13/04/2025
Penantian 90 Hari yang tak sempat terjawab
Bab 2: Perempuan Itu Bernama Inayah
Gilang masih ingat betul hari pertama ia mengikuti arahan Inayah. Ruangan kerja itu terletak di lantai empat—ruang dengan dinding kaca yang menghadap jalan raya besar Jakarta. Di balik jendela, mobil-mobil merayap pelan, suara klakson bergaung samar, dan matahari pagi menumpahkan sinarnya ke atas meja-meja kerja yang berjejer rapi.
Ia berjalan beberapa langkah di belakang Inayah, mengamati cara perempuan itu melangkah. Tegap tapi lembut, seperti orang yang tahu persis kemana hidup membawanya. Tak ada keraguan dalam geraknya, tak ada nada tinggi dalam bicaranya, dan tak ada kesan menggurui meski ia adalah atasan.
Di ruang kerja, Inayah memperkenalkan Gilang ke beberapa rekan satu tim. Ia memperkenalkannya dengan nada tenang, bahkan menyisipkan candaan kecil agar suasana mencair. Tapi tetap saja, banyak mata memandang Gilang dengan tatapan aneh—antara penasaran, curiga, atau bahkan iri. Ia menyadarinya, tapi memilih diam.
“Mulai hari ini kamu bisa duduk di sini, dekat saya,” kata Inayah sambil menunjuk meja kosong di sisi kiri mejanya. “Kerjamu akan banyak bersinggungan dengan saya. Tapi santai saja, saya bukan tipe yang galak. Selama kamu tanggung jawab, saya akan bantu sebisa saya.”
Nada suaranya lembut tapi tegas. Gilang hanya mengangguk. Ia belum tahu harus berkata apa.
Hari-hari pertama berjalan lambat. Gilang lebih banyak diam, mengamati, mencatat, dan sesekali bertanya jika benar-benar perlu. Ia tahu banyak mata memperhatikannya, bahkan beberapa rekan sesekali menyindir dengan cara halus—menyebutnya ‘anak emas’ atau ‘pegawai titipan’ karena terlalu cepat ditempatkan di tim strategis langsung di bawah kepala bagian.
Tapi Inayah tak pernah menunjukkan perlakuan istimewa. Justru sebaliknya—ia tegas, profesional, dan adil. Tak segan mengoreksi Gilang jika ada laporan yang tidak rapi atau data yang tidak akurat. Namun anehnya, dari semua orang di kantor itu, hanya kepada Inayah Gilang merasa nyaman, meski tak bisa dijelaskan alasannya.
Setiap hari mereka duduk bersebelahan. Pagi-pagi sekali Inayah datang dengan aroma kopi tubruk dari pantry dan semerbak parfum bunga yang samar. Ia akan membuka laptop, menyapa Gilang dengan senyum tipis, lalu mulai mengetik dengan cepat namun teratur. Gilang sering mencuri-curi pandang, memperhatikan ekspresi wajahnya saat serius membaca laporan—alisnya sedikit berkerut, bibirnya kadang bergerak seolah membaca pelan, dan sesekali ia memainkan ujung kerudungnya tanpa sadar.
Gilang mulai mengenal sisi lain dari Inayah yang tidak terlihat di balik posisinya sebagai atasan. Ia tahu bahwa Inayah s**a mendengarkan musik instrumental saat lembur, s**a menyiram tanaman kecil di dekat mejanya setiap sore, dan punya kebiasaan menuliskan kutipan-kutipan islami di sticky note yang ditempel di sudut layar monitornya.
"Kesabaran adalah kunci dari pintu yang belum terbuka."
"Yang kuat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang selalu bangkit dari keterpurukan."
Semua itu membuat Gilang pelan-pelan merasa—Inayah bukan hanya sosok atasan yang memesona dari kejauhan, tapi juga manusia yang bisa menyentuh sisi terdalam dalam dirinya. Ia seperti oasis dalam hiruk pikuk kota besar, seperti doa yang dijawab diam-diam oleh semesta.
Namun ia tahu, perasaan itu tak seharusnya tumbuh. Ia hanya staf biasa. Ia baru beberapa minggu bekerja. Ia hanyalah lelaki yang datang dari desa, dengan sepatu murah dan kemeja sisa kuliah, sedang Inayah… adalah kepala bagian, disegani, dihormati, dan—entah kenapa—terlihat jauh, nyaris tak tersentuh.
Meski begitu, waktu seperti punya caranya sendiri. Hari-hari berlalu, dan interaksi mereka tak lagi sekadar kerja. Kadang Inayah menawarkan makan siang bareng. Kadang ia bertanya tentang kampung halaman Gilang. Bahkan suatu sore, saat semua sudah p**ang dan mereka masih di kantor, Inayah berkata pelan, “Kamu ini seperti batu es, ya. Dingin banget. Tapi diam-diam bisa bikin orang penasaran.”
Gilang hanya tersenyum kecil. Dan sejak saat itu, semuanya berubah pelan-pelan. Ada sesuatu yang tumbuh diam-diam, tak bernama, tak diucapkan—tapi terasa. Dalam sunyi, dalam kerja, dalam detak waktu yang mereka habiskan bersama.
Dan saat itulah Gilang mulai takut. Takut kalau rasa itu tak semestinya. Takut kalau dunia akan memaksa mereka memilih jalan yang berbeda.
Namun yang lebih menakutkan, ia takut… kalau semuanya terlambat ia sadari—bahwa perempuan itu bukan sekadar atasan, bukan sekadar sosok baik hati di kantor. Tapi seseorang yang pelan-pelan mengisi ruang kosong di hatinya yang selama ini tak pernah bisa disentuh siapa pun.
Perempuan itu bernama Inayah. Dan sejak hari itu, nama itu tak pernah lagi keluar dari kepala Gilang.