Fauna Stories

Fauna Stories Fakta,Fiksi (cerpen, fabel) Hiburan dan Edukasi menarik hewan di alam bebas

Jangan Baper😁

Di sebuah kompleks sederhana di pinggiran kota, hidup belasan kucing liar. Mereka berkeliaran dari satu rumah ke rumah l...
23/08/2025

Di sebuah kompleks sederhana di pinggiran kota, hidup belasan kucing liar. Mereka berkeliaran dari satu rumah ke rumah lain, mencari sisa makanan, atau tidur di bawah mobil yang terparkir.

Di antara semua kucing itu, ada seekor yang paling menonjol, seekor kucing belang cokelat dengan mata kanan buta dan jalan pincang. Warga menyebutnya Si Belang.

Tubuhnya kurus, bulunya kusam, namun tatapannya tegas. Setiap sore, Si Belang selalu muncul saat Bu Ratna, seorang ibu paruh baya, keluar dengan nampan berisi nasi campur ikan asin. Meski jalannya tertatih, Si Belang selalu paling duluan datang, mengeong panjang seakan ingin berkata: “Aku masih ada. Jangan lupakan aku.”

Bagi Bu Ratna, Si Belang adalah lambang keteguhan. “Kasihan ya, meski cacat begitu, dia tetap bertahan hidup,” gumamnya sambil meletakkan makanan.

Namun, tidak semua orang melihat dari kacamata yang sama.

Pak Jaya, tetangga seberang, justru merasa hidupnya terganggu. Ia sering kali menemukan bau pesing di halaman rumahnya. Suatu pagi, ia hampir terpeleset karena menginjak kotoran di teras.

“Saya bayar iuran kebersihan tiap bulan, tapi tiap hari harus nyium bau kotoran kucing! Apa-apaan ini?” gerutunya.

Ia paling kesal dengan Si Belang. “Kucing itu yang paling sering nongkrong depan rumah saya. Mungkin dia yang pup sembarangan!”

Ketegangan itu tak hanya berhenti di antara Bu Ratna dan Pak Jaya. Warga lain ikut terbelah.

Bu Tuti, penjual kue di ujung gang, membela Bu Ratna.

“Pak Jaya, jangan terlalu keras. Kucing-kucing itu lapar, masa kita tega biarin kelaparan? Lagip**a, memberi makan hewan itu ibadah.”

Pak Darto, satpam kompleks, justru sependapat dengan Pak Jaya.

“Kalau terus begini, lingkungan jadi jorok. Saya tiap malam patroli, lihat sendiri kucing-kucing itu bongkar tong sampah. Besoknya saya yang disuruh bersihin. Nggak adil, Bu Ratna cuma kasih makan, kami yang beresin sisanya.”

Sementara itu, Ibu Yuni, seorang ibu muda, lebih khawatir pada anak-anaknya.

“Anak saya masih kecil, sering main di depan rumah. Kalau ada kotoran kucing, kan bahaya. Bisa bawa penyakit. Saya nggak benci kucing, tapi saya juga harus jaga kesehatan anak.”

Namun Pak Hasyim, ketua RT yang bijak, mencoba menengahi.

“Saudara-saudaraku, kita harus lihat dua sisi. Betul, kucing juga makhluk Tuhan. Tapi kebersihan lingkungan juga penting. Kita jangan saling salahkan dulu. Mari cari solusi bersama.”

Akhirnya, Pak Hasyim mengadakan pertemuan sederhana di balai kecil kompleks. Beberapa kursi plastik ditata, warga berkumpul. Suasana agak tegang.

“Begini, masalah kucing liar ini sudah bikin resah. Ada yang merasa kasihan, ada yang merasa terganggu. Kita nggak bisa terus bertengkar. Kita butuh jalan tengah,” kata Pak Hasyim membuka pembicaraan.

Pak Jaya langsung angkat tangan.

