09/11/2025
Judul: “Rasa yang Tak Terucap”
Langit sore itu berwarna jingga lembut, sama seperti sore-sore yang biasa kami habiskan bersama. Aku dan Raka duduk di taman kampus, membicarakan hal-hal sepele—masa depan, cita-cita, dan kadang... tentang cinta. Tapi tidak pernah tentang cinta yang aku rasakan padanya.
Dia terlalu dekat untuk kuakui, tapi juga terlalu jauh untuk kumiliki.
“Aku s**a sama seseorang, Rin,” ucapnya waktu itu, dengan senyum yang membuat jantungku bergetar.
Aku menegakkan punggung. “Oh ya? Siapa?” tanyaku berusaha tenang.
Dia menunduk, menatap rerumputan. “Dia manis, ceria, dan selalu tahu cara bikin aku tenang.”
Aku menunggu kelanjutannya. Tapi yang keluar dari mulutnya bukan nama yang ingin kudengar.
“Namanya... Nia.”
Hatiku seketika retak halus. Tapi aku tersenyum, seperti biasa.
“Dia beruntung banget, Rak.”
Sejak hari itu, aku belajar menyembunyikan perasaan.
Aku ada di setiap kisah hidupnya—menemaninya saat patah hati, menyemangatinya saat gagal, bahkan membantu menyiapkan lamaran untuk Nia.
Ironis, bukan? Aku membantu laki-laki yang kucintai... menikahi perempuan lain.
---
Hari itu tiba.
Raka berdiri gagah dengan setelan jas abu, wajahnya bercahaya. Nia cantik dalam balutan gaun putih. Semua orang tersenyum. Aku juga. Setidaknya... mencoba.
Ketika musik pengantin berhenti, Raka menghampiriku. “Rin, makasih ya... kalau bukan karena kamu, mungkin aku gak akan sampai di sini.”
Aku menatap matanya. “Kamu pantas bahagia, Rak.”
Dia tertawa kecil. “Kamu juga ya, semoga cepat nyusul.”
Aku hanya tersenyum. Kalau saja dia tahu, orang yang kucintai sedang berdiri di depanku, memegang tangan orang lain.
---
Beberapa jam setelah pesta selesai, tamu-tamu mulai pulang. Aku duduk sendirian di halaman gedung, menatap langit malam.
Langkah kaki mendekat—Raka.
“Kamu belum pulang?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Cuma pengen duduk sebentar.”
Dia ikut duduk di sebelahku.
“Hari ini... aku sempat lihat kamu nangis,” katanya pelan.
Aku tercekat. “Hah? Enggak kok, cuma kelilipan debu.”
Dia tersenyum lembut. “Rin, kamu gak pernah bisa bohong dari dulu.”
Hening. Angin malam berembus, membawa sisa wangi bunga pengantin.
Raka menatap jauh ke depan. “Tadi waktu aku berdiri di pelaminan... aku sempat mikir, gimana ya kalau dulu aku tahu ada seseorang yang sebenarnya mencintai aku diam-diam?”
Dadaku terasa sesak. “Kamu tahu?”
Dia menoleh perlahan, mata itu menatap langsung ke dalam hatiku. “Sekarang tahu.”
Aku menarik napas panjang, menahan air mata yang hampir pecah. “Tapi sekarang udah terlambat, kan?”
Raka tersenyum getir. “Iya, Rin. Telat... tapi aku harap kamu tahu, kalau rasa itu gak sepihak.”
Butiran air mata akhirnya jatuh. Kami hanya diam, menatap bintang yang sama—dua hati yang dulu saling menunggu, tapi tak pernah saling bicara.
Malam itu aku belajar satu hal:
Cinta yang tak pernah diungkapkan, akan tetap hidup... tapi tak akan pernah dimiliki.
---