SilamoBaca

SilamoBaca celoteh remeh, cengkrama jelata Kesimpulan dari semua dialog dan perbincangan, sepenuhnya diserahkan kepada kesadaran dan kearifan masing-masing. Wassalam.

Sekilas Tentang "SilamoBaca"

SilamoBaca adalah Halaman dan Twitter resmi "Komunitas Ruang Baca SILAMO [Silaturrahim Layanan Aspirasi Masyarakat Otonom]" –sebuah kegiatan pembelajaran para pemerhati dan pengais gejala kesadaran sosial– guna memahami bentangan ruang antara harapan dan kenyataan yang terasa dalam kehidupan keseharian. Dengan mengais kesadaran dan pemahaman dari berbagai pihak, Silam

oBaca mencoba mendialogkan –untuk tidak mengatakan mempersoalkan— berbagai dinamika sosial yang laten (tersamar atau tersembunyi) dan fenomenal yang menjadi gunjingan publik, baik di lingkup Lokal Sumbawa, Regional NTB maupun di tataran Nasionlal dan bahkan Internasional. Menyadari segala keterbatasan pemahaman, wawasan dan sumberdaya, SilamoBaca sama sekali tidak mengklaim, mengaku atau menempatkan diri sebagai penentu kebenaran, perumus kebijakan, dan bahkan tidak juga berpretensi sebagai pemecah masalah. Karenanya, SilamoBaca membuka diri dan mengundang semua pihak yang memiliki kesamaan visi untuk ikut berperan serta, mengirimkan naskah sebagai cermin kesadaran dan kearifan penulisnya. Tulisan yang diterbitkan tidak selalu mewakili pikiran dan pemahaman SilamoBaca. Terhadap semua naskah tulisan yang diterima, bisa jadi dilakukan penyuntingan redaksional tanpa mengubah substansi, untuk disajikan dalam langgam “celoteh remeh” atau “cengkerama jelata”, yang memungkinkan masyarkat awam sekalipun mudah menghayatinya. Karana –mengutip seorang penyair— kebanyakan orang adalah orang-orang kebanyakan. Selamat membaca, SilamoBaca!

27/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ˢᵃᵇᵗᵘ, ²⁷ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# 𝑴𝒆𝒓𝒖𝒋𝒖𝒌 𝑻𝒂𝒋𝒖𝒌
⁽ᴿᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ˢᵃᵇᵗᵘ⁾

𝑲𝒂𝒃𝒆𝒌𝒂 𝑺𝒐'¹..?

Discalaimer:

Naskah ini terinspirasi dari laporan Lombok Post, Selasa, 23 September 2025.
------

Bayangkan jika Presiden Prabowo ke Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Menyaksikan dari dekat gemerlap tambang emas Batu Hijau yang dikelola AMNT, atau mengagumi megahnya bendungan Bintang Bano yang dulu diresmikan Jokowi. Lalu, beliau mampir di Taliwang...

Tentu beliau akan terkejut berlipat-lipat --mata melebar, alis terangkat, dan ucapnya spontan: "Wah, kok begini ya?"-- ketika mendapati program MBG—makan bergizi gratis—justru jadi 'makan belatung gratis' di bibir siswa SMPN 1 Taliwang! Sebuah ironi yang sarkastik! 𝐾𝑎𝑏𝑒𝑘𝑎 𝑠𝑜'?

Cerita ini berawal dari video 29 detik yang direkam seorang siswa. Dalam video tersebut, ia mengeluhkan adanya ulat dalam makanan MBG dan meminta agar kebersihan makanan dijaga.

Video tersebut kemudian turut diunggah ulang oleh seorang anggota Komisi II DPRD KSB melalui akun medsos pribadinya dan.menjadi viral.

Wajar saja kalau barangkali pihak SPPG lantas merasa panik. Sebab jurus "akal mengakali moral" tidak berjalan mulus. Memang, kasus seperti ini sudah diantisipasi, tapi dengan menyumpal mulut pihak sekolah agar tidak berkicau. Misalnya lewat poin ketujuh Surat Perjanjian Kerjasama, yang berbunyi:

"Apabila terjadi Kejadian Luar Biasa, seperti keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau kondisi lain yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan program ini, Pihak Kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga Pihak Pertama menemukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut."

Dalam perjanjian tersebut jelas tertera bahwa yang dimaksug Pihak Pertama adalah SPPG dan Pihak Kedua adalah Sekolah.

Dari sidak yang dilakukan, Komisi II memperoleh penjelasan dari penanggujawab MBG, bahwa daging yang digunakan untuk membuat makanan ini diambil dari Tongo. Namun setelah dilakukan pengecekan, daging tersebut ternyata diambil dari Kecamatan Alas, dari luar KSB.

Selain itu, hampir semua bahan yang dipakai dalam MBG ini tidak memiliki sertifikasi. Semua suplayer bahan baku untuk MBG ini tidak satupun punya sertifikat kelayakan.

Buruknya pelayanan MBG di KSB tentu berpotensi menimbulkan kasus keracunan seperti pernah terjadi di beberapa tempat, yang mengingatkan pada Keracunan 𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑙 (𝐼𝐼)² pada jaman Romawi Kuno.

Hanya bedanya adalah kasus keracunan di Romawi Kuno terjadi lantaran keridaktahuan. Artinya, tidak disengaja. Sedangkan potensi keracunan MBG di Taliwang lebih karena disebabkan motivasi keserakahan, yang oleh Komisi II di sebut sebagai Pemufakatan Jahat, sehingga diminta untuk distop dulu untuk dievaluasi. Waduh...!

Dulu, makanan bergizi itu impian. Sekarang, makanan berbelatung itu kenyataan. Padahal, daripada repot-repot susun menu yang namanya keren-keren tapi rasanya gak jelas bagi lidah lokal, mengapa tidak disajikan menu khas daerah seperti 𝐴𝑦𝑎𝑚 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑇𝑎𝑙𝑢𝑤𝑎𝑛𝑔³, 𝐵𝑢𝑏𝑢𝑟 𝑃𝑎𝑙𝑜𝑝𝑜⁴, 𝑆𝑖𝑜𝑛𝑔 𝑆𝑖𝑟𝑎⁵, atau 𝐺𝑒𝑐𝑜𝑘⁶
yang sudah akrab dengan lidah setempat turun temurun?

