Gas Cari Angin

Gas Cari Angin 🛵Cari Angin Keliling Dunia
🎖️🇮🇩🇲🇾🇧🇳🇹🇭🇱🇦🇨🇳🇵🇰🇮🇳🇦🇫🇮🇷🇦🇪🇸🇦
(5)

Barisan puncaknya tajam, tinggi, dan menjulang angkuh.Seolah bumi menciptakannya bukan dengan lembut, tapi dengan letupa...
06/07/2025

Barisan puncaknya tajam, tinggi, dan menjulang angkuh.
Seolah bumi menciptakannya bukan dengan lembut, tapi dengan letupan emosi yang membekas sampai jutaan tahun.

Gunung ini bukan cuma megah—tapi juga sakral.
Orang lokal menyebutnya “Punggungan Katedral”, dan saat kau berdiri di hadapannya, kau bakal ngerti kenapa.
Ada aura tenang… tapi penuh wibawa.
Hening, tapi menusuk.

Gunung Passu jadi simbol utara Pakistan yang liar dan belum banyak terjamah.
Di sini, waktu seolah melambat.
Batu-batu tua ini udah berdiri sejak zaman es, jadi saksi bisu perjalanan Jalur Sutra, badai salju, dan ribuan petualang—termasuk satu anak Indonesia yang naik motor jauh-jauh cuma buat duduk, dan menatapnya dalam diam.

Dan di antara tebing-tebing vertikal itu, aku melihat sesuatu yang bikin aku makin kagum…
Ibex.
Kambing gunung yang lari di dinding nyaris 90 derajat tanpa selip sedikit pun.
Mereka panjat batu-batu tajam, demi bertahan hidup, demi makan, demi kabur dari predator.
Di situ aku belajar: alam ini keras, dan satu-satunya cara bertahan… adalah beradaptasi.

Tapi keindahan Passu gak cuma dari gunung dan lembahnya.

Yang bikin aku terharu justru keramahan orang-orangnya.
Di suhu dingin, di jalur berat, aku selalu disambut senyum hangat dan tawa tulus dari orang-orang yang bahkan belum pernah kenal.

Tak banyak yang tahu betapa indahnya alam Pakistan, terutama bagian utara ini.
Lewat postingan ini, aku pengen kalian mulai ngelirik Pakistan — bukan cuma karena pemandangannya yang setara (kalau gak lebih!) dari Eropa, tapi juga karena budaya dan ketulusan manusianya.

Serius, ini salah satu tempat paling damai yang pernah aku datangi.
Jadiin Hunza Valley & Gunung Passu ke wishlist kalian.

Aku datang dengan ragu, disambut dengan hangat. Kini aku tahu—kadang musuh hanyalah bayangan dalam pikiran kita. Dunia ini besar, tapi kebaikan selalu lebih dulu sampai.

Aku nyampe kemaleman ke stop point pertama di Pakistan — Danau Attabad.Gelap gulita. Dingin menembus jaket. Jalan sepi, ...
03/07/2025

Aku nyampe kemaleman ke stop point pertama di Pakistan — Danau Attabad.
Gelap gulita. Dingin menembus jaket. Jalan sepi, dan badan udah gak bisa diajak kompromi.
Waktu itu aku cuma pengen tidur. Gak peduli lagi ada di mana.

Tapi paginya…

Begitu buka jendela… aku diam.
Gunung menjulang di hadapan. Gagah, sunyi.
Dan danau… memantulkan semuanya kayak cermin raksasa milik langit.
Di momen itu, aku ngerasa kecil. Tapi juga utuh.
Kayak Tuhan lagi bilang, “Lihat… kamu sampai juga.”

Kami sarapan di rooftop hotel.
Paratta hangat, chai panas, suhu 1 derajat.
Aku duduk diam, sambil ngelihatin gunung.
Dan entah kenapa, rasanya pengen nangis. Bukan karena sedih… tapi karena syukur.

Kelar ngeteh, aku mutusin buat riding sendirian keliling perkampungan Hunza.
Tanpa bagasi. Tanpa target. Cuma pengen ngerasain.
Dan hari itu, untuk pertama kalinya aku lihat gunung setinggi itu — langsung dari balik helmku.
Bukan dari layar, bukan dari mimpi. Tapi nyata, di depan mata.

