PecahTelur

PecahTelur "Menyajikan Cerita Usaha yg Menginspirasi"
Liputan Keliling Indonesia! Full Video Di Channel Youtube! PecahTelur adalah Media tentang Sosial Bisnis.

PecahTelur memiliki 4 segmen tayangan;
1. Para Perintis (tentang para perintis usaha terutama yang berusia di bawah 30 thn)
2. TANDUR (tentang pertanian) & Ingon-ingon (peternakan)
3. Cerita Usaha (tentang mindset bisnis, strategi dan pilihan hidup)
4. SETARA (tentang perjuangan manusia yang dipandang sebelah mata)

Beberapa waktu lalu, dunia politik Thailand bikin gebrakan besar. Perdana Menteri mereka, Anutin Charnvirakul, secara me...
13/12/2025

Beberapa waktu lalu, dunia politik Thailand bikin gebrakan besar. Perdana Menteri mereka, Anutin Charnvirakul, secara mengejutkan mengumumkan pembubaran parlemen. Langkah itu katanya demi mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Dan hanya dalam hitungan hari, Raja Thailand pun menyetujui keputusan itu lewat dekrit resmi. Hasilnya? Rakyat Thailand akan kembali ke TPS dalam waktu 45 hingga 60 hari ke depan. Cepat, tegas, dan cukup membuat dunia menganga.

Kalau langkah seperti ini terjadi di Indonesia, mungkin akan jadi headline nasional selama sebulan penuh, dibumbui dengan kontroversi, debat kusir di TV, dan analisis politik yang tidak kunjung tuntas. Tapi satu hal yang pasti, di Indonesia, pembubaran DPR oleh Presiden itu mustahil secara hukum. Tidak peduli seberapa kesalnya rakyat atau presidennya, konstitusi kita tidak memberikan kewenangan seperti itu. Parlemen hanya bisa berganti lewat pemilu lima tahunan, bukan lewat ketukan meja satu orang.

Ini jadi kontras yang menarik. Thailand, dengan segala kekisruhan politiknya, bisa membubarkan parlemen dalam waktu singkat demi merespon konflik. Sementara Indonesia, meski terkesan demokratis dan stabil, justru sering terlihat seperti negara yang tidak tahu cara membersihkan dapurnya sendiri. Parlemen tetap ada, meski tidak jelas kontribusinya. Anggota DPR tetap digaji, meski sering tidak hadir. Dan rakyat? Ya, rakyat tetap menonton dari jauh, kadang dengan cemas, kadang dengan geli, kadang dengan apatis.

Di Thailand, alasan pembubaran parlemen karena konflik politik. Di Indonesia, konflik juga sering terjadi. Hanya saja, solusinya bukan pembubaran, melainkan perundingan yang dibungkus lobi-lobi senyap, barter jabatan, dan pernyataan pers yang membingungkan. Lalu semuanya kembali ke titik nol, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sebenarnya, kalau DPR kita memang bekerja sebagaimana mestinya, sistem ini tidak perlu dikeluhkan. Tapi mari jujur sejenak. Apa sih yang benar-benar kita rasakan dari keberadaan DPR RI hari ini?

Banyak masyarakat merasa DPR hanya jadi institusi formalitas, bukan wakil rakyat dalam arti sebenarnya. Mereka membuat undang-undang yang tidak diminta rakyat. Mereka absen saat rakyat membutuhkan suara mereka. Mereka ramai saat pemilu, tapi sunyi saat rakyat butuh dibela. Wajar kalau muncul pertanyaan, apa sebenarnya fungsi DPR RI selain menyetujui anggaran dan menjadi stempel kebijakan pemerintah?

Bahkan tak jarang DPR dianggap sebagai beban. Setiap tahun mereka menerima anggaran besar, gaji tinggi, tunjangan luar biasa, fasilitas negara, perjalanan dinas, sampai pensiun seumur hidup. Sementara di sisi lain, guru honorer dan tenaga kesehatan masih harus berjuang mendapatkan hak dasar mereka. Ketimpangan ini semakin nyata ketika banyak anggota DPR justru terjerat kasus korupsi, gratifikasi, atau memperkaya diri dari posisi mereka.

Masyarakat juga makin jengah dengan proses legislasi yang dirasa jauh dari partisipasi publik. Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, disahkan tengah malam dengan pembahasan kilat dan minim transparansi. Saat masyarakat turun ke jalan, apa respons parlemen? Tertutup dan defensif. Tidak heran, ketika kata DPR disebut, banyak orang langsung mengaitkannya dengan kata-kata seperti absen, setuju tanpa baca, atau wakil siapa, sih?

