PecahTelur

PecahTelur "Menyajikan Cerita Usaha yg Menginspirasi"
Liputan Keliling Indonesia! Full Video Di Channel Youtube! PecahTelur adalah Media tentang Sosial Bisnis.

PecahTelur memiliki 4 segmen tayangan;
1. Para Perintis (tentang para perintis usaha terutama yang berusia di bawah 30 thn)
2. TANDUR (tentang pertanian) & Ingon-ingon (peternakan)
3. Cerita Usaha (tentang mindset bisnis, strategi dan pilihan hidup)
4. SETARA (tentang perjuangan manusia yang dipandang sebelah mata)

Ada kabar menarik sekaligus membingungkan dari langit. Para ilmuwan dari IERS (International Earth Rotation and Referenc...
15/07/2025

Ada kabar menarik sekaligus membingungkan dari langit. Para ilmuwan dari IERS (International Earth Rotation and Reference Systems Service) menyebut bahwa selama bulan Juli dan Agustus 2025 ini, rotasi Bumi akan sedikit lebih cepat dari biasanya. Bukan cuma teori, ini didukung oleh data pengamatan yang menunjukkan bahwa beberapa hari ke depan akan berdurasi sedikit lebih pendek dibandingkan hari-hari normal. Misalnya, pada tanggal 9 Juli 2025, durasi hari diperkirakan akan lebih singkat 1,30 milidetik dari standar waktu normal, yaitu 86.400 detik. Kemudian pada 22 Juli dan 5 Agustus, masing-masing akan lebih pendek 1,38 milidetik dan 1,5 milidetik. Angka yang sangat kecil memang, bahkan manusia tidak akan merasakannya secara langsung. Tapi bagi dunia sains, ini adalah kejadian yang tak biasa dan layak dicatat.

Fenomena seperti ini sebenarnya bukan yang pertama. Sejak tahun 2020, tren percepatan rotasi Bumi sudah mulai tercatat, meski hingga kini para peneliti belum benar-benar bisa menjelaskan penyebab pastinya. Bahkan, tahun 2024 lalu tercatat sebagai rekor hari terpendek dalam sejarah modern, yaitu 1,66 milidetik lebih cepat dari 24 jam standar. Banyak faktor yang mungkin terlibat, dari perubahan gerakan atmosfer, pergeseran massa inti Bumi, sampai gaya tarik Bulan. Uniknya, Bulan yang selama ini dikenal memperlambat rotasi Bumi, justru bisa juga menjadi faktor percepatan ketika posisinya menjauh dari ekuator. Bahkan aktivitas geologi seperti gempa besar di Jepang tahun 2011 sempat mempercepat rotasi Bumi beberapa mikrodetik.

Tapi tenang saja. Percepatan itu tidak berlaku buat kita yang gajinya sudah habis sebelum tanggal gajian lagi. Untuk semua yang merasa senasib, mungkin waktu justru berjalan pelan, lambat, bahkan mungkin menyiksa. Sehari terasa seminggu. Karena meskipun Bumi muter lebih cepat, tanggal gajian tetap muter di tempat. Ilmuwan bisa ribut soal rotasi milidetik. Tapi kita, rakyat? sibuk muter otak, gimana caranya hidup dengan gaji yang tidak pernah cukup. Bukan karena nggak bersyukur, tapi karena UMR sekarang hanya cocok untuk dua hal, hidup hemat banget dan hidup dalam tekanan banget.

Memang UMR naik, tapi kenaikannya seringkali lebih kecil dari kenaikan harga barang pokok. Bisa jadi gaji naik 100 ribu, tapi harga beras, telur, mie instan, minyak goreng? Terbang bebas, seperti janji-janji yang sudah menguap. Belum lagi kenaikan tarif-tarif lain yang datang “ujug-ujug”. Pajak kendaraan naik, iuran BPJS, listrik mulai disesuaikan, dan subsidi yang ternyata nyasar ke mereka yang demen judol. Semua serba "penyesuaian", katanya. Memang yang menyesuaikan rakyat. Menyesuaikan diri dengan kebijakan-kebijakan baru.

Sementara itu, para pengambil kebijakan tampil meyakinkan di layar kaca. “Perekonomian kita membaik,” katanya. “Iklim investasi kondusif,” katanya lagi.
Tapi yang kita lihat di lapangan?