Di jalur sempit berbatu, aku jadi titik kecil di antara gunung-gunung raksasa.
Tapi justru di saat merasa kecil, aku sadar — aku hidup. Dan aku kuat.
Setang motorku jadi sahabat. GPS jadi penuntun.
Jalanan terus membawa ke desa-desa sunyi, ladang terbuka, dan pohon poplar yang mulai menguning.
Gak ada suara. Tapi hati ini terasa penuh.

Tak lama, aku sampai di hadapan Gletser Pasu.
Dia gak bergerak. Tapi juga gak mati.
Aku berhenti lama. Cuma buat diem.
Kadang, di tengah hidup yang sibuk dan bising, kita lupa caranya berhenti… dan benar-benar melihat.

Sampai akhirnya… aku dan si Gembung berdiri tepat di depan Passu Cones.
Gunung-gunung runcing yang selama ini cuma kulihat dari Internet sekarang berdiri tepat di depannya,
Aku gak bisa bilang apa-apa.
Aku cuma senyum.
Karena semua capek, dingin, takut, dan ragu… akhirnya terbayar.

Bukan karena tempatnya. Tapi karena proses untuk sampai ke sana.

Dan hari itu, aku belajar satu hal:

Kadang… kita harus pergi sejauh mungkin,
melewati batas negara, menembus batas logika,
buat bisa ketemu versi diri kita yang paling jujur.

Versi yang ternyata… gak selemah yang selama ini kita kira.

Setelah turun dari Khunjerab Pass — perbatasan tertinggi di dunia — aku harus riding sejauh 50 km lagi ke bawah gunung, ...
02/07/2025

Setelah turun dari Khunjerab Pass — perbatasan tertinggi di dunia — aku harus riding sejauh 50 km lagi ke bawah gunung, menuju sebuah kota kecil bernama Sost.
Di sinilah kantor imigrasi dan bea cukai Pakistan berada.

Perjalanannya lewat Karakoram Highway.
Jalanan sempit, tebing menjulang di kiri, jurang nganga di kanan. Batu-batu longsoran berserakan.
Tapi di tengah ekstremnya kondisi itu, gunung-gunung es berdiri megah. Seolah Tuhan sedang memamerkan kuasa-Nya.

Sampai di kantor imigrasi, aku sempat bingung.
Bangunannya kecil, biasa banget, kayak pos kamling.
Tapi baru turun dari motor… ada pria bersorban langsung nyapa:

“You from Indonesia? Let me help you, brother!”

Aku refleks curiga.
Gamis panjang, gak ada seragam…
Jangan-jangan calo. Ujung-ujungnya minta uang.
Mana ada petugas perbatasan sebaik itu?

Dia tetap ngarahin aku dengan sopan.
Tapi aku tetap jaga jarak.
Karena, ya… pengalaman di jalan ngajarin: kalau terlalu baik, biasanya ada maunya.

Sampai di ruang cap paspor.
Petugasnya terlihat santai. Banyak ngobrol, kerja lambat.
Tapi begitu lihat pasporku bertuliskan “INDONESIA”…

Dia langsung senyum.
Mata berbinar.
Kerjanya langsung sigap.
Dan saat selesai, dia bangkit dari kursinya, jabat tanganku erat sambil bilang:

“Welcome to Pakistan, brother!”

Aku gak bisa berkata apa-apa.
Ada rasa hangat yang naik dari dada.
Air mata hampir jatuh.

Selesai dari situ, pria bersorban tadi masih ngikutin.
Ngajak aku ke kantor bea cukai.
“Sit here, brother,” katanya sambil senyum.

Aku duduk, dia bawa carnet-ku…
Dan beberapa menit kemudian, dia sendiri yang cop dan validasi dokumen itu.

Lho? Jadi dia… pegawai bea cukai?

Aku bengong.
Ternyata dia bukan calo.
Dia benar-benar petugas — dan sangat ramah.
Tapi bajunya sama kayak warga lokal.
Di sini, semua pakai gamis. Gak ada seragam. Jadi aku gak bisa bedain mana petugas, mana warga biasa.

