25/12/2023
Hari ini adalah pertama kalinya kepulanganku ke kampung halaman selama kuliah di Bandung. Aku mengenyam pendidikan di salah satu kampus di sana. Sebenarnya, di dekat-dekat kota ini juga ada jurusan yang kuminati, tetapi ada beasiswa menggiurkan yang membuatku akhirnya memutuskan untuk kuliah di Kota Kembang itu.
Aku anak tunggal, dan hanya Ibu yang kumiliki sekarang. Bapak meninggal mendadak setahun silam, tanpa sakit sebelumnya. Kata Ibu, karena terserang angin duduk saat sedang tidur siang, yang ternyata itu adalah tidur untuk terakhir kalinya. Namun, aku tak percaya begitu saja. Ibu seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Ya, meski aku tahu ini adalah takdir Tuhan. Mau tidak mau, siap tidak siap, kita harus menerima saat maut menjemput. Kematian bapaklah yang membuatku semakin mantap untuk mengambil beasiswa itu. Karena aku tak mau membebani Ibu dengan biaya kuliah yang semakin lama semakin meroket.
Dengan menggunakan ojek online, aku tiba di rumah menjelang sore. Aku sempat terkejut dan berpikir kalau salah jalan, karena kondisi kampung terlihat sangat berbeda dengan satu tahun silam—yang mana masih banyak jalan berlubang dan lahan kosong di kanan kirinya.
Setiba di depan rumah, aku turun dengan mata terfokus pada bangunan besar di seberang rumah. Suasana tampak ramai di sana, sepertinya warung sembako ini baru buka, besar dan sangat padat oleh kesibukan para pekerja yang memasukkan barang-barang ke mobil. Ada juga yang terlihat sibuk mengambil dan mengantar barang di warung itu.
"Ongkosnya 20.000, Mbak."
"Oh, iya, Pak. Sebentar." Gegas aku melepas helm lalu memberi ongkos pada ojek.
Setelah ojek tersebut pergi, aku masih berdiri di depan rumah sembari memandang ke warung depan rumah, yang mana keramaian tak jua berkurang. Dulu, itu rumah Ayuk, teman dekatku saat SMA. Tapi di mana dia sekarang? Apa dia sudah pindah rumah? Karena sejak lulus SMA, kami mulai jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing.
Ah, sudahlah. Nanti biar aku cari tahu sendiri siapa pemilik toko besar itu dan di mana Ayuk tinggal sekarang. Aku pun beranjak membuka pagar rumah lalu masuk.
“Assalamualaikum, Bu.” Aku membuka pintu dengan rasa haru. Tiba-tiba saja mataku menghangat, rasa rindu menyeruak, rindu akan semua kenangan di dalam rumah ini.
“Waalaikumsalam,” balas suara khas yang juga sangat aku rindukan. "Lho, Nduk? Ya Allah, kok, ndak bilang-bilang kalau mau pulang?" Wajah wanita yang melahirkanku 20 tahun silam itu terlihat terkejut. Beliau langsung memelukku erat.
“Sengaja, Bu, biar kejutan ceritanya.” Aku membalas pelukan itu, meluapkan rindu.
“Ya Allah, kamu sehat, to? Perjalanan lancar?" Ibu bertanya seraya melepas pelukan dan mengusap kepalaku lembut.
Kupandang wajah wanita yang mulai berkeriput itu. Tuhan, tolong bilang pada Dilan yang berat itu bukan rindu pada kekasih, tapi pada orang yang melahirkan kita ke dunia.
“Alhamdulillah, sehat dan perjalanan lancar. Ibu sehat, kan? Mbak Nunung sudah pulang, ya?” Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Alhamdulillah, Ibu sehat juga, Nduk. Hari ini Ibu ndak terima pesanan, jadi Nunung ndak ke sini. Ada pengajian tadi," balas Ibu. "Sudah makan belum? Tapi Ibu belum masak, beli sate ayam kesukaanmu aja, ya, yang di ujung gang sana.”
“Nanti aja, Bu, gampang. Aku masih kangen sama Ibu. Pengin ngobrol-ngobrol dulu.” Aku kembali memeluk beliau lagi dengan erat.
Ibu tertawa kecil. “Ya sudah, kamu mandi dulu sana. Ibu buatin wedang jahe kesukaanmu.”
“Siap, Bu." Aku terpaksa melepas pelukan. "Oh, ya, ngomong-ngomong warung depan rumah itu gede dan rame banget, Bu. Udah lama, ya, bukanya?" tanyaku penasaran.
“Baru lima bulan, itu punya Pak Sugeng.”