Warung-warung tutup, karyawan ter-PHK, dan pedagang kecil kelimpungan. Gaji naik tipis, tapi harga gaya hidup minimalis pun makin tak terjangkau. Ini bukan tulisan pesimistis, ini realitas di luar gedung ber-AC. Ironisnya lagi, para pemberi kebijakan yang bicara soal ekonomi kadang tak sadar, mereka hidup di dunia yang berbeda. Dunia yang kalau naik harga makan siang, tinggal geser anggaran representasi. Dunia yang kalau pajak naik, tak masalah, karena itu kewajiban semua rakyat. Sementara rakyat? Naik harga gorengan seribu rupiah pun bisa jadi bahan diskusi RT.

Jadi, kalau kita merasa hari makin lama, padahal katanya Bumi makin cepat muter, jangan bingung.

Itu bukan salah fisika. Itu karena kita hidup di tempat yang membuat rakyatnya harus berhemat, sangat mulia memang. Karena ternyata, bagi pemberi kebijakan, hidup hemat adalah solusi paling gampang untuk menutupi permasalahan ekonomi. Kenaikan penduduk disambut dengan narasi “bonus demografi”, tapi lapangan kerja tak bertambah. Kenaikan harga disambut dengan “subsidi tepat sasaran”, padahal rakyat disuruh tepat-tepatkan sisa gaji. Dan ketika kita mulai bicara, kita dianggap tidak bersyukur.

Memang, bumi berputar lebih cepat hanya berlaku bagi mereka yang gajinya masih sisa di tanggal gajian berikutnya. Yang sudah habis ini, cukup kencengin ikat pinggang.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Saat kita membuka dompet dan melihat sisa tabungan di rekening, sering kali muncul perasaan nggak cukup, kurang terus. K...
15/07/2025

Saat kita membuka dompet dan melihat sisa tabungan di rekening, sering kali muncul perasaan nggak cukup, kurang terus. Kok cuma segini? Ini belum bisa beli rumah, belum bisa liburan ke luar negeri, belum bisa kasih orang tua sesuatu yang layak. Rasanya kita masih jauh dari kata mapan, apalagi kaya. Tapi tunggu dulu.

Pernahkah kita tahu, bahwa jika kita memiliki uang sekitar 68 juta rupiah (atau setara 4.210 dolar AS), dan kita tidak punya hutang apa pun, maka secara statistik, kita sudah lebih kaya dari 50% manusia di planet ini? Kedengarannya tidak masuk akal, tapi ini fakta. Data ini bukan asal comot. Ini berasal dari laporan tahunan Global Wealth Report yang dibuat oleh lembaga-lembaga keuangan seperti Credit Suisse dan UBS yang rutin meneliti distribusi kekayaan global. Angka 68 juta rupiah itu mungkin terlihat kecil bagi mereka masyarakat urban, tapi bagi kita yang gaji UMR itu angka yang luar biasa.

Kenapa 68 Juta Itu Sudah Luar Biasa? Alasan utamanya sederhana, dunia ini sangat timpang. Kekayaan tidak didistribusikan secara merata. Menurut laporan tersebut, sebagian besar kekayaan dunia hanya dimiliki oleh sekelompok kecil orang. Kita mengenal mereka sebagai miliarder, CEO kelas dunia, atau taipan investasi. Tapi sebagian besar umat manusia berada di ujung sebaliknya dari piramida itu. Lebih dari 3 miliar orang di dunia hidup dengan penghasilan di bawah $5 per hari, artinya hanya 80 ribu per hari. Dari jumlah itu, banyak yang bahkan tidak punya akses air bersih, tidak memiliki rumah tetap, dan tidak memiliki rekening bank. Bahkan, 1 dari 4 orang dewasa di dunia tidak memiliki rekening bank sama sekali. Artinya, mereka tidak punya akses ke tabungan atau jaminan sosial.

Selain itu, banyak juga yang berada dalam kondisi kekayaan negatif. Maksudnya, utang mereka lebih besar daripada aset yang dimiliki. Misalnya seseorang yang punya motor kredit dan ponsel mahal, tapi tidak punya tabungan sama sekali. Secara matematis, kekayaannya lebih kecil daripada nol.

