Tika Santika

Tika Santika Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Tika Santika, Digital creator, Surabaya.
(2)

06/07/2024

Bab 10

Suasana pagi itu terasa begitu dingin dan berkabut. Keletik sisa hujan semalam masih tersisa pada dedaunan, menetes perlahan seperti butiran mutiara yang berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai terbit.

Di dapur rumah yang penuh dengan aroma rempah-rempah, Bu Inggit dan menantu kesayangannya, Puspa, sibuk memasak berbagai hidangan untuk sang suami tercinta. Mereka berdua tampak kompak dan harmonis, saling membantu dengan canda tawa kecil di sela-sela kegiatan memasak. Puspa, dengan senyum yang selalu mengembang di wajahnya, mengaduk sayur lodeh sementara Bu Inggit memeriksa nasi liwet yang sudah hampir matang.

Tak lama kemudian, Pak Soeryadi masuk ke dapur, tertarik oleh aroma masakan yang begitu harum. “Wah, pagi ini sepertinya kita akan makan enak sekali,” katanya sambil tersenyum lebar, memuji hasil kerja istri dan menantunya.

Pak Soeryadi memandangi meja makan yang sudah mulai dipenuhi berbagai hidangan lezat. “Ibu dan Puspa benar-benar hebat. Aroma masakan kalian bisa membuat perut siapa saja keroncongan,” pujinya Pak Soeryadi tulus.

Gilang, yang baru masuk ke ruang makan ikut tersenyum mendengar pujian ayahnya. Pak Soeryadi menepuk pundak Gilang dengan bangga. “Gilang, kamu benar-benar beruntung mendapatkan istri seperti Puspa. Selain cantik, dia juga pandai memasak. Kamu tidak salah pilih, Nak. Seperti romo ini yang tidak salah memilih ibumu.”

Gilang mengangguk, wajahnya memancarkan kebanggaan yang tak tersembunyi. “Tentu saja, Romo. Gilang kan anak Romo, sudah pasti Gilang mengikuti jejak Romo,” jawab Gilang sambil tersenyum kepada istrinya yang saat itu sedang menata piring di meja makan.

Puspa pun tersenyum malu, merasa tersanjung dengan pujian yang dilontarkan oleh ayah mertuanya. Namun, di balik senyum itu, hatinya masih berdebar-debar, mengingat percakapan yang akan terjadi saat sarapan nanti. Meski suasana pagi itu penuh kehangatan dan kebersamaan, ada perasaan cemas yang menggelayuti pikirannya.

Mereka semua duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan yang telah disiapkan dengan penuh cinta. Hujan semalam telah berhenti, tetapi sisa-sisanya masih terasa di udara dingin yang menyelimuti pagi itu.

Dalam kehangatan keluarga dan aroma makanan yang sedap, Puspa dan Gilang tahu bahwa momen ini akan segera diwarnai oleh percakapan penting yang akan menentukan arah masa depan mereka.

Pagi itu, suasana di meja makan begitu hangat dan penuh canda tawa. Pak Soeryadi tak henti memuji hidangan yang disiapkan oleh Puspa dan istrinya yang begitu nikmat, sementara aroma masakan menguar di udara, menambah selera makan mereka. Bu Inggit dan Pak Soeryadi duduk di hadapan Gilang dan Puspa, menikmati masakan yang telah disiapkan dengan penuh cinta.

Namun, kehangatan itu segera berubah ketika Gilang mulai membuka percakapan yang serius. Dengan suara yang bergetar namun penuh ketegasan, ia berkata, “Ibu, Romo, ada sesuatu yang penting yang ingin Gilang sampaikan.”

Pak Soeryadi dan Bu Inggit berhenti makan, perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada Gilang. “Ada apa, Nak?” tanya Bu Inggit dengan nada penasaran. “Memangnya apa yang ingin kamu bicarakan sampai tampak serius begitu.”

Gilang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Bu, Gilang dan Puspa sudah membuat kesepakatan. Gilang akan menikah lagi.”

Mendengar berita yang tak pernah disangka itu, Pak Soeryadi dan Bu Inggit terkejut bukan kepalang. Mereka menghentikan aktivitas makannya, garpu dan sendok mereka jatuh dengan bunyi nyaring ke piring. Tatapan tajam mereka langsung tertuju ke arah Gilang, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan.

Pak Soeryadi dengan nada suara yang bergetar menahan emosi, bertanya, “Gilang, apakah kamu serius dengan yang baru saja kamu katakan?”

