Win media info

Win media info Nama pena: Ryujiwin
KBM
Fizzo
Karyakarsa

Spoiler bab acak premium. DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.     "Asli, aku deg degan, Nad. ...
26/12/2025

Spoiler bab acak premium.

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.

"Asli, aku deg degan, Nad. Sumpah kita kayak sedang melakukan " kejahatan " saja. " bisik Sita setelah mereka sampai dapur. Gadis itu sampai mengangkat kedua jemarinya membentuk huruf V saat menyebutkan kalimat kejahatan.

Nadia tersenyum simpul.

"Bisa-bisanya kamu tersenyum? Eh, aku makin yakin apa yang kamu ceritakan itu bakal direalisasikan. Iiih... Bayanginnya aku jadi ngerasa ngeri sendiri."

"Teman kamu tuh." Nadia menyahut asal.

"Yeee.... Mantan crushmu, tuh."

Nadia mengedikkan bahu tak menanggapi ia sibuk menyiapkan minum dan satu toples cemilan. Lalu keluar Dan Sita mengikuti lagi.

Nadia hendak pergi sebelum akhirnya terpaku mendengar ucapan Jonathan.

"Kak Nadia pekerja keras sekali ya, saat suami dan anak tidur, Kak Nadia malah kerja. "

Sita sampai melongo mendengarnya. Rere menyikut pacarnya tak enak hati.

Nadia pura-pura tak mendengar ia malah pamit untuk membangunkan suaminya, "Sebentar, aku bangunkan dia"

Dan tidak seperti sebelumnya kali ini Sita terpaksa harus tinggal di sana karena tak mungkin ia mengikuti sahabatnya itu masuk kamar.

"Sibuk apa, Mbak Sita?" tanya Jonathan yang langsung membuat Sita memutar bola matanya. Nadia benar, Jonathan sepertinya sudah merencanakan semuanya. Buktinya ia sampai bisa pura-pura menanyakan pekerjaan Sita padahal dulu pria itu sendiri yang mencarikan Sita pekerjaan.

"Biasa, ikut orang." Sita tetap mengikuti permainan.

"Dia kerjanya enak, Jo. Di dalam ruangan. Nggak kemana-mana." Rere menyambung.

Rere, gadis itu tidak tahu apa apa.

"Sudah menikah?" tanyanya lagi seperti sengaja.

"Belum. Kenapa? Mas Jonathan pengen carikan saya suami?" balas Sita mulai gemas. Seandainya tidak ada Rere di ruangan itu mungkin Jonathan sudah ia tin ju seperti biasanya.

Yuk mampir ke aplikasi KBM.

Judul: SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR
penulis: Ryuji Win

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU....Selesai mandi, Nadia melilitkan handuk di tubuhnya dan...
24/12/2025

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU....

Selesai mandi, Nadia melilitkan handuk di tubuhnya dan segerakeluar dari sana. Uap tipis masih mengepul dari rambut basahnya. Ia bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian, tapi langkahnya terhenti di ruang tengah.

Reno rupanya sudah bangun. Rambut pria itu awut-awutan, wajahnya masih separuh mengantuk. Namun seketika mata itu berbinar saat melihat istrinya berdiri di sana, hanya berbalut handuk.

"Eh... "

Reno tersenyum miring, lalu berjalan mendekat. Dalam beberapa langkah saja jarak di antara mereka hilang. Ia memeluk pinggang Nadia dari belakang, dan berbisik pelan di telinga istrinya dengan suara rendah.

"Mau dapat pahala pagi-pagi, Nggak?"

Nadia belum sempat menjawab. Tapi Reno sudah beraksi. Pria itu menunduk lalu mencium pundak istrinya lembut. Sentuhan itu perlahan naik ke tengkuk membuat tubuh Nadia seketika menegang.

Reno menolehkan tubuh istrinya hingga mereka berhadapan. Seringainya muncul. Reno memberi tatapan dalam, seperti mencari sesuatu di wajah istrinya lalu tanpa banyak bicara, ia kembali melanjutkan cumbuannya, menyalurkan gaira4hnya pada Nadia yang tak mampu menolak.

Nadia mengikuti permainan suaminya Ia sempat ingin menolak, tapi anehnya ia merasa ada yang janggal. Bukan dari Reno tapi dirinya. Karena ia terpejam bukan Reno yang ada di pikirannya.

Nadia melenguh berharap pikiran itu lenyap tapi semakin ia berusaha sosok itu semakin melintas sekilas di kepalanya.

Senyumnya, suaranya, cara ia memandang dengan tulus. Bayangan itu membuat dada Nadia berdesir aneh padahal Nadia tengah berada dalam pelukan suaminya.

Spoiler bab premium.

Baca kisah selengkapnya di KBM app

judul: SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR.

penulis: Ryujiwin

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.    "Jadi ini yang kamu titip ke Mas Angga?" tanya Nadia ...
23/12/2025

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.

"Jadi ini yang kamu titip ke Mas Angga?" tanya Nadia pelan, tanpa menoleh.

Reno langsung menoleh cepat. "Mas?! Kamu beneran keras kepala, Nad. Stop panggil Angga dengan embel-embel Mas."

Nadia berhenti mencuci. Air dari kran terus mengalir, membasahi piring di tangannya. Dia lalu mengambil tisu dan mengelap tangannya sambil berjalan.

"Kamu sudah mikir resikonya? " Nadia tak menanggapi ucapan Reno soal cara memanggil Angga, ia fokus dengan titipan yang kini sedang Reno timang-timang.

