20/12/2025
DEMI UANG OUTBOUND ANAKKU, AKU JADI TUKANG MASAK TEMAN SUAMIKU...
Rani sedang asyik bermain game di ruang tengah ketika Nadia keluar dari dapur. Bocah cantik itu bahkan tidak menyadari kedatangan mamanya—jatuh tenggelam sepenuhnya pada layar ponsel yang digenggamnya.
“Rani… makan dulu. Hp taruh sebentar,” kata Nadia lembut dari tempatnya berdiri.
Rani mend**gak sekilas, wajahnya sedikit kesal karena terganggu. “Bentar lagi, Ma… lagi seru.”
Nadia menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Tidak biasanya putrinya membantah. Sedari kecil Rani selalu tanggap dan cepat bergerak kalau diminta, tapi sejak beberapa minggu terakhir entah mengapa anak itu berubah. Rani tidak pernah sampai membangkang atau berkata kasar, tapi tetap saja perubahan sikap itu membuat Nadia sedikit khawatir.
“Mama mau keluar beli telur. Nanti Mama p**ang kamu harus sudah makan ya,” ucap Nadia lagi.
Rani hanya menanggapi dengan gumaman singkat tanpa menoleh. Anak itu benar-benar larut pada layar persegi itu, jari-jarinya menari cepat seakan dunia di sekelilingnya menghilang.
Nadia tersenyum kecut, perih rasanya—seolah jarak di antara dirinya dan putrinya pelan-pelan tumbuh dan melebar. Ia kemudian masuk ke garasi kecil rumah mereka dan mengeluarkan sepeda kayuh tua yang sudah mulai kusam warnanya.
Sepeda itu sebenarnya jarang ia pakai, apalagi di siang hari terik begini. Namun telur di rumah habis, sementara sore nanti ia harus menyiapkan pesanan catering. Bagaimanapun, ia harus membeli telur sekarang juga.
Sepeda tersebut dulu pemberian mertuanya, sebagai hadiah untuk Rani. Karena waktu itu masih terlalu kecil, sepeda disimpan. Baru setahun belakangan roda itu berfungsi, dipakai bergantian antara Rani dan dirinya untuk jarak dekat.
Nadia mengenakan topi untuk melindungi kepala dari sengatan matahari. Ia juga memakai masker, bukan hanya untuk debu tapi juga agar wajahnya tidak terlalu terbakar matahari. Udara begitu panas hari ini, rasanya seperti terbakar.
Jarak warung yang dituju sebenarnya cukup jauh untuk ukuran pesepeda, tapi harga barang di sana selalu lebih murah dibanding toko dekat rumah. Dan sebagai ibu rumah tangga yang mengatur uang serba pas-pasan, Nadia tidak pernah mengabaikan selisih harga sekecil apa pun. Bagi Nadia, selisih seribu rupiah pun berarti—bisa membeli garam, korek api, atau kebutuhan kecil lainnya.
Reno, suaminya, selalu protes soal ini. Baginya semua harus praktis, tak perlu memikirkan selisih yang hanya seupil. Tapi bagi Nadia, justru itu cara bertahan hidup.
Lima belas menit mengayuh di bawah terik matahari membuat punggungnya basah keringat. Akhirnya ia berhenti di depan warung kelontong kes**aannya. Warung itu sederhana, tapi lengkap dan bersih.
“Telur sekilo, Bang,” ucap Nadia pada penjaga warung, pria paruh baya yang tengah menahan kantuk sambil duduk bersandar.
“Tumben siang, Mama Rani,” sapa pria itu sambil mulai menimbang telur satu per satu.
“Tadi pagi kelupaan pas ke sini,” jawab Nadia sambil tersenyum.
Ia memperhatikan tangan pria itu menimbang telur, memastikan tak ada yang retak. Ia selalu teliti, karena sedikit saja pecah berarti rugi.
“Oh, sama kopi bubuk, Bang,” tambah Nadia cepat, tiba-tiba teringat stok kopi Reno habis. Untung ia ingat sekarang, kalau tidak ia harus kembali lagi.
