Heni Lianawati 09

Heni Lianawati 09 ikuti lewat reall ya besti.😘
semoga kita bisa sukses bersama sama.

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (10)"Sedikit lagi, Kak Natasya. Setelah ini, aku rapikan alisnya ya," suara ...
26/06/2025

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (10)

"Sedikit lagi, Kak Natasya. Setelah ini, aku rapikan alisnya ya," suara lembut make-up artist mengalun di tengah ruangan spa pribadi keluarga Mahesa yang luas dan wangi.
Rini atau Natasya Arini Mahesa, duduk diam, menatap pantulan dirinya di cermin raksasa. Lampu-lampu di sekeliling cermin memancarkan cahaya hangat yang menyinari kulit wajahnya yang mulai tampak segar.

Matanya menatap riasan tipis di p**inya, yang bersemu lembut dengan blush coral. Alisnya dirapikan, bibirnya diberi warna mawar yang tenang. Tapi bukan kecantikan yang membuat matanya berkaca-kaca.

Melainkan rasa asing. Bahkan terhadap dirinya sendiri.

“Dulu aku bahkan gak boleh nyentuh bedak,” gumamnya lirih.

Sang perias berhenti sejenak. “Maaf, Kak? Tadi Kakak bilang?”

Rini menggeleng pelan. “Gak apa-apa. Terusin aja. Ini pertama kalinya aku pakai make-up lagi setelah lama.”

Pikiran Rini terbang ke beberapa waktu silam. Ketika dia akhirnya mengerti, bahwa keputusan yang telah dia ambil, itu salah.

---

Suara ceceran air membangunkan Rini pukul lima pagi. Rini tidak bisa tidur semalaman, karena suaminya sedang lesta dengan teman-temannya di rumah, sehingga baru bisa sekarang dia mengepel lantai.

“Tumpahan minyak gak dilap? Kamu itu di rumah ini ngapain aja sih, Rin?” bentak Ibu mertuanya, sambil menyapu lantai dengan kasar.

“Maaf Bu, saya baru mau bersihin. Mas Danu tadi malam kan—”

“Alasan! Jangan pernah jadiin suami kamu sendiri alasan!"

Rini diam. Matanya menatap wajah bayi mungilnya yang menangis di atas tikar. Tidak ada yang menenangkan si kecil. Tidak ada yang peduli.

Malamnya, saat hendak mengantar pesanan ikan bakar, Rini mengambil bedak bayi dan mengoleskan sedikit ke p**inya. Ia hanya ingin wajahnya tidak terlihat kusam.

Danu langsung melihatnya dari ruang tamu.

“Itu kamu ngapain dandan? Pake bedak segala?”

Rini gelagapan. “Cuma biar keliatan seger aja, Dan. Gak enak ke rumah orang keliatan kumel.”

Danu mendekat. Wajahnya datar, dingin.

“Kamu tau diri dikit, Rin. Kamu tinggal di rumah saya. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Kamu cuma istri yang numpang hidup. Jangan gaya!”

Bedak itu dilempar ke lantai.

---

Rini tersentak. Sekarang, dia bahkan bisa memakai bedak dengan merk apapun, tidak akan ada orang yang melarangnya.

Suara sang perias memanggil Rini pelan. “Kak Natasya? Sudah selesai. Kalau boleh jujur, Kakak cantik sekali.”

Rini tersenyum tipis. Bibirnya sedikit bergetar.

“Terima kasih,” bisiknya. Tapi dalam hatinya, ia ingin menangis.

Saat ia melangkah keluar dari ruang spa, gaun satin berwarna moka mengalun lembut mengikuti langkahnya. Rambutnya disanggul manis, menyisakan beberapa helai ikal yang membingkai wajahnya.

Baru melewati koridor, ia berpapasan dengan Key, yang sedang duduk di sofa tengah sambil memegang ponsel.

"Rin!" seru Key. "Sini sebentar! Kak Galaksi pengin lihat kamu!"

Rini terdiam. Nama itu menghentak memorinya. Kak Galaksi. Kakak tertua mereka, pelindungnya. Orang yang dulu selalu ia kejar-kejar ketika masih kecil, yang selalu bawain oleh-oleh setiap pulang dari luar kota.

Rini melangkah pelan ke arah Kak Key, yang langsung mengarahkan layar ponsel ke wajahnya.

“Kak Galaksi?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Di layar, tampak wajah pria gagah berbalut mantel cokelat dengan latar belakang gedung tinggi dan salju lembut.

“Rin? Ya Tuhan, itu kamu?” suara Kak Galaksi parau, seolah menahan emosi.

“Iya ini aku, Kak.” Rini menahan air mata.

“Ya Allah, akhirnya kamu pulang juga,” suara Galaksi makin berat. “Kamu gak tau betapa, betapa Kakak nyesel waktu itu gak bisa cegah kamu pergi. Gak bisa lindungin kamu.”

Rini menggeleng. “Itu bukan salah Kakak, itu aku yang keras kepala.”

“Dan sekarang, lihat kamu. Cantik banget. Udah kayak Princess Mahesa.”

