
15/07/2025
Ada kabar menarik sekaligus membingungkan dari langit. Para ilmuwan dari IERS (International Earth Rotation and Reference Systems Service) menyebut bahwa selama bulan Juli dan Agustus 2025 ini, rotasi Bumi akan sedikit lebih cepat dari biasanya. Bukan cuma teori, ini didukung oleh data pengamatan yang menunjukkan bahwa beberapa hari ke depan akan berdurasi sedikit lebih pendek dibandingkan hari-hari normal. Misalnya, pada tanggal 9 Juli 2025, durasi hari diperkirakan akan lebih singkat 1,30 milidetik dari standar waktu normal, yaitu 86.400 detik. Kemudian pada 22 Juli dan 5 Agustus, masing-masing akan lebih pendek 1,38 milidetik dan 1,5 milidetik. Angka yang sangat kecil memang, bahkan manusia tidak akan merasakannya secara langsung. Tapi bagi dunia sains, ini adalah kejadian yang tak biasa dan layak dicatat.
Fenomena seperti ini sebenarnya bukan yang pertama. Sejak tahun 2020, tren percepatan rotasi Bumi sudah mulai tercatat, meski hingga kini para peneliti belum benar-benar bisa menjelaskan penyebab pastinya. Bahkan, tahun 2024 lalu tercatat sebagai rekor hari terpendek dalam sejarah modern, yaitu 1,66 milidetik lebih cepat dari 24 jam standar. Banyak faktor yang mungkin terlibat, dari perubahan gerakan atmosfer, pergeseran massa inti Bumi, sampai gaya tarik Bulan. Uniknya, Bulan yang selama ini dikenal memperlambat rotasi Bumi, justru bisa juga menjadi faktor percepatan ketika posisinya menjauh dari ekuator. Bahkan aktivitas geologi seperti gempa besar di Jepang tahun 2011 sempat mempercepat rotasi Bumi beberapa mikrodetik.
Tapi tenang saja. Percepatan itu tidak berlaku buat kita yang gajinya sudah habis sebelum tanggal gajian lagi. Untuk semua yang merasa senasib, mungkin waktu justru berjalan pelan, lambat, bahkan mungkin menyiksa. Sehari terasa seminggu. Karena meskipun Bumi muter lebih cepat, tanggal gajian tetap muter di tempat. Ilmuwan bisa ribut soal rotasi milidetik. Tapi kita, rakyat? sibuk muter otak, gimana caranya hidup dengan gaji yang tidak pernah cukup. Bukan karena nggak bersyukur, tapi karena UMR sekarang hanya cocok untuk dua hal, hidup hemat banget dan hidup dalam tekanan banget.
Memang UMR naik, tapi kenaikannya seringkali lebih kecil dari kenaikan harga barang pokok. Bisa jadi gaji naik 100 ribu, tapi harga beras, telur, mie instan, minyak goreng? Terbang bebas, seperti janji-janji yang sudah menguap. Belum lagi kenaikan tarif-tarif lain yang datang “ujug-ujug”. Pajak kendaraan naik, iuran BPJS, listrik mulai disesuaikan, dan subsidi yang ternyata nyasar ke mereka yang demen judol. Semua serba "penyesuaian", katanya. Memang yang menyesuaikan rakyat. Menyesuaikan diri dengan kebijakan-kebijakan baru.
Sementara itu, para pengambil kebijakan tampil meyakinkan di layar kaca. “Perekonomian kita membaik,” katanya. “Iklim investasi kondusif,” katanya lagi.
Tapi yang kita lihat di lapangan?
Warung-warung tutup, karyawan ter-PHK, dan pedagang kecil kelimpungan. Gaji naik tipis, tapi harga gaya hidup minimalis pun makin tak terjangkau. Ini bukan tulisan pesimistis, ini realitas di luar gedung ber-AC. Ironisnya lagi, para pemberi kebijakan yang bicara soal ekonomi kadang tak sadar, mereka hidup di dunia yang berbeda. Dunia yang kalau naik harga makan siang, tinggal geser anggaran representasi. Dunia yang kalau pajak naik, tak masalah, karena itu kewajiban semua rakyat. Sementara rakyat? Naik harga gorengan seribu rupiah pun bisa jadi bahan diskusi RT.
Jadi, kalau kita merasa hari makin lama, padahal katanya Bumi makin cepat muter, jangan bingung.
Itu bukan salah fisika. Itu karena kita hidup di tempat yang membuat rakyatnya harus berhemat, sangat mulia memang. Karena ternyata, bagi pemberi kebijakan, hidup hemat adalah solusi paling gampang untuk menutupi permasalahan ekonomi. Kenaikan penduduk disambut dengan narasi “bonus demografi”, tapi lapangan kerja tak bertambah. Kenaikan harga disambut dengan “subsidi tepat sasaran”, padahal rakyat disuruh tepat-tepatkan sisa gaji. Dan ketika kita mulai bicara, kita dianggap tidak bersyukur.
Memang, bumi berputar lebih cepat hanya berlaku bagi mereka yang gajinya masih sisa di tanggal gajian berikutnya. Yang sudah habis ini, cukup kencengin ikat pinggang.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.