Proses bea cukai selesai dalam 5 menit.
Tanpa ribet. Tanpa uang pelicin.
Hanya senyum, sapaan, dan tangan yang siap membantu.

Dan di situ aku sadar…

Yang sering kita anggap “too good to be true”…
di Pakistan, justru selalu true.
❤️🇵🇰

30/06/2025

Dijadiin es kepal enak nih 🤣

27/06/2025
Inilah Khunjerab Pass, perbatasan negara tertinggi di dunia yang bisa dilintasi kendaraan.4.693 mdpl, suhu saat itu -2°C...
23/06/2025

Inilah Khunjerab Pass, perbatasan negara tertinggi di dunia yang bisa dilintasi kendaraan.
4.693 mdpl, suhu saat itu -2°C, dan aku sedang menyeberangi puncak gunung bersalju, keluar dari China… masuk ke Pakistan.

Foto ini diambil dari belakang oleh temanku. Dan aku bersyukur banget foto ini ada.
Kenapa? Karena waktu di sisi perbatasan China, belum sempat foto-foto… tiba-tiba muncul tentara bersenjata lengkap entah dari mana, langsung mengusirku dan melarang mengeluarkan kamera. Momen terakhir di China jadi agak… pahit.

Tapi yang terjadi beberapa detik setelahnya, di sisi Pakistan… justru bikin aku terpukul secara emosional.

Banyak yang bilang, “Pakistan itu berbahaya.”
Media menggambarkannya gelap, keras, penuh konflik.
Dan tepat di depan sana, berdirilah seorang penjaga bersorban hitam, bersenjata AK-47, mengenakan gamis tipis, berdiri tegak di suhu ekstrem — tanpa jaket, tanpa pelindung.
Tampangnya keras. Tegas. Dan di sebelahnya berkibar gagah bendera Pakistan.
Di pikiranku: “Ini bukan orang biasa… mungkin lebih tepat disebut… bayangan.”
Laju motorku melambat. Jantung berdebar.

Tapi saat aku ulurkan tangan…
Dia genggam erat. Senyumnya tulus. Dan dari balik wajah yang terlihat garang itu,
keluar dua kalimat paling lembut yang pernah kudengar di perjalanan ini:

“Assalamualaikum! Welcome to Pakistan, brother…”

Air mataku jatuh.
Bukan karena takut. Tapi karena malu.
Malu sudah menilai dari cerita orang.
Malu sudah terpengaruh prasangka.

Kadang yang kita kira “menakutkan”, justru menyambut paling hangat.
Kadang tempat yang dibilang “berbahaya”, justru jadi yang paling manusiawi.

~ dan air mataku masih jatuh pas menulis cerita ini.

28 hari. Dari rencana awal cuma 18 hari. Rute berubah total sejak longsor menghantam jalan menuju Nepal. Kami terpaksa n...
21/06/2025

28 hari. Dari rencana awal cuma 18 hari. Rute berubah total sejak longsor menghantam jalan menuju Nepal. Kami terpaksa naik lagi ke utara, menembus provinsi Xinjiang—wilayah paling sunyi dan megah di seluruh perjalanan China ini.

Dan hari ini, aku berdiri di Khunjerab Pass—perbatasan tertinggi di dunia yang bisa dilintasi kendaraan, di ketinggian 4.693 meter di atas laut.
Udara tipis. Nafas pendek. Tapi mataku penuh—oleh pegunungan es, bentang alam seputih kapas, dan jalan sepi yang serasa tak nyata.

Imigrasi dan bea cukai China ternyata berada 70 kilometer lebih jauh dari titik puncak perbatasan. Kami berangkat subuh, diperiksa selama dua jam. Detail. Ketat. Mobil bahkan di-seal, tak boleh dibuka hingga benar-benar meninggalkan China.

Perjalanan ke puncak dikawal ketat. Tapi justru sepanjang jalan itu, aku merasa bebas.
Langit biru pucat, matahari tipis, salju lembut di kanan-kiri. Seakan seluruh alam sedang memberi salam perpisahan dari China yang penuh kejutan ini.