Kalau kita saat ini tidak punya utang, punya sedikit tabungan di bank, punya pekerjaan tetap, bahkan mungkin punya rumah kecil atau kendaraan pribadi atas nama sendiri, selamat kita sudah berada di posisi yang lebih baik daripada separuh pop**asi dunia. Masalahnya, kita sering mengukur kekayaan dengan cara yang salah. Kita melihat kekayaan dari apa yang ditampilkan di media sosial. Dari gaya hidup. Dari barang yang dipakai. Dari tempat nongkrong. Dari destinasi liburan.

Jarang sekali kita menilai kekayaan dari aset bersih, padahal inilah ukuran sebenarnya. Berapa banyak yang kita miliki, setelah dikurangi semua yang kita hutangkan? Kesalahan kita ada pola pikirnya, s**a banget kalau membandingkan diri dengan mereka yang “lebih”. Kita terjebak dalam dunia perbandingan. Scroll Instagram, lihat orang yang seumuran sudah beli rumah. Lihat teman kerja pakai mobil baru. Lihat mantan udah naik haji. Langsung muncul perasaan gagal: "Aku ngapain aja sih selama ini?"

Padahal, apa yang kita lihat hanyalah potongan hidup orang lain yang mereka izinkan untuk dilihat. Kita tidak tahu prosesnya, apalagi bebannya. Bisa jadi mereka punya cicilan besar, bisa jadi mereka tidak punya tabungan darurat, bisa jadi mereka bahkan tidak bahagia. Sedangkan kita, yang hidup dengan sederhana tapi tenang, yang tidak dibebani utang, yang masih bisa makan tiga kali sehari, yang punya rumah walau kecil, kita lupa bahwa semua itu adalah bentuk kekayaan yang sesungguhnya.

Sedikit jujur, jaman sekarang beberapa orang miskin bukan disebabkan karena malas. Mereka miskin karena sistemnya tidak memungkinkan mereka keluar. Tidak ada pekerjaan tetap. Tidak ada jaminan kesehatan. Tidak ada akses pendidikan. Seorang petani kecil di pedalaman Papua, misalnya, bisa bekerja dari subuh hingga malam. Tapi harga jual hasil taninya ditekan oleh tengkulak. Dia tidak punya akses ke pasar yang lebih luas. Tidak ada koperasi yang bantu permodalan. Sementara harga pupuk naik terus. Apakah itu salah dia?

Contoh lainnya: buruh migran yang bekerja di luar negeri, mengirim sebagian besar gajinya ke rumah, hidup dengan sangat hemat. Tapi begitu p**ang, uangnya habis untuk biaya pengobatan keluarga, atau biaya sekolah adiknya. Apakah dia kurang rajin?Kemiskinan bukan sekadar soal kerja keras, tapi juga akses dan kesempatan. Dan jika kita punya itu hari ini, maka kita sudah sangat beruntung.

Sering kali kita salah paham. Bersyukur itu dianggap tanda berhenti berjuang. Padahal, makna sejati bersyukur adalah menyadari bahwa kita punya sesuatu yang bisa kita gunakan untuk melangkah lebih jauh. Kalau punya 68 juta dan bebas utang, itu bukan akhir dari perjuangan. Tapi itu bisa jadi batu loncatan. Kita bisa belajar investasi. Bisa membangun bisnis kecil-kecilan. Bisa bantu orang tua. Bisa bantu orang lain. Bisa sekolah lagi. Bisa memperluas skill. Bisa memperbaiki masa depan.

Karena hidup bukan tentang jadi yang paling kaya, tapi tentang menjadi versi terbaik dari diri kita, dengan apa yang kita punya sekarang. Kalau sudah tahu kita ada di posisi lebih baik dari miliaran orang lain, jangan sia-siakan itu. Gunakan dengan bijak.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

15/07/2025

Eksperiman Seorang SOPIR Berbuah Pabrik Wadah Telur Seluas 1 Hektar

Di tangan seorang sopir Wandir Prasetiawan, kertas dan kardus bekas bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Ya benar sekali, daur ulang kertas ini kemudian ia jadikan sebuah sesuatu
bermanfaat bagi peternak telur ayam yaitu Egg Tray atau rak telur ayam. Berdomisili di Desa Ponggok Kabupaten Blitar, ia merupakan generasi kedua dari pabrik rak telur ayam nya ini.