“Pak Sugeng? Bapaknya Ayuk?” tanyaku kaget, karena setahuku dulu beliau hanya tukang becak dan istrinya jualan gorengan kecil-kecilan.
“Iya, sudah-sudah kamu mandi dulu sana, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi.” Ibu terlihat enggan menanggapi dan memilih berjalan ke arah dapur.
Entah kenapa aku langsung menangkap keanehan pada sikap Ibu. Namun, aku tak ingin ambil pusing sekarang. Okelah, sesi pertanyaan dilanjutkan nanti saja, lebih baik aku mandi dulu.
***
Usai mandi dan berganti pakaian, aku langsung menuju ke teras. Terlihat Ibu sedang menyiram tanaman. Ah ... aku sangat rindu waktu sore seperti dulu, minum wedang jahe bersama Bapak dan Ibu sambil mengobrol di teras depan. Memori indah itu terlintas.
“Bapak ... aku kangen,” ucapku lirih karena tak mau Ibu sedih jika mendengar, karena aku yakin Ibu pasti jauh lebih rindu pada Bapak.
Aku segera menyeka air yang hampir lolos dari ujung mata. Aku pun duduk di kursi rotan, dan melihat dua cangkir wedang jahe serta sepiring pisang goreng di meja. Lagi-lagi perasaanku menghangat melihat Ibu tersenyum dan berjalan mendekat.
Kami duduk bersisian, Ibu mengambil buku di meja dan mulai menulis sesuatu. Saat aku melirik sekilas, ternyata beliau sedang mencatat pesanan yang masuk. Ibu memang menerima pesanan kue basah untuk kesibukannya, sejak Bapak meninggal.
“Banyak pesanan, ya, Bu?” tanyaku sebelum menyesap wedang jahe.
“Iya, alhamdulillah, tapi banyak yang Ibu tolak ini. Sering pegel pinggang Ibu kalau kelamaan masak sambil berdiri.”
“Biar Mbak Nunung yang masak, Bu. Ibu kerjain yang ringan-ringan aja.”
“Kasihan kalau Nunung yang masak semuanya. Dia itu udah bantu-bantu mulai pagi sampai sore, dan bayarannya nggak seberapa, Nduk. Ndak tega Ibu."
Aku tersenyum. Sifat tidak enakan Ibu ternyata masih belum berubah. “Sini, aku pijitin, Bu,” ucapku sembari memegang pundak kurus itu.
“Ndak usah, Nduk. Kamu minum lagi wedang jahemu, mumpung masih anget.”
“Nggak papa, Bu. Sini!” Aku memutar badan Ibu pelan lalu mulai memijit pundak dan pinggangnya.
“Warungnya Pak Sugeng makin rame perasaan." Pandanganku lagi-lagi tertuju pada bangunan kokoh itu. "Hebat, ya, Bu. Padahal baru buka lima bulan, kan?”
Aku merasa tubuh Ibu mendadak tegang, pijatan pun kupelankan. “Iya, Alhamdulillah," ucap Ibu lirih.
"Pasti mereka rajin sedekah."
"Setiap bulan warga di sini dapat bingkisan sembako dari beliau,” balas Ibu dengan tangan sibuk menulis.
"Pantesan rezeki mereka lancar gitu.”
“Iya, sepertinya … begitu.” Jawaban Ibu kali ini terdengar bergetar.
“Kapan-kapan, aku mau main ke sana, ah. Lama juga nggak ketemu Ayuk."
"Jangan kaget kalau kamu nanti ketemu Ayuk, Nduk,”
"Kenapa?" Aku sedikit melongok ke arah Ibu.
"Ayuk makin cantik dan mulus, kayak artis."
"Oh, ya? Padahal, kan, dulu kucel dan item."
"Hush! Ndak boleh bilang kayak gitu." Ibu memukul tanganku pelan.
Aku terkekeh. "Lahan kosong di sebelah sana, juga sudah isi rumah semua. Tadi aku sampai bingung waktu masuk gang, kirain salah jalan."
"Itu semua punyanya Pak Sugeng. Mereka yang beli dan ngebangun, kalau nggak salah dipakai buat gudang sembako."
"Wow!" Lagi-lagi aku dibuat terkejut. "Kayaknya sebelum balik ke Bandung, aku harus nyempetin ngobrol sama Pak Sugeng, nanya trik dan tips bisa sukses dengan kilat."Namun, tiba-tiba aku merasakan tubuh Ibu kembali menegang.
"Kalau bisa ... jangan masuk rumahnya, Nduk."
"Kenapa, Bu?" tanyaku penasaran sambil terus memijit pundak kurus beliau.