“Jalan tengah bagaimana, Pak RT? Mau sampai kapan? Jumlah kucing makin banyak, kotorannya makin parah. Kalau Bu Ratna mau kasih makan, ya sekalian urus kotorannya! Jangan cuma kasih makan terus ditinggal.”

Bu Ratna menggenggam ujung jariknya erat. Suaranya pelan tapi mantap.

“Pak, saya ini cuma ibu rumah tangga. Saya kasihan sama mereka. Saya nggak bisa diam melihat kucing-kucing itu lapar. Kalau soal kebersihan, saya siap belajar. Tolong jangan anggap saya nggak peduli.”

Beberapa warga mulai berbisik, sebagian mendukung, sebagian menggeleng.

Di tengah perdebatan itu, datanglah seorang pemuda dari komunitas pecinta hewan, bernama Andi, bersama dua rekannya. Mereka membawa brosur, wadah makan, dan pasir.

“Maaf, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya sopan.

Pak Hasyim mempersilakan.

Andi berdiri, menjelaskan dengan tenang.

“Memberi makan kucing itu baik, tapi kalau sembarangan, memang bisa mengganggu. Ada cara sederhana, taruh makanan di wadah tertentu, bersihkan sisa setelahnya, dan sediakan pasir untuk kotoran. Selain itu, ada program sterilisasi murah supaya jumlah kucing tidak terus bertambah.”

Warga mulai terdiam. Pak Jaya menyipitkan mata, masih ragu. “Kalau pun ada wadah, tetap aja mereka bisa pup sembarangan.”

Andi menunjuk Si Belang, yang kebetulan duduk diam di bawah kursi Bu Ratna. Dengan satu mata yang tersisa, kucing itu menatap sekeliling. Tubuhnya kurus, namun tatapannya kuat.

“Pak, Bu, lihatlah kucing ini. Apa dia minta dilahirkan di jalanan? Tidak. Tapi kita manusia, yang punya akal, bisa memilih bagaimana memperlakukan mereka dengan marah, atau dengan bijak.”

Ruangan hening, bahkan Pak Jaya terdiam. Tatapan pasrah Si Belang entah bagaimana membuatnya merasa luluh.

Sejak hari itu, kesepakatan kecil lahir.

Bu Ratna tetap memberi makan, tapi hanya di sudut tertentu.

Wadah makan dan pasir disediakan, dibersihkan rutin.

Komunitas hewan membantu sterilisasi kucing.

Warga ikut bergiliran menjaga kebersihan sekitar.

Pak Jaya masih s**a mengomel, tapi ia tak lagi sekeras dulu. Diam-diam, ia bahkan pernah melemparkan sisa ikan ke arah Si Belang ketika tak ada yang melihat.

Suatu pagi, saat hendak berangkat kerja, ia melihat Si Belang duduk diam di tepi jalan, menatapnya dengan tenang. Ia menghela napas, lalu berkata lirih

“Hiduplah selama kau bisa, Belang. Kau nggak minta dilahirkan jadi kucing liar, kan?”

Di sore yang hangat, Si Belang tetap mengeong setiap kali Bu Ratna keluar membawa nampan plastik. Kini, ia bukan sekadar kucing liar. Ia telah menjadi simbol bahwa kasih sayang dan kenyamanan bisa berjalan berdampingan, asal manusia mau membuka hati dan mencari jalan tengah.







Di sebuah kompleks perumahan sederhana di pinggir kota, kehidupan tidak hanya milik manusia. Ada sekelompok kucing liar ...
19/08/2025

Di sebuah kompleks perumahan sederhana di pinggir kota, kehidupan tidak hanya milik manusia. Ada sekelompok kucing liar yang berkeliaran, entah datang dari mana. Bulunya kusam, tubuhnya kurus, beberapa pincang, sebagian matanya belekan. Mereka tidur di bawah mobil, di pojok tangga, atau di kursi kayu dekat warung.