Bandingkan dengan Thailand. Meski pemerintahannya juga sering disebut tidak stabil, setidaknya ketika konflik memuncak, mereka punya mekanisme untuk mengembalikan keputusan kepada rakyat lewat pemilu cepat. Apakah itu solusi ideal? Belum tentu. Tapi setidaknya rakyat masih diberi ruang memilih kembali arah masa depannya. Di Indonesia, kita harus menunggu lima tahun, tidak peduli seburuk apapun kualitas perwakilan kita.

Lucunya, ketika muncul wacana bubarkan DPR di Indonesia, jawaban pejabat dan ahli hukum selalu sama, tidak bisa, itu melanggar konstitusi. Secara hukum, benar. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan betapa rakyat tidak punya ruang kontrol langsung terhadap lembaga perwakilan yang seharusnya bekerja untuk mereka. Kita bisa mencaci, mengkritik, dan bahkan membuat petisi. Tapi semua itu tidak punya kekuatan hukum apapun. DPR tetap aman, tetap bergaji, dan tetap berseragam lengkap saat sidang tahunan meski absen di rapat-rapat penting.

Ketika sistem demokrasi gagal membuat rakyat merasa punya kendali, maka yang lahir adalah ketidakpercayaan. Dan itu yang sedang terjadi di Indonesia. Survei demi survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR selalu rendah. Bahkan sering jadi lembaga dengan tingkat kepercayaan terendah di antara institusi negara lainnya. Di sisi lain, pemerintah juga tidak selalu tampil meyakinkan. Dalam banyak isu, mulai dari harga pangan, pendidikan, hingga energi, komunikasi pemerintah sering simpang siur. Rakyat bingung siapa yang harus dipercaya. Dan saat bingung itulah, banyak dari kita merasa sendirian, seolah tidak ada lembaga negara yang benar-benar hadir membela.

Sementara itu, DPR dan pemerintah tetap saling menyalahkan. Ketika ada kebijakan yang salah sasaran, pemerintah bilang sudah disetujui DPR. DPR bilang hanya menjalankan apa yang diajukan pemerintah. Semuanya lempar bola, tak ada yang mau bertanggung jawab. Rakyat? Lagi-lagi jadi penonton. Kondisi seperti ini membuat demokrasi kita tampak seperti panggung sandiwara, di mana semua tokoh sudah tahu perannya, tapi lupa siapa yang seharusnya mereka wakili. Padahal, demokrasi bukan soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan rakyat banyak.

Mungkin itulah sebabnya mengapa langkah Thailand terasa seksi di mata sebagian orang. Ketika konflik terjadi, mereka punya opsi untuk mulai dari awal. Rakyat kembali memilih. Meski belum tentu hasilnya lebih baik, tapi setidaknya rakyat diberi kesempatan mengambil alih kemudi. Di Indonesia, kita hanya bisa berharap. Harap pemilu berikutnya membawa perubahan. Harap wakil rakyat benar-benar mewakili. Harap hukum benar-benar ditegakkan. Harap-harap yang tak kunjung habis.

Akhirnya, kita tidak bisa menyalin sistem Thailand begitu saja. Tapi kita bisa belajar. Bahwa demokrasi yang sehat bukan soal stabil atau cepat. Tapi soal kepercayaan. Dan untuk membangun kepercayaan, semua institusi harus mau dikritik, diawasi, dan jika perlu, dibenahi dari akarnya. Karena sebaik apapun sistem hukum dan undang-undangnya, kalau wakil rakyat tidak merasa mereka adalah bagian dari rakyat, maka parlemen hanya akan jadi gedung kosong yang penuh suara, tapi tidak punya gema.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Banjir bandang dan longsor besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal D...
13/12/2025

Banjir bandang dan longsor besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 telah merusak ribuan rumah, memutus infrastruktur, dan meninggalkan ratusan warga tewas atau hilang. Pemerintah menyatakan kebutuhan anggaran untuk pemulihan pasca bencana diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah. Namun ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa sekitar Rp60 triliun dana untuk penanganan bencana itu tersedia melalui hasil efisiensi belanja negara termasuk dari rapat yang tidak jelas, reaksi publik langsung pecah. Bukan karena angkanya besar. Bukan karena pemerintah siap mengalokasikan dana untuk rakyat yang kehilangan segalanya. Tapi karena cara penyediaannya disampaikan dengan kata-kata yang terdengar seperti sindiran terhadap birokrasi sendiri, bagaikan orang bilang, kami temukan uang di kolong kasur setelah membereskan tumpukan rapat yang tidak penting.

