21/09/2025
Perjanjian MBG Dinilai Jebak Sekolah, Poin 5 dan 7 Jadi Bom Waktu
NASIONALXPOS.CO.ID, BLORA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi pemenuhan gizi siswa justru memunculkan tanda tanya besar. Di balik semangat mulia program tersebut, terselip isi perjanjian kerja sama yang diduga membebani pihak sekolah sebagai penerima manfaat.
Perjanjian antara Satuan Pelayanan Gizi (SPG) selaku pihak pertama dengan sekolah selaku pihak kedua, yang ditandatangani beberapa waktu lalu, menyimpan klausul kontroversial.
🔴 Poin 5: Sekolah diwajibkan mengganti alat makan (tray dan tutup) yang hilang atau rusak dengan harga Rp80.000/pcs.
🔴 Poin 7: Dalam kejadian luar biasa seperti keracunan atau keterlambatan distribusi, pihak sekolah berkomitmen menjaga kerahasiaan informasi hingga penyedia menemukan solusi.
Sejumlah kepala sekolah yang ditemui NASIONALXPOS mengaku resah. Mereka menilai klausul tersebut tidak adil dan cenderung menjebak.
“Sekolah sebenarnya hanya penerima manfaat. Tapi di perjanjian, kami seolah dipaksa menanggung risiko yang bukan kewenangan kami. Kalau ada masalah, bisa saja kami dijadikan kambing hitam,” ujar salah seorang kepala sekolah sambil menunjukkan naskah perjanjian bermeterai.
Ketua Komisi D DPRD Blora, Subroto, menegaskan bahwa klausul dalam perjanjian MBG itu melenceng dari prinsip keadilan.
“Sekolah ini hanya penerima manfaat sekaligus pelaksana teknis di lapangan. Tapi poin 5 dan 7 menempatkan sekolah pada posisi paling rawan. Kalau ada kehilangan, kerusakan, atau bahkan keracunan, sekolah bisa disalahkan, padahal penyedia makanan adalah pihak pertama,” tegas Subroto.
Ia juga menyoroti klausul kerahasiaan informasi yang justru berpotensi menutup ruang transparansi publik.
“Kalau ada kasus keracunan atau keterlambatan distribusi, itu harus diumumkan agar ada evaluasi. Bukan malah ditutup-tutupi. Ini berbahaya, karena bisa menutupi potensi kelalaian penyedia,” ujarnya.
Hasil penelusuran tim NASIONALXPOS, perjanjian ini ditandatangani dengan meterai dan cap resmi, berlaku lima tahun ke depan, dan bersifat mengikat. Artinya, pihak sekolah tidak memiliki ruang untuk menolak kewajiban yang sebenarnya bukan ranah mereka.
Kondisi ini memunculkan dugaan adanya klausul sepihak yang lebih melindungi penyedia dibanding kepentingan sekolah dan siswa.
Beberapa praktisi pendidikan bahkan menyebut perjanjian ini rawan menjadi “bom waktu” jika suatu saat terjadi masalah serius seperti keracunan massal, kehilangan peralatan, atau keterlambatan distribusi. Sekolah bisa berada di posisi serba salah: menanggung risiko, tapi tanpa kewenangan penuh.
DPRD Blora mendesak agar perjanjian tersebut segera dievaluasi.
“Jangan sampai sekolah dijadikan tumbal. Program ini harus berpihak pada anak-anak, bukan membebani tenaga pendidik dengan tanggung jawab yang seharusnya ada di pihak penyedia,” pungkas Subroto.
Publik kini menanti transparansi lebih lanjut dari pemerintah daerah, apakah klausul bermasalah itu akan direvisi, atau justru tetap dipertahankan meski berpotensi merugikan pihak sekolah. (Riyan)