenci. Semua sesuai takdir-Nya. Malaikat tidak menambah atau menguranginya walau satu detik.
Ketika seseorang bertanya, “Berapa umurmu?”, jawablah dalam hati, “Sebatas napas ini.” Umur bukan untuk dirayakan dengan lilin dan pesta, tapi untuk direnungi dengan zikir dan syukur. Bukan untuk dibanggakan di media sosial, tapi untuk diserahkan kembali kepada Pemilik waktu.
Selama umur masih tersisa, gunakanlah ia untuk pulang. Umur bukan jalan duniawi, tapi titian maknawi. Satu-satunya jalan untuk kembali kepada-Nya. Bila umur habis, selesai sudah ujian. Tak ada pengulangan. Tak ada tawar-menawar. Hanya penentuan.
Namun bagi yang mengenal Allah, tidak ada takut dalam menua. Karena ia tahu, umur hanyalah selubung sementara. Yang sejati adalah Dia. Maka umur yang hakiki adalah kesadaran: bahwa tiada satu pun kehidupan ini selain Dia yang menghidupkan. Dan selama kita sadar akan itu, berarti kita masih hidup dalam umur yang sesungguhnya.