"Kenapa?" Reno akhirnya mengangkat wajah, suaranya tenang tak seperti tadi.
"Kamu kira akan aku batalkan? Tentu saja tidak, Nad. "

Nadia melemparkan tisu kotor itu ke arah tempat sampah. Gerakannya seperti sebagai pelampiasan emosinya. Ia menatap suaminya penuh perhitungan.

"Ini juga demi kamu. Biar kamu nggak perlu minta bonceng Angga lagi...."

"Reno, waktu itu sepeda kayuh rusak. Dan kamu tahu itu. Angga cuma nolong, " ujar wanita itu pelan penuh penekanan. Embel-embel Mas ia hilangkan. Bukan karena takut tapi dia capek terus berdebat gara-gara itu.

Reno mendengus pelan, menunduk seolah sibuk melipat brosur. "Ya.... tapi kamu menikmatinya 'kan. Aku tahu itu. Dan aku nggak s**a. Suamimu ini keberatan! "

Nadia menarik napas panjang, tapi dadanya mulai sesak. "Jadi kamu tetap mau ambil kredit motor itu? Kamu cemburu?”

Reno mend**gak, menatapnya. "Cemburu katamu? Aku cuma ingin istriku nggak capek. Meskipun dia wanita super."

"Reno, jangan bercanda!"

Reno malah tertawa sarkas sembari membawa pakan ikan koi itu ke dekat aquarium dan menaruhnya di sana.

"Aku paling nggak s**a kalau kamu cerewet seperti ini! "

Spoiler bab acak. Untuk selengkapnya baca langsung di aplikasi KBM.

Judul: Senyum yang perlahan pudar
penulis: Ryujiwin.

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU! Special Bab acak premium. "Ma... " panggilan gadis kecil itu...
22/12/2025

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU!

Special Bab acak premium.

"Ma... " panggilan gadis kecil itu membuat Jonathan menjauh. Nadia segera berlari menghampiri ana

"Sudah ya, Nak?"

"Iya, Ma. " jawab bocah itu sembari melirik Jonathan yang sedang menatap mereka.

"Ya sudah ayo, Ayah pasti nunggu," ajak Nadia.

Rani akhirnya menurut ia berjalan dengan tangan kirinya di gandeng mamanya.

"Nad.... " panggil Jonathan.

Ingin rasanya Nadia pura-pura tak mendengar tapi Rani berhenti dan menoleh.

"Kunciran kamu? " kata pria itu. Lalu dengan langkah perlahan menghampiri keduanya.

"Terimakasih." ucap Nadia menyambar ikatan rambut itu tanpa menatap Jonathan.

Setelah itu dengan cepat wanita menarik lengan putrinya, ia tak boleh terlalu berdekatan dengan pria itu.

Nadia dan Rani keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Rani langsung berlari ke tempat duduk asalnya tadi sebelum ke kamar mandi. Sementara itu Nadia mati-matian berusaha tenang meskipun jantungnya berdebar tak karuan.

Suara tawa dari ruang tengah langsung menyambut wanita satu anak itu, membuatnya merasa seperti kembali ke dunia yang berbeda—dunia yang menuntutnya tampak baik-baik saja.

Dari sudut matanya Nadia melihat Rani sudah duduk dekat Regita. Anak itu sibuk dengan tablet-nya, sesekali ikut tertawa kecil pada lelucon ringan yang dilontarkan Reva dan Wisnu.

Jonathan menyusul keluar tak lama kemudian lalu duduk di seberang dekat Regita dan berbeda dari sebelumnya, kini Rani seperti jaga jarak dari pria itu. Anak itu seperti tampak tak nyaman.

Jonathan sendiri langsung kembali menyatu dengan percakapan. Ia langsung akrab tanpa ada sedikit pun rasa gugup atau sungkan.

Nadia menatap pemandangan itu dengan pikiran lega sekaligus takut. Lega karena Jonathan tampak tak berniat membuka masa lalu mereka dalam waktu dekat ini tapi ia juga takut karena justru dari sikap santai Jonathan itulah Nadia tahu—pria itu sedang menyembunyikan sesuatu.

Baca kisah selangkapnya di KBM Aplikasi.

Judul: SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR

SPOILER BAB ACAK PREMIUM. DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.... Reno yang sedari tadi lebih ...
21/12/2025

SPOILER BAB ACAK PREMIUM.

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU....

Reno yang sedari tadi lebih banyak diam menyeletuk, "Wanita itu sebenarnya sama saja. Mereka itu akan takluk kalau ada duit."

Mendengar celetukan itu suasana yang tadinya adem sedikit tegang. "Perkecualian istriku. " sambungnya sembari memeluk Nadia secara terang-terangan.

Nadia yang tak siap hanya bisa pasrah mendapatkan pelukan itu.

"Istriku ini wanita istimewa, tak pernah menuntut berlebihan. " Reno semakin mengeratkan pelukan. Nadia tahu Reno sedang menyindir dirinya.

"Kamu juga harus seperti itu, Re. Jangan keterlaluan sama pasangan. " Reno ternyata belum selesai bicara.

Regita tersenyum sinis tak percaya kakaknya bisa ngomong seperti itu. Karena biasanya Kakak laki-lakinya selalu cuek pada istrinya.

"Oh, ya? Bisa ceritain lebih detail?" Berbeda dengan Regita Jonathan malah antusias.

Reno segera melepaskan pelukannya lalu mengubah posisi tubuhnya.

"Tidak pernah ngomel, tidak pernah cerewet, tidak pernah marah—"

"Itu malah nggak wajar. Istri kalau sudah diam dan pasrah tandanya dia capek ngadepin suaminya. " Tiba-tiba Reva muncul dari dalam rumah. Di tangannya ada sepiring buah pepaya yang sudah di kupas dan di potong-potong.

