
21/08/2025
Aktivis perempuan Aceh, Cut Farah, mengungkapkan momen kritis dalam perundingan di Tokyo, Jepang, ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dihadapkan pada dua pilihan yang menegangkan: menerima otonomi khusus atau membubarkan diri. Salah satu kegelisahan itu dia sebutkan berasal dari Tgk Malek Mahmud, tokoh sentral GAM.
"Dengan apa kita berperang? Logistik kita tidak ada. Masyarakat jadi korban," ujar Tgk Malek Mahmud, sebagaimana diceritakan Cut Farah Meutia, yang hadir saat itu kepada AJNN, Rabu, 20 Agustus 2025.
Menurut Cut Farah, pertanyaan tersebut bukan sekadar retorika. Melainkan suara hati seorang pemimpin yang peduli pada keselamatan para pejuang dan rakyat sipil.
Isyarat hati nurani Tgk Malek mulai membuka ruang bagi kemungkinan jalan tengah, sementara Tgk Zakaria Saman, yang mewakili suara pejuang di lapangan pada saat itu tetap teguh menuntut kemerdekaan.
Beban keputusan akhirnya jatuh pada Cut Farah Meutia, yang bersama delegasi lapangan memutuskan menolak otonomi dan pembubaran GAM.
Keputusan itu memicu pemberlakuan Darurat Militer oleh Jakarta, menandai salah satu babak paling kelam konflik Aceh.
Setelah 23 tahun kemudian, Cut Farah Meutia, aktivitas perempuan Aceh pendiri Perempuan Merdeka (PM) menatap kembali keputusan tersebut. Ia menilai Tgk Malek Mahmud mungkin sudah memprediksi masa depan Aceh yang “kacau balau” dan karena itu memilih jalur otonomi.
"Andai saya menyadarinya 23 tahun lalu, Aceh kini merayakan 23 tahun perdamaian, bukan 20 tahun," kata Cut Farah yang juga politisi Hanura tersebut.