Begitu tiba di gerbang keluar… ada rasa lega, haru, dan jujur—sedikit kesal. Kenapa? Akan aku ceritakan nanti di postingan selanjutnya.

Tapi sejak titik ini… aku tau, aku siap untuk Pakistan, walaupun kata mereka Pakistan negara berbahaya.

Makin ke barat, pemandangan makin kayak dunia lain. Aku ngerasa kayak di film, tapi ini nyata — selamat datang di Taskur...
18/06/2025

Makin ke barat, pemandangan makin kayak dunia lain. Aku ngerasa kayak di film, tapi ini nyata — selamat datang di Taskurgan, salah satu kota tertinggi di China, di atas 3.000 mdpl, pintu gerbang menuju Pakistan lewat Karakoram Highway.

Sepanjang jalan, disuguhin lanskap luar nalar: danau biru kehijauan, lembah kering tandus, gunung-gunung es runcing, langit biru pekat… sampe aku mikir, “Ini masih di China atau udah masuk surga?”

Suhu? Sekitar 10°C. Dingin-dingin nikmat, pas buat merinding diterpa angin Pegunungan Pamir yang katanya jadi titik pertemuan Himalaya, Tian Shan, dan Karakoram. Gila ya, planet ini.

Pas sampai Taskurgan, aku lihat keramaian. Ternyata ada pertandingan kuda — tradisi orang Tajik di sini namanya Buzkashi, sejenis pacu kuda rebutan kambing (iya, kambing beneran, tapi udah gak ada kepalanya). Brutal tapi seru.

Di sela nonton, disamperin bocah kecil namanya Yusuf. Katanya s**a banget motorku, dan dia pengen jadi pembalap. Namanya cocok, wajahnya pun tampan. Bangga kali rasanya motor “Gas Cari Angin” bisa bikin anak-anak mimpi tinggi.

Kalau ada tempat yang bisa ngajarin kau makna perjalanan, Taskurgan adalah salah satunya.

Setelah kemarin keliling kota tua Kashgar, hari ini nyasar ke reruntuhan pemukiman kuno Uyghur — namanya Kashgar Ancient...
17/06/2025

Setelah kemarin keliling kota tua Kashgar, hari ini nyasar ke reruntuhan pemukiman kuno Uyghur — namanya Kashgar Ancient City Ruins.

Disini kita bisa lihat gimana dulu orang Uyghur hidup. Rumah-rumah dari tanah liat, tiang ukiran kayu, gang sempit, dan suasana yang adem.

Pas jalan mutar-mutar, dengar musik rancak. Eh, rupanya ada pertunjukan musik sama tari khas Uyghur!
Yang bikin ngakak, habis mereka nyanyi… aku disuruh main alat musiknya p**a 🤣
Yang kupegang namanya dap, mirip rebana.

Di ujung sana, kota Kashgar versi modern berdiri tinggi.
Dulu & sekarang saling pandang, gak saling ganggu.

Kashgar ini bukan cuma kota, tapi jendela ke masa lalu.
Dan hari ini aku duduk di bingkainya, sambil main rebana 😌

Sampai juga di Kashgar, kota paling baratnya China. Tapi suasananya? Udah macam di Arab!Aku keliling Kashgar Old Town, i...
13/06/2025

Sampai juga di Kashgar, kota paling baratnya China. Tapi suasananya? Udah macam di Arab!
Aku keliling Kashgar Old Town, isinya gang kecil warna-warni, makanan Uyghur berjejer—kebab, kepala kambing, sampe nasi daging aroma Timur Tengah. Jualan kopiah warna-warni juga banyak.

Di sudut kota tua, ada Id Kah Mosque—mesjid kuning tua dari tahun 1442. Arsitekturnya mirip Masjid Agung Demak di Jawa Tengah. Adem walau cuaca panas, tenang walau ramai.

Pas mampir cuci motor, ketemu anak-anak Uyghur. Wajahnya campur sari: ada yang mirip Arab, ada kayak Turki. Ramah kali mereka, pengen ngobrol, tapi satu pun tak bisa Inggris. Aneh kali, gak ada yang pegang HP. Katanya emang dibatasi. Jadi kami ngobrol pakai translate dan sambil senyum-senyum bingung.