Purbaya menegaskan ruang fiskal itu bukan hasil pemotongan anggaran penting, tetapi dari efisiensi kegiatan pemerintah, termasuk pengurangan kegiatan yang dinilai tidak produktif. Ia mengatakan pemerintah tidak perlu memotong belanja kementerian/lembaga atau meminjam lagi dana darurat, karena sudah ada cadangan bencana yang siap dipakai. Menurut Purbaya bukan memotong anggaran, tetapi efisiensi. Purbaya juga menjelaskan bahwa kegiatan yang tidak memberikan dampak nyata dapat disesuaikan agar uang itu bisa dipakai untuk penanganan bencana.

Namun publik langsung mempertanyakan apa yang dimaksud dengan rapat yang tidak jelas dan bagaimana anggaran efisiensi bisa sedemikian besar hingga mencapai Rp 60 triliun. Kisi-kisi pertanyaan itu membuka tabir lain dari birokrasi pemerintahan Indonesia, banyak anggaran yang selama ini disusun untuk kegiatan internal, rapat lintas kementerian, seminar nasional, bahkan tim kecil yang rapatnya lebih sering menghasilkan notulen daripada realisasi program di lapangan. Pernyataan Purbaya seolah menegaskan apa yang sudah lama menjadi curahan hati banyak orang, bahwa ada belanja negara yang diperuntukkan bagi kegiatan simbolik yang jauh dari produktivitas nyata. Ketika rakyat menunggu logistik tiba di lokasi bencana, sementara anggaran negara sering terbuang dalam rapat yang sama sekali tidak memicu solusi, maka wajar publik bertanya keras, apa sebenarnya prioritas anggaran itu?

Ironi terbesar muncul ketika kita membandingkan angka Rp 60 triliun itu dengan kebutuhan nyata di lapangan. Menurut data Reuters pemerintah memperkirakan biaya rekonstruksi dan pemulihan infrastruktur pasca bencana di Sumatra mencapai Rp 51,82 triliun, jumlah yang sangat besar dan berimplikasi pada rencana hunian sementara, perbaikan jalan, layanan kesehatan, serta bantuan sosial bagi masyarakat terdampak. Fakta ini menunjukkan bahwa kebutuhan anggaran memang mendesak dan rakyat berharap angka tersebut benar-benar digunakan untuk tujuan-tujuan tersebut, bukan untuk menutupi borok birokrasi yang selama ini terabaikan.

Respons publik sendiri beragam. Di satu sisi, banyak orang menyambut baik bahwa pemerintah sudah siaga dengan ruang fiskal yang cukup untuk menolong masyarakat Sumatera yang membutuhkan. Efisiensi terdengar seperti jargon yang baik ketika disandingkan dengan semangat mengurangi pemborosan. Namun di sisi lain muncul kecurigaan bahwa istilah efisiensi sering dipakai sebagai tameng untuk melakukan pengalihan fungsi anggaran, atau sebagai legitimasi untuk anggaran besar tanpa transparansi yang jelas. Kritik ini bukan tanpa dasar. Sudah sejak lama banyak analis anggaran dan lembaga pemantau menyuarakan bahwa belanja negara Indonesia memiliki porsi yang besar terhadap kegiatan internal kementerian/lembaga, tetapi sering kurang dipantau dampak riilnya. Kalau benar pemerintah bisa menemukan Rp 60 triliun dari rapat yang tidak jelas, publik layak bertanya mengapa hal ini baru ditemukan saat krisis datang, bukan saat anggaran itu pertama kali disusun.

Pernyataan Purbaya ini sekaligus memperlihatkan dilema kebijakan publik dalam menghadapi krisis besar. Ketika bencana terjadi, semua pihak langsung sepakat bahwa bantuan harus turun cepat. Tetapi ketika detail sumber dana nasional itu dipaparkan, justru muncul pertanyaan yang memantik debat panjang tentang prioritas, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagian analis menganggap langkah efisiensi ini tepat karena menunjukkan adanya kontrol fiskal yang serius terhadap anggaran negara. Ada p**a yang menilai bahwa kritik Purbaya terhadap rapat-rapat yang tidak jelas adalah cermin frustasi profesional terhadap budaya birokrasi yang sering tidak memprioritaskan hasil. Di masa di mana rakyat kehilangan rumah mereka, foto-foto di media sosial memperlihatkan pengungsi menunggu bantuan datang, dan kebutuhan permukiman darurat semakin mendesak, wacana anggaran efisiensi ini terasa seperti dua sisi mata uang satu sisi memberikan harapan, sisi lain menimbulkan pertanyaan kritis.