Key tertawa pelan, “Dia bahkan lebih cantik dari kita semua, Kak.”

Rini menunduk. “Aku gak sekuat itu, Kak. Aku lagi belajar berdiri. Lagi belajar, jadi Natasya Arini Mahesa lagi.”

“Kamu gak perlu belajar jadi siapa pun, Rin. Kamu itu tetap adek kita. Nggak peduli kamu tinggal di mana, pakai baju apa, tidur di kasur apapun. Kamu tetap Natasya Arini Mahesa. Anak Papa dan Mama. Adekku.”

Air mata mengalir di p**i Rini. “Kak Galaksi, pulang, ya.”

“Sebentar lagi. Tiket udah aku pesen. Kakak mau peluk kamu langsung.”

---

“Ayo ganti bajumu. Jangan tanya kenapa. Pokoknya kita pergi sekarang,” kata Key sambil menarik-narik tangan Rini.

Rini terbelalak. “Lho? Kita mau ke mana?”

Key hanya tersenyum misterius. “Ke tempat spesial. Restoran paling mewah milik keluarga kita. Aku booking ruangan VIP.”

Rini mengerutkan dahi. “Kak Key, aku belum siap tampil di publik. Aku baru balik, aku belum bisa hadapi orang luar.”

“Tapi ini bukan orang sembarangan,” potong Kak Key sambil memutar tubuh Rini ke arah lemari pakaian. “Kamu harus ketemu seseorang dari masa lalu.”

Rini membeku. “Masa lalu?”

“Ganti baju dulu. Pakai dress yang warna navy itu. Biar kamu keliatan dewasa, elegan, dan siap.”

Langit malam berkilau saat mobil berhenti di depan Le Mahesa, restoran bintang lima milik keluarga Mahesa yang terletak di puncak gedung tertinggi kota.

Rini turun dengan langkah pelan, gaun panjang berpotongan simpel melambai anggun. Rambutnya digerai, hanya disemat jepit mutiara di satu sisi.

Senyum pelayan mengiringi langkahnya. “Selamat datang kembali, Nona Mahesa.”

Langkah Rini berhenti. Ia belum terbiasa mendengar itu.

“Di ruang utama. Ada yang menunggu, Kak,” ujar Key, menggandeng tangan adiknya.

“Siapa?” bisik Rini.

Key hanya menjawab dengan senyuman penuh teka-teki. “Tunggu aja sebentar lagi.”

---

Di masa lalu, Rini duduk di teras rumah besar keluarga Mahesa. Di hadapannya, duduk seorang pemuda tampan, mengenakan kemeja putih dan senyum tenang.

“Kalau kamu bersedia, aku ingin melamarmu, Rin,” ucap pemuda itu dengan suara dalam yang tenang.

Rini tersenyum kaku. “Maaf, Samudra. Aku gak bisa.”

“Boleh aku tahu kenapa?” tanyanya, tetap tenang.

Rini menunduk, “Aku udah cinta sama orang lain.”

“Danu?”

Rini mengangguk.

Wajah Samudra tak berubah. Ia hanya mengangguk, menghela napas.

“Kalau itu keputusanmu, aku cuma bisa menghargainya.”

Namun, saat Rini masuk ke rumah, ia sempat menoleh dan mendapati Samudra masih duduk di tempat yang sama, memandangi langit senja sendiri.

---

Key membuka pintu ruangan VIP dan mengisyaratkan Rini masuk lebih dulu.

Rini melangkah masuk pelan. Ruangan itu temaram, elegan, penuh aroma wine dan kayu mahal. Di tengahnya, satu meja dengan dua kursi. Dan satu pria, duduk membelakangi pintu, berbalut jas hitam dan kemeja abu lembut. Rini berhenti. Hatinya berdegup cepat, jari-jarinya mencengkeram clutch kecil yang ia bawa.

Pria itu berdiri perlahan. Tubuhnya tinggi, tegap, dan saat ia berbalik, mata mereka bertemu.

Waktu seperti membeku.

Samudra Yudhistira. Dengan sorot mata yang masih sama. Penuh ketenangan. Dan cinta yang belum pernah usang.

Rini menahan napas. “Samudra.”

Samudra tersenyum tipis. “Hai, Putri kecil Mahesa.”

Langkah Rini tersendat. Ada ratusan kata ingin ia ucapkan. Tapi tak ada yang keluar.

Samudra melangkah pelan ke arahnya. “Kamu berubah. Tapi matamu tetap sama. Masih punya dunia yang cuma kamu sendiri yang pahami.”

Rini menunduk. “Aku gak menyangka akan ketemu kamu di sini.”

“Aku juga gak pernah berharap pertemuan ini akan menyakitkan untukmu.”

“Kenapa kamu masih peduli?”

Samudra diam sejenak, lalu mendekat. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah Rini. Ia berkata pelan, hangat, dan penuh makna:

“Aku masih sama seperti dulu, Rin. Masih mencintaimu.”