Ironi memang. Tapi inilah Indonesia. Negeri yang kaya akan sumber daya alam, tapi miskin akan akal sehat. Siapa tahu, dengan memakan belatung, generasi kita kelak bisa tumbuh menjadi 𝐿𝑒𝑙𝑒𝑝𝑎ℎ⁷ yang kuat seperti dalam d**geng rakyat Jawa? Sehingga kita bisa menepuk dada menyongsong Indonesia Emas tahun 2045. Selamat...! ✨

--------------------
Catatan Kaki:

1. "Kabeka so" dalam bahasa Taliwang (yang merupakan bagian dari Bahasa Sumbawa/Samawa) berarti "kenapa begitu".

2. Keracunan Timbal (II). Pada zaman Romawi Kuno, orang Romawi sering menggunakan timbal (II) asetat, yang disebut "gula timbal" atau "garam Saturnus", sebagai pemanis buatan untuk anggur dan masakan. Zat ini terbentuk saat jus anggur direbus dalam ceret timbal, menyebabkan timbal larut dan bereaksi dengan asam dalam jus. Konsumsi jangka panjang menyebabkan keracunan timbal yang membahayakan kesehatan."
3. Ayam Bakar Taliwang: kuliner khas berupa ayam kampung muda yang dibakar dengan bumbu pedas gurih khas dari cabai, bawang, terasi, kencur, dan rempah lainnya. Rasanya pedas menyengat dengan aroma harum yang khas, dan biasanya disajikan dengan perasan jeruk limau."

4. Bubur Palopo: Penganan khas Sumbawa Barat yang sederhana. Terbuat dari susu kerbau segar, gula merah, dan tepung kuning (tepung para) sebagai pengental alami. Dikukus hingga mengental seperti puding, menjadi kudapan energi legendaris."

5. Siong Sira: Ayam goreng khas Sumbawa yang kaya rempah dan berkuah. Ayam kampung dimasak dengan bumbu seperti bawang, kemiri, merica, kunyit, serai, daun jeruk, dan asam jawa. Hidangan ini gurih, berkuah, dan memiliki aroma rempah yang kuat, sering disantap hangat bersama nasi."

6. Cecok: hidangan khas yang kaya rempah, berbahan dasar daging dan/atau jeroan sapi (seperti babat dan kikil) yang dimasak dengan parutan kelapa sangrai, lenga' (wijen hitam), dan bumbu kuat seperti belimbing wuluh untuk rasa asam segar, menghasilkan tumisan kental berwarna gelap yang gurih, pedas, dan sedikit asam, disajikan sebagai lauk pendamping nasi.

7. Lelepah: makhluk kuat dalam d**geng rakyat Jawa. Sosoknya digambarkan setinggi 3 meter, mirip raksasa berbulu lebat. Makanan utamanya adalah ikan mentah, bangkai hewan, dan sisa makanan yang membusuk, termasuk belatung.






25/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ᴶᵘᵐᵃᵗ, ²⁶ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# 𝑮𝒖𝒎𝒂𝒎 𝑷𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊𝒓𝒂𝒏
⁽⁽ᴿᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ᴶᵘᵐᵃʳ⁾

𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐇𝐢𝐫𝐨𝐡𝐢𝐭𝐨

Lantaran muak dengan iklan kecantikan yang menayangkan wanita berlenggak lenggok 𝑙𝑒𝑛𝑗𝑒ℎ¹, pak guru Kempe segera menekan remot, mengganti saluran televisi.

Namun, perhatiannya langsung terpaku pada layar kaca, ketika melihat gebrakan Menteri Keuangan Purbaya Sadewa di depan dewan Yang Terhormat.

Usulan kenaikan gaji guru dan ASN agar setara dengan gaji Anggota DPR membuatnya tertegun, seakan kunyahan 𝑀𝑜𝑑𝑒𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑔𝑒 𝑟𝑒𝑛𝑎𝑚² yang terasa gurih dan "lembut-lembut lentur" itu berhenti di tenggorokan.

"Itu baru namanya benar-benar benar..." gumamnya pelan, matanya masih terpaku pada layar.

Di sana, wajah makhluk-makhluk yang konon Terhormat itu terlihat kaku seperti patung batu yang baru saja dicat ulang. Beberapa mengerutkan dahi, jari mengacak-acak kalkulator di meja—seolah menghitung angka yang bakal membuat kantong mereka berkurang. Yang lain sibuk mencatat dengan gerakan lambat, seolah setiap huruf yang ditulis perlu dipikirkan selama tiga musim.

"Kebutuhan kajian mendalam..." suara salah seorang anggota terdengar pelan dari speaker TV. "Perlu analisis matang tentang dampaknya pada anggaran negara..."

Pak Guru Kempe menghela napas perlahan, tangannya secara tidak sengaja merogoh saku bajunya yang sudah mulai berbintik hitam kecipratan tinta. "Kajian... kajian lagi..." gumamnya dalam hati.

Dia ingat cerita yang pernah dia baca dulu—ketika negeri Jepang hancur lebur akibat bom atom, Kaisar Hirohito -- yang dikenal juga sebagai Kaisar Shōwa- - tidak pernah bilang mau kajian dulu. Dia langsung bertanya: "Berapa jumlah guru yang masih tersisa?" Sebab dia tahu, tanpa guru, tak ada satu pun batu bata yang bisa dirakit untuk membangun negeri lagi.

"Kalau saja dari dulu mereka sadar betapa guru itu penting bagai engsel pada pintu..." pikirnya, jempolnya menyentuh bibir yang mulai kering. "Tapi kita? Malah sibuk hitung-hitung uang. Sebut-sebut pendidikan jadi prioritas, tapi kalo udah sampai pada nomornya, jadi susah amat ya..."

