17/09/2025
KAMP JEPANG DI AIK PAMINKE 1945
Di Aik Paminte terdapat ± 4500 wanita dan anak-anak yang ditempatkan di 3 kamp yang berjarak beberapa kilometer satu sama lain. Kamp-kamp ini dibangun di hutan karet, sangat teduh dan tinggi, tetapi di sisi lain sangat lembab. Atapnya tidak cukup kuat menahan air, sehingga kebocoran sering terjadi. Lantai bambu mudah rusak, dan pada siang hari panasnya sangat menyengat.
Wanita-wanita ditempatkan di kamp A.P. yang mulai dihuni pada bulan Juni 1945. Di kamp I ditempatkan wanita-wanita dari Atjeh dan Poeloe Brayan (kamp D) dan Tandjong Balei. Kamp II dihuni wanita-wanita dari Poeloe Brayan (A, B, C) dan Gloegoer. Kamp III dihuni oleh wanita-wanita dari bekas kamp Prastagi.
Jarak dari stasiun kereta A.P. ke kamp-kamp tersebut masing-masing 2,5 km dan 7 km. Dengan truk melalui jalan yang melewati hutan karet dilakukan penghubung antara stasiun dan kamp. Semua barang bawaan para wanita diangkut dengan cara itu ketika tiba pada Juni 1945, sementara perbekalan pun juga dibawa dengan cara yang sama. Pekerjaan berat diberikan kepada para wanita usia 12–40 tahun, yang harus bekerja di bawah pimpinan orang Indonesia (“soeko relas/High Ho’s”) di stasiun.
Truk harus dibongkar, lalu barang-barang diangkut ke kamp. Hal ini sangat melelahkan dan penuh penderitaan, tanpa pengecualian. Para wanita dipaksa memikul batubara. Ada kalanya mereka juga harus memuat jagung dan hasil bumi ke dalam truk yang menunggu di lembah, atau sebaliknya mengangkutnya ke luar. Selain itu, wanita-wanita dipaksa keluar kamp untuk mengangkut kayu. Dengan pengawasan Jepang, mereka setiap hari harus bekerja dari pukul 7.00 hingga 12.00 siang, dan dari pukul 1.00 hingga 5.00 sore. Bergiliran, tiap kelompok 10 orang bekerja. Mereka harus mengangkut batang kayu besar untuk bahan bakar, bahkan ketika hujan deras tetap harus bekerja.
Di kamp Poeloe Brayan dan Gloegoer para wanita harus mengayuh dinamo untuk menghasilkan listrik, menumbuk padi, menjahit, dan sebagainya.
---
Pakaian
Para wanita tidak pernah diberi pakaian. Jarang sekali ada sabun, dan kalaupun ada, sangat mahal. Karena itu, mereka harus mengenakan pakaian hasil jahitan sendiri dari potongan kain bekas, misalnya gaun dari potongan karung goni. Ada yang hanya memiliki celana pendek atau pakaian plastik, sangat sedikit yang memiliki apa yang benar-benar dibutuhkan. Kebanyakan berjalan dengan kaki telanjang.
Setiap wanita biasanya menyimpan satu gaun yang bagus, agar dapat dipakai jika ada kesempatan khusus, atau jika dipanggil Jepang.
---
Semangat Hidup
Semangat di kamp wanita tetap sangat baik. Pekerjaan paling berat adalah bernyanyi saat bekerja. Hal ini memberi keberanian dalam segala penderitaan. Dikatakan bahwa para wanita menunjukkan lebih banyak ketabahan dibanding pria yang berada di kamp sipil dan tawanan perang di Sumatra.
---
Makanan
Makanan jauh lebih sedikit dibanding tawanan perang di Burma. Di Sumatra terjadi kelaparan yang parah. Orang menyebutnya sebagai “periode kelaparan”. Dalam kamp A.P., setiap orang mendapat 80 gram jagung, 135 gram beras per hari, serta 180 gram gula per bulan, 450 gram minyak sawit per bulan, sedikit teh, sedikit kopi, kadang-kadang telur asin, dan potongan roti jagung.
Periode kelaparan ini berlangsung sekitar 6 bulan.
Di kamp A.P., per orang per hari menerima: 90 gram jagung, 180 gram beras, sekali dalam 3 minggu 2 kg ubi jalar.
Obat-obatan tidak pernah diberikan Jepang. Mandi hanya bisa dilakukan di sungai kecil atau sumur yang hampir selalu kering. Anak-anak sangat menderita, banyak yang meninggal. Anak laki-laki di atas 10 tahun dipindahkan ke kamp laki-laki.
---
Pemakaman
Pemakaman dilakukan dengan salib kecil. Menggali kuburan sangat sulit bagi wanita karena tanah keras dan alat sangat terbatas.
---
Kebersihan
WC sangat tidak layak. Dibuat dari papan dengan lubang kecil, disebut WC Jepang. Di sana belatung dan lalat berkembang biak.
Source: Amin Harahap