Uhurtm

Uhurtm pemburu dollar,pejuang receh, pemungut rezeki halal....

JANJI DI UJUNG HARANGANEpisode 1: Hari Dimana Ulos MenangisLangit Balige pagi itu redup, seolah tahu bahwa hari ini buka...
16/07/2025

JANJI DI UJUNG HARANGAN

Episode 1: Hari Dimana Ulos Menangis

Langit Balige pagi itu redup, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa.
Kabut turun perlahan dari Danau Toba, merambat ke jendela rumah tua milik keluarga besar **Lubis**.
Rumah itu berdiri kokoh di atas bukit kecil, berdinding kayu keras berusia puluhan tahun, beratap ijuk yang sudah menua, hitam dan tebal.
Rumah yang menyimpan sejarah, silsilah, dan beban adat yang tak kasatmata.

Di dalamnya, aroma kopi tubruk dan kayu manis yang dibakar berpadu dengan bau tanah lembap.
Dapur sibuk, para boru sibuk, dan suara gondang perlahan mulai terdengar dari kejauhan.
Semuanya terasa seperti upacara besar
dan memang begitulah adanya.

**Rasmika Lubis**, gadis 27 tahun, cucu tertua Opung Raja Lubis, duduk di depan cermin bundar dengan bingkai ukiran **Gorga** khas Toba.
Rambut hitamnya disanggul setengah, sisanya mengalir halus.
Ia mengenakan kebaya putih gading dan songket merah berbenang emas.
Di pangkuannya terbentang **ulos Ragidup Silingo**, pusaka keluarga yang diturunkan dari opung borunya.
Ulos itu tidak sembarang ulos
ia membawa restu dan tanggung jawab.

Ibunya muncul di ambang pintu, mengenakan selendang **ulos tumtuman** di bahu.

“Sudah siap, Mika?” tanyanya lembut.

Rasmika tidak menjawab.
Ia hanya menatap bayangannya di cermin.
Di wajahnya tak ada riasan berlebihan, hanya sapuan bedak, alis yang disikat rapi, dan sepasang mata yang sedang menimbang antara menerima atau memberontak.

Hari ini, keluarga dari marga **Ginting** akan datang membawa **sinamot**.
Bukan lamaran biasa, melainkan perjanjian adat yang diwariskan dua generasi ke belakang.
Dulu, opungnya dan opung dari pihak Ginting berjanji akan menikahkan keturunan mereka demi mempererat ikatan darah bangsawan Batak.
Janji itu kini jatuh ke pundak Rasmika.

Ia menarik napas dalam-dalam.
Bukan karena cinta, tapi karena beban.



Tiga mobil hitam mendaki pelan ke halaman rumah. Debu mengepul.
Pintu mobil terbuka, dan keluarlah para tamu dengan pakaian adat lengkap: gotong, sortali, ulos, dan tongkat dari kayu jior.
Mereka berjalan berderet, penuh wibawa.

Di tengah-tengah rombongan, seorang pria muda turun terakhir.
Tubuhnya tinggi, posturnya tegak.
Ia mengenakan kemeja putih bersih, sarung songket Ginting tergulung di pinggang, dan ulos berwarna gelap tersampir di bahu.

**Tuan Uhur Ginting.**

Rasmika mengintip dari balik kisi jendela. Dadanya berdegup tak karuan.

*"Jadi ini... calon suamiku?"*

Lelaki itu tampak tenang.
Sorot matanya tajam, tapi tidak dingin.
Ia terlihat berbeda dari laki-laki yang biasanya datang ke pesta adat: tidak berlebihan, tidak banyak bicara, tidak mengumbar senyum palsu.
Rasmika mengamati tiap geraknya.
Sederhana, tapi bermartabat.

Mereka belum pernah bertemu.
Yang Rasmika dengar hanyalah cerita: Uhur Ginting, arsitek lulusan Delft, idealis, jarang p**ang kampung, tidak s**a pamer hidup di media sosial, dan konon pernah gagal menikah.
Tidak ada yang tahu mengapa pernikahan itu batal.
Tapi cerita itu cukup untuk membentuk bayangan: laki-laki yang menyimpan luka, atau justru menyimpan rahasia?

Uhur memasuki **balai adat**, menyalami para tetua satu per satu, membungkuk hormat dengan cara yang tidak dibuat-buat.
Ia berdiri di tengah ruangan, tepat di hadapan keluarga Lubis.

Lalu, ia bicara.

Suaranya berat dan tenang.

