
23/08/2025
Di sebuah kompleks sederhana di pinggiran kota, hidup belasan kucing liar. Mereka berkeliaran dari satu rumah ke rumah lain, mencari sisa makanan, atau tidur di bawah mobil yang terparkir.
Di antara semua kucing itu, ada seekor yang paling menonjol, seekor kucing belang cokelat dengan mata kanan buta dan jalan pincang. Warga menyebutnya Si Belang.
Tubuhnya kurus, bulunya kusam, namun tatapannya tegas. Setiap sore, Si Belang selalu muncul saat Bu Ratna, seorang ibu paruh baya, keluar dengan nampan berisi nasi campur ikan asin. Meski jalannya tertatih, Si Belang selalu paling duluan datang, mengeong panjang seakan ingin berkata: “Aku masih ada. Jangan lupakan aku.”
Bagi Bu Ratna, Si Belang adalah lambang keteguhan. “Kasihan ya, meski cacat begitu, dia tetap bertahan hidup,” gumamnya sambil meletakkan makanan.
Namun, tidak semua orang melihat dari kacamata yang sama.
Pak Jaya, tetangga seberang, justru merasa hidupnya terganggu. Ia sering kali menemukan bau pesing di halaman rumahnya. Suatu pagi, ia hampir terpeleset karena menginjak kotoran di teras.
“Saya bayar iuran kebersihan tiap bulan, tapi tiap hari harus nyium bau kotoran kucing! Apa-apaan ini?” gerutunya.
Ia paling kesal dengan Si Belang. “Kucing itu yang paling sering nongkrong depan rumah saya. Mungkin dia yang pup sembarangan!”
Ketegangan itu tak hanya berhenti di antara Bu Ratna dan Pak Jaya. Warga lain ikut terbelah.
Bu Tuti, penjual kue di ujung gang, membela Bu Ratna.
“Pak Jaya, jangan terlalu keras. Kucing-kucing itu lapar, masa kita tega biarin kelaparan? Lagip**a, memberi makan hewan itu ibadah.”
Pak Darto, satpam kompleks, justru sependapat dengan Pak Jaya.
“Kalau terus begini, lingkungan jadi jorok. Saya tiap malam patroli, lihat sendiri kucing-kucing itu bongkar tong sampah. Besoknya saya yang disuruh bersihin. Nggak adil, Bu Ratna cuma kasih makan, kami yang beresin sisanya.”
Sementara itu, Ibu Yuni, seorang ibu muda, lebih khawatir pada anak-anaknya.
“Anak saya masih kecil, sering main di depan rumah. Kalau ada kotoran kucing, kan bahaya. Bisa bawa penyakit. Saya nggak benci kucing, tapi saya juga harus jaga kesehatan anak.”
Namun Pak Hasyim, ketua RT yang bijak, mencoba menengahi.
“Saudara-saudaraku, kita harus lihat dua sisi. Betul, kucing juga makhluk Tuhan. Tapi kebersihan lingkungan juga penting. Kita jangan saling salahkan dulu. Mari cari solusi bersama.”
Akhirnya, Pak Hasyim mengadakan pertemuan sederhana di balai kecil kompleks. Beberapa kursi plastik ditata, warga berkumpul. Suasana agak tegang.
“Begini, masalah kucing liar ini sudah bikin resah. Ada yang merasa kasihan, ada yang merasa terganggu. Kita nggak bisa terus bertengkar. Kita butuh jalan tengah,” kata Pak Hasyim membuka pembicaraan.
Pak Jaya langsung angkat tangan.
“Jalan tengah bagaimana, Pak RT? Mau sampai kapan? Jumlah kucing makin banyak, kotorannya makin parah. Kalau Bu Ratna mau kasih makan, ya sekalian urus kotorannya! Jangan cuma kasih makan terus ditinggal.”
Bu Ratna menggenggam ujung jariknya erat. Suaranya pelan tapi mantap.
“Pak, saya ini cuma ibu rumah tangga. Saya kasihan sama mereka. Saya nggak bisa diam melihat kucing-kucing itu lapar. Kalau soal kebersihan, saya siap belajar. Tolong jangan anggap saya nggak peduli.”
Beberapa warga mulai berbisik, sebagian mendukung, sebagian menggeleng.
Di tengah perdebatan itu, datanglah seorang pemuda dari komunitas pecinta hewan, bernama Andi, bersama dua rekannya. Mereka membawa brosur, wadah makan, dan pasir.
“Maaf, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya sopan.
Pak Hasyim mempersilakan.
Andi berdiri, menjelaskan dengan tenang.
“Memberi makan kucing itu baik, tapi kalau sembarangan, memang bisa mengganggu. Ada cara sederhana, taruh makanan di wadah tertentu, bersihkan sisa setelahnya, dan sediakan pasir untuk kotoran. Selain itu, ada program sterilisasi murah supaya jumlah kucing tidak terus bertambah.”
Warga mulai terdiam. Pak Jaya menyipitkan mata, masih ragu. “Kalau pun ada wadah, tetap aja mereka bisa pup sembarangan.”
Andi menunjuk Si Belang, yang kebetulan duduk diam di bawah kursi Bu Ratna. Dengan satu mata yang tersisa, kucing itu menatap sekeliling. Tubuhnya kurus, namun tatapannya kuat.
“Pak, Bu, lihatlah kucing ini. Apa dia minta dilahirkan di jalanan? Tidak. Tapi kita manusia, yang punya akal, bisa memilih bagaimana memperlakukan mereka dengan marah, atau dengan bijak.”
Ruangan hening, bahkan Pak Jaya terdiam. Tatapan pasrah Si Belang entah bagaimana membuatnya merasa luluh.
Sejak hari itu, kesepakatan kecil lahir.
Bu Ratna tetap memberi makan, tapi hanya di sudut tertentu.
Wadah makan dan pasir disediakan, dibersihkan rutin.
Komunitas hewan membantu sterilisasi kucing.
Warga ikut bergiliran menjaga kebersihan sekitar.
Pak Jaya masih s**a mengomel, tapi ia tak lagi sekeras dulu. Diam-diam, ia bahkan pernah melemparkan sisa ikan ke arah Si Belang ketika tak ada yang melihat.
Suatu pagi, saat hendak berangkat kerja, ia melihat Si Belang duduk diam di tepi jalan, menatapnya dengan tenang. Ia menghela napas, lalu berkata lirih
“Hiduplah selama kau bisa, Belang. Kau nggak minta dilahirkan jadi kucing liar, kan?”
Di sore yang hangat, Si Belang tetap mengeong setiap kali Bu Ratna keluar membawa nampan plastik. Kini, ia bukan sekadar kucing liar. Ia telah menjadi simbol bahwa kasih sayang dan kenyamanan bisa berjalan berdampingan, asal manusia mau membuka hati dan mencari jalan tengah.