Setiap sore, Bu Ratna keluar dengan nampan plastik berisi nasi dicampur ikan asin. Usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya gemuk, langkahnya agak tertatih. Begitu suara pintu rumahnya berderit, kucing-kucing itu berlarian. Ada yang mengeong panjang, ada yang melompat, ada p**a yang menggesekkan badan ke kakinya.

“Pelan-pelan, Nak… semua kebagian,” ucap Bu Ratna sambil tersenyum. Hatinya selalu meleleh melihat wajah lapar makhluk-makhluk kecil itu.

Namun, pemandangan berbeda terjadi di rumah Pak Jaya, tetangga tepat di seberangnya. Halaman rumahnya sering berantakan oleh jejak kaki kucing, kadang penuh bau pesing, bahkan kotoran. Pagi-pagi, saat hendak berangkat kerja, ia pernah hampir menginjak gundukan kotoran di teras. Sejak itu, kesalnya menumpuk.

“Beginilah, kalau cuma dikasih makan tapi nggak diurus! Rumah jadi kayak kandang kucing,” gerutunya keras, sengaja agar Bu Ratna mendengar.

Tetangga lain mulai terbelah. Ada yang sependapat dengan Pak Jaya, kucing liar hanya bikin ribet, lebih baik diusir. Ada p**a yang membela Bu Ratna, kucing juga makhluk Tuhan, mereka lapar, masa dibiarkan?

Suatu sore, pertengkaran kecil pecah di depan rumah.

“Bu Ratna, saya mohon! Kalau mau kasih makan, sekalian urus kotorannya! Jangan dibiarkan sembarangan,” suara Pak Jaya meninggi, wajahnya merah.

Bu Ratna menunduk. Ia menggenggam erat nampan plastiknya. “Pak Jaya, saya paham… tapi mereka lapar. Kalau saya diam saja, apa tidak lebih kejam?” suaranya bergetar.

Pak Jaya mendengus. “Kasih makan itu gampang. Tapi setelahnya? Bau pesing, kotoran… siapa yang bersihin? Mereka itu bukan peliharaan, Bu! Itu hama!”

Kata ‘hama’ menusuk hati Bu Ratna. Malam itu, ia duduk di teras rumah, sendirian. Seekor kucing kecil mendekat, tubuhnya kurus, matanya berair. Dengan gemetar, Bu Ratna mengelus kepala kucing itu. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.

“Tuhan, kenapa menyayangi mereka dianggap salah?” bisiknya lirih.

Hari-hari berikutnya, ketegangan makin terasa. Beberapa tetangga mulai sinis setiap melihat Bu Ratna memberi makan kucing. Ada yang sengaja menutup pintu keras-keras, ada yang mengeluh soal bau.

Namun diam-diam, anak bungsu Bu Ratna yang masih SMA mencari solusi. Ia menghubungi sebuah komunitas pecinta hewan melalui media sosial. Beberapa hari kemudian, seorang pemuda bernama Andi datang bersama dua rekannya. Mereka membawa wadah makan plastik, kantong pasir, dan brosur kecil.

“Bu, memberi makan kucing itu mulia. Tapi kalau hanya asal, memang bisa menimbulkan masalah. Ada cara yang lebih bijak,” jelas Andi. Ia mengajarkan agar makanan ditaruh di wadah khusus, tidak tercecer. Sisa makanan dibersihkan setelah kucing selesai. Pasir diletakkan di pojok tertentu untuk tempat kucing buang kotoran.

Selain itu, mereka menawarkan program sterilisasi murah untuk mengendalikan pop**asi. “Kalau jumlahnya tidak dibatasi, masalah pasti berulang. Bukan salah Bu Ratna, tapi memang begitu siklusnya,” katanya tenang.

Awalnya, Pak Jaya menolak mentah-mentah. Ia sudah telanjur kesal. Namun ketika melihat Andi dan kawan-kawannya mulai membersihkan area makan kucing dan memberi edukasi, amarahnya sedikit mereda.