“Horas, Rasmika.
Saya datang bukan untuk memaksa, tapi untuk memulai.
Jika kita ditakdirkan bersatu, maka biarlah cinta itu tumbuh bukan karena adat, tapi karena pilihan.”

Semua mata beralih ke Rasmika.
Ia menunduk.
Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Bukan kata-kata adat, bukan basa-basi yang diajarkan di pesta pernikahan Batak.
Itu suara hati yang sedang bicara
dan Rasmika tidak siap mendengarnya.

Lalu, sesuatu terjadi.

**Sehelai benang pada ulos di pangkuannya terlepas.**

Hening.

Ia menunduk.

Benang itu, yang sejak pagi terasa berat, kini lepas begitu saja.
Ulos Ragidup tidak boleh rusak saat prosesi adat
itu bisa dianggap sebagai pertanda.
Dan dalam hati kecilnya, Rasmika merasakan kecemasan yang tak bisa ia abaikan.

Ibunya melihat. “Mika?”

“Benangnya... putus sendiri.”

Sang ibu mendekat, melihat ulos yang benangnya terburai sedikit di tepi.
Ia mencoba tersenyum. “Mungkin sudah tua benangnya.
Tidak usah terlalu dipikirkan.
Ini hari baik.”

Tapi Rasmika tahu.
Di Tanah Batak, **tidak ada yang sepenuhnya kebetulan.**



Lamaran adat berjalan sesuai rencana. Gondang menyambut tamu, tortor dibawakan penuh semangat oleh boru-boru, dan sinamot mulai dibicarakan oleh para raja parhata. Marga, garis keturunan, dan silsilah diurai satu per satu seperti naskah sejarah.

Tapi mata Rasmika terus tertuju pada sosok itu Uhur Ginting, yang kini sedang berdialog dengan pamannya.
Lelaki itu tidak banyak bicara, tapi jelas paham letak wibawa.
Ia tak duduk sebelum para tetua diberi tempat. Ia tak berseru, tapi orang-orang mendengarnya. Sikapnya menunjukkan ia paham adat, tapi juga tidak tenggelam di dalamnya.

Dan perlahan, perasaan dalam dada Rasmika mulai goyah.

Ia belum mencintai lelaki itu.
Tapi ia tahu, ia tidak membenci kehadirannya.



Menjelang sore, saat gondang melambat dan makanan adat sudah disajikan, Uhur meminta waktu sebentar kepada ibunda Rasmika.

“Boleh saya bicara dengan Rasmika, hanya sebentar... jika diizinkan,” katanya pelan.

Ibunya menatapnya lekat, lalu berpaling ke putrinya.

“Bagaimana, Mika?”

Rasmika mengangguk. “Boleh.”

Mereka berjalan ke belakang rumah.
Danau Toba terbentang luas, tenang dan kelabu, seperti menyimpan kisah-kisah yang tak pernah selesai diceritakan.
Kabut perlahan naik dari permukaan air, menutup pandangan ke Pulau Samosir di kejauhan.

“Aku tahu ini semua terlalu mendadak,” kata Uhur akhirnya.

“Dan mungkin terasa tidak adil.”

Rasmika hanya diam.

“Tapi aku tidak ingin memulai apa pun dengan kebohongan.
Jika kamu tak ingin ini berlanjut, katakan saja. Aku tidak akan melawan.”

“Kau bicara seolah semua keputusan ada padaku,” kata Rasmika lirih.

Uhur tersenyum kecil.

“Bukankah memang seharusnya begitu?”

Ia menoleh ke danau, lalu melanjutkan, “Aku arsitek.
Aku biasa merancang rumah, taman, bahkan museum.
Tapi rumah yang paling sulit dibangun adalah rumah tangga.
Dan aku ingin membangunnya... bukan karena warisan adat.
Tapi karena kita saling memilih untuk tinggal.”

Untuk pertama kalinya hari itu, mata Rasmika berkaca-kaca.
Kata-kata Uhur bukan untuk memikat, tapi untuk menenangkan.

Dan di saat itu, sesuatu dalam dirinya mulai berubah.

Bukan karena dipaksa.
Tapi karena seseorang memberinya ruang untuk memilih.



Mereka berdiri berdampingan, diam, ditemani kabut yang perlahan turun dari pegunungan. Gondang dari dalam rumah kembali terdengar. Tidak lagi megah, tapi syahdu.
Seperti doa.
Seperti suara batin yang perlahan mengizinkan harapan tumbuh.

Dan dalam hati kecilnya, Rasmika tahu...

Ulos itu menangis bukan karena sedih.
Tapi karena doa-doanya akhirnya menemukan jawab.