Baca selengkapnya di KBM aplikasi.

Judul: SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR.
Penulis: RYUJI WIN

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU... Rani sedang asyik bermain game di ruang tengah ketika ...
20/12/2025

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU...

Rani sedang asyik bermain game di ruang tengah ketika Nadia keluar dari dapur. Bocah cantik itu bahkan tidak menyadari kedatangan mamanya—jatuh tenggelam sepenuhnya pada layar ponsel yang digenggamnya.

“Rani… makan dulu. Hp taruh sebentar,” kata Nadia lembut dari tempatnya berdiri.

Rani mend**gak sekilas, wajahnya sedikit kesal karena terganggu. “Bentar lagi, Ma… lagi seru.”

Nadia menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Tidak biasanya putrinya membantah. Sedari kecil Rani selalu tanggap dan cepat bergerak kalau diminta, tapi sejak beberapa minggu terakhir entah mengapa anak itu berubah. Rani tidak pernah sampai membangkang atau berkata kasar, tapi tetap saja perubahan sikap itu membuat Nadia sedikit khawatir.

“Mama mau keluar beli telur. Nanti Mama p**ang kamu harus sudah makan ya,” ucap Nadia lagi.

Rani hanya menanggapi dengan gumaman singkat tanpa menoleh. Anak itu benar-benar larut pada layar persegi itu, jari-jarinya menari cepat seakan dunia di sekelilingnya menghilang.

Nadia tersenyum kecut, perih rasanya—seolah jarak di antara dirinya dan putrinya pelan-pelan tumbuh dan melebar. Ia kemudian masuk ke garasi kecil rumah mereka dan mengeluarkan sepeda kayuh tua yang sudah mulai kusam warnanya.

Sepeda itu sebenarnya jarang ia pakai, apalagi di siang hari terik begini. Namun telur di rumah habis, sementara sore nanti ia harus menyiapkan pesanan catering. Bagaimanapun, ia harus membeli telur sekarang juga.

Sepeda tersebut dulu pemberian mertuanya, sebagai hadiah untuk Rani. Karena waktu itu masih terlalu kecil, sepeda disimpan. Baru setahun belakangan roda itu berfungsi, dipakai bergantian antara Rani dan dirinya untuk jarak dekat.

Nadia mengenakan topi untuk melindungi kepala dari sengatan matahari. Ia juga memakai masker, bukan hanya untuk debu tapi juga agar wajahnya tidak terlalu terbakar matahari. Udara begitu panas hari ini, rasanya seperti terbakar.

Jarak warung yang dituju sebenarnya cukup jauh untuk ukuran pesepeda, tapi harga barang di sana selalu lebih murah dibanding toko dekat rumah. Dan sebagai ibu rumah tangga yang mengatur uang serba pas-pasan, Nadia tidak pernah mengabaikan selisih harga sekecil apa pun. Bagi Nadia, selisih seribu rupiah pun berarti—bisa membeli garam, korek api, atau kebutuhan kecil lainnya.

Reno, suaminya, selalu protes soal ini. Baginya semua harus praktis, tak perlu memikirkan selisih yang hanya seupil. Tapi bagi Nadia, justru itu cara bertahan hidup.

Lima belas menit mengayuh di bawah terik matahari membuat punggungnya basah keringat. Akhirnya ia berhenti di depan warung kelontong kes**aannya. Warung itu sederhana, tapi lengkap dan bersih.

“Telur sekilo, Bang,” ucap Nadia pada penjaga warung, pria paruh baya yang tengah menahan kantuk sambil duduk bersandar.

“Tumben siang, Mama Rani,” sapa pria itu sambil mulai menimbang telur satu per satu.

“Tadi pagi kelupaan pas ke sini,” jawab Nadia sambil tersenyum.

Ia memperhatikan tangan pria itu menimbang telur, memastikan tak ada yang retak. Ia selalu teliti, karena sedikit saja pecah berarti rugi.

“Oh, sama kopi bubuk, Bang,” tambah Nadia cepat, tiba-tiba teringat stok kopi Reno habis. Untung ia ingat sekarang, kalau tidak ia harus kembali lagi.

Setelah membayar dengan uang pas, Nadia keluar dengan rasa lega. Toko lagi sepi, mungkin karena siang orang-orang enggan keluar. Ia menaruh belanjaan di keranjang depan sepeda, memastikan aman agar tidak berguncang terlalu keras, lalu mulai mengayuh p**ang.

Jalanan siang itu cukup sepi. Beberapa motor melaju santai, sesekali ada mobil melintas. Nadia mengayuh pelan, khawatir telurnya pecah.

Namun baru setengah perjalanan p**ang, tiba-tiba terdengar suara keras—seperti letusan ban meledak.

DOR!

Nadia terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Sepeda langsung oleng. Jantungnya berdegup kencang, tangan refleks menggenggam setang erat-erat. Untung hanya bagian belakang sepeda yang rusak, sehingga ia berhasil menjaga keseimbangan dan tidak terjatuh.

Ia berhenti, meminggirkan sepeda pelan-pelan, masih terengah. Setelah memeriksa keranjang dan memastikan telur aman, ia menatap ban belakang yang kini robek cukup besar. Tidak mungkin ia mengayuhnya lagi.

Cuaca sangat panas. Nadia kipas-kipas menggunakan topi, keringat menetes dari pelipisnya. Ia mencoba berpikir cepat: Kalau aku tinggalkan sepeda ini dan p**ang jalan kaki, pasti lama. Sementara pesanan catering harus selesai sebelum Magrib. Tapi kalau tetap menunggu, aku bisa terlambat juga.