Pada titik tertentu, kita harus bertanya, apakah konsep efisiensi ini akan benar-benar berdampak pada penanganan bencana secara efektif, atau hanya menjadi jargon birokrasi yang terdengar bagus di konferensi pers tetapi minim dampak di lapangan? Dana Rp 60 triliun bisa berarti perbaikan ribuan rumah yang rusak, pembukaan kembali akses jalan yang terputus, penyediaan logistik selama berbulan-bulan, dan bantuan sosial bagi ribuan keluarga yang kehilangan tempat tinggal. Tapi semua itu membutuhkan mekanisme distribusi yang transparan, keterlibatan lembaga pengawas independen, dan audit publik yang memastikan setiap rupiah digunakan sesuai dengan tujuan awal. Tanpa itu, efisiensi bisa saja menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi sulit dibuktikan.

Pada akhirnya, pernyataan Purbaya membuka pintu diskusi yang lebih luas tentang bagaimana anggaran negara seharusnya dikelola dan diprioritaskan. Di saat rakyat sedang kehilangan rumah, akses, bahkan nyawa, masyarakat berhak tahu bagaimana anggaran itu diputuskan, dikelola, dan diaudit. Kita tidak menolak efisiensi, tetapi kita menuntut transparansi. Kita tidak menyangkal bahwa negara perlu ruang fiskal yang luas untuk krisis besar, tetapi kita ingin memastikan bahwa ruang itu bukan sekadar angka di kertas atau jargon rapat kabinet. Karena ketika realitas banjir Sumatra masih menganga, rakyat berhak menuntut akuntabilitas, bukan sekadar janji efisiensi. Dan jika anggaran Rp 60 triliun itu benar-benar ada, semoga ia menjadi harapan nyata, bukan sekadar headline seminggu.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

13/12/2025

Dulu pasutri ini gengsi jualan wajan. Sekarang? Justru wajan yang nyelametin dari bangkrut.

Dari minus ratusan juta karena kripto & usaha toko baju yang gagal, kini mereka bangkit lewat Live TikTok.

Yang jualan bukan sembarang orang. Istrinya lulusan dokter. Suaminya anak pengrajin wajan yang sempat diremehkan.

Tapi justru dari titik terendah, saat uang habis, rumah hampir dijual, dan anak tiga butuh makan, mereka nemu jalan rezeki: jualan wajan handmade via TikTok Live.

Sekarang? Ribuan paket wajan dikirim tiap bulan. Brand lokal mereka, NASA Aluminium, mulai dikenal ke seluruh Indonesia.

Tertarik mengikuti jejak mereka? simak cerita lengkapnya dalam episode "Cerita Usaha" di youtube PecahTelur.

Selama ini kita mengenal tuna sebagai ikan mahal yang layak disajikan di restoran bintang lima, diiris tipis jadi sashim...
13/12/2025

Selama ini kita mengenal tuna sebagai ikan mahal yang layak disajikan di restoran bintang lima, diiris tipis jadi sashimi, atau dikalengkan untuk pasar ekspor. Tapi ada satu bagian yang hampir selalu dianggap tak berguna, dibuang, atau dijadikan pakan ternak murah, tulangnya. Padahal di balik tulang tuna tersembunyi harta karun bernilai tinggi yang sedang diburu industri kesehatan, kosmetik, hingga biomedis dunia. Ironisnya, Indonesia sebagai salah satu produsen tuna terbesar di dunia justru masih terjebak pada pola lama, yaitu menjual daging, membuang sisanya, lalu heran kenapa nelayan dan industri hulu tetap miskin.

Secara ilmiah, tulang tuna mengandung kolagen tipe I, kalsium bioaktif, fosfor, serta senyawa hidroksiapatit yang sangat dibutuhkan industri farmasi dan ortopedi. Penelitian dari Journal of Food Science dan Marine Drugs menunjukkan bahwa kolagen dari tulang ikan laut dalam seperti tuna memiliki struktur molekul yang lebih mudah diserap tubuh manusia dibanding kolagen sapi. Inilah sebabnya perusahaan kosmetik Korea, Jepang, hingga Eropa memburu kolagen laut untuk produk anti-aging, suplemen sendi, dan bahan medis. Sementara kita? Masih sibuk memperdebatkan harga solar nelayan dan kuota ekspor mentah.

