cerita cia

cerita cia Bismillah
Konten Random✅️cerpen,motivasi

24/08/2025

Motivasi

" Antara Cinta dan Dosa"---Pernikahan yang Tidak KupilihNamaku Nayla, 23 tahun. Hidupku berantakan sejak ayahku terlilit...
23/08/2025

" Antara Cinta dan Dosa"

---Pernikahan yang Tidak Kupilih

Namaku Nayla, 23 tahun. Hidupku berantakan sejak ayahku terlilit hutang ratusan juta. Usaha kecil keluarga kami bangkrut, dan rentenir sudah mengancam akan menghabisi kami jika tidak segera membayar.

Hingga datang tawaran itu. Raka, anak tunggal pengusaha besar, siap melunasi semua utang ayahku dengan satu syarat: aku harus menikah dengannya.

Aku menangis, menolak, tapi ayah hanya menunduk. “Maafkan Ayah, Nak… ini satu-satunya cara.”

Hari itu, aku menikah dalam gaun putih mewah, di sebuah ballroom megah. Semua orang tersenyum, kecuali aku. Di dalam hatiku, aku hancur. Aku bukan pengantin, aku tawanan.

---Neraka dalam Istana

Hari-hari pertama pernikahan adalah mimpi buruk. Raka tampan dan kaya, tapi tempramental. Sekali salah bicara, dia bisa meledak. Dia menuntut aku berlaku sempurna.

“Aku nggak s**a kamu jalan tanpa bilang!” bentaknya suatu sore ketika aku hanya duduk di taman.

Aku belajar menahan diri, belajar tunduk. Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika dia berkata:
“Aku ingin kamu segera hamil. Aku nggak s**a istri yang nggak bisa ngasih keturunan.”

Aku hanya menunduk, padahal aku tahu sesuatu yang Raka tidak tahu: dia mandul. Aku mendengar itu dari dokter keluarga mereka saat mereka pikir aku tidak ada. Saat itu, aku merasa dunia ini sedang mempermainkanku.

---Luka yang Membuka Lagi

Aku bertemu Ardi secara tak sengaja, mantan kekasihku. Dia menatapku dengan mata yang masih sama—penuh cinta.

“Nayla?” suaranya serak.

Aku ingin lari, tapi kakiku mematung. Lalu, entah kenapa, aku menangis. Semua rasa sakit, semua luka, tumpah di hadapannya.

Hubungan kami kembali terjalin. Kami tahu ini salah, tapi kami tidak peduli. Dalam pelukannya, aku menemukan kembali diriku yang hilang.

---Kehamilan yang Membawa Petaka

Dua bulan kemudian, aku hamil. Ardi bahagia, Raka lebih bahagia. Dia mengira ini mukjizat.

“Kamu hebat, Sayang. Kamu kasih aku kebanggaan,” kata Raka sambil mencium keningku. Aku ingin muntah.

Keluarga Raka mengumumkan berita itu ke mana-mana. Mereka menyiapkan warisan besar untukku dan bayi ini. Aku ingin jujur, tapi Ardi menahanku. “Tenang. Setelah semua aman, kita kabur.”

Aku mencoba percaya.

---Mata yang Mengintai

Raka mulai curiga. Waktu kehamilanku tidak sesuai dengan malam pertama kami. Dia mulai banyak bertanya. Dia bahkan menyewa seseorang untuk mengawasi aku.

Suatu malam, dia menatapku lama.
“Nayla, kalau aku tahu kamu bohong sama aku… kamu akan menyesal seumur hidup.”

Aku menggigil.

---Di Ujung Pisau

Aku memutuskan kabur bersama Ardi. Malam itu, aku menulis surat untuk Raka, meninggalkan cincin, lalu pergi.

Tapi sebelum aku sempat melangkah ke mobil Ardi, Raka sudah berdiri di hadapanku.

“Nayla,” suaranya dingin, “mau ke mana kamu?”

Aku panik, tapi dia tersenyum… senyum yang membuat darahku membeku.

---Rahasia yang Menghancurkan

Raka menarik tanganku masuk ke mobilnya. Sepanjang jalan, dia tidak bicara. Sampai kami tiba di sebuah rumah besar yang asing.

Dia menatapku, lalu berkata pelan:
“Kamu pikir aku nggak tahu, Nayla? Aku tahu anak ini bukan anakku.”

Darahku berhenti mengalir. Aku ingin bicara, tapi dia mendekat, menatap tajam.