Ia menyesali kebiasaannya pergi tanpa membawa ponsel. Kalau saja ia membawa hp, ia mungkin bisa menelepon Reno atau Sita.

Saat sedang bingung, sebuah suara yang cukup ia kenal terdengar dari belakang.

“Kenapa, Mbak?”

Nadia menoleh. Angga—tetangga sekaligus rekan kerja Reno di pabrik itu—berhenti dengan motornya.

“Ini Mas, ban meletus,” jelas Nadia sambil menunjuk ban sepeda.

Angga turun, memeriksa sejenak, lalu menatap Nadia dengan sorot prihatin. “Mbak Nadia dari belanja?”

“Iya,” jawab Nadia pelan, merasa tak enak.

Angga berdiri, menepuk tangannya. “Ayo, biar saya antar p**ang dulu. Sepedanya taruh sini aja, nanti saya bawain ke bengkel.”

Nadia langsung menggeleng. “Nggak usah, Mas. Aku tuntun saja sampai rumah.”

“Ini panas sekali lho, Mbak. Aman kok dititip di warung situ. Nanti setelah antar Mbak, saya balik lagi buat urus sepeda. Sebentar ya.”

Tanpa menunggu persetujuan, Angga menuntun sepeda itu ke warung di seberang jalan. Nadia hanya bisa melihat dengan hati kalut—merasa benar-benar merepotkan.

Tak lama Angga kembali dan tersenyum.

“Ayo, Mbak. Beres. Kebetulan itu warung langganan saya.”

Dengan terpaksa Nadia menerima. Ia naik ke boncengan motor, berusaha duduk seformal mungkin.

Motor yang dibawa Angga berbeda dengan motor Reno. Jok belakangnya sangat sensitif—sedikit saja pengemudi bergerak, penumpang otomatis ikut terdorong. Nadia merasa tubuhnya harus dikunci; tangannya memegang erat bagian belakang motor agar tidak terdorong ke tubuh Angga.

Buang jauh-jauh canggung, ia menunduk menatap belanjaan yang dipangku.

“Reno kerja, Mbak?” tanya Angga memecah keheningan.

“Iya,” jawab Nadia singkat.

“Ehm…” Angga berdehem kecil. “Mbak Nadia punya teman cewek yang lagi jomblo nggak?”

Nadia tersentak kecil. Apa ini maksudnya? Ia yakin Angga hanya ingin mencairkan suasana.

“Kenapa memang, Mas?” tanya Nadia datar.

“Kenalin d**g. Siapa tahu jodoh,” ucapan Angga itu diikuti tawa kecil yang ramah.

Nadia langsung teringat Sita. Sita dan Angga? Entah kenapa ada rasa geli dan ingin tertawa. Lalu tiba-tiba ada sensasi aneh di dadanya—sedikit kecewa? Tapi kenapa?

“Ada Mas, tapi anaknya nggak bisa diatur.”

“Nggak apa Mbak, selama masih batas wajar,” sahut Angga santai.

Nadia tersenyum samar dan mengangguk pelan.

Tak lama motor berhenti di depan rumah. Nadia turun sambil merapikan roknya.

“Sepedanya nanti saya urus ya, Mbak. Saya juga yang akan bilang Reno. Kalau sudah beres, biar Reno yang ambil.”

“Terima kasih banyak, Mas,” ucap Nadia tulus.

“Sama-sama. Salam buat Rani,” Angga tersenyum.

Saat hendak pergi, Angga sempat menoleh dan berkata,

“Terima kasih untuk masakannya hari ini, Mbak. Enak semua. Ditunggu masakan lezat lainnya ya.”

Ucapan sederhana itu seperti hujan kecil di musim kemarau—hangat, menenangkan, dan membuat hati Nadia mekar perlahan.

---

Malam Hari

“Jadi Angga yang benerin?” tanya Reno sambil makan malam.

“Iya,” jawab Nadia sambil membereskan piring.

“Kenapa kamu nggak nunggu aku saja kalau nggak mau jalan kaki? Di warung sebelah juga ada telur.”

Nadia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ia menarik napas panjang.

“Kalau nunggu kamu, aku nggak jadi masak. Dan warung sebelah mahal, Reno.”

“Emang selisih berapa? Seribu? Dua ribu? Kalau sudah begini yang rugi siapa? Malah beli ban kan? Belum ongkos benerinnya. Mikir d**g Nad. Jangan duit melulu di kepala kamu.”

Kata-kata itu menusuk Nadia seperti sembilu, tapi ia memilih diam. Bantahan hanya akan memperpanjang perang.

“Jadi kamu tadi dibonceng Angga?”

“Iya.”

“Lain kali jalan kaki saja. Sekalian olahraga biar badan kamu nggak tambah gemuk kayak gitu.”

Reno bangkit, meninggalkan Nadia terdiam seperti batu.

---

Menjelang Tidur

“Besok aku libur,” kata Reno sambil memegang ponselnya.

“Libur?” Nadia menoleh.

“Ibu telepon. Rere p**ang dan bawa pacarnya. Kita diminta ke rumah.”

Wajah Nadia cerah seketika.

“Pacarnya yang bule itu?”

“Bukan. Sudah putus. Ini pacarnya sekarang—pilot.”

Reno menyorongkan ponselnya. Wajah pria tampan berseragam pilot terpampang jelas.

Jonathan.

Pria yang pernah begitu dekat dengannya sebelum akhirnya ia memilih Reno.