Sebelum memproduksi tray telur ayam, Wandri merupakan seroang supir truk telur yang mengantarkan telur dari peternak telur Blitar dan pengusaha Blitar menuju ke pabrik-pabrik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan adanya permintaan untuk bikin tray telur ayam, ia dan keluarga membuka bisnis produksi egg tray/tempat telur ini.

Pabriknya kini mampu memproduksi hingga ribuan rak telur/tray telur dalam satu harinya. Produksi Egg Tray nya ini tergolong masih semi manual karena mengandalkan panas matahari untuk penjemuran meskipun sudah memakai alat pembuat tray telur. Pangsa pasar dari produknya ini banyak dari peternakan telur ayam yang ada di Jawa Tengah dan Bali karena banyak peternak telur sukses disana. Kini, ia mempunyai 50 karyawan dan parik seluas 1 hektar untuk kegiatan produksi.

Ingin tahu bagaimana rahasia berkembangnya usaha Egg Tray dari Bapak Wandri Prasetiawan? Simak selengkapnya di Cerita Usaha Pecah Telur

15/07/2025

Kabur Aja Dulu! 24 Tahun di Malaysia, Kini Ekspor 8 Kontainer 40 Feet per Bulan

agaimana caranya seorang perantau bisa membangun bisnis ekspor yang stabil hingga mengirim 6–8 kontainer produk UMKM setiap bulan ke Malaysia? Inilah kisah inspiratif Pak Dim—akrab disapa Datuk—seorang eksportir asal Tulungagung yang sejak tahun 2001 hidup bolak-balik Indonesia-Malaysia.

Datuk juga menjelaskan soal pasar grosir Pasar Chow Kit yang menjadi pusat distribusi produk Indonesia di Kuala Lumpur. Ia menekankan bahwa semua peluang ini terbuka, asal pelaku UMKM mau serius dan siap jungkir balik—karena peluang ekspor bukan sekadar mimpi.

Cocok untuk kamu yang:
✅ Punya produk makanan/minuman UMKM
✅ Penasaran cara ekspor produk ke Malaysia
✅ Ingin belajar strategi distribusi dan marketing internasional
✅ Cari peluang usaha di negeri tetangga

Tonton sampai habis dan temukan bagaimana produk-produk sederhana dari kampung bisa tembus pasar Malaysia! Hanya di youtube PecahTelur.

15/07/2025

Dulu, Bapak Alfan harus keliling menjajakan mainan anak-anak demi bisa makan dan kuliah. Gajinya? Hanya Rp5.000 per hari. Hanya Cukup untuk makan dua kali sehari.

Tapi dari kerja keras itu, lahirlah PT As**a Engineering Indonesia—perusahaan nasional yang kini mempekerjakan lhampir 3.000 orang, menangani proyek-proyek besar, dan meraih omzet ratusan miliar per tahun.

Apa rahasia transformasinya?

Tonton kisah lengkapnya hanya di youtube Pecah Telur.

Musim tanam di lahan-lahan yang sekian lama tak produktif sering kali hanya jadi angan-angan, lahan tidur yang merana, t...
15/07/2025

Musim tanam di lahan-lahan yang sekian lama tak produktif sering kali hanya jadi angan-angan, lahan tidur yang merana, tak terurus, menanti kembali diolah tangan petani. Namun kini, dengan teknologi LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang dikembangkan oleh BRIN, lahan-lahan sepi ini menemukan aliran hidup baru, buah bawang merah segar tumbuh, memberi harapan baru bagi ekonomi lokal dan ketahanan pangan.

LEISA bukan sekadar teknik bertani, tapi memaksimalkan potensi lahan dengan input eksternal minimal, seperti pupuk kimia dan pestisida sintetis. Doktrin ini membawa lahan tidur, entah di pinggiran kota, lahan perkotaan yang terbengkalai, atau lahan salin, bertransformasi menjadi kebun bawang merah produktif, ramah lingkungan, dan bernilai sosial tinggi. Di Kota Semarang, kolaborasi antara BRIN dan pemerintah daerah berhasil menyulap lahan tidur menjadi kebun bawang merah urban. Dengan metode LEISA, petani bisa menanam bawang merah tanpa bergantung pada input mahal yang selama ini menjadi penghalang adopsi teknologi pertanian. Malahan, BRIN melaporkan bahwa pendekatan ini mendukung pertanian berkelanjutan, menjaga ekosistem tetap lestari, sekaligus memberdayakan petani melalui pemanfaatan lahan terabaikan.