“Ini masih di China apa udah pindah ke Arab, bah?”Makin ke barat, suasana makin aneh — kok abang-abang sini mukanya Arab...
12/06/2025

“Ini masih di China apa udah pindah ke Arab, bah?”

Makin ke barat, suasana makin aneh — kok abang-abang sini mukanya Arab semua, tulisan pun pakai aksara Arab. Eh ternyata aku udah masuk wilayah Uighur, wak! Masih di China, tapi rasa-rasanya udah pindah benua.

Pas istirahat makan, aku pun mulai terbawa suasana — lidah pun udah mulai ke Arab-Araban.
Duduk manis, disuguhin nasi mirip briyani, lengkap sama daging domba empuk yang juicy kaliii.
Seketika mulut bilang “Alhamdulillah,” padahal sebelumnya masih ngomong “Xie xie.”

Di sepanjang jalan, dari rambu, orang, sampe makanan, semua serasa bukan China.

Kashgar ini bukan kota biasa. Udara gurun, aroma rempah, dan vibe-nya tuh… campuran Madinah + Turki, ditambah bumbu lokal.

Dan aku? Masih terheran-heran sambil ngisi bensin, ditawari minuman:
“Recca 6 Horas” — entah ini China, Arab, atau Danau Toba 😭

HORAS!

“Nyasar ke Kampung Tua, Aku Malah Dapet Pelajaran Hidup”Perjalanan dari Dunhuang ke Kashgar ternyata bukan cuma soal pas...
09/06/2025

“Nyasar ke Kampung Tua, Aku Malah Dapet Pelajaran Hidup”

Perjalanan dari Dunhuang ke Kashgar ternyata bukan cuma soal pasir dan pegunungan merah…
Sorenya, aku nyasar masuk kampung. Tapi ini bukan kampung biasa, wak. Rumah-rumahnya dari tanah liat, dikelilingi tebing berlapis-lapis warna merah muda sampe cokelat bata.

Namanya Tuyoq Ancient Village.
Sebuah desa tua di kaki Flaming Mountains — gunung legendaris yang katanya panasnya bisa nyampe 50 derajat, tapi penduduk di kampung ini masih bertahan hidup dengan tenang. Luar biasa kali!

Mereka mayoritas etnis Uighur, Muslim, dan udah tinggal di sini turun temurun. Rumah-rumahnya dibangun dari lumpur kering dan batu bata tanah, bikin hawa di dalam rumah tetap adem walau luar macam oven terbuka. Di tengah kampung, ada masjid kecil berdiri tenang, diapit pohon anggur dan bukit batu merah tua yang kayak dilukis langsung sama Tuhan.

Sungai kecil ngalir pelan, membelah kampung yang damai. Di tepinya ada warung-warung kecil, jualan kurma, anggur kering, dan pernak-pernik khas Uighur. Anak-anak main lari-lari, dan aku? Duduk lepas helm, sambil mikir:
“Gak nyangka, di balik kerasnya gurun dan tajamnya bukit, ada kedamaian sekaya gini…”

Tiap sudut kampung ini kayak nyimpan cerita—tentang jalur sutra, tentang zaman dulu yang gak pernah terburu-buru, dan tentang manusia yang tahu cara hidup berdampingan dengan alam tanpa perlu beton tinggi.

Dan pas keluar dari kampung, matahari pun mulai turun.
Langit berubah jingga, dan aku parkir motor sebentar, kasih salam ke matahari.
Hari ini bukan sekadar riding. Tapi pelajaran kecil tentang ketenangan di tempat yang gak pernah aku bayangin.

Tempat ini sunyi. Tapi bukan sepi.
Kecil, tapi isinya dalam.

Gak semua tempat butuh teknologi canggih
Kadang cukup rumah dari tanah liat dan suara air mengalir…
buat kita sadar:
hidup gak perlu ribet, asal tau arah.

Address

Surabaya

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Gas Cari Angin posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category