Dengan tegas dan tandas Gilang menjawab, “Benar Romo. Gilang serius. Kami sudah mempertimbangkannya dengan matang. Gilang berencana untuk menikah lagi karena hanya dengan cara itulah Gilang bisa segera memiliki keturunan. Puspa sudah setuju, bahkan dia yang mencarikan madu untuk Gilang.”

Keheningan yang mencekam menyelimuti meja makan. Bu Inggit menatap Puspa dengan mata yang berkaca-kaca, sementara Pak Soeryadi mengepalkan tangannya, berusaha menenangkan diri dari amarah yang mulai membara di dadanya. Puspa hanya bisa menunduk, merasa berat dengan keputusan yang telah mereka ambil.

“Gilang, apa kamu benar-benar berpikir kalau ini adalah solusi terbaik?” tanya Pak Soeryadi dengan suara yang bergetar. “Apakah kamu sadar betapa besar keputusan ini?”

Gilang mengangguk pelan. “Gilang tahu, Romo. Tapi kami sudah mencoba berbagai cara, Romo tau sendiri bahkan bayi tabung juga gagal dan ini adalah jalan terakhir yang kami pikirkan. Kami mohon pengertian dan restu dari Ibu dan Romo.”

Bu Inggit terdiam, air mata tampak mengambang di pelupuk matanya. “Puspa, apa benar kamu setuju dengan ini, Nduk?” tanyanya lirih.

Puspa mengangguk pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Nggeh, Bu. Puspa hanya ingin yang terbaik untuk semuanya. Bahkan, sebenarnya ide ini Puspa yang mengusulkan ke Mas Gilang.”

“Nduk, kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak perlu melakukannya, Puspa. Ibu dan Romo sama sekali tidak pernah mempermasalahkan meski kamu belum memiliki momongan. Karena semua itu Gusti Allo yang atur,” ujar Bu Inggit. Ada nada kecewa yang terdengar jelas dalam suaranya. “Sebelum semuanya terlambat, tolong, Nduk. Kamu pikirkan ulang semuanya. Jangan kesusu, jangan keburu napsu.”

“Puspa sudah memikirkan segala sesuatunya, Bu. Puspa juga sudah yakin dengan keputusan yang Puspa ambil ini,” sahut Puspa berusaha tegar dan tetap tersenyum. “Bu, Puspa benar-benar minta maaf kalau membuat Ibu dan Romo kecewa. Tapi, Puspa tidak punya pilihan lain. Puspa hanya tidak mau kalau sampai keluarga kita kewirangan, Bu. Puspa tidak mau kalau sampai ada orang yang mengolok-olok keluarga kita hanya lantaran Puspa masih belum bisa memberi Ibu dan Romo cucu.”

“Tapi, Nduk ... poligami itu tidak mudah,” kata Bu Inggit dengan tatapan penuh keprihatinan. “Puspa, hati wanita mana yang tidak akan hancur saat melihat suami yang dicintai berbagi perhatian, berbagi kasih sayang? Tidak ada, Puspa. Sehebat dan sekuat apa pun seorang perempuan dia tidak bisa mendustai hatinya sendiri.”

Puspa menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. “Bu, orang yang akan menjadi madu Puspa bukanlah orang luar. Dia adalah orang terdekat kita, yaitu Jasmin. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir.”

Mendengar nama Jasmin disebut, Bu Inggit dan Pak Soeryadi semakin tidak habis pikir. Mata mereka membulat, dan keheningan kembali menyelimuti ruangan sejenak.

“Jasmin?” Bu Inggit bertanya dengan nada tidak percaya. “Kalian benar-benar sudah memikirkan ini dengan matang?”

Puspa mengangguk pelan. “Sudah, Bu. Puspa dan Mas Gilang sudah memikirkan semua ini dengan sangat hati-hati. Jasmin adalah orang yang kami percaya.”

Bu Inggit menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. “Puspa, meskipun madumu bukan orang luar, tetap saja tidak menutup kemungkinan ia akan merebut Gilang sepenuhnya darimu. Hati manusia tidak ada yang tahu, Nduk.”

Pak Soeryadi mengangguk setuju. “Jasmin mungkin bukan orang luar, tapi perasaan dan tabiatnya bisa berubah seiring waktu. Bagaimana kalau nanti justru rumah tangga kalian yang berantakan? Bagaimana kalau kamu salah menilai Jasmin? Apa kalian rela kalau harus bercerai?”

ab 10

Suasana pagi itu terasa begitu dingin dan berkabut. Keletik sisa hujan semalam masih tersisa pada dedaunan, menetes perlahan seperti butiran mutiara yang berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai terbit.

