Arunika Pena Imaji

Arunika Pena Imaji All About Life

14/04/2025

Bab 3. Jarak Yang Memudar

PART 3 . Penantian 90 Hari yang Tak Sempat TerjawabBab 3: Jarak yang MemudarAwalnya Gilang tak pernah menyangka bahwa ru...
14/04/2025

PART 3 . Penantian 90 Hari yang Tak Sempat Terjawab

Bab 3: Jarak yang Memudar

Awalnya Gilang tak pernah menyangka bahwa rutinitas sebagai staf baru akan sepadat ini. Pekerjaan tak hanya berkutat pada laporan dan administrasi, tetapi juga mendampingi kepala bagian langsung—Inayah.

Hari-hari Gilang kini berputar di seputar tugas-tugas yang mengharuskannya selalu dekat dengan Inayah. Ia mencatat hasil rapat, memeriksa stok data, mengatur presentasi, dan sesekali ikut dalam pertemuan informal dengan vendor. Inayah, sebagai atasan langsung, tak pernah memperlakukan Gilang sebagai bawahan. Ia sabar membimbing, seringkali menambahkan nasihat halus di sela-sela pekerjaan, dan tak segan membagi pengalaman hidupnya.

“Kalau kamu stres, jangan langsung ditahan. Tarik napas dulu... minum teh. Lalu pikirkan pelan-pelan. Hidup di kota besar memang nggak ramah buat anak desa, tapi bukan berarti kamu harus kalah,” kata Inayah suatu sore di ruang kerjanya, saat melihat Gilang tampak lelah.

Gilang hanya tersenyum kecil. Ucapan itu seperti angin sejuk bagi dadanya yang sesak. Ada ketulusan yang tak dibuat-buat dari wanita itu.

---

Hubungan mereka mulai berkembang tanpa disadari. Gilang kini lebih sering diajak mendampingi Inayah, bahkan di luar tugas kantor. Suatu siang saat istirahat makan, Inayah memutar tubuh dari depan meja dan bertanya, “Kamu sibuk sore ini?”

“Nggak, Bu. Kenapa?”

“Aku mau mampir ke toko buku. Nyari bahan buat pelatihan minggu depan. Kalau kamu nggak keberatan, temenin ya?”

Gilang mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan gejolak dadanya yang tiba-tiba melonjak.

Di toko buku itu, mereka berjalan berdampingan, menyusuri rak-rak dengan aroma kertas yang khas. Inayah begitu fokus mencari buku bertema pengembangan diri dan motivasi kerja, sementara Gilang lebih banyak diam, mengikuti dari belakang. Tapi Inayah sesekali menoleh, menunjukkan senyuman lembut yang perlahan mulai meruntuhkan dinding dingin di dalam diri Gilang.

Setelah selesai, mereka tak langsung kembali ke kantor. Inayah menarik tangan Gilang pelan.

“Sekalian yuk... aku juga mau mampir ke toko hijab. Mau cari warna yang cocok buat acara presentasi Jumat nanti.”

Mereka lalu berjalan menyusuri trotoar, di bawah langit yang sedikit mendung. Gilang merasa... aneh. Tapi juga nyaman. Seperti sedang p**ang ke rumah yang tak pernah ia tahu ada.

Di toko hijab, Inayah berdiri di depan cermin dengan selembar hijab warna sage green di tangan. “Menurut kamu gimana warna ini?”

Gilang yang berdiri agak jauh hanya bisa mengangguk pelan. “Cocok... Bu.”

Inayah tertawa pelan. “Kamu kalau muji, ekspresinya bisa lebih meyakinkan nggak?”

Itu kali pertama Gilang ikut tertawa. Bukan karena bercandaannya lucu, tapi karena ia merasa sedang menjadi dirinya sendiri—yang sebenarnya. Ia bahkan lupa bahwa dirinya hanya seorang staf biasa, dan perempuan di depannya itu seorang kepala bagian.

Hari-hari berikutnya mereka mulai akrab dengan hal-hal kecil. Membagi bekal makan siang. Menunggu jemputan kantor bersama. Sesekali p**ang bersamaan saat lembur. Dan walau tak ada yang pernah membahas perasaan secara langsung, kedekatan mereka menjadi rahasia yang diam-diam hidup di antara tumpukan berkas dan jadwal kerja.