“Maksud saya cuma satu. Jangan sampai kenyamanan kami, para tetangga, dikorbankan,” katanya akhirnya, dengan nada lebih pelan.

Sejak itu, pelan-pelan perubahan terjadi. Wadah makan dipasang di sudut tertentu, pasir kucing dibersihkan rutin, dan beberapa kucing sudah dijadwalkan untuk disteril. Bu Ratna tetap memberi makan, tapi kini dengan cara yang lebih teratur. Pak Jaya, meski masih sering mengomel, sudah jarang marah-marah.

Kucing-kucing liar itu masih ada, masih mengeong setiap sore menunggu Bu Ratna. Bedanya, kini mereka tidak lagi jadi sumber pertengkaran besar. Mereka menjadi pengingat bahwa kasih sayang dan kenyamanan bisa berjalan berdampingan—asal manusia mau membuka hati dan mencari jalan tengah.






Aku tahu, kehadiranku tak pernah kau sambut.Setiap kali aku hinggap, kau mengibaskan tangan, seolah aku hanyalah penggan...
18/08/2025

Aku tahu, kehadiranku tak pernah kau sambut.
Setiap kali aku hinggap, kau mengibaskan tangan, seolah aku hanyalah pengganggu tanpa arti.

Aku memang bukan kupu-kupu dengan sayap indah, aku pun tak memiliki warna yang memesona. Tapi aku ada untuk menjaga keseimbangan dunia. Aku singgah di sisa kehidupan, merapikan yang ditinggalkan, agar alam tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Kau jijik padaku, kau anggap aku kotor. Padahal, tanpa aku dan kawanku, bumi akan dipenuhi tumpukan yang tak pernah hilang. Aku adalah pekerja kecil, tanpa ucapan terima kasih, tanpa pujian.

Namun aku tidak menuntut apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu, bahkan makhluk sekecil aku pun punya tugas dari semesta.

Jadi meski kau terus mengusirku, aku akan tetap terbang, setia pada peranku karena aku tahu, arti hidup bukan diukur dari indahnya rupa, tapi dari manfaat yang bisa diberikan.




Di ujung ranting, seekor belalang sembah berdiri. Kedua lengannya terlipat rapi, seolah sedang berdoa. Banyak manusia me...
18/08/2025

Di ujung ranting, seekor belalang sembah berdiri. Kedua lengannya terlipat rapi, seolah sedang berdoa. Banyak manusia menganggapnya aneh, sebagian lain hanya menertawakan.

Padahal, apa yang ia lakukan tak jauh berbeda dari manusia sendiri.
Setiap hari, ia harus berjuang. Menangkap mangsa, bukan karena kejam, tapi karena lapar. Diam dan menunggu, bukan karena malas, tapi karena itu satu-satunya cara bertahan.

Bukankah manusia pun begitu?
Kita bekerja keras, terkadang saling bersaing, terkadang harus “menangkap kesempatan” sebelum hilang. Kita juga sering berdiri dalam diam, menyembunyikan letih, hanya bisa berdoa agar esok lebih baik.

Belalang sembah itu tetap tegak di rantingnya, meski angin mengguncang. Sama seperti manusia yang tetap berdiri meski hidup sering goyah.

Mungkin itulah alasan Tuhan menciptakannya dengan postur berdoa: untuk mengingatkan kita, bahwa sekecil apa pun makhluk, tetap punya cara sendiri untuk berjuang… dan untuk berharap.






Di celah tanah yang retak, seekor semut kecil berjalan tergopoh-gopoh. Di rahangnya, ia membawa remah roti yang ukuranny...
17/08/2025

Di celah tanah yang retak, seekor semut kecil berjalan tergopoh-gopoh. Di rahangnya, ia membawa remah roti yang ukurannya tiga kali lebih besar dari tubuhnya. Setiap langkah gemetar, tapi ia terus maju. Ia tahu, di ujung perjalanan ada ratusan saudaranya yang menunggu makanan.