“Justru karena itu, aku nggak akan pernah biarin kamu pergi.”

Aku menangis, memohon, tapi dia hanya tertawa.

“Aku mandul, Nayla. Dan kamu baru saja kasih aku jalan buat tetap jadi pewaris. Kamu pikir aku bakal lepasin kamu? Nggak. Kamu akan tetap jadi istriku. Selamanya.”

---Akhir yang Membuat Luruh

Aku mencoba melawan, tapi Raka memegang rahasia ini. Dia bahkan menatapku dengan sinis dan berkata:

“Kalau kamu kabur, Ardi yang akan mati duluan. Pilihannya cuma satu: kamu tetap di sini, atau kamu kehilangan dia.”

Aku jatuh terduduk. Aku memilih diam. Demi Ardi hidup, aku kembali ke neraka ini.

Malam itu, aku menatap bayiku yang tidur di pelukan Raka. Air mataku jatuh. Aku istri pria yang kucintai? Tidak. Aku istri pria yang mengurungku. Dan aku tahu satu hal: neraka ini tidak akan pernah berakhir.

---selesai

---Bab 15 – Awal dari SegalanyaHari itu langit cerah, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang telah lama ditunggu. Halama...
17/08/2025

---

Bab 15 – Awal dari Segalanya

Hari itu langit cerah, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang telah lama ditunggu. Halaman rumah dihiasi bunga-bunga sederhana, kursi-kursi tersusun rapi, dan senyum para tamu menyambut acara yang tak biasa—pernikahan seorang janda dengan adik iparnya.

Alya berdiri anggun dalam balutan kebaya putih. Wajahnya teduh, matanya berbinar penuh haru. Raka, dengan jas hitam sederhana, berdiri tegap di samping penghulu, menunggu dengan sabar.

Saat ijab kabul berlangsung, suara Raka bergetar tapi mantap:
“Aku terima nikahnya Alya binti Harun dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”

Suasana hening sejenak, lalu saksi serentak menjawab, “Sah.”

Air mata Alya tumpah tanpa bisa ditahan. Semua luka, semua hinaan, semua rasa takut yang pernah menghantui seakan lenyap diganti rasa damai. Raka menggenggam tangannya erat, seolah berjanji tak akan pernah melepaskannya lagi.

Beberapa keluarga masih terlihat canggung, namun ibu Rendra duduk di barisan depan dengan senyum ikhlas. Ia menatap Alya penuh kasih, seakan berkata: kamu berhak bahagia.

Malamnya, ketika semua tamu sudah pulang, Alya berdiri di beranda bersama Raka. Angin malam berhembus lembut.
“Aku masih nggak percaya… kita benar-benar menikah,” ucap Alya sambil tersenyum di antara sisa air mata.
Raka meraih tangannya, mengecup lembut. “Ini bukan akhir, Alya. Ini awal dari segalanya. Aku janji, hidupmu setelah ini hanya akan penuh cinta.”

Alya menatapnya dengan hati yang utuh untuk pertama kalinya. Dan di bawah cahaya bulan malam itu, mereka tahu—setelah badai panjang, akhirnya mereka menemukan rumah yang sesungguhnya: satu sama lain.

TAMAT 🌹✨

..

---Bab 13 – Cahaya yang Mulai MenyelinapHari-hari terasa lebih tenang setelah Alya mantap memilih bersama Raka. Namun, b...
17/08/2025

---

Bab 13 – Cahaya yang Mulai Menyelinap

Hari-hari terasa lebih tenang setelah Alya mantap memilih bersama Raka. Namun, bayangan penolakan keluarga masih menghantui. Mereka tetap menjaga jarak dari keramaian, tak ingin menambah bahan gosip.

Suatu sore, ibu Rendra datang ke rumah. Alya yang sedang menyapu teras langsung gugup. Ia menunduk, tak berani menatap.
“Ibu…” suaranya lirih.

Wanita itu duduk di kursi rotan, menarik napas panjang. “Alya… aku marah waktu dengar kabar tentang kamu dan Raka. Aku merasa kalian menodai nama kakaknya. Tapi setelah kupikir-pikir… siapa aku yang bisa melarang takdir?”

Alya meneteskan air mata. “Bu, aku tidak pernah berniat menghina keluarga ini. Aku hanya… menemukan ketenangan di Raka. Sesuatu yang tidak pernah aku punya sebelumnya.”