Kali ini, Ibu tidak menjawab. Beliau hanya menggeleng sambil memandang lurus ke arah warung itu. Ada napas panjang yang Ibu ambil. Seperti menyimpan beban yang berat. Sebenarnya rahasia apa yang engkau simpan, Bu?
***
Malam menjelang, aku mengisi waktu dengan rebahan di kursi ruang tamu sembari membaca informasi dari beberapa grup. Libur kuliah seperti ini biasanya mereka pergi liburan atau sekedar pulang kampung sepertiku.
"Sudah salat magrib, Nduk?” Suara Ibu membuatku beringsut. Beliau baru saja pulang dari musala di belakang rumah. Ada jalan tembus yang membuat Ibu tidak perlu berjalan memutar gang dulu.
"Lagi libur, Bu," jawabku sambil duduk dan meletakkan ponsel di meja. "Makan di luar, yuk, Bu, ke bakso Mas Hasan. Sudah lama nggak makan di sana."
"Mas Hasan sudah meninggal,Nduk,” ucap Ibu pelan.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Ya Allah ... kapan, Bu?" Aku terkejut, tak menyangka, karena mengingat beliau masih terbilang muda.
"Tiga hari yang lalu."
"Sakit?"
Ibu menggeleng.
"Terus?"
"Ibu kurang tahu, Nduk." Ibu menjawab sambil memalingkan muka dan berjalan ke arah kamar.
"Ya sudah. Beli sate aja, Bu. Aku belikan dulu."
"Ibu ambilkan uang dulu, bilang banyakin bumbu kacangnya."
"Pake uangku aja, Bu. Kemarin habis dapat rezeki, menang lomba menulis cerpen."
"Simpen aja uangmu, Nduk."
"Nggak papa pakai uangku aja, Bu, Uang Ibu buat makan mie ayam besok," jawabku, lalu tergelak.
"Ealah, dasar bocah pinter. Ya sudah sana. Hati-hati di jalan. Langsung pulang, jangan pake mampir-mampir!"
Aku terkekeh mendengar ucapan Ibu. Kok kayak beli sate jauh aja, padahal cuma di ujung gang, lima menit juga sampai. Setelah mengambil jaket dan jilbab, aku bergegas melenggang keluar rumah, sengaja memilih berjalan kaki sambil menikmati udara malam sekaligus mengamati suasana sekitar.
Sambil menutup pagar depan, mataku lagi-lagi tertuju pada warung besar yang sekarang sudah sepi. Kampung ini sungguh sangat berubah dalam hitungan bulan. Luar biasa, benar-benar di luar nalar. Harus dengan siapa aku mencari tahu semua perubahan ini? Karena sepertinya, Ibu enggan bercerita banyak.
Aku melangkah menikmati suasana kampung yang cukup terbilang tenang dan nyaman ini karena jauh dari keramaian kota. Sesekali kali aku berdecak kagum melihat perubahan yang sangat mencolok. Sampai akhirnya tiba di warung tenda milik Bang Umar.
"Assalamualaikum, Bang Umar,” sapaku saat masuk ke warung sate ayam satu-satunya dekat rumah.
"Eh, Mbak Tika. Lama nggak kelihatan, liburan atau gimana ini, Mbak?" balas Bang Umar ramah usai menjawab salam, khas dengan logat Madura .
"Kebetulan lagi libur panjang. Mau beli satenya aja dua puluh ribu, Bang, tolong banyakin bumbu kacangnya."
"Siap, Mbak. Silakan duduk dulu." Ia mulai membumbui sate lalu meletakkan di atas bara api. Bau sedap pun mulai menguar, membuat cacing di perut seketika berjogetan.
"Kondisi kampung berubah drastis ya, Bang? Sampe pangling saya." Aku mengajak Bang Umar bercerita. Karena kebetulan hanya aku pembeli di warung ini.
Pria dengan ciri khas yang selalu memakai peci hitam itu mengangguk mantap. "Ini semua berkat Pak Sugeng, Mbak. Beliau yang membetulkan jalan rusak dan ngebangun rumah-rumah itu."
Aku berdecak kagum. "Alhamdulillah, ya, Bang. Suksesnya langsung meroket."
"Kalau kata orang-orang, beliau suksesnya mencurigakan, Mbak." Kali ini suara pria itu terdengar pelan, dengan sesekali memperhatikan sekitar.
Aku mengernyit bingung. "Maksudnya gimana, Bang?”