Baginya, hidup bukan tentang dirinya sendiri. Hidupnya adalah tentang berbagi, tentang memberi kekuatan pada koloni, tentang menjaga agar generasi berikutnya tetap hidup.

Di tengah perjalanan, semut lain sempat menegurnya,
“Kenapa kau tak lepaskan saja? Beban itu terlalu besar untukmu.”
Tapi ia hanya tersenyum lirih, lalu menjawab dengan langkahnya: “Setiap remah kecil bisa menyelamatkan banyak jiwa.”

Matahari makin terik. Kakinya nyaris tak sanggup, namun bayangan sarang selalu menjadi arah p**ang. Sampai akhirnya… sebuah bayangan besar menutupi jalannya.

Sebuah sepatu manusia melintas. Bagi manusia, itu hanyalah langkah biasa. Tapi bagi semut kecil, itu adalah tembok hitam yang bisa merenggut seluruh harapan. Dalam sekejap, tubuh mungilnya terhenti.

Manusia itu berlalu, tak sadar ada kehidupan yang berakhir di bawah langkahnya. Tak ada yang mendengar jeritannya, tak ada yang tahu betapa besar perjuangannya.

Di dalam sarang, semut-semut menunggu. Mereka menatap lorong tanah, berharap sang pembawa remah segera p**ang. Malam pun tiba, tapi sosok kecil itu tak kunjung kembali.

Mungkin ia telah tiada, tapi warisannya tetap ada. Karena remah terakhir yang ia bawa sempat terjatuh sebelum langkah raksasa menghentikannya. Remah itu akhirnya ditemukan oleh semut lain, lalu dibawa masuk ke sarang.

Berkat pengorbanan itu, anak-anak semut masih bisa makan malam itu.

Dan di tanah yang sunyi, tersisa satu pesan yang tak pernah terdengar oleh telinga manusia:
“Sekecil apa pun makhluk, ia tetap punya arti. Kadang yang kita anggap remeh, diam-diam adalah pahlawan tanpa nama.”






Di balik sikap cueknya, kucing liar ternyata menyimpan kebiasaan yang bisa dibilang sopan.Setiap kali buang air, ia tak ...
22/07/2025

Di balik sikap cueknya, kucing liar ternyata menyimpan kebiasaan yang bisa dibilang sopan.

Setiap kali buang air, ia tak pernah pergi begitu saja.

Ia akan berhenti sejenak, menoleh kanan-kiri lalu mulai menguruk tanah.

Bukan karena jijik. Bukan juga karena ingin bersih.

Tapi ini soal bertahan hidup.

Menimbun kotoran berarti menyembunyikan bau.

Karena di alam, satu aroma saja bisa mengundang bahaya pemangsa, rival, atau musuh yang lebih besar.

Di dunia kucing, bersembunyi bukan pengecut. Tapi strategi.

Dan siapa sangka, di balik gerakan kecil itu… ada insting bertahan yang luar biasa.
Menurut kamu, ini sopan atau taktik jenius?





Di tengah heningnya malam hutan, seekor katak menanti dengan diam yang penuh harap.Di hadapannya, seekor jangkrik melomp...
21/07/2025

Di tengah heningnya malam hutan, seekor katak menanti dengan diam yang penuh harap.

Di hadapannya, seekor jangkrik melompat... dan dalam sekejap, mulut katak terbuka menelan dalam satu gerakan.

Tapi yang tak banyak orang tahu... saat itu, matanya ikut menutup perlahan.

Bukan karena nikmat, bukan karena mengantuk.

Tapi karena dia butuh bantuan.

Katak tak bisa mengunyah, dan bola matanya ya, matanya sendiri harus turun ke dalam rongga mulut,
menekan makanan agar masuk ke tenggorokan.

Bayangkan… harus menggunakan mata untuk sekadar bisa makan.

Di dunia manusia, kita mungkin menganggap itu aneh...
Tapi di alam, itu cara hidup.