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istri yang Kuusir Ternyata Anak Konglomerat
Penulis : rahmalaa

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (9)Mobil hitam panjang itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah ber...
26/06/2025

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (9)

Mobil hitam panjang itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya Eropa klasik. Pilar-pilar tinggi menjulang, taman bunga yang tertata sempurna, dan air mancur di tengah halaman masih berdiri megah seperti dulu.

Bahkan lebih indah dari yang Rini ingat. Rumah yang dulu sering ia anggap membosankan karena terlalu besar, kini terlihat seperti tempat perlindungan terakhir yang selama ini ia cari-cari di tengah dinginnya dunia.

Rini duduk diam di dalam mobil, jari-jarinya meremas ujung gaun putihnya. “Aku ... aku takut, Kak...” bisiknya pelan.

“Takut kenapa?” tanya Key dari kursi depan, menoleh dengan sorot tajam yang kini mulai melunak.

“Takut Mama sama Papa marah. Takut mereka kecewa. Aku yang pergi, ninggalin semuanya.”

Key memandangnya sebentar, lalu membuka pintu. “Kamu tuh bagian dari keluarga kita. Gak ada kata mantan anak di rumah ini. Ayo turun.”

Begitu kaki Rini menjejak tanah halaman rumah itu, serentak para pegawai rumah berdiri di sisi kiri dan kanan, membungkuk serempak.

“Selamat datang kembali, Tuan Putri. Nona Natasya Arini Mahesa.”

Suara serempak itu menusuk hati Rini seperti sembilu. Ia menahan napas, matanya mulai memanas. Nama itu. Nama yang sudah lama tak ia dengar. Nama yang dulu ia tinggalkan demi mengejar mimpi hidup sederhana bersama lelaki yang justru meninggalkannya saat dia hancur.

Air matanya mengalir, sementara Kak Key menuntunnya masuk. Saat pintu besar rumah itu terbuka, aroma khas kayu jati dan melati menyambutnya. Dua sosok berdiri di ujung lorong utama, Mama dan Papa.

Mama Rini, dengan balutan kebaya elegan berwarna merah marun, langsung menubruknya tanpa aba-aba. “Rini, anakku.”

“Mama, maafin Rini, Ma. Maaf banget.” Rini memeluk erat, tubuhnya bergetar hebat.

Papa ikut mendekap mereka, matanya berkaca. “Sudah, Nak. Sudah. Kamu sudah pulang, itu yang paling penting.”

“Aku nyakitin Mama, Papa. Aku milih dia daripada kalian, aku ninggalin semuanya. Ampunin Rini, Pa, Ma.”

Mama membelai rambut Rini, mencium kening anaknya dengan penuh kerinduan. “Hati orangtua gak akan pernah bisa benci anaknya sendiri, Rin. Kamu memang jatuh. Tapi kamu juga yang memilih untuk bangkit.”

Mereka bertiga berpelukan lama. Pegawai yang menyaksikan dari jauh menundukkan kepala, beberapa bahkan tampak menitikkan air mata haru.

Setelah suasana mereda, Kak Key berdehem. “Udah, ini belum sinetron. Mau langsung liat kamar dulu atau mau lihat anakmu punya kamar khusus?”

Rini terisak pelan, lalu mengangguk. “Boleh lihat kamar bayi dulu?”

Mereka berjalan ke lantai dua. Langkah Rini gemetar, tapi pelan-pelan semakin mantap. Lorong yang dulu sering ia lewati kini penuh dengan hiasan baru. Lukisan-lukisan klasik, taplak renda Prancis, dan vas bunga segar menghiasi sudut-sudut.

Sampai di depan sebuah kamar dengan tulisan timbul: “Cucu Kecil Mahesa”, Mama membuka pintunya perlahan.

Kamar itu bernuansa peach dan putih. Tempat tidur bayi berbentuk kereta kuda, dinding dihiasi lukisan bintang dan langit malam, serta boneka-boneka mahal berjajar di rak kayu.

“Kami siapkan ini sejak tahu kamu mengandung. Walau belum tahu kapan kamu pulang, tapi kami yakin, suatu saat kamu akan kembali,” ujar Papa pelan.

Rini terdiam. Air matanya tak henti mengalir. “Kamar ini lebih bagus dari rumah kontrakanku dulu, Ma.”

“Kamu gak pantas tinggal di tempat seperti itu. Kamu lahir di istana, Rin. Bukan untuk jadi babu di rumah orang,” sahut Mama sambil mengelus bahunya.

Mereka lalu berpindah ke kamar Rini. Pintu kamar itu dibuka pelan, dan Rini hampir tak percaya.

“Warnanya masih biru muda,” gumamnya lirih.

Kamar itu tak berubah warna, tapi berubah jauh dalam kualitas. Seprai satin biru, meja rias ukiran Italia, lampu gantung kristal dan lemari besar dengan pintu kaca menyambutnya seperti kenangan manis yang tak pernah pergi.

“Kami hanya perbaiki dan ganti furnitur. Tapi warna tembok itu tetap, karena kamu pernah bilang, biru itu warna tenang kamu,” kata Key datar, namun terasa hangat.

