
18/09/2025
Untuk mencari-cari kesalahan Gus Yaqut, dipakailah 'tawaran Justice Collaborator'
Sampai hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan adanya aliran dana dari tuduhan, dan 'penghukuman publik' terkait dugaan tindak pidana korupsi di balik kuota haji tambahan 2024 ke Gus Yaqut.
Dalam penggeledahan di rumah pribadi Gus Yaqut, KPK menyita dokumen dan sebuah telpon genggam (HP). Dokumen yang disita adalah paspor pribadi, sedangkan HP yang disita BUKAN milik Gus Yaqut, atau istri, melainkan HP seorang kerabat yang kebetulan ada saat penggeledahan dilakukan. Tidak ada uang cash, tidak ada dokumen lain. Nihil. Nol!
Sampai dengan hari ini juga, tidak ada rekening milik Gus Yaqut dan keluarga yang dibekukan karena terindikasi kecipratan uang hasil korupsi.
Hal berbeda terjadi di tempat lain dan untuk orang lain yang sudah diperiksa. Ada uang dengan total USD 1,6 juta, empat unit kendaraan roda empat, serta lima bidang tanah dan bangunan sudah disita KPK. KPK juga telah menyita dua rumah yang berlokasi di Jakarta Selatan, dengan total nilai kurang lebih sebesar Rp 6,5 miliar.
Menariknya, dalam sitaan ini, KPK tidak mau menyebutkan dari siapa uang dan aset ini diamankan. Padahal, KPK secara publik sudah mengatakan bahwa barang sitaan ini berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
Ini adalah sebuah keanehan ketika KPK menolak untuk menyebut dari tangan siapa sitaan ini diambil. Bahkan, KPK juga sama sekali tidak pernah menyebut kalimat sakti: Ada unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Padahal, untuk ASN yang rumahnya disita, KPK sudah menyatakan ke publik bahwa: "Rumah disita dari salah satu pegawai Kementerian Agama ASN pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang dibeli pada 2024 secara tunai dan diduga berasal dari fee jual beli kuota haji Indonesia". Artinya, unsur TPPU sudah terpenuhi.
Padahal, jika dibandingkan dengan penggeledahan yang dilakukan KPK di sebuah travel penyelenggara haji khusus (PIHK), KPK langsung dan dengan lantang mengumumkan adanya indikasi penghilangan barang bukti, dan langsung mempertimbangkan pengenaan pasal 21 perintangan penyidikan atau obstruction of justice terhadap pihak swasta tersebut.
Transparansi yang tidak dilakukan KPK tentu menimbulkan pertanyaan. Cara-cara apa lagi yang sedang dipakai oleh KPK untuk menjerat target utamanya, ketika sampai hari ini, tidak ada bukti bahwa 'pucuk' di Kementerian, yaitu Menteri, yang dalam kasus ini adalah Gus Yaqut, menerima, atau menikmati uang korupsi.
Seluruh keanehan ini mengindikasikan satu hal: KPK kesulitan untuk menjerat target utamanya. Dan karena itu, KPK sedang berupaya untuk mencari 'justice collaborator (JC)', alias "saksi pelapor yang bekerjasama', untuk mencari-cari kesalahan Gus Yaqut.
Aturan dan syarat tentang Justice Collaborator ini ada. Di antaranya adalah: mengakui perbuatan pidananya, dan kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis. Selain itu, membuat surat pernyataan tidak melarikan diri.
Indikasi tentang tawaran menjadi JC sudah kuat.
- Adanya aset terindikasi hasil kejahatan yang disita dan sudah memenuhi unsur TPPU
- Adanya aset terindikasi hasil kejahatan yang dikembalikan baik secara terbuka, maupun yang tertutup (yang informasinya sengaja ditutup-tutupin oleh KPK, namun pelakunya sudah disebut-sebut di media sosial)
- Pihak yang asetnya disita, atau dikembalikan, tidak dicekal oleh KPK.
Ini adalah langkah 'desperate' dari KPK, karena sampai hari ini, tidak ditemukan pelanggaran tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh target utamanya yaitu Gus Yaqut.
============================
* terus_Dapatkan Update info Hubbul Wathon Minal Iman_*
Website : www.hwmi.or.id
Telegram :
https://t.me/hwmichannel
Instagram :
https://s.id/Ig_hwmionline_id
Twitter :
https://twitter.com/Hubbul_Wathon26?s=08
Youtube:
https://s.id/DutaHWMIOfficial
Tik tok : https://s.id/tiktok_hwmi
Quotes HWMI : https://s.id/hwmi-Quotes