Semua makhluk berjuang, bahkan dengan bagian tubuh yang tak kita sangka.



Di balik reputasinya yang dianggap menjijikkan, lalat sebenarnya adalah pembersih alami yang sangat penting bagi ekosist...
21/07/2025

Di balik reputasinya yang dianggap menjijikkan, lalat sebenarnya adalah pembersih alami yang sangat penting bagi ekosistem.

Lalat rumah (Musca domestica), seperti yang sering kita temui di dapur atau tempat sampah, punya tugas khusus di alam: menguraikan sampah organik, bangkai, dan kotoran. Mereka membantu mempercepat proses pembus**an dengan cara memakannya dan membawa mikroorganisme pengurai ke berbagai tempat.

Meskipun ini membuat mereka terlihat "kotor", sebenarnya keberadaan lalat berperan besar dalam mencegah penumpukan limbah biologis di lingkungan.

Lalat tidak menggigit, tapi mereka bisa membawa bakteri karena sering hinggap dari satu permukaan ke permukaan lain, termasuk dari tempat sampah ke makanan. Itulah kenapa menjaga kebersihan rumah tetap penting, bukan karena lalatnya jahat, tapi karena mereka cuma menjalankan tugasnya.

Fakta menarik lainnya:
Lalat punya penglihatan 360 derajat, kemampuan terbang yang sangat cepat dan refleks luar biasa. Mereka bisa menghindari serangan tangan manusia hanya dalam sepersekian detik.

Dan ya, seperti di gambar lalat juga kawin, bahkan di tempat umum! Itu karena lalat hanya hidup selama beberapa minggu, jadi mereka tidak bisa buang waktu. Proses kawin penting untuk melanjutkan generasi baru yang akan mengambil alih tugas sebagai pembersih berikutnya.

Kalau kamu lihat lalat, ingatlah:
Mereka bukan hanya pengganggu, mereka juga bagian dari sistem kebersihan alami bumi.
Tugas kita sebagai manusia?
Jaga makanan tetap tertutup dan jaga lingkungan tetap bersih, agar lalat tak perlu ikut campur.




Hujan gerimis jatuh seperti luka-luka kecil yang menimpa dada Rudi. Sore itu, ia baru saja mengambil pesanan nasi padang...
19/07/2025

Hujan gerimis jatuh seperti luka-luka kecil yang menimpa dada Rudi. Sore itu, ia baru saja mengambil pesanan nasi padang dari sebuah rumah makan yang sesak dan lambat. Pelanggan di aplikasi terus mengirim pesan, satu per satu muncul:

"Mas, udah jalan belum?"
"Saya laper dari tadi, jangan lama-lama d**g."

Rudi mengecek helmnya, memastikan plastik makanan aman di cantelan motor, lalu tancap gas. Ia tahu betul, pelanggan seperti ini bisa bikin rating hancur hanya dengan satu sentuhan jari. Satu bintang bisa menjatuhkan harapan.

Di tikungan dekat taman kota, saat kecepatan motor makin kencang, seekor kucing kecil berlari dari semak. Rudi sempat menjerit pelan. “Astaga!”

Brakk!
Motor oleng, plastik makanan terayun, Rudi hampir jatuh.

Ia berhenti. Napasnya tercekat. Di belakang, kucing oranye itu tergeletak, matanya memelas, tubuhnya menggigil kedinginan, dan kakinya tertekuk tak wajar.

"Astagfirullah... kamu kenapa sih, muncul tiba-tiba..." gumam Rudi, suaranya nyaris pecah. Ia berjongkok, tangan gemetar menyentuh tubuh kecil yang masih hidup. Kucing itu mengeong lirih, seperti meminta tolong, bukan menuduh.

Lalu ponselnya bergetar.

Panggilan.

"Mas! Udah nyampek mana? Dari tadi saya nungguin!
"Saya... saya di jalan, tadi ada..."
"Alasan! Biar bintang yang bicara mas!"

Klik. Sambungan terputus.

