18/05/2025
"Pulang Tanpa Ijazah"
Di sebuah kampung kecil di pedalaman Papua, hiduplah sepasang suami istri tua yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya berkebun dan berburu untuk menyekolahkan anak sulung mereka, Yonas. Sejak kecil, Yonas dikenal cerdas dan rajin. Orang-orang kampung sering bilang, "Ini anak nanti akan jadi orang besar." Maka ketika lulus SMA, kedua orang tuanya menjual hasil kebun dan babi satu-satunya agar Yonas bisa kuliah di kota besar—di Jayapura, di Universitas Cenderawasih, atau mungkin lebih jauh lagi: ke kota Julia, di luar Papua.
Tahun-tahun berlalu.
Setiap bulan, Yonas rajin menelepon atau kirim pesan: minta uang untuk biaya kuliah, uang buku, uang kos. Kadang bilang ada ujian, kadang seminar. Orang tuanya, walau hidup pas-pasan, selalu berusaha mengirim. Mereka tanam lebih banyak singkong, jual hasil kebun, bahkan meminjam uang dari koperasi kampung.
Tapi Yonas tak pernah kirim kabar tentang kelulusan. Tak pernah kirim foto di wisuda. Tak pernah pulang saat Natal, tak pernah pulang saat Mama sakit. Tapi mereka tetap percaya, "Anak kita pasti berhasil. Dia sedang berjuang."
Sampai suatu hari, delapan tahun setelah kepergiannya, Yonas pulang.
Namun yang datang bukan lagi Yonas yang dulu. Ia pulang membawa seorang perempuan dari luar Papua, dan seorang anak kecil yang memanggilnya "Papa." Ia tidak membawa ijazah. Tidak bawa cerita keberhasilan. Tidak bawa kebanggaan.
Ia pulang dengan tangan kosong—dan kepala tertunduk.
Orang tuanya terdiam. Air mata mereka jatuh bukan karena bahagia, tapi karena kecewa. Bukan karena Yonas menikah dengan orang luar, tapi karena ia telah berdusta. Ia tidak pernah kuliah. Semua uang yang dikirimkan hanya untuk menyambung hidup di kota besar, menyewa kos, foya-foya, dan akhirnya menanggung keluarga kecilnya sendiri di tengah kesulitan.
"Apa salah kami, Nak?" tanya sang Mama lirih, matanya sembab.
"Kami rela makan ubi setiap hari, jual babi satu-satunya, hanya untuk kau jadi orang."
Yonas tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyesal. Tapi waktu tak bisa diputar kembali.
Kampung kecil itu tak lagi sama. Orang tua Yonas tak lagi bisa bekerja sekuat dulu. Mereka menua dalam kesedihan, menatap setiap matahari terbenam dengan hati yang penuh luka, berharap anak-anak muda lainnya belajar dari cerita Yonas—bahwa mimpi bukan hanya soal pergi jauh, tapi soal tanggung jawab, kejujuran, dan menghargai pengorbanan mereka yang tinggal di belakang.
Karya Karya KreatifAnakPapua