Rini berjalan pelan ke depan cermin. Dilihatnya pantulan dirinya, dengan gaun putih bersih dan mata sembab. Tapi kali ini tak ada kehinaan di balik pantulan itu. Hanya luka yang mulai sembuh.

“Aku bener-bener ninggalin semua ini demi orang yang salah ya, Kak."

“Kamu salah langkah. Tapi kamu balik. Itu yang bikin kamu menang.”

Papa duduk di kursi dekat jendela. “Rini, kalau kamu sudah cukup kuat, perusahaan kita tetap menunggumu. Ruang direktur masih atas nama kamu. Belum kami ganti.”

“Aku? Balik kerja di kantor?”

“Tentu. Kamu lulusan Oxford, Rin. Bukan buat nyapu di rumah mertua. Perusahaan keluarga Mahesa milikmu juga.”

Rini terisak, tapi kini bukan karena sedih, melainkan karena haru. Ia benar-benar pulang. Dan dunia ini, belum membuangnya.

“Kalian, bener-bener nerima aku lagi ya?”

“Kamu anak kami. Apa pun yang terjadi, rumah ini akan selalu jadi tempatmu kembali.”

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istri yang Kuusir Ternyata Anak Konglomerat
Penulis : rahmalaa

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (8)Rini tidak pernah menyangka dirinya akan kembali mencicipi kemewahan ini....
25/06/2025

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (8)

Rini tidak pernah menyangka dirinya akan kembali mencicipi kemewahan ini. Di ruang VIP rumah sakit yang seharusnya terasa asing, ada kehangatan yang tak bisa dia tolak. Bantal empuk, seprei linen putih lembut, aroma antiseptik yang bercampur wangi bunga dari diffuser di sudut ruangan, semuanya terasa seperti pelukan masa lalu yang dulu ia buang demi cinta yang ternyata palsu.

Seorang dokter perempuan muda memeriksa luka-luka di tubuh Rini dengan hati-hati. Key berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dada, mengawasi proses itu dengan ekspresi datar seperti biasa.

“Memar di tulang rusuk, lecet di lutut, lebam di bahu kanan, tapi tak ada patah tulang. Luka luarnya akan sembuh, tapi saya sarankan pemeriksaan psikologis juga, Pak Key,” ujar sang dokter pelan, seolah tak ingin menyakiti Rini dengan kata-kata.

Key hanya mengangguk. “Lakukan semua yang terbaik. Tak perlu khawatir soal biaya.”

Dokter itu tersenyum ramah pada Rini. “Kami akan gunakan salep penyembuh jaringan khusus. Biasanya untuk pasien VVIP. Hanya perlu tiga hari dan kulit Ibu akan kembali seperti semula.”

Rini menunduk malu. Ia belum terbiasa lagi dipanggil ‘Ibu’ oleh tenaga medis. Biasanya ia hanya mendengar itu saat di puskesmas, berdiri antre bersama puluhan wanita lainnya sambil menggendong bayi dan membawa fotokopi KTP.

Beberapa saat kemudian, dua perawat masuk membawa nampan makanan.

“Nasi lembut wagyu sukiyaki, sup jamur truffle, dan jus cold-pressed dari buah organik, Bu,” ujar perawat itu sambil menyusun makanan dengan penuh kehati-hatian.

Rini nyaris tertawa getir. Dulu, dia pernah menolak makan di rumah hanya karena ingin makan mie ayam di warung Danu.

"Kalau nggak dimakan, aku makan loh," Key tiba-tiba bicara, matanya mengarah ke nampan.

Rini mengangkat wajah, lalu tersenyum tipis. “Nggak nyangka kakak bisa bercanda juga.”

“Aku nggak bercanda. Kamu kurus banget. Makanlah. Itu wagyu, bukan dendeng bekas pasar malam.”

Rini menunduk, tersenyum malu. Ia mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Perlahan, tubuhnya yang kelelahan mulai merasa hidup kembali.

Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan. Langkahnya tergesa, tapi matanya langsung berkaca-kaca saat melihat Rini.

“Non Rini, Ya Allah! Non Rini, ini benar Non Rini, ya?”

Rini spontan menoleh. "Bi Inah?"

Seketika Rini berdiri, lalu berlari kecil dengan kaki yang masih sedikit goyah. Mereka berpelukan erat. Bi Inah adalah pengasuh Rini sejak kecil, yang tahu kapan ia mulai belajar jalan, kapan ia patah hati karena nilai matematikanya jelek, dan kapan pertama kali Rini menangis karena cinta monyet.

"Saya kira Non Rini udah lupa sama Bi Inah. Saya pikir Non Rini marah, gak mau balik lagi..."

“Enggak, Bi. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta,” isaknya pecah.

“Enggak, Non. Non Rini cuma lagi kesasar. Tapi rumah Non Rini tetap di sini. Di keluarga Mahesa, bukan di mana-mana.”

Mereka saling meremas tangan satu sama lain, dan Rini menangis sejadi-jadinya di pelukan Bi Inah.

Sementara itu, dari sisi lain ruangan, Key memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Tapi ada gurat haru samar di matanya, meski ia cepat-cepat membalikkan badan dan pura-pura membuka ponsel.