Nadia menelan ludah. Jantungnya berdegup aneh.

“Oh ya, Nad,” Reno bersuara lagi, santai seolah barusan tidak berkata menyakitkan. “Bulan depan aku kredit motor baru. Jadi gajiku aku jadikan uang muka. Kamu masih ada uang kan buat kebutuhan?”

Nadia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia membanting hati yang mulai retak.

Bahkan aku tidak diajak bicara untuk keputusan sebesar itu.

Bersambung.

Ini adalah bab lengkap terakhir yang aku posting di Fb ya, karena peraturannya seperti itu kakak. Untuk selanjutnya akan aku posting spoiler bab acak saja ya🙏🏼🙏🏼 mohon di maklumi ya.

Cerita lengkapnya bisa di baca di KBM aplikasi.

Cari saja judul SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR dan nama penulis RYUJI Win.

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.       Nadia mencatat semua bahan pokok yang harus ia beli...
19/12/2025

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU.

Nadia mencatat semua bahan pokok yang harus ia beli untuk kebutuhan sehari-hari bulan ini. Tak lupa juga wanita itu mencantumkan uang listrik dan uang untuk iuran sampah yang memang tak mungkin di tiadakan.

Nadia tidak mau gara-gara lupa, seperti bulan lalu, mereka terpaksa harus tidur dalam keadaan gelap dan gerah selama semalaman.

Nadia mencatat juga pengeluaran untuk cemilan. Wanita itu memutuskan untuk memenuhi perintah sang suami. Harus stok cemilan meskipun hanya sedikit.

Karena sepertinya bulan depan akan ada kelebihan budget walaupun tak banyak, Nadia sedikit melebihkan beberapa kebutuhan beda dengan bulan-bulan sebelumnya.

Dia juga menambahkan jatah makanan untuk Kio, karena kalau yang satu itu ketinggalan, sama saja mengajak suaminya perang.

Untuk kebutuhan pribadinya sendiri, Nadia tak pernah ambil pusing. Dia masih bisa membelinya sendiri. Gajinya sebagai admin olshop masih cukup untuk membeli kebutuhannya sendiri. Toh, uang dari ibu mertuanya juga masih ada, belum sama sekali ia sentuh.

"Nih, " seru Reno.

Nadia baru menerima amplop yang baru saja Reno berikan.

Suaminya itu baru masuk rumah, p**ang dari kerja.

"Kok cuma segini?" tanya Nadia setelah membuka amplop tersebut.

"Segini bagaimana?" Reno pura-pura tidak paham. Dia mencomot onde-onde yang ada di atas meja dapur membawanya ke ruang tengah.

Pria itu membiarkan sang istri menghitung ulang jumlah uang yang baru saja dia berikan.

"Ini jumlahnya cuma setengah dari gaji kamu, Ren ...." Nadia menyusul ke ruang tengah.

"Iya. Memangnya kenapa?"

Reno mengatakan itu dengan tenang sembari menaruh bokongnya di atas kursi. Pria itu mengambil remote tv berniat menyalakannya.

"Maksud kamu?" Nadia berusaha tetap sabar walaupun sebenarnya hatinya mulai meradang.

Tanpa mengalihkan pandangan dari depan televisi, Reno menjawab dengan ekspresi masih sama, tenang.

"Malah berputar-putar. Kamu itu mau tanya apa, Nadia ...."

Nadia memicingkan mata, lalu mendekat dan mengendus-endus tubuh suaminya, curiga kalau pria itu tengah mabuk. Karena tak biasanya Reno melakukan hal itu.

"Uang sisanya kamu bawa?" tanya Nadia pelan setelah memastikan suaminya itu tidak mabuk.

Reno hanya terkekeh kemudian merogoh sesuatu dari balik jaket parasutnya.

"Apa ini?" Mata Nadia membelalak saat melihat suaminya itu meletakkan kardus persegi di atas meja.

"Memang kamu lihatnya apa? Makanya jangan s**a perhitungan, sesekali beli buah sana, biar mata kamu itu bisa melihat dengan jelas," ejek Reno.

Nadia tak menghiraukan ucapan suaminya. Dia malah fokus menatap kardus berbentuk persegi itu dengan emosi tertahan.

Bisa bisanya Reno melakukan ini!

"Kamu beli hape baru?" Suara Nadia naik beberapa oktaf.

"Ya," jawab Reno pendek. Dengan tampang tanpa rasa bersalah pria itu menenteng kardus tersebut ke kamar putrinya.

"Ren, hape kamu masih bagus 'kan?"
Kejar Nadia tak mau percakapan mereka berakhir begitu saja. Wanita itu ingin mendapatkan penjelasan.

"Rani ... Ayah p**ang." Seolah tak mengindahkan pertanyaan dari sang Istri, Reno keluar kembali dari kamar karena putrinya tidak ada di sana.

"Ren ...." Nadia menjerit karena merasa sedari tadi di abaikan.

"Apa sih!" Reno berbalik, menatap istrinya tajam. "Suami p**ang itu harusnya di sambut dengan senyum, di buatkan minum, Ini malah di omelin. Di bentak-bentak!"

"Aku ngomel karena ada alasannya!"

"Kamu kira kamu saja bisa bersikap seperti itu. Hah?!" Reno tak mau kalah.

"Kamu kasih uang gaji cuma segitu, padahal kebutuhan kita banyak, terus ini kamu malah beli hape, maksud kamu itu apa, Reno ...." Nadia berusaha menurunkan nada suaranya.