"Bayangin aja, ya, Mbak. Yang dulunya nggak punya apa-apa dan cuma tukang becak, dalam hitungan bulan bisa punya warung sembako sebesar itu dan rumah mewah. Ditambah bisa beli tanah dan ngebangun empat rumah mewah lainnya. Coba dinalar aja, Mbak.”
"Ya ... mungkin aja beliau pinjaman dari bank." Aku berargumen. Tidak ingin berpikir buruk tentang seseorang tanpa bukti.
"Dan anehnya lagi, setelah beliau buka warung itu setiap bulan ada aja warga yang meninggal mendadak, Mbak. Contohnya Mas Hasan. Nggak sakit, nggak kenapa-kenapa, sorenya masih ngobrol sama saya. Eh, malamnya meninggal."
"Maut, kan, rahasia Tuhan, Bang. Mungkin memang udah takdirnya mereka meninggal." Di sini, aku masih berpikir positif.
"Iya, sih, Mbak. Saya juga nggak berani mikir jauh sampai ke sana. Lha wong tiap bulan, jatah sembako yang mereka bagikan sama warga banyak banget, Mbak. Saya pribadi sangat terbantu dengan, bikin uang bulanan irit."
Aku ikut tersenyum senang mendengar itu. "Semoga makin berkah dan lancar rejeki mereka."
"Ini cabenya dipisah atau jadi satu, Mbak?" tanya Bang Umar setelah mengaminkan ucapanku.
"Jadi satu aja, Bang, takut kangen kalau dipisah."
Pria berkumis itu tergelak. “Mbak Tika bisa aja."
Tak berapa lama pesanan pun jadi. Setelahnya aku bergegas pulang, karena tak mau membuat Ibu khawatir menunggu terlalu lama. Setiba di depan rumah dan hendak membuka pagar, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil dengan suara yang sangat familiar.
"Ayuk?” tanyaku ragu setelah membalikkan badan dan menatap lekat sosok di seberang sana.
Sosok yang memanggil tadi tersenyum lebar sambil berjalan ke arahku. Seorang wanita cantik mengenakan dress ketat sepaha berwarna merah cabe dan tanpa lengan. Benarkah itu Ayuk? Di mana jilbab yang dulu setia menemaninya?
"Ayuk?" Aku bertanya sekali lagi.
"Iya, ini aku Ayuk. Kamu apa kabar, Tika? Tumben balik ke rumah? Libur kuliahnya?" tanyanya balik dengan nada centil.
"Alhamdulillah, baik. Iya lagi liburan," jawabku pelan karena belum lepas dari keheranan. Mataku masih menatap detail wajah putih, mulus, dan cantik itu.
"Kapan sampai sininya?" Pertanyaan Ayuk segera membuatku kembali fokus.
Aku tiba-tiba gelagapan. "Ha? Anu, tadi sore ”
Ayuk terkekeh, lalu memainkan ujung rambutnya yang dibiarkan tergerai.
“Kamu berubah, ya, Yuk? Jilbabmu ke mana?” tanyaku tanpa basa basi.
Lagi-lagi ia terkekeh. "Ceritanya panjang, Tika. Kapan-kapan kita ngobrol deh, sekarang aku lagi buru-buru mau ada acara. Duluan, ya," pamitnya, sejurus kemudian ia masuk ke mobil mewah yang baru saja keluar dari halaman rumah besar, yang dulu hanyalah kebun luas dengan gubuk tua di tengahnya.
Saat mobil itu melaju, aku mengernyit karena menangkap ada sesuatu yang aneh di atas mobil Ayuk. Kok kayak ular yang sedang melingkar? Aku mengucek mata, lalu menajamkan penglihatan lagi. Benar, itu ular!
"Ayuk! Ada ular di atas mobilmu, Yuk!" Aku berteriak keras, berbarengan dengan mobil yang hendak berbelok di tikungan.
Sepertinya ia tidak mendengar, karena tak ada tanda-tanda mobil berhenti. Aku hanya bisa bergeming, menatap mobil mewah yang mulai menghilang. Sejurus kemudian pandanganku beralih menatap rumah yang katanya mulai dibangun beberapa bulan lalu itu.
Sejurus kemudian aku tiba-tiba merinding, seolah ada hawa dingin yang tengah mengelilingi tubuh. Kuusap tengkuk leher dan lengan bergantian seraya memperhatikan keadaan sekitar. Tak ingin terbawa suasana, aku segera membuka pagar dan ingin cepat-cepat masuk rumah. Namun, tiba-tiba pergerakanku terhenti saat mendengar desis ular dari arah belakang. Aku refleks berbalik, tak ada apa pun di sana, tapi ... entahlah aku merasa seperti sedang diawasi.
Bersambung