Di layar, suara anggota dewan lain terdengar lagi: "Kita prihatin dengan nasib guru, tapi perlu pertimbangan komprehensif..."

Pak Guru Kempe menggeleng-geleng kepala perlahan. "Prihatin? Prihatinnya kayak apa ya? Kalau prihatin, kan nggak perlu tunggu kajian sampai tahun depan. Guru kan bukan barang yang bisa disimpan di gudang buat ditunggu harganya naik turun..." dia gumam sendiri, mata perlahan beralih ke foto penataran yang terpampang di dinding ruang tamu.

"Sementara mereka sibuk kajian, kita yang terus mengawasi anak-anak dengan gaji yang cuma cukup buat beli 𝑐𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 hape. Berat buat beli cadangan pakaian dinas harian (PHD) coklat. Boro-boro buat selingkuh. 😔

-----------------------
Cataysn kaki"

1. Lenjeh : (Btw) centil, genit atau cari perhatian

2. Modeng bage renam: (Sumbawa) Biji asam (yang setelah disangreh) lantas direndam. Penganan iseng tradisional.






24/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ᴷᵃᵐᶦˢ, ²⁵ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# Cengkerama Jelata
⁽ʳᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ᴷᵃᵐᶦˢ⁾

𝐀𝐰𝐚𝐬, 𝐘𝐚𝐡𝐮𝐝𝐢 𝐃𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠..!

Disclaimer

Tokoh-tokoh dalam rubrik Cengkerama Jelata adalah perwujudan figuratif yang mewakili ragam lapisan masyarakat:

- Cakrudu: Tetua kelompok, mewakili sosok realistis, empatik, loyalis, dan tulus bijak (representasi masyarakat nir-derajat).

- Tembeke: "Anak jangkrik (nimfa)", mewakili generasi muda yang praktis, intuitif, dan eksploratif.

- Jeluting: "Berudu/anak katak", mewakili sosok adaptif, waspada, cekatan, dan naluriah.

- Jelomang: "Siput telanjang laut (Nudibranchia)", mewakili karakter unik, cermat, oportunis, dan fleksibel.

Tokoh-tokoh ini tidak mewakili individu atau kelompok tertentu dalam kehidupan nyata.
----000----

"𝑆𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜¹! Aku benar-benar lupa, kalau hari ini tanggal 25 Desember, Hari Natal. Semua kantor dan instansi pada libur," gerutu Tembeke saat datang dari arah Kantor Pegadaian.

"Ada apa, sih, kok datang-datang menggerutu kayak orang kebakaran jenggot?" tanya Cakrudu yang sedang sibuk menyiram kembang.

"Iya nih, tadi pas dikasih tahu sama satpam piket baru ngeh. PLN, PDAM dan yang lainnya juga tutup semua," dia mengoceh. "Cuma pekerja bangunan Indomaret saja yang tetap kerja! Padahal saya dipesenin Oma Hana untuk segera menebus barang yang jatuh tempo tanggal 24 kemarin."

"Orangnya masih di Mataram urusan Natal, uangnya sudah ditransfer kemarin lusa – gawat dah!" ungkapnya.

Tiba-tiba Jelomang muncul dari arah Sekretariat Paguyuban UMKM Santong yang bertampingan dengan lokasi proyek itu. "Iya d**g kerja terus, kan tabiat kapitalis begitu!" tukasnya dengan nada tajam. "Semuanya harus efisien dan efektif. Hari raya pun mereka nggak dikasih libur. Padahal yang kerja itu juga orang-orang kita sendiri, kan?"

Jeluting yang baru saja datang menyusul ikut menyela, "Bukan cuma itu Cak! Bisa dibayangkan, kalau Indomaret itu berdiri, maka tatanan perekonomian lokal akan kacau!"

Jelomang langsung menimpali, "Tul betul betul! Betul sekali! Bagaimana mungkin gurita raksasa dibiarkan bersaing dengan ikan-ikan cupang yang berkeliaran di sekitar Dusun Santong sini?"

Jeluting melanjutkan dengan nada yang semakin tegas, "Mereka menguasai seluruh rantai perekonomian, mulai dari pasokan bahan baku, pembuatan, penyebaran, pemasaran dan propaganda, hingga ke akses keuangan dan permodalan yang tidak terbatas!"

Jelomang menghentakkan kaki pelan, "Waduh...waduh... waduh... Ini sih sama saja dengan praktek Zionis Yahudi mencaplok Jalur Gaza! Saya berani bertaruh, setelah toko swalayan itu beroperasi..."

Jeluting menyambung dengan cepat, "...maka toko sembako Ibu Titin akan segera berubah paling hebat jadi konter yang jual pulsa dan aksesoris hape!"

Jelomang menambahkan lagi, "Wow..! Wow..! Wow..! Sedangkan swalayan lokal punya Bang Yoyong akan berubah jadi bengkel atau tempat pencucian motor!"

Cakrudu mendengarkan dengan seksama, kemudian menghela napas panjang. "Begitu parahnya ya? Kalau begitu kita mesti hati-hati dan waspada. Persoalannya lebih parah daripada banjir Sumatera."

Tembeke segera menyeletuk polos: "Kalau begitu mulai sekarang kita perlu tanamkan kewaspadaan. 'Awas Yahudi Datang!'😊

---------------------------
Catatan kaki:

1. Semata (Sbw): Secara harfiah berarti "satu mata" atau "hanya" alias "semata-mata". "Mo" merupakan partikel penegas atau penanda subjek/objek tertentu dalam kalimat.






23/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ᴿᵃᵇᵘ, ²⁴ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# 𝑮𝒆𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 𝑷𝒊𝒃𝒍𝒊𝒌
⁽⁽ᴿᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ᴿᵃᵇᵘ⁾

Pengangkatan 9.411 PPPK
𝐔𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐚 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐮𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧

Rahman berdiri di barisan paling belakang Lapangan Bumi Gora. Tangan kirinya menggenggam amplop putih tipis yang belum terbuka. Gubernur Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal, berdiri di atas panggung. Suaranya tegas membahana ke setiap sudut:

“𝐿𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑝𝑢𝑙𝑢ℎ 𝑟𝑖𝑏𝑢 𝑑𝑖 𝑁𝑇𝐵 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑘𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑖𝑛𝑖. 𝑆𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑛𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙, 𝐿𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑢𝑡𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑑𝑖 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑖𝑛𝑖!”