Setelah membayar dengan uang pas, Nadia keluar dengan rasa lega. Toko lagi sepi, mungkin karena siang orang-orang enggan keluar. Ia menaruh belanjaan di keranjang depan sepeda, memastikan aman agar tidak berguncang terlalu keras, lalu mulai mengayuh p**ang.
Jalanan siang itu cukup sepi. Beberapa motor melaju santai, sesekali ada mobil melintas. Nadia mengayuh pelan, khawatir telurnya pecah.
Namun baru setengah perjalanan p**ang, tiba-tiba terdengar suara keras—seperti letusan ban meledak.
DOR!
Nadia terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Sepeda langsung oleng. Jantungnya berdegup kencang, tangan refleks menggenggam setang erat-erat. Untung hanya bagian belakang sepeda yang rusak, sehingga ia berhasil menjaga keseimbangan dan tidak terjatuh.
Ia berhenti, meminggirkan sepeda pelan-pelan, masih terengah. Setelah memeriksa keranjang dan memastikan telur aman, ia menatap ban belakang yang kini robek cukup besar. Tidak mungkin ia mengayuhnya lagi.
Cuaca sangat panas. Nadia kipas-kipas menggunakan topi, keringat menetes dari pelipisnya. Ia mencoba berpikir cepat: Kalau aku tinggalkan sepeda ini dan p**ang jalan kaki, pasti lama. Sementara pesanan catering harus selesai sebelum Magrib. Tapi kalau tetap menunggu, aku bisa terlambat juga.
Ia menyesali kebiasaannya pergi tanpa membawa ponsel. Kalau saja ia membawa hp, ia mungkin bisa menelepon Reno atau Sita.
Saat sedang bingung, sebuah suara yang cukup ia kenal terdengar dari belakang.
“Kenapa, Mbak?”
Nadia menoleh. Angga—tetangga sekaligus rekan kerja Reno di pabrik itu—berhenti dengan motornya.
“Ini Mas, ban meletus,” jelas Nadia sambil menunjuk ban sepeda.
Angga turun, memeriksa sejenak, lalu menatap Nadia dengan sorot prihatin. “Mbak Nadia dari belanja?”
“Iya,” jawab Nadia pelan, merasa tak enak.
Angga berdiri, menepuk tangannya. “Ayo, biar saya antar p**ang dulu. Sepedanya taruh sini aja, nanti saya bawain ke bengkel.”
Nadia langsung menggeleng. “Nggak usah, Mas. Aku tuntun saja sampai rumah.”
“Ini panas sekali lho, Mbak. Aman kok dititip di warung situ. Nanti setelah antar Mbak, saya balik lagi buat urus sepeda. Sebentar ya.”
Tanpa menunggu persetujuan, Angga menuntun sepeda itu ke warung di seberang jalan. Nadia hanya bisa melihat dengan hati kalut—merasa benar-benar merepotkan.
Tak lama Angga kembali dan tersenyum.
“Ayo, Mbak. Beres. Kebetulan itu warung langganan saya.”
Dengan terpaksa Nadia menerima. Ia naik ke boncengan motor, berusaha duduk seformal mungkin.
Motor yang dibawa Angga berbeda dengan motor Reno. Jok belakangnya sangat sensitif—sedikit saja pengemudi bergerak, penumpang otomatis ikut terdorong. Nadia merasa tubuhnya harus dikunci; tangannya memegang erat bagian belakang motor agar tidak terdorong ke tubuh Angga.
Buang jauh-jauh canggung, ia menunduk menatap belanjaan yang dipangku.
“Reno kerja, Mbak?” tanya Angga memecah keheningan.
“Iya,” jawab Nadia singkat.
“Ehm…” Angga berdehem kecil. “Mbak Nadia punya teman cewek yang lagi jomblo nggak?”
Nadia tersentak kecil. Apa ini maksudnya? Ia yakin Angga hanya ingin mencairkan suasana.