Tak hanya di perkotaan, lahan-lahan saline (terkena intrusi air laut) di pesisir juga berhasil ditransformasikan menjadi lahan produktif bagi tanaman seperti padi dan bawang merah. LEISA tidak cuma solusi untuk lahan tidur, tapi juga untuk lahan marginal yang biasanya tak cocok untuk tanaman pangan. Sayangnya, BRIN belum merilis data angka luas lahan, hasil panen, dan peningkatan pendapatan secara khusus terkait bawang merah di lahan tidur. Setidaknya, belum tersedia publikasi terbuka. Namun, laporan awal sangat meyakinkan, para petani yang sebelumnya terlilit biaya input tinggi kini mampu menanam bawang merah dengan biaya lebih rendah, hasil lebih baik, dan dampak lingkungan yang minim. Ini bukan hanya potret, tapi awal dari paradigma baru dalam pertanian berkelanjutan.

Sementara itu, data BRIN dari program serupa untuk padi saline menyebutkan bahwa pendekatan LEISA meningkatkan produktivitas dibanding metode konvensional, serta mengurangi biaya dan dampak lingkungan. LEISA mengusung prinsip integrasi sistem pertanian lokal. Berarti petani menggunakan bahan organik setempat, kompos rumah tangga, pupuk hijau, atau sisa tanaman untuk memupuk lahan. Selain menekan biaya, cara ini menjaga kesuburan tanah dan keberlangsungan ekosistem. Secara ekonomi, manfaatnya banyak. Modal awal berkurang, ketergantungan pada pupuk dan pestisida sintetik turun drastis. Di sisi sosial, lahan tidur yang diolah memberikan nilai baru, kelompok petani bisa terbentuk, kegiatan kolektif dilakukan, dan lapangan kerja muncul di perkotaan.

Dengan LEISA, BRIN mempertaruhkan ide besar, bukan cuma pertanian pangan, tapi panggung bagi ekonomi lokal, ruang edukasi, dan ruang hijau kota. Metode ini merangkul konsep ramah lingkungan, biaya rendah, dan partisipasi masyarakat, menjadikan pertanian bukan sekadar profesi, tapi gaya hidup berkelanjutan. Dengan keberhasilan awal di Semarang dan dukungan BRIN, kita punya blueprint. Blueprint untuk menjadikan bawang merah (dan komoditas lain) sebagai ikon kebangkitan lahan tidur. Jika metode ini digelorakan secara serius, tak mustahil kita melihat lahan tidur di banyak kota dan desa kembali aman, dipenuhi tanaman yang berguna, menghidupi banyak orang, dan memulihkan ekosistem.

LEISA bukan sistem yang hanya cocok untuk lahan subur atau kota besar. Ia justru lahir untuk menjawab tantangan, tanah miskin hara, biaya tinggi, dan keterbatasan akses. Yang dibutuhkan sekarang tinggal kemauan lintas sektor, dari petani, pemda, lembaga riset, hingga masyarakat sipil untuk menjadikan LEISA sebagai gerakan pertanian baru di daerah-daerah, murah, lestari, dan menghidupkan kembali tanah yang nyaris dilupakan.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Setiap musim panas, tepatnya dari Mei hingga Juli, wilayah Bắc Giang dan Hải Dương di Vietnam berubah menjadi lautan mer...
14/07/2025

Setiap musim panas, tepatnya dari Mei hingga Juli, wilayah Bắc Giang dan Hải Dương di Vietnam berubah menjadi lautan merah muda, ribu-ribu pohon leci berbuah lebat, menebarkan aroma manis di udara dan memikat hati siapa saja yang mampir. Musim leci ini bukan sekadar momen panen bua, ini adalah perayaan alam dan kebanggaan lokal. Di Hải Dương, khususnya di distrik Thanh Ha, kebun leci mencakup area seluas sekitar 3 200 hektar dan menghasilkan lebih dari 40 000 ton per tahun . Sementara di Bắc Giang, yang menjadi 'ibu kota' leci Vietnam, produksi diperkirakan mencapai 165 000 ton pada 2025, dan total nasional mencapai 250 000 ton, naik sekitar 25 % dari tahun sebelumnya. Varietas lokal seperti Luc Ngan tidak hanya unggul dalam citarasa, tapi juga telah mendapatkan sertifikasi Geographical Indication (GI), serta standar pertanian modern seperti VietGAP dan GlobalGAP.