Notifikasi muncul:
“Kamu baru saja mendapat rating 1 bintang.”

Rudi duduk diam di pinggir jalan. Hujan mulai membasahi punggungnya. Di hadapannya, seekor kucing kecil menatap dengan mata besar yang basah. Tubuhnya menggigil. Di dadanya, bukan rasa marah yang tumbuh, tapi sesak... karena semua ini bukan salah siapa-siapa, dan tetap saja, ia yang disalahkan.

Ia tahu, ratingnya akan turun. Bonus harian bisa hilang. Tapi entah kenapa, ia tak bisa meninggalkan makhluk kecil itu begitu saja.

Dengan hati-hati, ia sobek kardus dari tempat sampah warung. Ia taruh kucing itu di dalam, lalu membawanya berteduh di pos ronda. Tangannya dingin, lututnya lemas. Ia peluk tubuh kecil itu sepanjang malam. Ia hanya punya sedikit uang, tapi besok pagi ia akan cari klinik hewan yang mau bantu.

Dua hari kemudian, Oyen nama yang Rudi berikan mulai bisa berdiri lagi, meski masih pincang. Kucing itu terus mengeong jika ditinggal terlalu lama. Dan setiap malam, Oyen tidur melingkar di dada Rudi, mendengkur seperti tahu siapa yang menyelamatkannya.

Rudi masih bekerja. Masih ada pelanggan yang marah, yang menuntut cepat, yang tak peduli alasan. Tapi sejak hari itu, Rudi belajar bahwa tak semua penilaian dari manusia mencerminkan nilainya sebagai manusia.

Kadang, satu bintang... bisa membuka hati untuk satu kehidupan.

---




Dulu, aku adalah nyanyian pagi di hutan yang belum terluka.Aku, si kacer jantan, melompat dari dahan ke dahan, membelah ...
05/07/2025

Dulu, aku adalah nyanyian pagi di hutan yang belum terluka.

Aku, si kacer jantan, melompat dari dahan ke dahan, membelah kabut dengan kicauan yang menusuk sunyi. Di pucuk-pucuk ranting, aku menyanyikan cinta untuk betinaku yang setia menunggu di sarang. Kami tidak punya banyak, hanya langit luas dan dedaunan rindang, tapi kami bahagia.

Hutan tempatku lahir dulu penuh riuh. Ada suara sungai yang berlari, daun-daun yang saling berbisik, dan burung-burung lain yang bernyanyi dalam irama yang tak pernah diajarkan siapa pun. Itu rumah kami liar, bebas, dan hidup.

Tapi hari ini, aku bernyanyi sendiri.

Dahan tempat biasa kami bersarang kini patah. Semak tempat anak-anakku belajar terbang berubah jadi jalan setapak. Dan udara pagi yang dulu harum tanah basah kini berbau asap dan besi.

Satu per satu kawanku menghilang. Ada yang tak kembali dari jerat logam yang tersembunyi di tanah. Ada yang dibungkam, dibawa jauh, katanya untuk dipamerkan di pasar atau dilatih jadi suara hiburan manusia.

Mereka bilang kicauku merdu.

Tapi suara ini bukan untuk sangkar. Suara ini bukan untuk sayembara. Ini adalah doa. Nyanyian sunyi tentang kerinduan pada rumah yang tak lagi ada.

Kini, aku terbang rendah, sendirian.

Langit masih biru, tapi tak lagi ramah. Ranting masih tumbuh, tapi tak cukup untuk bersarang. Aku menyanyikan lagu yang mungkin tak akan didengar siapa-siapa lagi lagu tentang hutan yang tinggal kenangan.

Jika kau mendengarku pagi ini, jangan hanya dengarkan suaraku. Dengarlah rindu yang tersembunyi di baliknya.

Aku, burung kacer terakhir dari dahan sepi, hanya ingin bernyanyi... sebelum semuanya benar-benar sunyi.






Address

Surabaya

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Fauna Stories posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share