Setelah tangis mereda, Bi Inah memandikan bayi Rini.yang ternyata sudah datang dan kini tidur pulas di box kecil berselimut linen sutra. Ia mengganti popoknya, mengoleskan minyak telon organik, lalu memakaikannya baju bayi putih bersih dengan sulaman emas lembut di bagian kerah.

“Anaknya cantik banget. Mirip Non waktu kecil.”

Rini hanya tersenyum, dadanya sesak oleh rasa syukur dan sesal yang bertubrukan.

Kemudian, Bi Inah menyerahkan satu set pakaian kepada Rini. Gaun putih bersih dengan siluet sederhana namun mewah, dipadukan dengan perhiasan berlian yang tampak akrab namun juga asing, karena sudah bertahun-tahun tidak ia sentuh.

“Ini perhiasan yang dulu aku tinggalin?”

Key bersandar di kusen pintu. “Mama simpan semuanya. Katanya, kalau kamu pulang, kamu harus pakai itu lagi. Supaya kamu ingat siapa dirimu.”

Dengan tangan gemetar, Rini mengenakan kalung itu. Ia berdiri di depan cermin. Pantulan dirinya membuat dadanya mencelos.

Gaun yang elegan, rambut yang bersih, wajah yang mulai dipoles dengan lembut oleh tangan Bi Inah, semuanya membuat ia terlihat seperti Natasha Arini Mahesa yang dulu, tapi matanya, matanya menyimpan luka yang terlalu dalam.

“Aku bo-doh banget, ya, Kak Key,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan.

Key menatapnya lewat cermin. “Kamu bukan bodoh. Kamu cuma terlalu percaya. Dan terlalu cinta sama orang yang salah.”

Rini menyentuh lehernya, tempat kalung berlian itu menggantung. “Aku ninggalin semuanya demi Danu. Tapi saat aku nggak punya apa-apa lagi, dia buang aku kayak sampah.”

"Ya. Dan sekarang kamu tahu, kamu bukan sampah. Kamu Natasha Arini Mahesa. Titik. Kita akan buat suami kamu itu menyesal."

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istri yang Kuusir Ternyata Anak Konglomerat
Penulis : rahmalaa

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (7)"Kamu menangis bukan karena sakit di lututmu, kan?"Suara itu berat, datar...
25/06/2025

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (7)

"Kamu menangis bukan karena sakit di lututmu, kan?"

Suara itu berat, datar, dan nyaris tanpa emosi. Tapi bagi Rini, suara itu terdengar lebih menggetarkan hati dibanding teriakan Danu yang dulu pernah memaki-maki dia di hadapan anak mereka.

Rini menunduk. Air matanya deras, mengguyur p**i dan dagunya. Tapi ia tetap diam. Tak sanggup berkata-kata.

"Kamu menangis karena akhirnya sadar, ya?" Key melanjutkan, menunduk sedikit agar pandangannya sejajar dengan Rini yang terduduk di trotoar, lutut berda-rah, tubuh menggigil, dan mata bengkak oleh kesedihan.

"Sadar betapa bod-ohnya keputusanmu dulu. Betapa kami yang kamu tinggalin aku, Mama, Papa adalah satu-satunya tempat pulang yang kamu punya.”

Rini mencengkeram ujung rok lusuhnya. Bahunya bergetar hebat.

“Aku ... aku jahat ya, Kak?” suaranya parau, nyaris tak terdengar. “Aku ninggalin kalian, aku bahkan bahkan sempat bilang gak mau punya hubungan apa pun sama keluarga Mahesa.”

Key tak langsung menjawab. Dengan satu gerakan tegas, ia menunduk dan menyelipkan lengannya di bawah lutut dan punggung Rini, lalu mengangkat adiknya dalam posisi bridal style.

Rini panik. "Kak, jangan! Aku bisa jalan sendiri!"

"Jangan banyak bicara." suaranya dingin dan tak terbantah.

"Aku, aku kotor. Bajumu mahal. Aku nggak pantas—"

"Kamu pikir ini tentang baju? Tentang harga diri? Tentang pantas atau nggak?"

Key menatap tajam ke mata Rini. "Ini tentang kamu. Tentang adik perempuanku yang pernah memilih orang salah dan dihancurkan, tapi kamu masih punya keluarga."

Rini memejamkan mata. Air mata tak lagi bisa ditahan. “Aku capek banget, Kak. Aku gak kuat lagi.”

“Aku tahu.”

Ia memeluk Rini sedikit lebih erat. "Makanya sekarang kamu boleh capek. Giliran aku yang jagain kamu."

Mobil hitam panjang dengan plat nomor khusus sudah menunggu. Dua orang pengawal membukakan pintu belakang. Key menurunkan Rini pelan, meletakkannya di kursi empuk yang lebih nyaman dari tempat tidur kontrakannya.

Saat mobil mulai melaju perlahan, Rini melirik ke luar jendela. Jalanan yang biasa ia lewati dengan sandal jepit kini terasa asing, terlalu megah dilihat dari balik kaca mobil antipeluru itu.