Ibu itu menatap Alya lama, lalu menggenggam tangannya. “Aku tahu Rendra keras padamu. Aku sering dengar kabarnya, tapi aku diam. Itu salahku. Dan kalau Raka bisa membuatmu tersenyum lagi… mungkin itu yang terbaik.”

Alya terisak, memeluk sang ibu mertua dengan penuh syukur.

Ketika Raka pulang dan melihat ibunya duduk bersama Alya, ia hampir tak percaya.
“Bu…?” tanyanya hati-hati.
Sang ibu tersenyum tipis. “Kalau memang sungguh-sungguh, buktikan. Jangan main-main dengan perasaan Alya. Karena kalau sampai kamu menyakitinya… kamu akan berhadapan denganku.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, Raka merasa perjuangannya tidak sia-sia. Ada secercah cahaya yang mulai menyelinap di jalan mereka.

---

Bab 14 – Lamaran yang Menggetarkan Hati

Senja itu, langit berwarna keemasan. Di ruang tamu sederhana, Alya duduk dengan tangan yang tak henti bergetar. Jantungnya berdegup kencang, seolah tahu akan ada sesuatu yang besar terjadi.

Raka masuk, mengenakan kemeja putih sederhana. Wajahnya serius, namun senyumnya tetap hangat. Ia duduk di hadapan Alya, lalu mengambil kotak kecil dari sakunya.
“Alya…” suaranya pelan tapi tegas. “Aku tahu perjalanan kita nggak mudah. Kita dihina, ditolak, bahkan dianggap aib. Tapi aku nggak peduli. Yang aku tahu… aku ingin sisa hidupku bersamamu.”

Alya menatapnya, mata berkaca-kaca. “Rak…”
Raka membuka kotak itu—di dalamnya ada cincin perak sederhana, namun berkilau indah di bawah cahaya lampu.
“Will you… eh, maukah kamu menikah denganku?” ucapnya dengan nada bercampur gugup dan harapan.

Air mata Alya jatuh deras. Ia mengangguk, suaranya bergetar. “Ya… aku mau, Rak.”

Raka tersenyum lega, lalu menyematkan cincin itu di jarinya. Dalam sekejap, semua luka, semua air mata, seolah menemukan makna baru.

Malam itu, kabar lamaran mereka resmi sampai ke keluarga besar. Meski masih ada yang menolak, sebagian mulai luluh setelah melihat kesungguhan Raka. Mereka tahu, cinta ini bukan sekadar pelarian, melainkan pilihan yang tulus.

---
Lanjut ke Bab 15


---Bab 11 – Pertentangan yang MembakarSiang itu, keluarga besar kembali berkumpul di rumah orang tua Rendra. Alya ikut d...
17/08/2025

---

Bab 11 – Pertentangan yang Membakar

Siang itu, keluarga besar kembali berkumpul di rumah orang tua Rendra. Alya ikut datang bersama Raka, meski hatinya diliputi keraguan. Sejak awal, tatapan sinis sudah mengiringi langkah mereka.

Begitu semua duduk, paman mereka angkat bicara.
“Raka, Alya… kami semua sudah dengar kabar yang beredar. Katanya kalian sering bersama, terlalu dekat. Apa itu benar?”

Suasana hening. Alya menunduk, jantungnya berdentum keras. Raka menggenggam tangannya diam-diam, memberi kekuatan.
“Benar, Paman,” jawab Raka tegas. “Aku memang sering bersama Alya. Aku mencintainya. Dan aku berniat menikahinya.”

Suara riuh langsung terdengar. Beberapa menepuk meja, yang lain saling berbisik keras.
“Kurang ajar!” seru salah satu bibi. “Kamu berani merusak nama baik keluarga sendiri?”
“Itu istri kakakmu, Rak! Walau Rendra sudah mati, dia tetap kakak iparmu!”

Alya tak kuasa menahan air mata. Ia merasa semua tudingan itu seperti cambuk.
Namun, Raka berdiri, menatap semua yang hadir.
“Kalian salah. Alya bukan ‘milik’ siapa pun. Dia seorang wanita, manusia, yang berhak dicintai dan bahagia. Kakak sudah tiada, dan aku nggak mau biarkan Alya hancur sendirian. Kalau kalian menganggap ini aib, biar aku tanggung semuanya. Tapi aku nggak akan lepaskan dia.”

Keheningan mendadak memenuhi ruangan. Tatapan marah bercampur kaget mengarah pada Raka. Sementara Alya, dengan mata berkaca-kaca, merasakan untuk pertama kalinya ada yang benar-benar berjuang untuk dirinya.