Rahman menghela napas pelan. Seolah mereka sekalian adalah pemenang undian hadiah tahunan yang hanya datang sekali seabad. Bukan hasil dari tiga puluh empat tahun mengabdi sebagai guru honorer di desa terpencil – jalanannya berlubang-lubang, kelasnya hanya terbuat dari bambu dan genteng yang sering bocor.

Tidak, tidak. Oh tidak, sayang..! Bapak Gubernur jelas-jelas bilang mereka hanya beruntung saja. Padahal apa benar, ini cuma keberutungan belaka? Syukur 𝑎𝑙ℎ𝑎𝑚𝑑𝑢 𝑙𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑟𝑎𝑏𝑏𝑖𝑙 '𝑎𝑙𝑎𝑚𝑖𝑖𝑛.. Terima kasih, ya Allah...!

Satu juta orang di luar sana, apa mereka kurang gigih mengajar? Atau mungkin nomor undian mereka tertinggal di kantor pusat? Rahman membayangkan spanduk raksasa yang mungkin saja dipasang:

𝐀𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐮𝐧𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐚𝐭𝐮𝐬 𝐑𝐞𝐬𝐦𝐢 – 𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐘𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠.
𝑺𝒊𝒍𝒂 𝑫𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓 𝑼𝒍𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒂𝒉𝒖𝒏 𝑫𝒆𝒑𝒂𝒏!

Ia mengusap amplop yang masih hangat dari tangan panitia. Rasanya seperti memegang tiket kemenangan yang keluar secara kebetulan. Padahal, tiket itu ia peroleh setelah mengorbankan waktu dengan keluarga, bahkan rela mengambil gaji yang hanya cukup makan sehari-hari. Begitulah aturannya, '𝑘𝑎𝑛? Siapa bilang mengabdi kepada negeri tercinta ini pasti mendapatkan balasan yang layak? Tapi, apapun itu, Rahman merasa perlu untuk tetap bersyukur: Ya, untung ada keberuntungan. 🤔

--------------------
Referensi:

Sumber inspirasi: berita Samawareadotcom, 23 Desember 2025.


&Fokus


23/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ˢᵉˡᵃˢᵃ, ²³ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# 𝑼𝒔𝒖𝒍 𝑰𝒔𝒆𝒏𝒈
⁽ᴿᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ˢᵉˡᵃˢᵃ⁾⁾

𝐒𝐞𝐤𝐝𝐚 𝐍𝐓𝐁: 𝐑𝐚𝐬𝐚 𝐌𝐨𝐧𝐭𝐨𝐧𝐠, 𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐒𝐮𝐤𝐮𝐧?

"Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya," begitu kata pepata. Kali ini bukan soal durian montong yang punya dua versi asal-usul – sebagian bilang dari Provinsi Chanthaburi Thailand (ditemukan tahun 1960-an, diakui unggulan tahun 1970-an), tapi ada juga yang bilang berasal dari durian sukun Jawa Tengah. Karena Indonesia belum bisa mengembangkannya untuk ekspor, bibitnya dikirim ke Thailand dan kini dikenal sebagai produk impor.

Lantas apa hubungannya dengan pengisian jabatan Sekda NTB? Simak saja pernyataan Mohammad Akri, Ketua Komisi I DPRD NTB yang menangani urusan pemerintahan.

Politisi PPP ini bilang: "Mau sekda impor dari luar atau pejabat lokal, selama prosesnya profesional dan transparan silakan saja," seperti dikutip Lombok Post (22 Desember 2025). "Yang penting adalah kualitas dan kapasitas kandidat dalam mengelola birokrasi," paparnya lebih lanjut. Akur dengan pendapat ini? Sabar dulu, 𝑎𝑑𝑒𝑛𝑔-𝑎𝑑𝑒𝑛𝑔¹, jangan terburu-buru ya!

Pandangan lain datang dari Dr. Agus, Wakil Ketua Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (Pusdek) UIN Mataram, yang lebih setuju jika Sekda NTB dijabat ASN lokal. Bukan sembarang pikiran, beliau punya alasan bahwa pejabat lokal lebih memahami kondisi daerah mulai dari kewilayahan, budaya, adat istiadat, hingga dinamika masyarakat – pengetahuan yang sangat membantu mendesain kebijakan dan program pembangunan.

Selain itu, terkait penghematan dan koordinasi pembinaan ASN, orang lokal lebih mudah membangun jaringan dengan perangkat daerah, OPD,
dan pemangku kepentingan yang mendukung keikutsertaan masyarakat dalam pelayanan serta keterbukaan.

"Fungsi Sekda adalah menjalankan tugas Gubernur ke dalam, jadi penting yang mengenal birokrasi NTB," jelasnya.

Ini juga mendukung keberlanjutan dan kemapanan birokrasi dengan mengurangi masa penyesuaian, penentangan masyarakat, serta membuka jalan karier bagi PNS daerah.

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga alasan demikian, mengingat Sekda adalah orang terdekat dengan Gubernur. Jangan-jangan dia tak paham apa itu Sasambo dan mengira jenis musik atau olahraga Latin, 𝑙𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛²!

Sedikitnya, calon Sekda harus paham tradisi 𝐵𝑎𝑢 𝑁𝑦𝑎𝑙𝑒³, pernikahan adat 𝑁𝑦𝑜𝑛𝑔𝑘𝑜𝑙⁴, 𝐵𝑎𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑏𝑜⁵, seni 𝑀𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑘𝑜⁶, musyawarah 𝑀𝑏𝑜𝑙𝑜 𝑊𝑒𝑘𝑖⁷, dan makna pakaian adat 𝑅𝑖𝑚𝑝𝑢⁸. Gimana bisa mengelola daerah kalau posisi kunci ini diisi orang yang cuma plonga-plongo kayak tukang gorong-gorong? Bisa jadi kualat banget lho!