Beberapa rekan mulai memperhatikan. Ada bisik-bisik. Ada tatapan penuh prasangka. Tapi baik Inayah maupun Gilang seakan tak terganggu. Mereka tetap bekerja dengan ritme yang sama, tetap saling menyapa, tetap saling memahami dengan cara mereka sendiri.

Hingga pada suatu malam, sep**ang dari kunjungan kerja ke cabang luar kota, Inayah tertidur di dalam mobil kantor. Gilang yang duduk di samping sopir sesekali menoleh ke belakang. Wajah Inayah terlihat damai dalam tidurnya. Rambutnya terselip rapi di balik hijab, dan tangannya memeluk buku yang tadi ia baca.

Gilang tak bisa mengalihkan pandangan. Di detik itu ia sadar—apa yang ia rasakan bukan lagi kekaguman sesaat. Tapi sebuah rasa yang pelan-pelan tumbuh di tengah sunyi, di antara tawa dan keheningan, dan di balik segala batas formal yang tak pernah mereka langgar.

Namun ia juga tahu... perasaan itu belum punya tempat untuk tumbuh bebas. Ia hanya bisa menyimpannya rapat-rapat. Untuk sementara.

to be continued (Part 4)

Penantian 90 Hari yang tak sempat terjawabBab 2: Perempuan Itu Bernama InayahGilang masih ingat betul hari pertama ia me...
13/04/2025

Penantian 90 Hari yang tak sempat terjawab
Bab 2: Perempuan Itu Bernama Inayah

Gilang masih ingat betul hari pertama ia mengikuti arahan Inayah. Ruangan kerja itu terletak di lantai empat—ruang dengan dinding kaca yang menghadap jalan raya besar Jakarta. Di balik jendela, mobil-mobil merayap pelan, suara klakson bergaung samar, dan matahari pagi menumpahkan sinarnya ke atas meja-meja kerja yang berjejer rapi.

Ia berjalan beberapa langkah di belakang Inayah, mengamati cara perempuan itu melangkah. Tegap tapi lembut, seperti orang yang tahu persis kemana hidup membawanya. Tak ada keraguan dalam geraknya, tak ada nada tinggi dalam bicaranya, dan tak ada kesan menggurui meski ia adalah atasan.

Di ruang kerja, Inayah memperkenalkan Gilang ke beberapa rekan satu tim. Ia memperkenalkannya dengan nada tenang, bahkan menyisipkan candaan kecil agar suasana mencair. Tapi tetap saja, banyak mata memandang Gilang dengan tatapan aneh—antara penasaran, curiga, atau bahkan iri. Ia menyadarinya, tapi memilih diam.

“Mulai hari ini kamu bisa duduk di sini, dekat saya,” kata Inayah sambil menunjuk meja kosong di sisi kiri mejanya. “Kerjamu akan banyak bersinggungan dengan saya. Tapi santai saja, saya bukan tipe yang galak. Selama kamu tanggung jawab, saya akan bantu sebisa saya.”

Nada suaranya lembut tapi tegas. Gilang hanya mengangguk. Ia belum tahu harus berkata apa.

Hari-hari pertama berjalan lambat. Gilang lebih banyak diam, mengamati, mencatat, dan sesekali bertanya jika benar-benar perlu. Ia tahu banyak mata memperhatikannya, bahkan beberapa rekan sesekali menyindir dengan cara halus—menyebutnya ‘anak emas’ atau ‘pegawai titipan’ karena terlalu cepat ditempatkan di tim strategis langsung di bawah kepala bagian.

Tapi Inayah tak pernah menunjukkan perlakuan istimewa. Justru sebaliknya—ia tegas, profesional, dan adil. Tak segan mengoreksi Gilang jika ada laporan yang tidak rapi atau data yang tidak akurat. Namun anehnya, dari semua orang di kantor itu, hanya kepada Inayah Gilang merasa nyaman, meski tak bisa dijelaskan alasannya.

Setiap hari mereka duduk bersebelahan. Pagi-pagi sekali Inayah datang dengan aroma kopi tubruk dari pantry dan semerbak parfum bunga yang samar. Ia akan membuka laptop, menyapa Gilang dengan senyum tipis, lalu mulai mengetik dengan cepat namun teratur. Gilang sering mencuri-curi pandang, memperhatikan ekspresi wajahnya saat serius membaca laporan—alisnya sedikit berkerut, bibirnya kadang bergerak seolah membaca pelan, dan sesekali ia memainkan ujung kerudungnya tanpa sadar.