Keberhasilan Vietnam tidak lepas dari kolaborasi antara petani, pemerintah lokal, dan berbagai lembaga. Sejak 2005, pemerintah menetapkan kawasan tanam strategis, dan pada 2008 memberikan sertifikasi GI pada varietas Luc Ngan. Pada 2016, dibentuk p**a unit produksi bersertifikat di Bắc Giang untuk mendorong standar kualitas ekspor . Program ini terus ditingkatkan melalui pendampingan teknis untuk sertifikasi GAP dan GlobalGAP, termasuk pelatihan tentang iradiasi dan fumigasi yang jadi syarat ekspor ke pasar maju seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Australia .

Tak hanya dari aspek teknis, pemerintah juga aktif mendorong agrowisata sejak beberapa tahun terakhir. Tur panen malam hari di kebun leci kini menjadi kegiatan populer, di mana pengunjung bisa langsung memetik buah leci segar dari pohonnya. Ini bukan hanya soal pengalaman unik, tapi juga strategi meningkatkan nilai tambah dan branding produk Vietnam sebagai destinasi kuliner agrikultur.

Harga leci di pasar Vietnam mengalami fluktuasi, tergantung musim, kualitas, dan akses ke pasar ekspor. Menurut laporan beberapa minggu terakhir, harga di tingkat petani di Bắc Giang berkisar antara 8 000–20 000 VND/kg (US$ 0,30–0,80) tergantung varietas dan periode panen; untuk leci bersertifikasi dan dikemas rapi, harga bisa menyentuh 25 000–30 000 VND/kg . Namun, harga awal musim malah sempat naik di kisaran 35 000–40 000 VND/kg (US$ 1,50–1,70). Di tingkat ritel, terutama di kota besar seperti Hanoi dan Ho Chi Minh City, harga melonjak ke 56 000–90 000 VND/kg (sekitar US$ 2,26–3,44). Pada puncak musim, harga grade satu bahkan menyentuh 145 000–210 000 VND/kg (US$ 5,70–8,26), perbedaan drastis yang menegaskan bahwa buah manis ini bukan hanya suguhan, tapi juga komoditas bernilai tinggi.

Namun, revolusi harga ini juga membawa risiko. Data dari VnExpress menyebutkan bahwa harga di tingkat petani di beberapa daerah bahkan sempat turun di bawah US$ 1/kg (20 000 VND) karena kelebihan pasokan dan tren panen serentak. Wabah persaingan dari China serta lonjakan buah tropis lain juga membuat ekspor Vietnam turun tajam 26,6 % pada awal tahun. Hal ini memperpendek musim keuntungan dan menekan margin petani yang merugi karena biaya produksi (termasuk panen dan pengepakan) rata-rata 8 000–12 000 VND/kg.

Tradisionalnya, leci Vietnam diekspor langsung ke China via jalur darat informal. Namun, fokus kini meluas ke negara maju AS, Uni Eropa, Jepang, dan Australia, karena mereka menuntut kualitas dan keamanan makanan tinggi. Dengan pendukung sertifikasi GAP dan fasilitas iradiasi, pengiriman rapi berlogo GI dapat menuntut harga premium di pasar ini. Tridge mencatat bahwa kisaran harga ekspor untuk leci premium berada di US$ 1,01–1,21/kg saat ini, turun dari awal musim US$ 1,42–1,62/kg. Meski tertekan, ekspor ke AS dan Taiwan masih tumbuh 25–116 %, sementara impor dari UE (Belanda & Prancis) merosot 40–84 % . Amerika bahkan tercatat menerima pengapalan perdana musim 2025 sebesar dua ton langsung ke Houston.