FAO mencatat bahwa lebih dari 60 persen nilai ekonomi perikanan modern justru berasal dari produk samping, bukan dari daging utamanya. Kulit, sisik, dan tulang kini menjadi bahan baku bernilai tinggi. Di Jepang, tulang tuna diekstraksi menjadi kalsium larut untuk suplemen lansia. Di China, limbah tulang ikan diproses menjadi biomaterial implan tulang. Bahkan di Norwegia, residu perikanan diolah menjadi industri kolagen bernilai miliaran dolar. Sementara Indonesia yang punya laut luas dan produksi tuna besar masih puas mengekspor dalam bentuk loin beku, lalu mengimpor suplemen mahal dari bahan yang sebenarnya berasal dari laut kita sendiri.

Masalahnya bukan pada teknologi semata, tapi pada cara berpikir. Sistem perikanan Indonesia masih berhenti di logika ambil, jual, selesai. Industri hulu dan hilir tidak terhubung. Nelayan hanya mengenal nilai ikan saat ditimbang di pelabuhan, bukan potensi nilai lanjutan setelahnya. Padahal satu ton tulang tuna bisa menghasilkan kolagen bernilai jauh lebih tinggi dibanding harga daging mentahnya. Namun tanpa riset terintegrasi, insentif industri, dan keberanian kebijakan, tulang tuna tetap dianggap limbah. Kita seperti orang kaya yang hidup dari menjual perhiasan, tapi membuang emas di balik dinding rumahnya.

Beberapa riset di Indonesia sebenarnya sudah membuktikan potensi ini. Penelitian dari IPB dan BRIN menunjukkan bahwa kolagen dari tulang dan kulit tuna sirip kuning memiliki kualitas tinggi dan layak untuk industri pangan fungsional serta farmasi. Bahkan uji laboratorium menunjukkan kandungan kalsiumnya sangat baik untuk pencegahan osteoporosis. Tetapi riset sering berhenti di jurnal, bukan di pabrik. Tidak ada jembatan serius antara kampus, industri, dan nelayan. Negara sibuk bicara hilirisasi nikel, tapi lupa bahwa laut juga punya nikel biologis yang nilainya tidak kalah strategis.

Di sinilah letak ironi besar bangsa maritim. Kita bangga menyebut diri poros maritim dunia, tapi masih memperlakukan hasil laut seperti komoditas mentah. Padahal nilai tambah sejati justru ada pada pengolahan lanjutan. Jepang tidak kaya karena ikannya banyak, tapi karena industrinya cerdas. Mereka memanfaatkan setiap bagian ikan, dari kepala sampai tulang. Kita sebaliknya, menjual bagian paling murah dan membuang yang paling bernilai. Lalu ketika negara lain menjual suplemen kolagen laut dengan harga mahal, kita menjadi konsumen setia tanpa sadar bahwa bahan bakunya berasal dari perairan kita sendiri.

Jika pemerintah serius bicara kedaulatan pangan dan ekonomi biru, maka tulang tuna harus masuk agenda besar. Bukan sebagai limbah, tapi sebagai aset strategis. Kita butuh kebijakan yang mendorong industri ekstraksi kolagen, insentif pajak untuk pengolahan hasil samping perikanan, serta koperasi nelayan yang terhubung langsung dengan pabrik pengolahan. Kita juga perlu memastikan bahwa nelayan mendapat bagian dari nilai tambah ini, bukan hanya menjadi pemasok bahan mentah murah. Tanpa itu, ekonomi biru hanya akan menjadi slogan indah di pidato, bukan realitas di pelabuhan.

Pada akhirnya, cerita tentang tulang tuna adalah cermin cara kita memandang kekayaan alam. Apakah kita ingin terus menjual apa adanya dan hidup dari sisa-sisa, atau mulai mengelola dengan ilmu dan visi jangka panjang. Dunia sudah melihat tulang tuna sebagai harta karun. Tinggal kita yang memutuskan, mau ikut menambang emas biru itu, atau terus membuangnya sambil mengeluh kenapa laut yang luas tidak membuat nelayan sejahtera. Karena masalah kita bukan kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan keberanian untuk mengolahnya dengan benar.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

13/12/2025

Wanita Lulusan Kedokteran Rela Jualan Wajan di Live Tiktok Karna Suami Bangkrut

Simak cerita lengkapnya di youtube PecahTelur

Setiap kali Apple merilis iPhone baru, selalu ada satu pertanyaan yang terdengar sepele tapi sebenarnya brutal, berapa l...
13/12/2025