“Kenapa memang, Mas?” tanya Nadia datar.
“Kenalin d**g. Siapa tahu jodoh,” ucapan Angga itu diikuti tawa kecil yang ramah.
Nadia langsung teringat Sita. Sita dan Angga? Entah kenapa ada rasa geli dan ingin tertawa. Lalu tiba-tiba ada sensasi aneh di dadanya—sedikit kecewa? Tapi kenapa?
“Ada Mas, tapi anaknya nggak bisa diatur.”
“Nggak apa Mbak, selama masih batas wajar,” sahut Angga santai.
Nadia tersenyum samar dan mengangguk pelan.
Tak lama motor berhenti di depan rumah. Nadia turun sambil merapikan roknya.
“Sepedanya nanti saya urus ya, Mbak. Saya juga yang akan bilang Reno. Kalau sudah beres, biar Reno yang ambil.”
“Terima kasih banyak, Mas,” ucap Nadia tulus.
“Sama-sama. Salam buat Rani,” Angga tersenyum.
Saat hendak pergi, Angga sempat menoleh dan berkata,
“Terima kasih untuk masakannya hari ini, Mbak. Enak semua. Ditunggu masakan lezat lainnya ya.”
Ucapan sederhana itu seperti hujan kecil di musim kemarau—hangat, menenangkan, dan membuat hati Nadia mekar perlahan.
---
Malam Hari
“Jadi Angga yang benerin?” tanya Reno sambil makan malam.
“Iya,” jawab Nadia sambil membereskan piring.
“Kenapa kamu nggak nunggu aku saja kalau nggak mau jalan kaki? Di warung sebelah juga ada telur.”
Nadia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ia menarik napas panjang.
“Kalau nunggu kamu, aku nggak jadi masak. Dan warung sebelah mahal, Reno.”
“Emang selisih berapa? Seribu? Dua ribu? Kalau sudah begini yang rugi siapa? Malah beli ban kan? Belum ongkos benerinnya. Mikir d**g Nad. Jangan duit melulu di kepala kamu.”
Kata-kata itu menusuk Nadia seperti sembilu, tapi ia memilih diam. Bantahan hanya akan memperpanjang perang.
“Jadi kamu tadi dibonceng Angga?”
“Iya.”
“Lain kali jalan kaki saja. Sekalian olahraga biar badan kamu nggak tambah gemuk kayak gitu.”
Reno bangkit, meninggalkan Nadia terdiam seperti batu.
---
Menjelang Tidur
“Besok aku libur,” kata Reno sambil memegang ponselnya.
“Libur?” Nadia menoleh.
“Ibu telepon. Rere p**ang dan bawa pacarnya. Kita diminta ke rumah.”
Wajah Nadia cerah seketika.
“Pacarnya yang bule itu?”
“Bukan. Sudah putus. Ini pacarnya sekarang—pilot.”
Reno menyorongkan ponselnya. Wajah pria tampan berseragam pilot terpampang jelas.
Jonathan.
Pria yang pernah begitu dekat dengannya sebelum akhirnya ia memilih Reno.
Nadia menelan ludah. Jantungnya berdegup aneh.
“Oh ya, Nad,” Reno bersuara lagi, santai seolah barusan tidak berkata menyakitkan. “Bulan depan aku kredit motor baru. Jadi gajiku aku jadikan uang muka. Kamu masih ada uang kan buat kebutuhan?”
Nadia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia membanting hati yang mulai retak.
Bahkan aku tidak diajak bicara untuk keputusan sebesar itu.
Bersambung.
Ini adalah bab lengkap terakhir yang aku posting di Fb ya, karena peraturannya seperti itu kakak. Untuk selanjutnya akan aku posting spoiler bab acak saja ya🙏🏼🙏🏼 mohon di maklumi ya.
Cerita lengkapnya bisa di baca di KBM aplikasi.
Cari saja judul SENYUM YANG PERLAHAN PUDAR dan nama penulis RYUJI Win.