30/07/2025
Badan Pusat Statistik (BPS) membawa kabar gembira. Berdasarkan hasil hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), angka kemiskinan pada Maret 2045 hanya 8,47 persen atau 23,85 juta orang. Angka itu turun disbanding September 2024.
Pemerintah menepuk dada atas capaian itu. Namun, bagi banyak warga negara, angka itu dipertanyakan. Mulai dari garis kemiskinan yang terlalu rendah: Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp 20 ribu per kapita per hari.
Bagi mereka yang tinggal di kota, angka itu tidak realistis. Jika disimulasikan keluarga dengan empat anggota keluarga, berarti hanya Rp 2,4 juta per bulan. Itu hanya cukup untuk membayar kontrakan Rp 800 ribu per bulan dan sisanya (1,6 juta) hanya cukup membeli makan dengan jatah Rp 53 ribu. Terus transportasi, kesehatan, pendidikan, dll bagaimana? Itu bukan garis kemiskinan, tapi garis orang untuk bertahan hidup.
Sementara Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan upper middle income countries sebesar US$8,40 per hari atau Rp. 49.000 /hari. Awal April 2025, Bank Dunia merilis laporan Macro Poverty Outlook yang menyebut bahwa pada 2024, lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Seharusnya, dengan PDB per kapita sudah masuk kategori upper middle income countries, Indonesia minimal mengikuti standar Bank Dunia. Atau jika cita-citanya memang mensejahterakan rakyat, standar kemiskinannya harusnya lebih komprehensif: pemenuhan seluruh kebutuhan dasar.