Setiap kali Apple merilis iPhone baru, selalu ada satu pertanyaan yang terdengar sepele tapi sebenarnya brutal, berapa lama saya harus bekerja untuk membelinya. Pertanyaan ini bukan tentang gaya hidup, bukan p**a tentang pamer teknologi, tapi tentang daya beli dan nilai kerja manusia. Data iPhone Index dari Picodi 2024 membukanya dengan blak-blakan. Di Swiss, seseorang cukup bekerja sekitar empat hari untuk membeli iPhone terbaru. Di Amerika Serikat, sekitar lima hari. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, jawabannya tidak lagi hitungan hari. Sudah masuk hitungan minggu, bahkan bulan. Dan di situlah masalahnya. Harga iPhone hampir sama di seluruh dunia, tapi harga tenaga kerja manusia sangat berbeda. Terlalu berbeda untuk disebut adil.

Di Swiss, upah tinggi bukan hadiah, melainkan hasil dari sistem ekonomi yang memposisikan pekerja sebagai manusia, bukan biaya yang harus ditekan. Di Amerika Serikat, meski upah minimum sering diperdebatkan, produktivitas masih cukup seimbang dengan daya beli. Tetapi di banyak negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, termasuk kita, cerita berubah drastis. Orang bekerja penuh waktu, lembur, stres, tapi hasil kerjanya hanya cukup untuk hidup pas-pasan. Membeli iPhone? Itu bukan soal prioritas, tapi soal kemustahilan struktural. Masalahnya bukan karena rakyat terlalu konsumtif, tapi karena kerja mereka terlalu murah.

Ironisnya, banyak negara berkembang justru menjadi basis produksi barang-barang mahal itu. Buruh pabrik bekerja berjam-jam, rantai pasok berjalan tanpa henti, tapi nilai tambahnya menguap ke negara lain. Di ujung rantai, konsumen di negara kaya bisa membeli iPhone hanya dengan beberapa hari kerja. Di sisi lain, pekerja di negara dengan upah rendah harus menabung berbulan-bulan, itu pun kalau masih tersisa setelah bayar sewa, makan, transportasi, dan cicilan hidup. Kita hidup di dunia di mana satu produk bisa menjadi simbol kemajuan bagi satu bangsa, dan simbol ketimpangan bagi bangsa lain.

Data Picodi ini sebenarnya lebih kejam daripada sekadar perbandingan gaya hidup. Ia menunjukkan berapa mahal harga hidup di negara miskin, dan betapa murahnya hidup di negara kaya jika dilihat dari upah. Kita sering salah kaprah, mengira hidup di negara maju mahal. Padahal yang mahal bukan hidupnya, tapi standar hidupnya. Upahnya juga tinggi. Di negara berkembang, hidup terlihat murah, tapi sebenarnya mahal jika diukur dari penghasilan. Ini seperti membeli nasi dengan harga murah, tapi dompetmu selalu kosong. Murah di label, mahal di realitas.

Yang lebih menyakitkan, negara sering membanggakan stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan PDB, atau angka investasi, tapi lupa satu indikator paling jujur, berapa hari kerja yang dibutuhkan rakyat untuk membeli barang yang sama dengan warga negara lain. iPhone hanyalah contoh ekstrem, karena harganya global dan tidak bisa dimanip**asi. Ia menjadi cermin paling telanjang tentang seberapa besar negara menghargai kerja warganya. Ketika rakyatmu harus bekerja puluhan hari untuk sesuatu yang orang lain beli dalam hitungan hari, itu bukan soal Apple. Itu soal kebijakan upah, produktivitas, dan distribusi nilai.

Kita sering disuruh bersyukur, hidup sederhana, tidak iri pada negara lain. Nasihat itu terdengar bijak, tapi sering dipakai untuk menutupi kegagalan sistem. Bersyukur tidak salah, tapi bersyukur tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan upah rendah yang sistemik. Tidak semua orang ingin iPhone, tapi semua orang ingin kerja mereka dihargai secara adil. Masalahnya bukan karena rakyat ingin barang mahal, tapi karena mereka sadar kerja keras mereka tidak pernah benar-benar cukup untuk naik kelas.