Baiklah, tapi itu kriteria ideal. Terus bagaimana dengan orang-nya yang diperdebatkan itu? Apa sudah ada calonnya? Sebab kalau masih direka-reka dalam wacana, itu tak ubahnya dengan lomba tarik tambang tanpa tali, gawat banget kan! Tenang saja, seleksi administrasi sudah selesai dan semua pendaftar dinyatakan lulus, seperti yang disampaikan Ketua Pansel Prof Riduan Mas'ud.

Dari 10 calon yang lolos, 7 adalah pejabat OPD Pemprov NTB, dua dari kementerian pusat, dan satu dari kabupaten/kota.

Nah, daripada terus ribut tentang lokal atau impor, gimana kalau kita serahkan saja keputusannya kepada Putri Mandalika –yang konon akan muncul menjelma dalam pesta rakyat Bau Nyale. Entah akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Usul-nya betul-betul Iseng, ya!? 😅

------------------------
Catatan kaki:

1. Adeng-adeng: pelan-pelan, hati-hati.
2. Lasingan: kata penegas (seperti "tuh kan!").
3. Bau nyale: tradisi menangkap cacing laut (jelmaan Putri Mandalika).
4. Nyongkol: iring-iringan pengantin suku Sasak.
5. Barapan kebo: karapan kerbau di Sumbawa.
6. Melangko: seni vokal tradisional Sumbawa.
7. Mbolo Weki: musyawarah adat suku Bima.
8. Rimpu: pakaian adat wanita Bima-Dompu.


&Fokus

22/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ˢᵉⁿᶦⁿ, ²² ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# 𝑪𝒆𝒍𝒐𝒕𝒆𝒉 𝑹𝒆𝒎𝒆𝒉 𝐌𝐮𝐢𝐬 𝐃𝐞𝐛𝐞
⁽ᴿᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ˢᵉⁿᶦⁿ⁾

𝐆𝐞𝐛𝐲𝐚𝐫 𝐊𝐨𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐫𝐞𝐚𝐡 𝐏𝐮𝐭𝐢𝐡

Rencananya, sih, mau ketemu Haji Sirajuddin, membicarakan soal harga pakan ternak. Tapi lantaran hujan turun mendadak, jadilah 𝑁𝑑𝑒¹ Seman Lonto berteduh di emperan toko sembako Ibu Titin.

Sayup-sayup didengarnya lirik lagu berbunyi:

𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎 ... /
𝑀𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ𝑘𝑢/
𝑃𝑢𝑡𝑖ℎ 𝑡𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑘𝑢/
𝐵𝑒𝑟𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡𝑚𝑢...

𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎 .../
𝐷𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑘𝑢/
𝐷𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑛𝑎𝑑𝑖𝑘𝑢/
𝐵𝑒𝑟𝑏𝑎𝑢𝑟 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛-𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑘𝑢..

𝐾𝑒𝑏𝑦𝑎𝑟-𝑘𝑒𝑏𝑦𝑎𝑟 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑖 𝑗𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎....

Suaranya nyaring dari radio jadul yang selalu dibiarkan menyala di sudut toko—seolah mengingatkan kita semua, warna apa yang harus jadi dasar hidup di negeri ini...

Tidak salah lagi, pikirnya. Itu pasti suara Gombloh, musisi gaek yang legendaris itu.

Dia lantas teringat Prabowo, Presiden yang mantan menantu penguasa rezim Orde Baru yang otoriter itu. Kini justru jadi sosok yang gencar mempromosikan Koperasi Desa Kelurahan Merah Putih (KDKMP)—bagai koboi yang tiba-tiba ingin menjadi penjaga kebun sayur.

Bisa jadi ini baik, tapi kita kan harus cermat melihatnya dengan mata telanjang. Sebab persoalanya rada ngeri-ngeri sedap.

Lihat 𝑡𝑢ℎ, toko swalayan berjejaring nasional sudah kayak hiu raksasa yang terus menggerogoti lautan pasar lokal. Dari pantai sampai kampung, cakar kapitalisme mereka merambat bebas – bikin warung kita kayak ikan kecil yang terhimpit di celah batu karang.

Padahal Proklamator kita B**g Hatta yang sekaligus Bapak Koperasi, jauh-jauh hari telah merumuskan dengan panjang lebar bahwa koperasi itu merupakan soko guru perekonomian nasional.

Atau kalau mau yang lebih mudaan, simak saja pemikiran menantunya, Prof. Sri Edi Swasonano, yang memusatkan perhatiannya pada upaya membangun ekonomi yang berbasis rakyat, dengan menekankan peran koperasi sebagai instrumen utama untuk mencapai tujuan tersebut.

Tapi agak mendinganlah, kini Prabowo, seakan tidak mau kalah dengan pemikiran pendahulunya,
tampil untuk menjawab tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia, yang meskipun kaya sumber daya alam dan manusia namun masih menghadapi kemiskinan dan ketimpangan.

Alhasil, Prabowo tidaklah
tiba-tiba muncul dari langit menggend**g program koperasi merah putihnya.

Boleh jadi pemerintah akhirnya sadar, jangan biarkan bajingan-bajingan keparat itu sesuka hati membangun pagar tembok di pantai lautan kita. Bisa kapiran!

Mestinya, para penguasa daerah yang telah digambleng di Lembah Tidar itu, segera tampil menyongsong langkah "membangun dari desa" yang kini hendak dipindahkan dari teori ke praktek.

Masalahnya, pemda kita seringkali kayak supir angkot yang punya rute jelas tapi nyelonong kesana kemari. Dana desa satu milyar per tahun – bukan uang receh '𝑘𝑎𝑛? Tapi seringkali jadi "uang makan" yang habis tanpa bekas, atau gerainya cuma jadi pajangan foto belaka. Ibarat bangun rumah dengan batu bata mahal tapi tanpa pondasi – pasti ambruk sendiri.