Akhir Episode 1

(Lanjut ke Episode 2: Tawar Menawar Cinta & Warisan)

   Judul: Wajah di Kaca SpionPenulis: UhurtmAku bukan sopir taksi sungguhan. Cuma bantu paman—sesekali, kalau dia lagi f...
10/06/2025





Judul: Wajah di Kaca Spion

Penulis: Uhurtm

Aku bukan sopir taksi sungguhan. Cuma bantu paman—sesekali, kalau dia lagi flu atau sibuk ngurus koperasi perantau Indonesia di Causeway Bay. Tapi malam itu, aku narik sendirian. Alasannya? Patah hati. Parah. Sampai aku mikir, "Daripada merenung di kasur sambil nonton iklan pemutih wajah, mending muter keliling Hong Kong!"

Sekitar pukul satu dini hari, aku lewat Shek O Road—daerah bukit yang sunyi, sering berkabut, dan katanya, terkenal angker. Tapi mana peduli. Aku putar radio, nyanyi-nyanyi, dan ngelucu sendiri kayak stand-up comedian gagal.

Lalu dia muncul.

Seorang wanita berdiri di pinggir jalan, melambai pelan. Aku rem mendadak, dan dia masuk. Duduk diam di kursi belakang. Sekilas, dia cantik. Rambut panjang, rapi. Bibir merah. Tapi... wajahnya datar. Bukan ekspresinya, tapi beneran datar. Kayak nempel kertas kosong di kepala.

Aku tercekat.

“Mau ke mana, Mbak?” tanyaku pelan. Dia tak menjawab, hanya menunjuk ke depan. Tangannya dingin, nyaris es. Dan jari-jarinya... panjang. Terlalu panjang untuk manusia biasa.

Aku nyalakan lampu kabin untuk memastikan. Tapi... wajahnya tetap datar. Seperti tak ada apa-apa di sana.

Mobil mulai melaju. Jalan sepi, kabut makin tebal. Lagu radio tiba-tiba beralih sendiri jadi siaran berita dengan suara cempreng. Aku coba matikan, tapi tombolnya nyangkut. Dari kaca spion tengah, aku iseng melirik.

Dan di situlah aku hampir jantungan.

Wajahnya muncul di spion. Mata besar, kosong. Hidung mancung berdarah. Mulut terbuka lebar seperti menjerit—tapi tak bersuara.

BRAAAK!
Aku injak rem sekuat tenaga. Mobil oleng. Tapi saat aku menoleh ke belakang… kursi kosong.

Wanita itu menghilang.

“GILA NIH HONG KONG,” gumamku, gemetar. Tangan masih memegang setir, tapi tubuhku lemas kayak habis lomba makan mi pedas.

Radio rusak tadi tiba-tiba hidup. Suara pelan dan dingin menyelinap:

> “Kau sudah melihatku... Kau tidak bisa p**ang...”

Aku panik. Kupacu mobil sekencang mungkin menuju apartemen paman. Di sepanjang perjalanan, aku merasa ada sesuatu duduk di kursi belakang. Nafasnya berat. Dingin merayap dari tengkuk hingga ke lutut.

Setibanya di parkiran, aku keluar mobil tanpa matikan mesin. Hampir nangis. Paman muncul dari balik pintu dengan cangkir teh di tangan, masih pakai sarung dan kaus dalam.

“Kamu kenapa? Kayak habis liat tagihan SPP,” tanyanya.

Aku jawab, tergagap. “Pa... Penumpangku tadi... mukanya rata. Tapi di spion... dia ada wajahnya. Serem. Banget.”

Paman mendadak serius. Dia menatapku lekat-lekat, lalu masuk ke dalam apartemen. Beberapa detik kemudian, dia keluar lagi sambil membawa sebuah buku tua dengan sampul kertas pudar. Ada gambar wajah tanpa fitur di sampulnya.

“Ini dia,” katanya lirih. “Hantu Tak Bermuka dari Shek O. Legenda lama. Dulu katanya dia seorang artis. Diselingkuhi produser, lalu bunuh diri. Tapi jasadnya nggak pernah ditemukan. Yang ketemu cuma taksi hangus di sisi jalan.”

“Dan sejak itu…?” tanyaku, berharap ini cuma prank.

“Sejak itu, dia s**a naik taksi yang lewat tengah malam. Katanya, kalau ada sopir yang lihat wajahnya di kaca spion, maka dia akan... mengambil wajah itu buat dirinya sendiri.”

Aku lemas. “Trus aku gimana d**g, Paman? Aku udah liat mukanya.”

Paman menghela napas. “Yah... Biasanya sih mati.”