Negara-negara seperti Swiss tidak kaya karena rakyatnya bekerja lebih keras secara fisik, tapi karena sistemnya memastikan kerja mereka bernilai tinggi. Pendidikan, inovasi, industri bernilai tambah, perlindungan pekerja, dan kebijakan upah berjalan seiring. Sementara di banyak negara berkembang, termasuk kita, kerja keras sering hanya berarti kerja panjang, bukan kerja bernilai. Jam kerja tinggi, produktivitas stagnan, dan upah ditekan demi daya saing. Daya saing siapa? Biasanya daya saing perusahaan, bukan daya hidup pekerja.

Perbandingan iPhone Index ini seharusnya memicu rasa malu kolektif di tingkat kebijakan, bukan ejekan ke rakyat yang ingin hidup lebih baik. Ketika warga Swiss bisa membeli iPhone dalam empat hari, itu bukan karena mereka lebih konsumtif, tapi karena sistem negaranya membuat kerja mereka bernilai. Ketika warga negara lain harus bekerja berminggu-minggu atau berbulan-bulan, itu bukan karena mereka malas, tapi karena nilai kerja mereka direndahkan sejak awal.

Pada akhirnya, iPhone hanyalah alat ukur. Besok bisa diganti mobil, rumah, atau pendidikan. Intinya tetap sama, berapa lama manusia harus menjual waktunya untuk mendapatkan sesuatu yang sama. Dan selama jawabannya terlalu lama, berarti ada yang salah bukan pada rakyatnya, tapi pada negaranya. Negara yang besar bukan negara yang warganya disuruh menyesuaikan mimpi, tapi negara yang memperbesar nilai kerja agar mimpi itu masuk akal.

Jadi kalau ada yang bertanya berapa waktu yang dibutuhkan di negaramu, itu bukan sekadar pertanyaan gaya hidup. Itu pertanyaan tentang martabat kerja. Dan jawabannya seharusnya membuat kita berhenti membandingkan kamera iPhone, lalu mulai membandingkan keberanian negara dalam menghargai warganya sendiri.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

13/12/2025

Zaman sekarang ziaroh wali, liburan sekolah, unduh mantu masih pakai bus yang nggak nyaman, kursi keras, AC mati, bahkan aroma yang… bikin kepala muter ? 🤮🤢

Sekarang udah saatnya teman-teman semua menikmati perjalanan bersama orang tersayang dengan PO .id Karena Perjalanan yang nyaman bukan sekadar sampai tujuan, tapi juga tentang tenangnya hati di sepanjang jalan. Bersama PO Zain Putra, setiap perjalanan jadi pengalaman yang menyenangkan. PO Zain Putra — The Best Choice to Travel.

Tanya armada & tarif,
WhatsApp Halo Zain Putra :
0857-7775-4778
Fast response anti lemot.

Langsung ke garasi juga boleh,
Office PO Zain Putra buka hati Senin s/d Sabtu.

Di sebuah desa di China, para petani tidak lagi hanya menanam padi lalu menunggu musim panen sambil berharap hujan turun...
13/12/2025

Di sebuah desa di China, para petani tidak lagi hanya menanam padi lalu menunggu musim panen sambil berharap hujan turun pada waktu yang tepat. Mereka menebarkan kepiting kecil jenis Eriocheir sinensis ke petakan sawah, membiarkan hewan-hewan itu berjalan, menyaring air, memangsa hama, dan menyuburkan tanah secara alami. Model ini bukan eksperimen unik, melainkan bagian dari program agroekologi besar yang kini didorong pemerintah Tiongkok, sistem pertanian polikultur yang menggabungkan padi, kepiting, ikan, atau bahkan bebek. Sementara di sisi lain Indonesia negara agraris dengan 7,46 juta hektar lahan sawah menurut BPS masih berkutat pada masalah klasik harga pupuk, tanah jenuh kimia, saluran irigasi rusak, dan produksi stagnan. Kalau mau jujur, kita ini seperti murid lama yang terus mengulang kelas, sementara negara lain sudah masuk bab baru.

Metode sawah kepiting di China bukan sekadar gimmick. Penelitian dari Chinese Academy of Agricultural Sciences (CAAS) menunjukkan bahwa kepiting membantu meningkatkan kadar nitrogen tanah, memangkas pop**asi hama, mengurangi kebutuhan pestisida hingga 50 persen, sekaligus memberi pendapatan tambahan melalui panen kepiting. Para petani menanam padi sambil beternak, menciptakan sistem pertanian dua keuntungan. Bahkan menurut laporan South China Morning Post, beberapa daerah mengalami lonjakan pendapatan hingga 3-4 kali lipat karena sistem ini. Bandingkan dengan Indonesia, di mana petani harus membeli pupuk mahal lalu menjual gabah dengan harga rendah, persis seperti usaha yang rugi sejak awal tetapi tetap dipaksa berjalan demi ketahanan pangan nasional.