Kita butuh pemda yang punya "hidung tajam" kayak anjing penjaga. Bisa menyusup ke program ini bukan buat cari untung sendiri, tapi buat 𝑛𝑔𝑎𝑠𝑖ℎ makan anak buahnya. Jadikan KDKMP sebagai jembatan yang menyambungkan petani dengan konsumen, bukan jadi tempat parkir barang impor yang artinya sama saja kayak pasar swalayan.

Bayangkan saja, kalau setiap KDKMP jadi "kandang" yang lindungi produk lokal – dari cabe rawit sampe tepung ketan buatan ibu-ibu RT – pasti hiu besar itu bakal mikir dua kali sebelum masuk wilayah kita. Sayangnya, banyak pemda malah jadi penjaga pintu yang malas bergerak – cuma nangis kalau pasar lokal sudah dirampas, padahal kunci keselamatan ada di tangan mereka sendiri!

Bagaimana, Pak Bupati? Sambil menghayati lagu Gombloh, kapan mulai menggali potensi KDKMP untuk melindungi pasar lokal? 😊

------------------
Referensi:

1. Prabowo Subianto: Paradoks Indonesia Dan Solusinya: PT. Media Pandu Bangsa; Jakarta; 2022, Cetakan ketiga.

2. B**g Hatta: Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat (buku 6 dari Catatan Lengkap); LP3ES; Jakarta 2018.

3. Sri Edi Swasono: Menuju Pembangunan Perekonomian Rakyat; UI-Press; Jakarta; 1998


&Fokus

21/12/2025

ᴸᶦᵗᵉʳᵃˢᶦ ᴴᵉⁿᵗᵃᵏ
𝐒𝐢𝐥𝐚𝐦𝐨𝐁𝐚𝐜𝐚
ᴷʰᵃˢ & ᶠᵒᵏᵘˢ

ᴹᶦⁿᵍᵍᵘ, ²¹ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²⁵
=====================
# 𝑪𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝑩𝒆𝒓𝒔𝒂𝒎𝒃𝒖𝒏𝒈 𝑷𝒆𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊
⁽ᴿᵘᵇʳᶦᵏ ᵀᵉᵗᵃᵖ ˢᵉᵗᶦᵃᵖ ᴹᶦⁿᵍᵍᵘ⁾

𝑫𝒊𝒔𝒄𝒍𝒂𝒊𝒎𝒆𝒓¹: Cerita ini merupakan karya fiksi sepenuhnya, dibuat dengan tujuan mendukung perkembangan budaya literasi . Segala kemiripan nama, sosok, atau peristiwa dalam kehidupan nyata, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah kebetulan semata. Hak cipta karya dilindungi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

-----00000-----

𝐁𝐞𝐫𝐛𝐨𝐤²

𝑃𝑖𝑡𝑢 𝑚𝑜 𝑏𝑒𝑛𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑢𝑙𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘, 𝑤𝑒 𝐴𝑛𝑑𝑖/
𝑀𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑜 𝑘𝑦𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑘, 𝑤𝑒 𝐴𝑛𝑑𝑖/
𝑆𝑎𝑚𝑎𝑤𝑎 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑛𝑔 𝑘𝑢𝑡𝑜𝑡𝑎𝑛𝑔³.

Penggalan bait lagu daerah karya Mustakim Biawan, budayawan Sumbawa yang legendaris itu, mengingatkan kampung halaman, menyambut kepulangan Yuliana dari tempat kerjanya. Dudi menyanyikannya dengan khidmat sembari asyik memetik gitar di ruang depan.

Yuliana tidak ingin membuyarkan alunan irama Dudi. Dengan diam dia langsung menuju kamar tidur.

Ada rasa iba meliputi perasaan Yuliana melihat perubahan sikap Dudi akhir-akhir ini. Hampir setiap sore sepulang kerja, Yuliana selalu mendengar alunan lagu itu, yang kadang-kadang diselingi penggalan lagu "Siapa Suru Datang Jakarta" karya Kembar Grup:

𝑆𝑎𝑝𝑎 𝑠𝑢𝑟𝑢 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎
𝑆𝑎𝑝𝑎 𝑠𝑢𝑟𝑢 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎
𝑆𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑘𝑎, 𝑠𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑟𝑎𝑠𝑎
𝐸ℎ 𝑑𝑜𝑒 𝑠𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔

Diam-diam Yuliana menjadi trenyu, bahkan ikut merasa bersalah melihat sikap Dudi yang putus asa mendekati frustrasi itu.

Ingatan lama pun menerobos balik ke masa awal mereka saling mengenal. Ketika itu, Yuliana dengan penuh semangat selalu berada di sisi Dudi. Dia tak pernah lelah menggambarkan dunia yang lebih luas di luar kampung, menceritakan tentang peluang kesuksesan yang bisa diraih jika mereka berani mengejarnya.

"Kamu punya bakat luar biasa dengan gitar dan suara kamu, Dudi," ujarnya kala itu, sambil menepuk bahu pria yang kini menjadi suaminya itu, dengan tatapan penuh keyakinan.

"Jangan biarkan impianmu hanya tinggal cerita di balik pagar rumah saja. Kita bisa meraihnya bersama, kita bisa terbang jauh dan melayang tinggi jika kamu mau percaya pada dirimu sendiri!" Setiap kata yang keluar dari mulutnya kala itu seperti obat yang membakar semangat dalam diri Dudi, membuatnya merasa mampu menghadapi segala rintangan yang ada di depan mata.

Tapi, fakta yang terjadi justru bertolak belakang, bagaikan siang dan malam yang tak mungkin menyatu, yang mengingatkannya pada lirik lagu Jakarta II karya Ebiet G. Ade:

𝐴𝑝𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎
𝑇𝑒𝑟𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎 𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑢ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎
𝐴𝑝𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑚𝑝𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑘𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑡𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛
𝑆𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚

(Untuk menyampaikan perasaannya, Dudi mengadaptasi lirik lagu di bait lainnya menjadi)

𝐼𝑛𝑔𝑖𝑛 𝑑𝑖𝑡𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑝𝑢𝑐𝑢𝑘 𝑠𝑢𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑖𝑏𝑢𝑛𝑦𝑎
𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑑𝑖 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎 𝑖𝑛𝑖 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑎𝑚𝑎ℎ
𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎 𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖

Penyesuaian lirik itu seolah menjadi sinyalemen akhir Dudi mengajak istrinya kembali ke kampung halaman. Sebuah ajakan yang mengandung pengakuan menyerah pada kerasnya ibu kota.