"Anakku," ucapnya tiba-tiba, matanya membesar. "Anakku gimana? Aku ninggalin dia di rumah, aku harus—"

"Tenang." Key memotong cepat.

"Mobil kedua sedang dalam perjalanan. Dia bersama perawat dan pengasuh yang lebih layak daripada yang pernah kamu sewa dengan gaji seadanya."

Rini terdiam. Masih bingung antara lega dan takut.

"Dia aman, Rin. Kami bahkan sudah cek riwayat kesehatannya, jadwal imunisasi, gizi harian. Kamu kira kami nggak tahu kamu di mana selama ini?"

“Kakak ngikutin aku?”

“Kami gak pernah benar-benar kehilangan jejak kamu. Hanya menunggu kamu menyerah.”

Rini memejamkan mata. Di balik matanya yang tertutup, ribuan kenangan kembali berdatangan. Saat ia meninggalkan rumah besar itu demi cinta yang ternyata palsu. Saat ia memilih Danu, pria yang berjanji akan membangun masa depan bersama, tapi malah menukar semuanya dengan wanita lain begitu Rini tak punya apa-apa.

"Kak." Ia memanggil lirih.

"Hm?"

"Kenapa kakak masih mau bantu aku?" suaranya patah-patah. "Setelah semua kata-kata kasar yang aku ucapkan ke kalian, setelah aku ninggalin keluarga kita kayak sampah."

Key menoleh sedikit, matanya tajam tapi tak marah. "Karena kamu adikku, Rini. Dan keluarga kita, betapapun dingin dan kaku luarnya, tidak pernah membuang darah sendiri."

Rini menangis lagi. Tapi kali ini, tangisnya mengandung rasa syukur dan ketidakpercayaan.

“Aku takut ketemu Mama.”

“Wajar.” Key mengangguk. “Beliau juga takut kamu gak mau pulang. Tapi mereka tetap masak makanan kesukaanmu setiap ulang tahunmu, Rin. Tiap tahun. Bahkan saat kamu gak ada.”

Rini menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tuhan, aku ... aku gak tahu gimana cara minta maaf."

Key diam sejenak, lalu membuka laci kecil di bawah dashboard. Ia mengambil sebuah tisu wajah dan menyodorkannya ke Rini.

"Mulailah dengan bersih-bersih. Rambutmu kusut, bajumu bau pasar, dan mata kamu kayak panda dep-resi. Nanti aku bantu bersiap-siap."

Rini terkekeh di sela-sela tangisnya.

“Kamu masih jahat ya.”

“Nggak. Aku cuma sayang kamu dengan cara yang keras.” Key menoleh sedikit. Kali ini, sudut bibirnya terangkat tipis.

Mobil berhenti perlahan di halaman depan rumah sakit elite. Dua petugas medis berseragam menanti, sementara seorang staf perempuan membawa pakaian ganti. Key membuka pintu, lalu menoleh ke Rini.

“Kita belum akan langsung ke rumah. Aku akan temani kamu bersih-bersih, diperiksa dulu. Biar nanti pas ketemu Mama dan Papa, kamu bisa berdiri tegak. Bukan sebagai korban, tapi sebagai Natasha Arini Mahesa, anak perempuan mereka. Juga Rini yang akan kuat membalaskan semuanya, kita akan balas perbuatan mereka yang udah jahat sama kamu, Dek.”

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istri yang Kuusir Ternyata Anak Konglomerat
Penulis : rahmalaa

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (6)Hari itu, pasar terlihat lebih ramai dari biasanya. Rini duduk bersandar ...
25/06/2025

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (6)

Hari itu, pasar terlihat lebih ramai dari biasanya. Rini duduk bersandar di dinding musala kecil yang terletak tak jauh dari deretan lapak sayur. Di pangkuannya, Aruna tidur pulas dibalut kain tipis.
Ia menyalakan ponsel usang pemberian saudaranya dulu, layar retak di bagian kanan, tombolnya keras, dan baterainya cepat panas.

“Danu_Official mengunggah story.”

Rini terpaku beberapa detik. Jemarinya sempat gemetar.

Ia klik.

Dan benar saja.

Slide pertama, Danu tersenyum cerah, menggenggam tangan perempuan itu. Slide kedua, meja makan dengan lilin kecil dan bunga mawar. Slide ketiga, video pendek, perempuan itu tertawa saat Danu menyuapinya kue.

"Akhirnya bersama orang yang pantas. Bukan masa lalu yang menyiksa."

Rini menutup mulutnya dengan tangan. Napasnya tercekat. Ia menunduk, menggigit bibir agar tak menangis.

"Rin, kamu belum makan?" Suara Bu Warti, penjual kue keliling, memecah lamunannya.

Rini buru-buru menyeka matanya, mencoba tersenyum. "Belum, Bu. Nanti kalau ada uang lebih."

Bu Warti duduk di sebelahnya, meletakkan bungkusan nasi uduk di samping Rini. “Nih. Makan dulu. Gak usah ditolak. Kau belum kuat, Rin. Aruna juga butuh ibunya sehat.”