Malam itu, meski keluarga menolak keras, Alya tahu dalam hatinya—ia tak lagi sendiri.

Bab 12 – Goyahnya Sebuah Hati

Beberapa hari setelah pertengkaran dengan keluarga, Alya duduk di kamarnya dalam diam. Hatinya penuh rasa bersalah. Ia merasa seolah-olah menjadi penyebab perpecahan keluarga Rendra.

Saat Raka masuk membawa makanan, Alya langsung berkata lirih, “Rak… aku nggak sanggup. Aku nggak mau jadi alasan keluargamu saling membenci.”

Raka meletakkan piring itu, lalu menatapnya tajam. “Mbak… jangan bilang kamu mau menyerah.”
Alya menggigit bibir, air matanya jatuh. “Aku capek, Rak. Sejak kecil aku diajarkan untuk menjaga nama baik keluarga. Kalau kita terus melawan, mungkin mereka akan menganggapku hina seumur hidup.”

Raka mendekat, menggenggam kedua tangannya. “Dengar aku, Alya. Hidup ini bukan untuk memuaskan semua orang. Kalau kita terus hidup demi pandangan orang, sampai kapan pun kita nggak akan bahagia. Aku rela kehilangan restu mereka… asal jangan kehilanganmu.”

Alya menatapnya, matanya basah. Hatinya berperang—antara rasa takut pada dunia luar, dan rasa hangat yang hanya Raka bisa berikan.

Malam itu, saat ia terisak di dada Raka, ia akhirnya berbisik pelan, “Aku nggak mau lagi lari. Kalau memang harus bersama, aku mau jalanin ini sama kamu.”

Raka tersenyum lega, memeluknya erat. “Itu janji ya, Mbak? Kita lawan dunia sama-sama.”
Dan malam itu, Alya merasa sedikit lebih berani—untuk pertama kalinya, ia memilih hatinya sendiri.

---

Lanjut ke Bab 13



---

---Bab 10 – Antara Cinta dan Pandangan DuniaMalam itu, hujan turun deras. Alya duduk di tepi ranjang dengan wajah penuh ...
16/08/2025

---

Bab 10 – Antara Cinta dan Pandangan Dunia

Malam itu, hujan turun deras. Alya duduk di tepi ranjang dengan wajah penuh kegelisahan. Kata-kata ibu Rendra dan bisikan tetangga masih terngiang di telinganya.

Raka masuk pelan sambil membawa selimut. “Mbak, jangan sering-sering melamun. Aku takut kamu sakit.”

Alya menoleh, matanya sembab. “Rak… kalau kita terus begini, semua orang akan benci kita. Mereka akan bilang aku perempuan nggak tahu diri, dan kamu pengkhianat kakakmu sendiri.”

Raka terdiam sejenak, lalu duduk di sampingnya. “Mbak, aku nggak peduli omongan orang. Yang penting kita jujur sama diri sendiri. Kalau pun dunia menolak, aku tetap mau bersamamu.”

Alya menggigit bibir, air matanya jatuh. “Tapi bagaimana kalau keluargamu nggak pernah restu?”
Raka menatapnya dengan mata yang penuh keteguhan. “Aku akan buktikan ke mereka. Aku akan jaga kamu, bahagiain kamu, sampai mereka sadar kalau cinta kita bukan aib, tapi takdir.”

Alya terisak, lalu perlahan menyandarkan kepalanya di bahu Raka. Untuk pertama kalinya sejak kematian Rendra, ia merasa punya harapan baru.

Namun, di luar sana, bisik-bisik terus berkembang, dan tekanan keluarga semakin kuat. Mereka tahu, keputusan yang akan mereka ambil bisa mengubah segalanya—selamanya.

---

Lanjut ke bab 11..

---Bab 9 – Rahasia yang TerbukaSore itu, keluarga besar berkumpul di rumah orang tua Rendra untuk memperingati 40 hari k...
16/08/2025

---

Bab 9 – Rahasia yang Terbuka

Sore itu, keluarga besar berkumpul di rumah orang tua Rendra untuk memperingati 40 hari kepergiannya. Alya datang bersama Raka, keduanya berusaha menjaga jarak agar tak menimbulkan kecurigaan.

Namun, mata manusia selalu jeli. Saat Alya tanpa sadar menunduk memberi teh pada Raka lebih dulu sebelum yang lain, salah satu bibi mereka menatap penuh curiga.
"Raka, kamu itu adik almarhum. Jangan terlalu sering sama Alya. Orang bisa salah paham," ucapnya dengan nada tajam.