"Apa yang membuatmu tiba-tiba menyerah dan berpikir seperti itu, Mas?" tanya Yuliana dengan nada datar, berusaha menyembunyikan gejolak hatinya yang bergemuruh. Ada gurat kekecewaan yang mulai merayapi wajahnya. Ia tak pernah membayangkan akan mendengar keinginan itu dari suaminya.

"Entahlah," jawab Dudi lesu. "Mungkin sekarang aku baru menyadari kenyataan yang ada. Di luar sana, ternyata ada ratusan, bahkan ribuan orang yang bermimpi seperti diriku." Nada suaranya terdengar getir.

"Dan tidak sedikit dari mereka yang tetap ingin bertahan, namun akhirnya tersungkur menjadi penyanyi jalanan. Mereka lebih menyerupai gelandangan daripada seniman, mengamen di sembarang tempat—di bis yang penuh sesak, di warung-warung makan pinggir jalan yang berdebu."

""Mereka mengandalkan belas kasihan dan harus menghadapi tatapan yang merendahkan para penyumbang daripada mendapatkan sanjungan dan penghargaan," lanjut Dudi, berusaha meyakinkan Yuliana dengan argumennya. Matanya menerawang, seolah melihat gambaran masa depan yang suram.

Yuliana tidak ingin cekcok dan bertengkar, tetapi hatinya terguncang, tersayat dilema. Haruskah ia melepaskan semua karier dan prestasi yang telah ukuirnya dengan susah payah?

Baru sekitar dua bulan yang lalu, ia dipromosikan sebagai kepala divisi 𝑚𝑜𝑛𝑖𝑡𝑜𝑟𝑖𝑛𝑔⁴ di perusahaan jasa ekspedisi yang telah digelutinya selama tiga tahun terakhir. Dia membawahi sekian karyawan untuk membangun komitmen dan memantau kinerja mitra kerjadi beberapa kota, memastikan kelancaran pengiriman hingga ke melayani dan pengatasi komplain oelanggan.

Lantas, haruskah semua itu tiba-tiba ditinggalkan begitu saja demi suami tercinta? 𝑂ℎ 𝑚𝑦 𝐺𝑜𝑑⁵, ..! batinnya menjerit. Tanpa sadar, jari-jarinya menggenggam erat ujung meja kayu hingga buku-buku jarinya memutih, berusaha menahan emosi yang nyaris meluap.

Yuliana tak pernah menyangka bahwa Dudi, yang selama ini dikenal 𝑘𝑒𝑢𝑘𝑒𝑢ℎ⁶, ternyata memiliki jiwa serapuh ini. Begitu getas, begitu mudah patah!

"Apa kamu merasa terbengkalai dan disia-siakan, Mas? Atau karena kontrakan kita yang mungil ini membatasi daya ciptamu? Atau mungkin karena keadaan ekonomi kita yang morat-marit?" Yuliana mulai bercerocos dengan emosi yang berusaha diredam.

Kemudian, ia melanjutkan, "Setahuku, meskipun tidak berlebihan, kita tidak kekurangan. Semuanya normal saja. Kita masih bisa berpakaian selayaknya tetangga. Kamu juga masih bisa merokok merek ternama, tidak sampai memungut puntung di sembarang tempat seperti pemulung. Lantas, apa yang membuatmu menjadi seperti tentara yang kehilangan senjata dan ransum begini, Mas?" Omelannya mulai meletup-letup bagai jagung 𝑝𝑜𝑝𝑐𝑜𝑟𝑛⁷ dalam oven.

Dudi diam termenung, menelan semua cercaan istrinya. Namun, nuraninya bergetar bagai senar gitar tuanya, melenting ke batok kepala, lalu menjalar ke seluruh tulang sumsum. Maka, ia pun menjawab spontan:

"Hey, kalau ngoceh yang benar, d**g! Jangan seperti konduktor menyusun pertunjukan musik tanpa partitur!"

"Persoalannya tidak sesederhana tafsiranmu. Jangan ngawur dan melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang materi atau lahiriah semata," tukas Dudi, balik berkhotbah. Ia melanjutkan, "Ini persoalan mental, pendirian, kepribadian, dan harga diri," tandasnya.

Setelah diam sejenak dan menghela napas, Dudi kembali menumpahkan 𝑢𝑛𝑒𝑘-𝑢𝑛𝑒𝑘 seperti demonstran berorasi di depan kantor pemerintah.

"Aku akui mentalku lebih lembek daripada tempe. Tidak sekokoh tekadku saat memutuskan merantau ke Jakarta. Tapi itu dulu, ketika aku masih sendiri, bebas melangkah mengikuti bisikan mimpi ke mana pun angin berhembus."

"Sekarang aku tidak sendiri lagi. Aku punya kamu, punya ikatan dan tanggung jawab yang mesti ditunaikan," lanjutnya dengan napas sedikit memburu.

"Dan kini aku semakin menyadari dan bisa mengukur diri, bahwa daya juangku tidak setangguh 𝑀𝑏𝑎ℎ 𝑆𝑢𝑟𝑖𝑝⁹ yang urakan, 𝑀𝑏𝑎ℎ 𝑀𝑎𝑟𝑖𝑑𝑗𝑎𝑛¹⁰ dengan langkah ringkih tertatih-tatih, atau Haji Tile¹¹ yang sudah ompong, yang telah mengabdikan diri di bidangnya masing-masing sejak usia belia."

"Mereka telah melalui jalan panjang, waktu menggerus hampir seluruh usia mereka. Dan ketika pengabdian itu berbuah kesuksesan atau ketenaran, hari telah beranjak senja! Aku yakin, mereka tak sempat menikmati buahnya seutuhnya." Napas Dudi tersengal, menyadari seluruh isi hatinya telah terkuras.