Gilang mulai mengenal sisi lain dari Inayah yang tidak terlihat di balik posisinya sebagai atasan. Ia tahu bahwa Inayah s**a mendengarkan musik instrumental saat lembur, s**a menyiram tanaman kecil di dekat mejanya setiap sore, dan punya kebiasaan menuliskan kutipan-kutipan islami di sticky note yang ditempel di sudut layar monitornya.

"Kesabaran adalah kunci dari pintu yang belum terbuka."
"Yang kuat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang selalu bangkit dari keterpurukan."

Semua itu membuat Gilang pelan-pelan merasa—Inayah bukan hanya sosok atasan yang memesona dari kejauhan, tapi juga manusia yang bisa menyentuh sisi terdalam dalam dirinya. Ia seperti oasis dalam hiruk pikuk kota besar, seperti doa yang dijawab diam-diam oleh semesta.

Namun ia tahu, perasaan itu tak seharusnya tumbuh. Ia hanya staf biasa. Ia baru beberapa minggu bekerja. Ia hanyalah lelaki yang datang dari desa, dengan sepatu murah dan kemeja sisa kuliah, sedang Inayah… adalah kepala bagian, disegani, dihormati, dan—entah kenapa—terlihat jauh, nyaris tak tersentuh.

Meski begitu, waktu seperti punya caranya sendiri. Hari-hari berlalu, dan interaksi mereka tak lagi sekadar kerja. Kadang Inayah menawarkan makan siang bareng. Kadang ia bertanya tentang kampung halaman Gilang. Bahkan suatu sore, saat semua sudah p**ang dan mereka masih di kantor, Inayah berkata pelan, “Kamu ini seperti batu es, ya. Dingin banget. Tapi diam-diam bisa bikin orang penasaran.”

Gilang hanya tersenyum kecil. Dan sejak saat itu, semuanya berubah pelan-pelan. Ada sesuatu yang tumbuh diam-diam, tak bernama, tak diucapkan—tapi terasa. Dalam sunyi, dalam kerja, dalam detak waktu yang mereka habiskan bersama.

Dan saat itulah Gilang mulai takut. Takut kalau rasa itu tak semestinya. Takut kalau dunia akan memaksa mereka memilih jalan yang berbeda.

Namun yang lebih menakutkan, ia takut… kalau semuanya terlambat ia sadari—bahwa perempuan itu bukan sekadar atasan, bukan sekadar sosok baik hati di kantor. Tapi seseorang yang pelan-pelan mengisi ruang kosong di hatinya yang selama ini tak pernah bisa disentuh siapa pun.

Perempuan itu bernama Inayah. Dan sejak hari itu, nama itu tak pernah lagi keluar dari kepala Gilang.

PART.1 Penantian 90 Hari yang tak sempat terjawabBab 1: Langkah Pertama di Ibu KotaJakarta masih pagi. Langitnya kelabu,...
13/04/2025

PART.1 Penantian 90 Hari yang tak sempat terjawab
Bab 1: Langkah Pertama di Ibu Kota

Jakarta masih pagi. Langitnya kelabu, udaranya lembap, dan suara klakson bersahut-sahutan bagai nyanyian yang tak beraturan. Di antara puluhan orang di halte bus TransJakarta, berdiri seorang pemuda berjaket cokelat lusuh dengan ransel yang tampak penuh dan berat. Itulah Gilang, pemuda desa yang kini mencoba meraba takdir baru di ibu kota.

Gilang bukan siapa-siapa. Ia bukan anak pejabat, bukan p**a lulusan kampus ternama. Ia hanyalah anak kedua dari dua bersaudara, lahir dari keluarga sederhana di desa kecil pinggiran Blitar. Ayah mereka meninggal saat Gilang masih SMP. Sejak itu, hidup menjadi keras. Kakaknya merantau lebih dulu, dan Gilang—yang sempat mencicipi bangku kuliah berkat beasiswa—terpaksa berhenti karena tak sanggup membayar sisa administrasi semester akhir.

Tapi Gilang bukan tipe yang mudah menyerah. Ia tumbuh dalam diam, menyerap luka dan belajar dari kehilangan. Hidup mengajarinya bahwa harapan tak selamanya manis, dan bahwa bahagia bukan hak semua orang. Maka ketika mendapat kabar diterima sebagai staf di PT BMEE—perusahaan ritel yang cukup ternama—ia menggenggam kesempatan itu erat-erat, meski hanya sebagai pegawai baru yang posisinya entah akan ke mana.