Di dapur rumah yang penuh dengan aroma rempah-rempah, Bu Inggit dan menantu kesayangannya, Puspa, sibuk memasak berbagai hidangan untuk sang suami tercinta. Mereka berdua tampak kompak dan harmonis, saling membantu dengan canda tawa kecil di sela-sela kegiatan memasak. Puspa, dengan senyum yang selalu mengembang di wajahnya, mengaduk sayur lodeh sementara Bu Inggit memeriksa nasi liwet yang sudah hampir matang.

Tak lama kemudian, Pak Soeryadi masuk ke dapur, tertarik oleh aroma masakan yang begitu harum. “Wah, pagi ini sepertinya kita akan makan enak sekali,” katanya sambil tersenyum lebar, memuji hasil kerja istri dan menantunya.

Pak Soeryadi memandangi meja makan yang sudah mulai dipenuhi berbagai hidangan lezat. “Ibu dan Puspa benar-benar hebat. Aroma masakan kalian bisa membuat perut siapa saja keroncongan,” pujinya Pak Soeryadi tulus.

Gilang, yang baru masuk ke ruang makan ikut tersenyum mendengar pujian ayahnya. Pak Soeryadi menepuk pundak Gilang dengan bangga. “Gilang, kamu benar-benar beruntung mendapatkan istri seperti Puspa. Selain cantik, dia juga pandai memasak. Kamu tidak salah pilih, Nak. Seperti romo ini yang tidak salah memilih ibumu.”

Gilang mengangguk, wajahnya memancarkan kebanggaan yang tak tersembunyi. “Tentu saja, Romo. Gilang kan anak Romo, sudah pasti Gilang mengikuti jejak Romo,” jawab Gilang sambil tersenyum kepada istrinya yang saat itu sedang menata piring di meja makan.

Puspa pun tersenyum malu, merasa tersanjung dengan pujian yang dilontarkan oleh ayah mertuanya. Namun, di balik senyum itu, hatinya masih berdebar-debar, mengingat percakapan yang akan terjadi saat sarapan nanti. Meski suasana pagi itu penuh kehangatan dan kebersamaan, ada perasaan cemas yang menggelayuti pikirannya.

Mereka semua duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan yang telah disiapkan dengan penuh cinta. Hujan semalam telah berhenti, tetapi sisa-sisanya masih terasa di udara dingin yang menyelimuti pagi itu.

Dalam kehangatan keluarga dan aroma makanan yang sedap, Puspa dan Gilang tahu bahwa momen ini akan segera diwarnai oleh percakapan penting yang akan menentukan arah masa depan mereka.

Pagi itu, suasana di meja makan begitu hangat dan penuh canda tawa. Pak Soeryadi tak henti memuji hidangan yang disiapkan oleh Puspa dan istrinya yang begitu nikmat, sementara aroma masakan menguar di udara, menambah selera makan mereka. Bu Inggit dan Pak Soeryadi duduk di hadapan Gilang dan Puspa, menikmati masakan yang telah disiapkan dengan penuh cinta.

Namun, kehangatan itu segera berubah ketika Gilang mulai membuka percakapan yang serius. Dengan suara yang bergetar namun penuh ketegasan, ia berkata, “Ibu, Romo, ada sesuatu yang penting yang ingin Gilang sampaikan.”

Pak Soeryadi dan Bu Inggit berhenti makan, perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada Gilang. “Ada apa, Nak?” tanya Bu Inggit dengan nada penasaran. “Memangnya apa yang ingin kamu bicarakan sampai tampak serius begitu.”

Gilang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Bu, Gilang dan Puspa sudah membuat kesepakatan. Gilang akan menikah lagi.”

Mendengar berita yang tak pernah disangka itu, Pak Soeryadi dan Bu Inggit terkejut bukan kepalang. Mereka menghentikan aktivitas makannya, garpu dan sendok mereka jatuh dengan bunyi nyaring ke piring. Tatapan tajam mereka langsung tertuju ke arah Gilang, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan.

Pak Soeryadi dengan nada suara yang bergetar menahan emosi, bertanya, “Gilang, apakah kamu serius dengan yang baru saja kamu katakan?”