Rini menggeleng perlahan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menolak. Ia tahu, sudah seminggu lebih ia hanya makan seadanya.

"Makasih, Bu," ucapnya pelan.

"Masih sering lihat suamimu itu?" tanya Bu Warti hati-hati, sambil melirik ponsel retak Rini yang masih terbuka.

Rini hanya menunduk. Matanya sudah merah lagi.

“Padahal ya, Bu, dia dulu nganggur. Kerja aja aku yang cariin. Surat lamarannya aku ketik. Uangnya buat ongkos aku yang sisihin dari jualan ikan keliling.”

“Dan sekarang, dia peluk perempuan lain,” tambahnya dengan suara pelan. “Dia bilang perempuan itu lebih pantas.”

Bu Warti menghela napas panjang. “Orang jahat akan dapat balasan, Nak. Kamu sabar, ya.”

Tiba-tiba suara klakson dari arah jalan utama membuat semua orang menoleh. Beberapa orang berlari kecil ke arah suara itu.

“Eh, ada yang hampir nabrak orang!”

Rini menoleh panik. Suasana mendadak riuh. Ia berdiri tergesa, tapi belum sempat ia melangkah lebih jauh ke tempat keramaian, tubuhnya justru yang tertabrak lebih dulu.

BRAK!

Rini terjatuh ke aspal. Pinggangnya menghantam keras, dan lututnya tergores tajam. Sekelilingnya berteriak. Aruna? Ah, untung saja Rini menitipkannya tadi pada pedagang yang ia kenal di musola.

Mobil yang menabraknya malah tancap gas, berusaha kabur.

“EH! EH! MAU KABUR DIA!”

Namun dalam hitungan detik, tiga mobil SUV hitam mengapit mobil pelaku. Beberapa pria berbadan besar keluar, menggiring sopir keluar dari mobil dengan wajah tegang.

“SIAPA SURUH LO NGEREMBUK GAK JELAS DI KAMPUNG ORANG HAH?!” hardik salah satu pria berpakaian jas dengan earset di telinganya.

Orang-orang pasar hanya bisa menonton dengan mulut menganga. Rini masih terduduk di aspal, memegangi pergelangan tangannya yang nyeri.

Lalu, langkah kaki berat terdengar. Seseorang turun dari mobil paling tengah, mobil hitam mewah dengan plat khusus.

Pintu dibuka perlahan. Payung besar dibentangkan. Seorang pria berpakaian rapi, setelan formal abu-abu elegan, melangkah pelan tapi pasti.

Matanya tajam. Senyumnya tipis. Ia menatap Rini dengan cara yang belum pernah dilakukan siapa pun selama bertahun-tahun.

Langkahnya tidak ragu. Ia menghampiri Rini yang masih tertegun. Semua orang diam. Suara pasar menghilang seketika. Dunia seakan berhenti berputar hanya untuk momen itu.

Pria itu berlutut, mengambil tangan adiknya yang berdarah, lalu berkata pelan tapi pasti,

"Rini. Dari dulu aku mencarimu. Apa yang kamu pikirkan? Tinggalkan semua ini hanya karena laki-laki rendahan itu? Kamu memilih miskin, memilih menderita, karena cinta yang bahkan tidak bisa menghormatimu?"

Rini tidak menjawab. Bibirnya gemetar.

"Kamu pikir, kami tidak tahu ke mana kamu pergi? Kamu pikir, kami tidak peduli?"

Ia menggenggam tangan adiknya lebih erat.

"Kamu itu bukan perempuan biasa, Rin. Kamu darah keluarga kita kamu satu-satunya anak perempuan di keluarga kita. Adik kandungku. Anak dari keluarga orang terkaya di negeri ini. Kamu pewaris nama besar yang tidak seharusnya diinjak-injak oleh parasit semacam Danu dan keluarganya.”

Suara kakaknya bergetar.

"Pulanglah, Dek. Kamu tidak pantas hidup miskin. Kamu tidak pantas hidup dengan benalu-benalu itu. Bersama kita, kita akan balas semua yang telah mereka lakukan padamu."

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istri yang Kuusir Ternyata Anak Konglomerat
Penulis : rahmalaa

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (5) “Turun sini aja ya, Bu. Pasar induk, Blok G. Kalau malam bisa numpang is...
25/06/2025

ISTRI YANG KUUSIR TERNYATA ANAK KONGLOMERAT (5)

“Turun sini aja ya, Bu. Pasar induk, Blok G. Kalau malam bisa numpang istirahat di musala situ,” kata kenek bus, menunjuk arah kanan.

Rini mengangguk pelan, menahan sakit punggung yang menyerang karena duduk terlalu lama dengan menggendong bayi. Ia melangkah turun dari bus, sendirian, membawa tas gendong lusuh, dan sebuah keranjang berisi popok bekas pakai, botol susu, dan beberapa baju bayi.

Angin dini hari menusuk kulit, sementara langkahnya menyusuri jalanan pasar yang masih sepi. Cahaya lampu-lampu neon menyala redup, membuat semua tampak lebih suram dari yang sebenarnya.