"Hai, bukankah kamu juga punya penghasilan? Kamu sendiri 'kan yang bilang mau membantuku mencari uang?"

Nadia memejamkan mata sesaat, mulai mengerti maksud suaminya itu.

"Maksudnya?" Tapi wanita itu berusaha untuk pura-pura tidak paham.

"Aku tagih ucapanmu itu. Bantu aku untuk memenuhi kebutuhan kita," bisik Reno pelan. Membuat bola mata Nadia membukat, tangan Nadia terkepal.

"Satu lagi, aku beli hape ini bukan untuk kupakai sendiri. Aku membelikan putriku," imbuh pria itu dengan sisi bibirnya terangkat." Aku tidak mau gara-gara punya ibu yang pelit, putriku di jauhi teman-temannya."

"Cara kamu salah, Ren!" Nadia sudah tak sanggup lagi untuk tidak berteriak.

"Kamu kira hanya Angga yang bisa memberi hadiah? Hah! Kamu salah, Nadia. Rani itu masih punya Ayah. Ayah yang juga bisa membelikannya hadiah," pungkas Reno sebelum pergi.

Tubuh Nadia kaku di tempat. Matanya nanar, tangannya masih terkepal. Wanita itu merasa tubuhnya lemas mendadak, berdebat dengan suaminya memang selalu berhasil menguras tenaganya.

***
Sebelum tidur Nadia menghitung ulang pengeluaran bulan ini. Masih kurang banyak. Dia tahu Reno sengaja melakukan ini padanya. Suaminya itu pasti punya misi terselubung atas tindakannya siang tadi.

Sementara itu di kasur sebelah tengah terlelap anak semata wayangnya. Nadia beranjak kemudian merebahkan tubuh kurusnya di samping bocah itu.

Wanita itu membelai rambut putrinya pelan, mengambil hape yang masih dalam genggaman bocah cantik itu lalu menaruhnya di atas nakas.

Memandangi sosok yang baginya tetap balita walaupun usianya hampir mendekati masa remaja itu dengan pikiran campur aduk. Pelan-pelan Nadia mencium kening putrinya dengan hati nelangsa.

"Mama tidak bermaksud pelit, Nak. Mama hanya ingin Rani belajar tanpa terganggu gedget. Belum waktunya, Nak."

Nadia tahu kalau ucapannya barusan tidak bakal di dengar Rani. Karena Rani tidur begitu p**as.

"Doakan mama kuat ya. Rani juga harus janji selalu bersama mama ...."

Pada akhirnya lagi-lagi Nadia harus menyembunyikan isaknya. Dengan perlahan ibu satu anak itu turun dari ranjang lalu melarikan tubuhnya keluar rumah.

Dan dengan di saksikan Kio serta angin malam, Nadia menumpahkan semuanya.

**

Rani sudah siap dengan sarapannya dengan tangan menggenggam hape. Nadia yang sedang sibuk menyiapkan menu untuk Reno hanya bisa mendesah pelan. Inilah yang ia khawatirkan kenapa kurang setuju untuk cepat-cepat membelikan putrinya hape.

Bukan karena dia pelit. Bukan p**a karena dia perhitungan tapi karena ia ingin Rani menikmati masa kecilnya selayaknya anak-anak. Bermain dengan temannya secara real. Bergerak kesana kemari biar tubuhnya sehat. Tapi apa mau di kata, pendapatnya di tentang. Rasa ketidaksetujuannya dianggap sebagai sikap tak sayang anak.

"Duh, cantiknya. " Reno baru p**ang dari kerja saat Nadia sudah selesai dengan pekerjaannya menyiapkan masakan.

"Ayah.... "

"S**a nggak? " tanya Reno sambil tersenyum. Ia sengaja menanyakan hal itu berharap Nadia sadar kalau tindakannya itu benar.
"S**a sekali. Terimakasih, Ayah. "

Nadia berbalik ke dapur, ia tiba-tiba saja malas bertemu dengan suaminya.

"Iya, Sit... "

Saat sedang mempersiapkan makan untuk Angga tiba-tiba Sita menelpon.

"Kamu buka catering, Nad? "

"Iya. Buat ngisi waktu luang. "

"Wah, keren... Reno ngizinin? "

Nadia menghela napasnya.

"Dia beneran ngizinin? Tumben. " kata Sita lagi dari balik telepon.

"Aku berontak. "

"Wih, berani sekarang ya? Nggak takut di cap istri durhaka ya? " Nadia tahu sahabatnya ini hanyalah bercanda tapi Nadia lumayan terpengaruh.

"Kamu telpon cuma mau nanya ini? " tanya Nadia menumpahkan rasa kesalnya.

"Wah, nggak asyik nih Nanad ... gitu aja ngambek. "

Nadia sangat capek dalam segala hal jadi dia diam saja saat Sita mengajaknya bercanda.

"Aku cuma mau kasih tahu, Jonathan punya pacar. "

Itu bukan urusannya tapi entah kenapa Nadia penasaran.

"Pacarnya seorang pramugari dan denger-denger sebentar lagi mau nikah. "

Nadia membeku. Badannya serasa kaku semua terasa sulit untuk di gerakan.

"Nad, masih hidup kan? "

Nadia gelagapan ia mengerjap sesaat.

"Apa? "

"Syukur kalau kamu masih hidup. Takutnya kamu pingsan gara-gara patah hati dengar Jonathan ketemu jodohnya. "

Nadia tersenyum miris, benarkah bagi Sita dirinya masih ada perasaan untuk Jonathan? Ah, Nadia sendiri bahkan sudah merasa mati rasa. Ia sudah lama sekali tidak memikirkan pria itu.

