
06/07/2025
Barisan puncaknya tajam, tinggi, dan menjulang angkuh.
Seolah bumi menciptakannya bukan dengan lembut, tapi dengan letupan emosi yang membekas sampai jutaan tahun.
Gunung ini bukan cuma megah—tapi juga sakral.
Orang lokal menyebutnya “Punggungan Katedral”, dan saat kau berdiri di hadapannya, kau bakal ngerti kenapa.
Ada aura tenang… tapi penuh wibawa.
Hening, tapi menusuk.
Gunung Passu jadi simbol utara Pakistan yang liar dan belum banyak terjamah.
Di sini, waktu seolah melambat.
Batu-batu tua ini udah berdiri sejak zaman es, jadi saksi bisu perjalanan Jalur Sutra, badai salju, dan ribuan petualang—termasuk satu anak Indonesia yang naik motor jauh-jauh cuma buat duduk, dan menatapnya dalam diam.
Dan di antara tebing-tebing vertikal itu, aku melihat sesuatu yang bikin aku makin kagum…
Ibex.
Kambing gunung yang lari di dinding nyaris 90 derajat tanpa selip sedikit pun.
Mereka panjat batu-batu tajam, demi bertahan hidup, demi makan, demi kabur dari predator.
Di situ aku belajar: alam ini keras, dan satu-satunya cara bertahan… adalah beradaptasi.
Tapi keindahan Passu gak cuma dari gunung dan lembahnya.
Yang bikin aku terharu justru keramahan orang-orangnya.
Di suhu dingin, di jalur berat, aku selalu disambut senyum hangat dan tawa tulus dari orang-orang yang bahkan belum pernah kenal.
Tak banyak yang tahu betapa indahnya alam Pakistan, terutama bagian utara ini.
Lewat postingan ini, aku pengen kalian mulai ngelirik Pakistan — bukan cuma karena pemandangannya yang setara (kalau gak lebih!) dari Eropa, tapi juga karena budaya dan ketulusan manusianya.
Serius, ini salah satu tempat paling damai yang pernah aku datangi.
Jadiin Hunza Valley & Gunung Passu ke wishlist kalian.
Aku datang dengan ragu, disambut dengan hangat. Kini aku tahu—kadang musuh hanyalah bayangan dalam pikiran kita. Dunia ini besar, tapi kebaikan selalu lebih dulu sampai.