Tapi Rini tak punya waktu untuk mengeluh.

Ia harus bertahan.

Karena bayi mungil itu, yang ia beri nama Aruna, tak punya siapa-siapa kecuali dirinya.

---

Hari-hari pertama, ia hanya jadi pengangkat barang. Memungut sampah. Menyusun cabai dan tomat busuk dari peti-peti yang baru datang dari luar kota.

Bu Warti, pemilik lapak cabai, kasihan padanya. “Kamu bisa bantu motongin sayur sama nimbangin, Rin. Bayarannya kecil, tapi cukup buat makan.”

Rini menerima apa pun. Tak ada lagi gengsi. Bahkan saat ia harus menggendong Aruna sambil jongkok berjam-jam di lantai tanah, ia tetap tersenyum. Bukan karena kuat, tapi karena tak punya pilihan. Namun, orang-orang mulai memperhatikan hal-hal kecil dari dirinya.

Cara duduknya tegak. Tatapan matanya tenang, terarah. Tangannya bersih, meski kini mulai kasar. Ia selalu mengucapkan terima kasih dengan sopan. Ia mengelap meja jualan seperti seorang pelayan profesional, bukan tukang pasar biasa.

Bahkan cara ia memanggil orang, berbeda.

“Maaf, Bu. Boleh saya pinjam timbangan sebentar?”

“Pak, ada plastik ukuran kecil?”

Tak satu pun ia sebut dengan nada tinggi. Tak satu pun ia bentak, meski sering dilecehkan. Suatu siang, seorang pedagang kopi menatapnya sambil mengangkat alis.

“Eh, Rin, kamu tuh sebenarnya orang mana, sih?”

Rini terdiam.

“Cara kamu ngomong, jalan, bukan kayak orang pasar.”

Ia hanya tersenyum tipis. “Dulu saya salah pilih jalan, Pak. Sekarang saya coba mulai lagi.”

Malam itu, hujan turun deras. Lapak sudah tutup. Rini duduk di emperan musala pasar, menenangkan Aruna yang rewel karena demam ringan. Air hujan merembes dari sela genteng, dan suara klakson truk terdengar menggema dari kejauhan.

Rini mengusap kepala Aruna dengan kain basah seadanya.

“Maafin Mama ya, Nak, Kita gak punya rumah, gak punya ayah yang bisa peluk kamu.”

Dadanya sesak. Ia ingat betul: saat Danu mengusirnya dari rumah sendiri, hanya karena ia tak mau membiayai resepsi mewah untuk pernikahan Danu dengan perempuan simpanannya.

Padahal ...

Pekerjaan pertama Danu dulu, ia yang carikan. Rini yang mengirimkan CV-nya. Rini yang meyakinkan HRD kenalannya agar memberi kesempatan.

Tapi sekarang? Ia bahkan diusir seperti sampah.

“Danu,” lirihnya, nyaris seperti doa. “Kalau kamu bisa lihat aku sekarang, aku cuma ingin bilang, kamu menang. Tapi aku belum kalah.”

---

Pagi berikutnya, seperti biasa, ia menata dagangan di lapak Bu Warti. Kali ini, tanpa sadar, seseorang berdiri lama di depan dagangan. Seorang pria dengan jas hujan dan masker. Tak berkata apa-apa, hanya melihat dagangan dengan tatapan penuh penilaian.

Rini menunduk sopan. “Mau beli cabai, Pak?”

Pria itu tak menjawab. Ia mengambil satu bungkus plastik kecil, menaruh selembar uang seratus ribu, lalu melangkah cepat ke arah gang belakang.

Rini hendak mengejarnya untuk memberi kembalian, tapi saat membuka plastik yang ditinggalkan, matanya melebar.

Di dalamnya bukan hanya uang. Tapi satu amplop tebal. Tangannya gemetar membuka. Di dalamnya, ada uang tunai berjuta-juta rupiah, dan satu kertas kecil berlipat.

Tulisan tangan itu rapi, elegan. Bukan tulisan orang pasar. Ada aroma parfum mahal di balik kertasnya.

“Kamu tidak sendirian. Kamu masih keluarga kami. Jika masa lalu membuatmu hancur, maka pulanglah. Kita akan rencanakan pembalasan dendam.”

Rini menahan napas. Tangannya gemetar. Ia menoleh kanan-kiri, berharap melihat pria itu kembali.

Tak ada siapa-siapa. Hanya gemericik air hujan, bau lumpur pasar, dan suara sayup penjual lontong yang baru datang.

Tapi dunia Rini berguncang pelan. Apakah ini artinya masa lalunya belum benar-benar mati? Apakah dirinya masih dianggap bagian dari keluarga yang dulu ia tinggalkan demi cinta?

Ia menatap Aruna yang tertidur dalam bakul sayur di sampingnya.

“Apa Mama harus kembali, Nak?”

---

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Istri yang Kuusir Ternyata Anak Konglomerat
Penulis : rahmalaa

Address

Tegal Tengah

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Heni Lianawati 09 posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share