"Aku dan Jonathan sudah selesai bahkan sebelum memulai, Sit. Aku kan udah pernah bilang ke kamu. "

Sita tergelak.

"Bener kamu hubungi aku cuma mau ngomong hal yang nggak penting ini? "

"Sombongnya bu Nanad sekarang.... "

"Bukan sombong, tapi sekarang bagiku waktu adalah uang. "

"Iya iya, aku paham kok... "

"Kalau gitu aku tutup ya, Sit."

"Eh, tunggu... "

"Apalagi?!"

"Aku mau pesen makanan kamu buat minggu depan. Masih ada list kan? "

"Tumben? "

"Sudah jangan banyak tanya. Pokoknya aku mau pesan. Nanti untuk menu dan lain-lain aku kirim listnya. "

Nadia menjawab oke.

"Bener nih kamu sudah nggak ada rasa sama Jonathan? "

"Sita!!! "

Bersambung.

Gimana part kali ini?

Cerita lengkap ada di aplikasi KBM

Judul: SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR
judul: Ryuji win

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU MENJADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU     Hingga pagi menjelang Reno tak kunjung p**ang. Dar...
18/12/2025

DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU MENJADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU

Hingga pagi menjelang Reno tak kunjung p**ang. Dari semalam, Rani, putrinya sudah merengek mencari sang Ayah, pengen segera pamer hadiah yang gadis kecil itu dapatkan dari Angga.

Nadia masih berkutat mempersiapkan menu sarapan buat Rani dan Angga. Tidak lupa wanita itu menyisihkan buat Reno, untuk jaga-jaga kalau-kalau suaminya itu p**ang tiba-tiba.

Biasanya, pria yang sudah menikahinya sepuluh tahun yang lalu itu akan p**ang setelah dua hari masa ngambeknya berakhir.

"Ma, bonekanya boleh Rani bawa ke sekolah?" tanya Rani.

Nadia menatap putrinya lembut, dia tengah memindahkan nasi uduk dengan lauk lengkapnya itu ke Tupperware. Jatah sarapan Angga, pagi ini.

"Mama izin Bu guru dulu, boleh ya? Kalau Bu guru mengizinkan, Rani bisa bawa boneka itu ke sekolah,"

"Asyik ...."

Perempuan itu geleng-geleng kepala seraya melangkah menuju kamar untuk mengambil hape.

"Nggak boleh, Sayang. Kata Bu guru, mainnya di rumah saja," ucap Nadia hati-hati tak ingin melukai hati putrinya.

Wajah ceria Rani berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya berkaca-kaca.

"Lho, kok gitu? Eh, sini dengar mama, " Nadia segera menghampiri putrinya itu berniat menenangkan.

"Ma, pengen bawa boneka ke sekolah ...." tangis gadis berlesung p**i itu pecah.

"Buat apa? Nanti, di sekolah malah nggak fokus belajarnya."

"Rani nggak punya teman di sekolah, Ma. Teman-teman Rani nakal!"

Nadia memeluk putrinya itu dengan pikiran kalut. Haruskah dia datang ke sekolah dan mengadukan hal ini pada pihak sekolah?

"Begini, bagaimana kalau Mama ikut Rani ke sekolah? Nanti mama bilang ke teman-teman Rani, biar Rani di ajak main," seru Nadia memberikan opsi.

Seketika ada binar di mata cantik Rani. Tangisnya mereda.

"Oke. Kalau gitu, Mama siap-siap, kita antar sarapan Om Angga dulu, terus Mama ikut Rani ke sekolah. Bagaimana?"

Rani mengangguk semangat. Lesung p**i diwajahnya langsung terlihat ketika senyumnya muncul.

"Oke. Tunggu Mama siap-siap ya ...,"

****
Rumah Angga tampak lengang, tapi terlihat ada sandal yang masih basah tergeletak di lantai, bekas seperti baru terpakai. Hari sebenarnya masih pagi, tetapi matahari sudah bertengger manis di ufuk timur.

Biasanya Angga jogging saat pagi seperti ini, dan ketika Nadia datang mengantarkan makanan, pemuda itu baru p**ang atau terkadang sudah p**ang tetapi masih berada di teras rumah.

"Ayah ...," Lamunan Nadia buyar kala putrinya itu berteriak memanggil seseorang.

Nadia mengangkat wajahnya, mendapati Rani sudah dengan nyamannya berada di pelukan sang Ayah.

"Anak Ayah, cantiknya," ucap Reno sambil mencium p**i putrinya.

"Geli, Ayah hihihi ...." ucap Rani. Nadia melihat dengan datar.

Reno mengendus endus putrinya itu sementara yang di endus tertawa karena merasa geli.

"Wangi banget, sih! Pasti belum mandi?"

"Ayah yang belum mandi," sahut Rani masih dengan kemanjaannya.

"Ayah belum mandi tetap wangi, kok. Nih, nih ...." Reno menyodorkan p**inya ke arah sang anak dan Rani sontak menjauh sambil tertawa.

"Mama juga wangi," ucap Rani.

Sesaat semua berubah senyap. Nadia dan Reno saling tatap.

"Coba Ayah cium Mama ...," lanjut bocah itu.

Reno berdeham, lalu menurunkan sang putri dari gend**gannya.

"Angga masih jogging." Kalimat sapaan Reno menyentak kesadaran Nadia yang sedari tadi fokus melihat penampilan suaminya itu.

Reno terlihat nyaman memakai kaos polos dengan celana polkadot warna biru. Rambut suaminya itu sudah mulai memanjang, waktunya minta di pangkas.