Alya langsung menunduk, wajahnya memanas. Tapi Raka tak tinggal diam.
"Buk, saya cuma bantu Mbak Alya. Dia sendirian sekarang. Salahkah kalau saya peduli?"

Suasana hening sejenak, sebelum ibu mereka akhirnya angkat bicara.
"Raka… Alya itu istri kakakmu. Walaupun Rendra sudah tiada, tetap saja dia pernah jadi bagian dari kakakmu. Kamu harus jaga jarak."

Kata-kata itu menancap di hati Alya. Malam itu, setelah acara selesai, ia menangis di kamarnya.
"Rak, mungkin mereka benar. Aku nggak seharusnya… nggak seharusnya membiarkan perasaan ini tumbuh."

Raka menatapnya dalam gelap, suaranya bergetar.
"Alya, aku sudah mencoba melawan perasaan ini. Tapi setiap kali lihat kamu sendirian, aku nggak sanggup. Aku mencintaimu… bukan sebagai janda kakakku, tapi sebagai wanita yang pantas dicintai."

Air mata Alya semakin deras. Untuk pertama kalinya, ia tidak menyangkal lagi apa yang selama ini ia rasakan. Tapi ia juga tahu… jalan di depan akan penuh duri.

---

Lanjut ke Bab 10

---Bab 8 – Bisik-Bisik yang MenyakitkanPagi itu, Alya berjalan pulang dari pasar sambil membawa keranjang belanja. Udara...
16/08/2025

---

Bab 8 – Bisik-Bisik yang Menyakitkan

Pagi itu, Alya berjalan pulang dari pasar sambil membawa keranjang belanja. Udara cukup cerah, tapi langkahnya terasa berat ketika ia melewati warung di sudut jalan.

Beberapa ibu yang sedang duduk sambil menyeruput kopi menatapnya penuh arti.
"Itu kan jandanya Mas Rendra… katanya sekarang sering bareng sama adik iparnya," bisik salah satu dari mereka.
"Ah, nggak tau malu… suaminya baru meninggal, udah dekat sama adiknya," sambung yang lain sambil menatap sinis.

Alya pura-pura tidak mendengar, tapi dalam hati, kata-kata itu menusuk. Ia mempercepat langkah, berharap suara-suara itu hilang.

Sesampainya di rumah, Raka sedang memperbaiki pagar.
"Mbak, kenapa? Wajahnya pucat," tanyanya.
Alya menggeleng. "Nggak apa-apa."
Raka menatapnya, lalu meletakkan palu. "Kalau ada yang ngomong macam-macam, biarin. Mereka nggak tau apa yang kita lewatin."

Alya menghela napas panjang. "Tapi Rak… aku takut. Takut kalau kita dianggap salah."
Raka mendekat, menatapnya lembut. "Yang penting kita nggak berbuat salah. Perasaan itu nggak bisa diatur, Mbak. Dan aku… nggak mau pura-pura nggak mencintaimu."

Alya terdiam. Kata-kata itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, sejak saat itu, tak ada lagi yang bisa menahan rasa yang tumbuh di antara mereka—meski dunia mungkin takkan mengerti.

---

Lanjut ke Bab 9

---Bab 7 – Sepi yang Mengendap di HatiHari-hari setelah pemakaman terasa panjang dan sunyi. Rumah yang dulu penuh suara ...
15/08/2025

---

Bab 7 – Sepi yang Mengendap di Hati

Hari-hari setelah pemakaman terasa panjang dan sunyi. Rumah yang dulu penuh suara bentakan kini sepi, namun sepi itu tidak sepenuhnya menenangkan.

Alya duduk di ruang keluarga, memandangi foto pernikahannya yang kini terasa seperti kenangan dari kehidupan orang lain. Di foto itu, senyumnya lebar—senyum yang ia paksakan demi menjaga nama baik keluarga.

"Sudah makan?" suara Raka memecah lamunan.
Alya menggeleng pelan. "Belum lapar."
Raka duduk di hadapannya, meletakkan semangkuk sup hangat. "Kalau nggak makan, nanti sakit. Aku nggak mau kamu jatuh sakit, Mbak."

Alya menatapnya. Ada ketulusan di mata Raka, sesuatu yang tak pernah ia temukan dalam tatapan Rendra. Perlahan, ia mengambil sendok.
"Terima kasih, Rak…" ucapnya lirih.