“APA?!”

“Canda. Tapi ya... biasanya memang gitu.”

Tujuh hari setelah itu adalah neraka. Setiap kali aku ngaca, bayanganku aneh. Kadang mukaku hilang. Kadang si wanita muncul berdiri di belakangku. Bahkan sempat muncul di layar ponsel waktu aku coba selfie buat upload ke IG. Untung kuhapus cepat. Kalau enggak, bisa-bisa aku jadi bahan investigasi netizen +62.

Suatu malam, aku mimpi buruk. Aku menyetir taksi tua, mengangkut penumpang satu per satu. Tapi setiap penumpang turun, wajah mereka hilang. Dan wanita itu muncul makin jelas. Makin hidup. Hingga akhirnya... masuk ke tubuhku.

Aku terbangun sambil menjerit.

Tapi suara yang keluar... bukan milikku. Suara perempuan. Serak. Berat. Menyimpan dendam.

Aku lari ke cermin. Dan untuk pertama kalinya, refleksiku... tak punya wajah.

Paman akhirnya menyerah dan menelepon seorang biksu dari Biara Po Lin. Lelaki tua itu datang dengan membawa jimat, d**a, dan sekantong beras (nggak tahu itu buat ritual atau bekal sarapan). Ia berkata:

“Untuk memutus kutukan, kamu harus mengantar dia kembali ke tempat asal. Biarkan dia turun dengan s**arela. Dan jangan sekali-kali menoleh... meski dia memanggil.”

Jadi, malam itu aku kembali menyetir. Mobil tua paman. Kursi belakang bersih. Tapi begitu masuk Shek O Road, AC mendadak dingin meski dimatikan. Dan wangi bunga melati menyebar di dalam mobil.

Aku tak berkata apa-apa. Hanya melaju pelan.

Lalu terdengar suara dari belakang.

“Berhenti di sini...”

Suara perempuan. Lembut. Tapi menggema, seperti keluar dari dalam kepalaku.

Aku berhenti. Mesin mati. Hening.

Aku tak berani menoleh.

Lalu... suara pintu terbuka. Lembut. Perlahan.

“Terima kasih...” katanya.

Dalam cermin kecil di dasbor, aku sempat melihat sekilas—wajahnya. Kini utuh. Tapi kosong. Seperti topeng porselen yang tak pernah mengenal kebahagiaan.

Tubuhnya menghilang jadi kabut.

Besok paginya, aku menghadap cermin.

Dan wajahku kembali.

Sejak itu, aku berhenti narik taksi. Bukan karena trauma doang—tapi karena paman menyuruhku jadi admin koperasi perantau. Lebih aman, katanya. Meskipun, kadang aku masih mimpi buruk. Dan tiap kali lewat Shek O Road, aku selalu memastikan kaca spion ditutup.

Karena katanya… kalau kamu lihat wajahnya lagi, kali ini, dia tak akan pergi.

Dan mungkin... wajahmu yang akan dia bawa.

Tapi cerita belum benar-benar usai. Dua minggu setelah kejadian itu, aku sedang belanja di pasar malam Mong Kok. Seorang ibu penjual buah tiba-tiba menatapku lama, lalu berbisik pada anaknya, “Itu dia... sopir yang diikuti dia.”

Aku mendekat. “Maksudnya, Bu?”

Si ibu gemetar, menunjuk ke arah leherku. “Dia belum pergi. Dia masih menempel padamu.”

Dan malam itu... aku kembali mimpi. Dalam mimpi, aku sedang berdiri di tengah jalan Shek O, dan tak ada wajah di tubuhku—tapi puluhan wajah asing menempel di tubuh si wanita.

Satu di antaranya... wajahku.

Aku bangun sambil berteriak.

Tapi kali ini, cermin tak menampilkan apa pun.

Hanya kabut... dan suara ketukan pelan dari kaca jendela kamarku.

Tok.
Tok.
Tok.

“Boleh aku masuk lagi...?”

---

Sudah tiga bulan sejak malam itu. Ketukan masih datang. Selalu jam 01.13. Aku sudah pindah ke asrama koperasi, tapi suara itu tetap datang.

Pantulan cermin mulai berbohong. Kadang aku tersenyum, tapi bayanganku tidak. Kadang aku bangun pagi, tapi wajahku di cermin masih tidur.

Paman membawaku lagi ke Biara Po Lin. Tapi biksu tua sudah wafat. Penggantinya berkata, “Kau belum mengantar dia ke tempat terakhirnya.”