Suasana hening. Yuliana mencoba meresapi perkataan Dudi sambil berpura-pura merapikan taplak meja makan. Sejenak kemudian, Dudi beranjak. Dirogohnya lembaran lima puluh ribuan yang terselip di bawah pot di atas meja ruang depan, tempat Yuliana biasa menitipkan uang setiap pagi sebelum berangkat kerja. Dudi keluar ke warung membeli rokok.

Bersambung...

----------------------
Catatan kaki:

1. Disclaimer: (= (Ing.) Pernyataan Penyangkalan; pernyataan resmi yang dibuat untuk menyatakan bahwa pihak terkait tidak bertanggung jawab atas hal tertentu, atau menyangkal kemiripan, hubungan, atau kebenaran dari sesuatu yang terkait dengan karya atau informasi yang disampaikan.

2. Berbok: Gabungan dari kata lokal "leber" (Sbw = hancur) dan "lebok" (Sbw = lempung), berasal dari legenda fabel Sumbawa tentang dua sekawan monyet dan bangau yang mencari pohon buah hanyut menggunakan perahu lempung. Setelah berhasil, bangau yang kecewa (dengan bagi hasil) lantas bernyanyi "berbok, lamen leber bangka lebok, kungibar mo aku" – yang secara harfiah diterjemahkan menjadi: "Curpung --hancur perahu lempung-- kalau hancur maka terbanglah aku". Secara idiomatis, "berbok" dan "curpung" adalah sinonim, yang keduanya bermakna "leber bangka lebok" (= hancur perahu lempung).

3. Secara harfiah, bait lagu daerah tersebut berarti:
Tujuh(dah) sungai (baca: samudera) kuseberangi, hai Dinda/
(Namun) masih jua ku tengok (ke) belakang, hai Dinda/
Sumbawa permai lekat kuingat.

4. Monitoring: Pemantsuan, pencekkan (untuk memastikan segala suatunya berjalan lamcar.

5. Oh my God: (Ing.) Biasa disingkat OMG, Oh Tuhan Ku ( untuk menyatakan ungkapan kekaguman, kekecwaan atau rasa tidak percaya.)

6. Keukeuh: (Snd) Kukuh, kekuat pendirian, keras kepala, sikap tidak mudah dipengaruhi.

7. Popocorn: Jagung brond**g, jagung yang dipanggang hingga meletus menjadi makanan ringan.

8. Unek-unek: perasaan yang terpendam (tentang kekecewaan, kesedihan, dan sebagainya)

9. Mbah Surip: Nama aslinya Urip Achmad Rijanto adalah musisi reggae Indonesia yang terkenal dengan lagu ikoniknya "Tak Gend**g"
dan jargon "I Love You Full.

Lahir 6 Mei 1957 di Mojokerto, Jawa Timur, meninggal 4 Agustus 2009 karena gagal jantung; ia dikenal dengan gaya rambut gimbal dan tawa khasnya, serta perjalanan hidupnya yang penuh warna sebagai pengembara seni sebelum meraih popularitas puncak.

10. Mbah Maridjan: Meninggal dunia saat terjadi erupsi dahsyat
Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, akibat awan panas yang meluncur ke rumahnya di Kinahrejo saat ia menolak untuk mengungsi, tetap setia menjalankan tugasnya sebagai juru kunci yang diamanahkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sejak 1970.

Jenazah Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di dapur rumahnya keesokan harinya. Serelah wafat, namanya populer sebagi bintang iklan minuman energi ringan.

11. H. Tile: Nama lengkapnya H. Enun Tile Mahdami (1933-1998), adalah pelawak dan seniman lenong Betawi legendaris Indonesia, terkenal lewat perannya sebagai kakek 'Engkong Ali' di sinetron ikonik Si Doel Anak Sekolahan, meski buta huruf ia adalah aktor jenius yang sukses di layar kaca dan lebar melalui kecintaannya pada budaya Betawi.


&Fokus

Address

Samawa Tana Bulaeng
Sumbawa

Telephone

+6281213201633

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when SilamoBaca posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to SilamoBaca:

Share

Our Story

Sekilas Tentang "SilamoBaca" SilamoBaca adalah Halaman dan Twitter resmi "Komunitas Ruang Baca SILAMO [Silaturrahim Layanan Aspirasi Masyarakat Otonom]" –sebuah kegiatan pembelajaran para pemerhati dan pengais gejala kesadaran sosial– guna memahami bentangan ruang antara harapan dan kenyataan yang terasa dalam kehidupan keseharian. Dengan mengais kesadaran dan pemahaman dari berbagai pihak, SilamoBaca mencoba mendialogkan –untuk tidak mengatakan mempersoalkan— berbagai dinamika sosial yang laten (tersamar atau tersembunyi) dan fenomenal yang menjadi gunjingan publik, baik di lingkup Lokal Sumbawa, Regional NTB maupun di tataran Nasionlal dan bahkan Internasional. Menyadari segala keterbatasan pemahaman, wawasan dan sumberdaya, SilamoBaca sama sekali tidak mengklaim, mengaku atau menempatkan diri sebagai penentu kebenaran, perumus kebijakan, dan bahkan tidak juga berpretensi sebagai pemecah masalah. Kesimpulan dari semua dialog dan perbincangan, sepenuhnya diserahkan kepada kesadaran dan kearifan masing-masing. Karenanya, SilamoBaca membuka diri dan mengundang semua pihak yang memiliki kesamaan visi untuk ikut berperan serta, mengirimkan naskah sebagai cermin kesadaran dan kearifan penulisnya. Tulisan yang diterbitkan tidak selalu mewakili pikiran dan pemahaman SilamoBaca. Terhadap semua naskah tulisan yang diterima, bisa jadi dilakukan penyuntingan redaksional tanpa mengubah substansi, untuk disajikan dalam langgam “celoteh remeh” atau “cengkerama jelata”, yang memungkinkan masyarakat awam sekalipun mudah menghayatinya. Karana –mengutip seorang penyair— kebanyakan orang adalah orang-orang kebanyakan. Selamat membaca, SilamoBaca! Wassalam.