Di Indonesia, bicara inovasi pertanian sering mentok pada seminar, bukan penerapan. Pemerintah mendorong mekanisasi, tapi irigasi kita bocor di mana-mana. Pemerintah bicara swasembada, tetapi BPS melaporkan impor beras kita pada 2023 mencapai lebih dari 3 juta ton, angka tertinggi sepanjang sejarah. Para ahli sudah lama menyarankan pendekatan agroekologi seperti integrasi ikan di sawah, tapi yang terjadi justru ketergantungan semakin besar pada pupuk kimia. Tanah yang dulunya subur kini semakin keras, keanekaragaman hayati menghilang, dan biaya produksi terus naik. Tanpa teknologi baru dan keberanian meniru yang berhasil dari negara lain, pertanian kita akan terus berjalan seperti roda pedati, bergerak, tapi lambat dan penuh beban.

Apa yang dilakukan China sebenarnya tidak rumit. Mereka mengamati ekosistem, melihat peran hewan-hewan kecil dalam menjaga keseimbangan, lalu menjadikannya bagian dari model pertanian massal. Mereka memodernisasi sambil menghormati mekanisme alam. Sementara kita, sering kali melakukan hal sebaliknya, memaksa alam mengikuti pola industri tanpa melihat konsekuensi jangka panjang. Saat pupuk subsidi berkurang, petani panik. Saat hama meningkat, solusi yang dipilih adalah obat kimia yang semakin memperparah kondisi tanah. Padahal di banyak wilayah Nusantara seperti Bali, Jawa tengah, dan Sumatera Barat sudah ada kearifan lokal integrasi ikan dengan padi yang sejak dulu menjaga ekosistem sawah tetap stabil. Ironis bahwa negara sebesar China mengadopsi prinsip itu secara ilmiah, sementara kita malah melupakannya demi pertanian modern versi brosur.

Di sisi lain, kebijakan pertanian Indonesia sering kali penuh retorika tetapi minim pengamanan lapangan. Saat gagal panen terjadi, petani disalahkan. Saat impor naik, alasan cuaca dijadikan tameng. Tapi tidak ada mekanisme serius yang mendorong diversifikasi metode bertani seperti model padi, ikan, dan kepiting. Bahkan ketika beberapa universitas seperti IPB dan UGM sudah membuktikan bahwa integrasi hewan di sawah meningkatkan hasil hingga 20 hingga 30 persen, kebijakannya tetap jalan di tempat. Kita selalu terpikat proyek besar lumbung pangan, food estate, dan segala jargon megah tetapi lupa bahwa masa depan pertanian berdiri di atas eksperimen kecil yang berdampak nyata, bukan diatas proposal raksasa yang gagal dipanen.

Jika kita mau jujur, pelajaran dari China sebetulnya sederhana, keberlanjutan tidak harus mahal, inovasi tidak harus rumit, dan modernisasi tidak harus meninggalkan alam. Kepiting-kepiting itu bekerja tanpa gaji, tanpa rapat, tanpa anggaran evaluasi. Mereka mengembalikan kesuburan tanah sambil menjaga ekologi. Model ini menunjukkan bahwa solusi pangan dunia mungkin justru berada di dasar sawah, bukan di ruang rapat kementerian. Tapi untuk mengadopsinya, kita harus mengubah cara berpikir, dari pertanian berbasis input mahal ke pertanian berbasis ekosistem. Dari pola memaksa ke pola merawat. Dari ketergantungan ke keberlanjutan.

Pada akhirnya pertanyaan besarnya bukanlah apakah Indonesia mampu meniru China, tetapi apakah kita bersedia. China memulai inovasi karena melihat bahwa masa depan tidak bisa lagi bergantung pada kimia dan subsidi tanpa batas. Kita pun seharusnya memahami hal yang sama. Petani kita sudah terlalu lama bekerja keras tanpa dihargai. Tanah kita terlalu lama dipaksa hingga kehilangan napas. Jika kepiting di China bisa membantu menyuburkan sawah, memperbaiki ekosistem, dan menambah pendapatan petani, mungkin sudah waktunya kita berhenti menganggap ide sederhana sebagai sesuatu yang mustahil. Karena bangsa yang besar tidak hanya yang banyak bicara, tetapi yang berani belajar bahkan dari kepiting.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Address

Tulungagung

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when PecahTelur posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to PecahTelur:

Share