Dengan tegas dan tandas Gilang menjawab, “Benar Romo. Gilang serius. Kami sudah mempertimbangkannya dengan matang. Gilang berencana untuk menikah lagi karena hanya dengan cara itulah Gilang bisa segera memiliki keturunan. Puspa sudah setuju, bahkan dia yang mencarikan madu untuk Gilang.”

Keheningan yang mencekam menyelimuti meja makan. Bu Inggit menatap Puspa dengan mata yang berkaca-kaca, sementara Pak Soeryadi mengepalkan tangannya, berusaha menenangkan diri dari amarah yang mulai membara di dadanya. Puspa hanya bisa menunduk, merasa berat dengan keputusan yang telah mereka ambil.

“Gilang, apa kamu benar-benar berpikir kalau ini adalah solusi terbaik?” tanya Pak Soeryadi dengan suara yang bergetar. “Apakah kamu sadar betapa besar keputusan ini?”

Gilang mengangguk pelan. “Gilang tahu, Romo. Tapi kami sudah mencoba berbagai cara, Romo tau sendiri bahkan bayi tabung juga gagal dan ini adalah jalan terakhir yang kami pikirkan. Kami mohon pengertian dan restu dari Ibu dan Romo.”

Bu Inggit terdiam, air mata tampak mengambang di pelupuk matanya. “Puspa, apa benar kamu setuju dengan ini, Nduk?” tanyanya lirih.

Puspa mengangguk pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Nggeh, Bu. Puspa hanya ingin yang terbaik untuk semuanya. Bahkan, sebenarnya ide ini Puspa yang mengusulkan ke Mas Gilang.”

“Nduk, kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak perlu melakukannya, Puspa. Ibu dan Romo sama sekali tidak pernah mempermasalahkan meski kamu belum memiliki momongan. Karena semua itu Gusti Allo yang atur,” ujar Bu Inggit. Ada nada kecewa yang terdengar jelas dalam suaranya. “Sebelum semuanya terlambat, tolong, Nduk. Kamu pikirkan ulang semuanya. Jangan kesusu, jangan keburu napsu.”

“Puspa sudah memikirkan segala sesuatunya, Bu. Puspa juga sudah yakin dengan keputusan yang Puspa ambil ini,” sahut Puspa berusaha tegar dan tetap tersenyum. “Bu, Puspa benar-benar minta maaf kalau membuat Ibu dan Romo kecewa. Tapi, Puspa tidak punya pilihan lain. Puspa hanya tidak mau kalau sampai keluarga kita kewirangan, Bu. Puspa tidak mau kalau sampai ada orang yang mengolok-olok keluarga kita hanya lantaran Puspa masih belum bisa memberi Ibu dan Romo cucu.”

“Tapi, Nduk ... poligami itu tidak mudah,” kata Bu Inggit dengan tatapan penuh keprihatinan. “Puspa, hati wanita mana yang tidak akan hancur saat melihat suami yang dicintai berbagi perhatian, berbagi kasih sayang? Tidak ada, Puspa. Sehebat dan sekuat apa pun seorang perempuan dia tidak bisa mendustai hatinya sendiri.”

Puspa menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. “Bu, orang yang akan menjadi madu Puspa bukanlah orang luar. Dia adalah orang terdekat kita, yaitu Jasmin. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir.”

Mendengar nama Jasmin disebut, Bu Inggit dan Pak Soeryadi semakin tidak habis pikir. Mata mereka membulat, dan keheningan kembali menyelimuti ruangan sejenak.

“Jasmin?” Bu Inggit bertanya dengan nada tidak percaya. “Kalian benar-benar sudah memikirkan ini dengan matang?”

Puspa mengangguk pelan. “Sudah, Bu. Puspa dan Mas Gilang sudah memikirkan semua ini dengan sangat hati-hati. Jasmin adalah orang yang kami percaya.”

Bu Inggit menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. “Puspa, meskipun madumu bukan orang luar, tetap saja tidak menutup kemungkinan ia akan merebut Gilang sepenuhnya darimu. Hati manusia tidak ada yang tahu, Nduk.”

Pak Soeryadi mengangguk setuju. “Jasmin mungkin bukan orang luar, tapi perasaan dan tabiatnya bisa berubah seiring waktu. Bagaimana kalau nanti justru rumah tangga kalian yang berantakan? Bagaimana kalau kamu salah menilai Jasmin? Apa kalian rela kalau harus berce

Kisah lengkapnya baca di KBM APP

Judul : Madu Pilihan Istriku
By : Mommy Denti

Address

Surabaya

Telephone

+82217639669

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Tika Santika posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Tika Santika:

Share