Hari-hari berikutnya, Raka sering mengurus banyak hal untuk Alya—dari belanja ke pasar, memperbaiki atap yang bocor, hingga sekadar menemani saat hujan turun.

Suatu malam, ketika listrik padam dan rumah hanya diterangi cahaya lilin, Alya berkata pelan, "Kalau kamu nggak ada… mungkin aku nggak akan sanggup lewat masa ini."
Raka menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. "Aku akan selalu ada, Mbak. Bukan cuma sekarang, tapi seterusnya."

---

Lanjut ke Bab 8

---Bab 6 – Malam yang Tak Pernah TerlupakanHujan turun deras, membasahi jalanan dan memantulkan cahaya lampu-lampu kota....
15/08/2025

---

Bab 6 – Malam yang Tak Pernah Terlupakan

Hujan turun deras, membasahi jalanan dan memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Alya duduk di ruang tamu, menunggu Rendra yang belum pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan rasa khawatir mulai menggerogoti hatinya.

Raka yang baru pulang dari toko kelontong di ujung jalan melihat Alya gelisah.
"Mas Rendra belum pulang?"
Alya menggeleng. "Biasanya jam segini sudah di rumah."

Tak lama kemudian, ponsel Alya berdering. Nomor tak dikenal.
"Halo?" suaranya bergetar.
"Benar ini istri Rendra Prasetya?" suara di seberang terdengar tegas, seperti dari seorang petugas.
"Ya, saya…"
"Suami Anda mengalami kecelakaan di jalan tol. Kondisinya kritis, mohon segera ke rumah sakit."

Ponsel nyaris terlepas dari tangan Alya. Raka yang melihatnya langsung meraih kunci motor. "Mbak, ayo kita ke rumah sakit sekarang!"

---

Rumah sakit itu terasa dingin, meski heater menyala. Alya berdiri di depan ruang IGD, kedua tangannya gemetar. Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dengan wajah muram.
"Maaf, kami sudah berusaha…"

Kata-kata itu menggantung, cukup untuk membuat dunia Alya runtuh.
Tangisnya pecah, tapi di tengah rasa kehilangan, ada perasaan yang sulit ia jelaskan—sebuah kelegaan samar, karena ia tahu tak akan lagi merasakan bentakan, tatapan tajam, atau tangan yang mendorongnya.

Raka berdiri di sampingnya, menatapnya penuh iba. Tanpa berkata apa-apa, ia memeluk Alya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Alya membiarkan dirinya menangis di dada seorang lelaki yang bukan suaminya.

---

Lanjut ke Bab 7

---Bab 5 – Pertengkaran yang Memecah KeluargaPagi itu, udara terasa panas meski matahari belum sepenuhnya meninggi. Alya...
15/08/2025

---

Bab 5 – Pertengkaran yang Memecah Keluarga

Pagi itu, udara terasa panas meski matahari belum sepenuhnya meninggi. Alya sedang menyapu halaman ketika Raka keluar membawa segelas kopi.
"Mbak, istirahat dulu. Aku yang lanjut nyapu," ucapnya sambil tersenyum.
Alya menggeleng, "Nggak apa-apa, Rak. Aku—"

Suara bentakan dari dalam rumah memotong kalimat Alya.
"Raka! Masuk sini!"
Rendra berdiri di ruang tamu, wajahnya merah penuh amarah.
"Apa maksudmu pura-pura jadi suami di rumah ini? Nyapu halaman bareng istri orang?!"

Raka terkejut. "Mas, aku cuma bantu. Nggak ada yang aneh."
"Aneh? Mata aku nggak buta, Rak! Dari kemarin aku lihat kalian makin dekat!"

Alya mencoba menenangkan, "Mas, tolong jangan salah paham—"
"Diam kamu, Alya!" bentak Rendra, membuat Alya mundur ketakutan.

Raka melangkah maju, menatap kakaknya dengan mata yang jarang sekali ia tunjukkan—penuh amarah.
"Kalau Mas nggak bisa hargai istri, jangan salahkan orang lain kalau dia cari tempat aman."
"Berani kamu lawan aku?!" Rendra mendorong dada Raka keras.

Pertengkaran itu hampir berubah menjadi perkelahian, sampai ibu mereka datang dan melerai. Tapi sejak hari itu, hubungan kakak-beradik itu retak, seperti kaca yang tak mungkin kembali utuh.

---
Lanjut kek Bab 6

Address

Siak Sri Indrapura

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when cerita cia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share