Kami telusuri arsip lama. Artikel tahun 1987: “Taksi Terbakar di Shek O Road. Penumpang tak dikenal hangus terbakar. Tidak ada identitas.”

Kami kembali ke sana, malam hari. Membawa lilin, d**a, dan cermin dari biara.

Kabut turun. Sosok wanita terbakar muncul. Mata merah menyala. Dia menatap ke arahku… lalu ke cermin.

> “Akhirnya… aku bisa melihat diriku.”

Dalam pantulan cermin, wajah-wajah muncul. Salah satunya… wajahku.

Doa dibacakan. Api membesar. Semuanya lenyap. Hanya tersisa abu... dan satu helai rambut hitam.

Sejak itu, aku tak melihat bayanganku lagi. Bukan karena trauma. Tapi karena bayanganku… bukan milikku.

Kadang, saat lewat etalase toko, aku melihat seseorang berdiri di balik pantulan kaca.

Tapi itu bukan aku.

PEMATANG SIANTAR, SELASA ,10 JUNI 2025

02/05/2025



Tema : Masyarakat Yang Terlalu Perduli Dengan Penampilan Fisik

Judul : Wajah Cantik,Hati Kosong

Genre : Satire Sosial

*Wajah Cantik Hati Kosong*

Wajah cantik, hati kosong,
Seperti boneka, tanpa jiwa.
Mereka tersenyum, dengan mata yang kosong,
Menghiasi dunia, dengan kepalsuan.

Mereka berbicara, dengan kata-kata manis,
Namun di baliknya, ada niat yang licik.
Mereka mengejar, pop**aritas dan kekayaan,
Namun melupakan, nilai-nilai yang sebenarnya.

Mereka memposting, selfie demi selfie,
Mengharapkan like, dan komentar yang manis.
Namun di balik layar, ada kekosongan,
Yang tidak dapat diisi, oleh apapun juga.

Wajah cantik, hati kosong,
Seperti cermin, yang memantulkan kepalsuan.
Mereka perlu, mencari jati diri,
Dan mengisi hati, dengan nilai-nilai yang sebenarnya.

PEMATANG SIANTAR 2 MEI 2025

Safri Naldi

30/04/2025



Tema :"sindiran terhadap politisi yang berjanji banyak tapi tidak menepati janji"

Judul : janji palsu

Genre : satire politik

Karya :

*Janji Palsu*

Politisi berpidato, janji manis di bibir
"Pemerintah ini untuk rakyat, bukan untukku sendiri"
Tapi setelah terpilih, semua berubah
Mereka lupa pada janji, hanya ingat kekuasaan

Mereka berjanji turunkan harga, tapi malah naik
Berjanji ciptakan lapangan kerja, tapi malah PHK
Mereka berjanji perbaiki infrastruktur, tapi malah proyek mercusuar

Rakyat percaya, tapi apa yang terjadi?
Janji palsu, hanya untuk mendapatkan suara
Politisi tersenyum, rakyat tersenyum p**a
Tapi di balik senyum, ada kekecewaan yang dalam

Janji palsu, itu yang mereka lakukan
Mereka tidak peduli dengan rakyat, hanya dengan kekuasaan
Rakyat harus ingat, jangan percaya begitu saja
Janji palsu, itu yang akan mereka ucapkan lagi.

PEMATANG SIANTAR 30 APRIL 2025

29/01/2025






SEMUA UNIK
Semua Info

31/03/2024

Saya mendapatkan 6 pengikut, membuat 23 postingan dan menerima 18 tanggapan dalam 90 hari terakhir! Terima kasih atas dukungan berkelanjutan Anda. Saya tidak mungkin berhasil tanpa Anda. 🙏🤗🎉

23/03/2024

Siapapun akan menghadang,Siapapun akan melarang,aku akan tetap bersamamu.Kelak akan kubuktikan,Aku bukanlah BODOH,tapi aku adalah JODOH♥️♥️🫰🫰

29/02/2024

😇😇😇😇😇😇😇😇😇😇gimana caranya bercanda tapi menggoda 💋💋💋💋💋💋kalau yang menggoda 🌷🌷🌷itu sudah biasa kalau kamu yang menggoda aku itu juga sudah terbiasa 🌷🌷🌷

💘 💘💘yang aku inginkan kamu menggoda aku tergoda 💘💘💘







#

25/02/2024

Aku sangat beruntung
Semenjak aku bertemu denganmu sayang

20/02/2024

MENEMUKANMU aku merasa bahagia...

18/02/2024

MENCINTAIMU SAJA,AKU SUDAH BAHAGIA...

Address

Siantar
21152

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Uhurtm posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Uhurtm:

Share