Hari pertama kerja, Gilang datang satu jam lebih awal. Ia duduk sendiri di ruang tunggu kantor pusat yang dingin oleh pendingin udara, menggenggam map berisi fotokopi ijazah dan surat lamaran. Sementara di sekelilingnya, para karyawan berseliweran dengan langkah cepat dan pembawaan penuh percaya diri. Semua tampak tahu apa yang mereka lakukan—sedangkan ia, hanya bisa menunduk, berharap tak menjadi pusat perhatian.

Wajah-wajah baru lain mulai berdatangan. Mereka memperkenalkan diri, saling sapa dan bercanda. Gilang menyambut dengan senyum tipis, tak lebih. Ia bukan tak ramah, hanya tak terbiasa. Di tempat asalnya, bicara seperlunya adalah bentuk kesopanan. Dan di sini, ia merasa seperti bocah desa yang nyasar ke dunia orang dewasa.

Kemudian pintu kaca berbingkai silver terbuka. Seorang perempuan masuk dengan langkah lembut namun pasti. Baju kerjanya rapi, jilbab biru pastel membingkai wajah yang teduh, dan dari caranya berjalan, semua orang tahu: dia bukan sembarangan. Semua menyambutnya dengan hormat.

“Inayah,” bisik seorang pegawai di sebelah Gilang. “Kepala bagian. Salah satu yang paling disegani di sini. Anggun, religius, tapi supel.”

Gilang hanya mengangguk pelan. Ia tak berani menatap terlalu lama. Tapi entah kenapa, saat perempuan itu melewati dirinya, aroma lembut sabun dan parfum yang samar menyentuh ingatannya—seperti aroma ruang perpustakaan kampus saat sore hari, sunyi, hangat, dan menenangkan.

“Gilang?” suara lembut itu menghentikan lamunannya.

Ia menoleh. Perempuan itu—Inayah—berdiri di hadapannya sambil tersenyum.

“Saya Inayah, kepala bagian. Kamu akan bekerja langsung di bawah saya. Selamat datang di BMEE,” katanya sambil menyodorkan tangan.

Gilang berdiri terburu-buru. “I-Iya, Bu… Terima kasih,” jawabnya kaku, menggenggam tangan itu sebentar lalu segera melepaskannya. Tangannya dingin, hatinya berdebar.

Inayah mengangguk lalu berbalik. “Ikuti saya, kita mulai orientasi dan pengenalan tugas hari ini.”

Dan di situlah semuanya dimulai. Langkah pertama Gilang di ibu kota bukan sekadar perjalanan kerja, tapi pertemuan awal yang tak pernah ia duga akan menancap begitu dalam di hati. Ia tak tahu bahwa tangan yang ia genggam singkat tadi, kelak akan menjadi tangan yang paling ingin ia genggam selamanya—namun tak pernah bisa ia miliki.

13/04/2025

Penantian 90 Hari yang Tak Sempat Terjawab
(Diangkat dari kisah nyata)

Bagaimana jika seseorang yang kamu cintai diam-diam… justru kamu lepaskan demi kebahagiaannya?

Gilang dan Inayah hanyalah dua insan yang dipertemukan oleh rutinitas kantor, namun siapa sangka—dari tatapan yang saling mencuri waktu, dari jagung bakar di bawah fly over, dari percakapan yang lebih sering diam, tumbuh rasa yang sulit didefinisikan. Bukan cinta biasa. Tapi cinta yang hanya bisa dipeluk dalam keheningan dan dirawat dalam pengorbanan.

Hingga sebelum hari ke-90, hari penantian tentang sebuah jawaban, dan benar-benar dijawab oleh takdir yang berbeda. Inayah memilih untuk menikah dengan pria lain, dan Gilang... hanya tersenyum sambil menahan luka yang dalam. Ia tak pernah menuntut, tak pernah marah. Ia hanya menitipkan buku, sajadah, dan jagung bakar, lalu pergi tanpa jejak.

Sepuluh tahun berlalu. Mereka tak pernah bertemu lagi. Tapi rasa itu tetap hidup—diam di hati Gilang, abadi dalam penantian yang tak lagi butuh kepastian.

Ini bukan kisah cinta yang bahagia. Tapi kisah tentang ikhlas, tentang mencintai tanpa harus memiliki.

to be continued ..

Address

Sidoarjo

Telephone

03191080089

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Arunika Pena Imaji posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Arunika Pena Imaji:

Share