"Oh, " Hanya itu yang keluar dari bibir Nadia.

Perempuan itu kemudian melangkah menuju meja yang terletak persis di samping pintu. Meletakkan Tupperware di atasnya lalu mundur ke tempat semula.

"Ayah, aku dapat ini dari Om Angga. " Lagi-lagi Rani yang mencairkan suasana.

Tatapan Reno beralih, pria itu terdiam sesaat ketika melihat putrinya dengan senyum merekah mengacungkan boneka ke hadapan sang Ayah.

"Dari Om Angga?" tanya pria itu.

Reno bersimpuh agar dapat mensejajarkan tubuhnya dengan sang putri. Sementara itu Rani mengangguk semangat dengan senyum terpatri di bibirnya.

"Kapan Om Angga ngasihnya?"

"Kapan ya, Ma?" Rani mend**gak bertanya pada Nadia yang juga menatapnya dengan senyum seadanya.

"Semalam. Dia juga kasih kita baju batik couple."

Reno seperti sengaja, pura-pura tak mendengar penjelasan istrinya. Dia malah menatap sang putri sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan bangkit.

"Ya, sudah. Kayaknya akan terlambat kalau Rani terus-menerus di sini. Ini sudah jam berapa?" Reno terus bicara tanpa mengindahkan istrinya.

Nadia menghela napas pendek, hapal betul arti raut wajah suaminya sekarang.

"Ayah, nanti belikan hape, ya. Teman-teman nakal, nggak mau berteman karena Rani yang nggak punya hape." Rani kembali ingat akan keinginannya.

Nadia segera menarik lengan putrinya agar segera pergi. Wanita itu tidak s**a putrinya itu mengadu pada Ayahnya soal hape.

"Aku akan antar Rani dulu. Kalau kamu mau sarapan, sudah aku siapkan di rumah," ucap Nadia seadanya.

Reno hanya mengangguk malas. Membiarkan sang istri berjalan berdua dengan putrinya menyeberang jalan, menuju sekolah.

***
Nadia baru saja menginjak teras rumah, p**ang dari sekolah saat sang suami sedang memberi makan Kio. Pria itu sudah berganti pakaian rapi, seragam kerjanya.

"Sudah makan?" sapa Nadia.

"Hmmmm."

"Jadi semalam kamu tidur di rumah Mas Angga?"

Mata Reno berkilat, pria itu mengehentikan aktivitasnya lalu melangkah mendekati istrinya dengan wajah memerah.

"Ayo ulangi lagi! Mas Angga? Heh?!"

Nadia segera menghindar saat tangan suaminya menyentuh p**inya, bukan jenis sentuhan mesra.

"A ...Angga, maksudku, Angga." Biasanya wanita tidak gentar menghadapi tingkah random suaminya. Tetapi kali ini, dia tahu, dia yang salah.

"Sekali lagi aku dengar kamu sebut dia dengan sebutan itu ... Kamu akan tahu akibatnya," ancam Reno membuat Nadia sedikit ketakutan.

Ia segera mengangguk cepat-cepat. Suaminya berkata sangat pelan, tetapi perempuan itu sungguh sangat terintimidasi. "Maaf,"

"Coba panggil aku Mas Reno," seru Reno masih dengan nada suara yang sama

Nadia sedikit tersentak, Reno mendekat dengan tatapan menusuk.

"Aku melakukan itu sebagai formalitas, Ren. Rasanya tak sopan memanggil dia dengan langsung menyebut namanya," kilah wanita itu sambil berusaha menghindar.

"Ouh, kamu bilang kesopanan? Alasan klasik!"

"Bukankah dia temanmu? Kenapa sepertinya kamu tidak menyukainya?"

Tawa Reno meledak, pria itu menghentikan langkah kemudian berbalik memunggungi istrinya. Berjalan pelan ke arah kolam, lagi.

"Aku hanya jaga-jaga. Siapa tahu dia menyukaimu?"

Selama pernikahan mereka, baru kali ini Nadia mendengar ada nada cemburu dari ucapan suaminya itu.

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan, Ren? Seharusnya dari awal kamu tidak membawanya ke rumah! Seharusnya kamu tidak memintaku membantunya menyiapkan makanan! Kalau di tengah jalan kamu sendiri yang tidak mempercayainya!" Sekarang gantian Nadia yang bersuara tinggi.

Di tengah upayanya meredam emosi, wanita itu mengingat sesuatu, dia harus segera menyiapkan catering untuk guru sekolah Rani siang ini.

"Mau kemana?" tanya Reno sambil memakai sepatu.

Nadia menghentikan langkahnya, sesungguhnya ibu satu anak ini sangat letih.

"Ada yang harus kupersiapkan, Guru Rani memesan catering siang ini."

Reno berang, "Kamu wanita keras kepala, Nadia. Sekarang terserah, kalau kamu tidak mau mendengarkanku. Aku tak akan perduli lagi!"

Nadia memejamkan mata, tangannya terkepal.

"Aku berangkat." pamit pria itu langsung melesat dari hadapan Nadia.

Sepuluh tahun yang lalu Reno akan mengulurkan tangannya sebelum berangkat kerja, sepuluh tahun yang lalu Reno akan mengelus p**inya juga. Tetapi sekarang, Nadia sendiri rasanya sudah tidak ingat lagi. Kapan terakhir kali dua ritual itu mereka lakukan.

Bersambung.

Kalian team Reno atau Nadia?

Baca cerita selengkapnya di KBM aplikasi

Judul: SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR
Penulis: Ryuji win.

Address

Sidoarjo

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Win media info posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share