Meski panen meriah, produksi leci Vietnam menghadapi kendala besar: infrastruktur pasca panen. Kapasitas penyimpanan sejuk, fasilitas iradiasi, serta idealnya logistik berbasis cold chain masih terbatas, terutama di kawasan pedesaan. Biaya transportasi naik akibat faktor geopolitik, misalnya selain tension di Timur Tengah, membuat ekspor ke pasar jauh semakin mahal .

Masalah lain adalah ketergantungan tinggi pada satu musim dan pasarnya. Ketika panen banyak dan harga turun, petani lokal sering kecewa karena margin menipis bahkan jadi minus. Vladimir, seorang petani di Hải Dương, mengatakan sendiri bahwa panen besar justru malah membuatnya “beruntung kalau nol pertumbuhan”. Jika Vietnam bisa, apakah petani Indonesia bisa mengikuti jejak itu? Jawabannya: boleh saja, namun bukan tanpa tantangan. Menurut laporan FAO, budidaya leci di Indonesia kini masih sangat terbatas: sebagian besar di tiga daerah di Bali: Gianyar, Tabanan, Bangli, dengan sekitar 1 000 pohon, sebagian besar berumur lebih dari 50 tahun. Setiap pohon menghasilkan sekitar 200–300 kg per tahun, dan harga pasar lokal berkisar 7 000–10 000 IDR/kg (±US$ 0,44–0,63) .

Iklim di Bali, suhu rata-rata 22–31 °C, kelembaban tinggi, serta curah hujan 2 500–3 000 mm per tahun, cukup ideal untuk leci. FAO merekomendasikan pengembangan “Foundation Block” untuk klon unggul, pengembangan nursery skala, dan pengembangan kebun kolektif melalui kelompok petani dan dukungan pemerintah, skema yang nyaris sama dengan apa yang dilakukan Vietnam. Sebagai negara tropis dengan keanekaragaman iklim, Indonesia bisa memperluas budidaya ke wilayah dataran tinggi seperti Jawa Timur, atau wilayah lain dengan iklim cocok untuk leci. Tetapi semua itu membutuhkan dorongan serius: riset klon tahan iklim lokal, akses pembiayaan, peningkatan kapasitas petani, dan rantai nilai yang jelas.

Potret musim leci di Vietnam mengajarkan bahwa sukses komoditas pertanian tidak cukup hanya karena tanah dan iklim. Diperlukan strategi menyeluruh, mulai dari penanaman hingga ekspor, Konsolidasi wilayah tanam dan varietas bermutu tinggi, dengan sertifikasi GI. Standardisasi dan peningkatan kualitas melalui GAP, iradiasi, dan sistem pengemasan modern. Agrowisata dan branding untuk nilai tambah; menjadikan buah leci sebagai atraksi lokal sekaligus simbol nasional. Diversifikasi pasar ekspor, dengan fokus jangka panjang ke negara maju walau permintaan turun-turun naik. Infrastruktur pasca panen yang kuat, untuk menghindari kerugian saat panen melimpah. Pemerintah proaktif, menyediakan regulasi, dukungan keuangan, pelatihan, dan tujuan strategis untuk ekspor.

Indonesia memiliki potensi besar jika bisa menerapkan pelajaran ini. Iklim mendukung, pasar domestik besar, dan pengalaman sebelumnya dalam ekspor buah tropis. Tapi semua itu belum terencana rapi untuk leci, masih lebih fokus pada durian, mangga, dan nanas. Musim leci di Vietnam bukan hanya soal panorama kebun merah dan aroma manis di udara. Ia adalah bukti strategi pertanian yang matang, dukungan pemerintahan yang serius, dan keberanian petani beradaptasi dengan pasar global. Vietnam sekarang tidak hanya menjadi konsumen besar leci, tapi juga pengekspor leci berkualitas tinggi.

Indonesia tinggal meniru, tentunya dengan penyesuaian lokal. Mulai dari penerapan GAP, sistem iradiasi, pengemasan sesuai standar ekspor, hingga promosi agrowisata. Sebut saja Bali sebagai “desa leci” pertama: kita bisa lihat peluang besar mengembangkan klon lokal, menambah pendapatan petani, serta memperkenalkan leci sebagai buah tropis unggulan di dunia. Karena yang dibutuhkan bukan hanya benih dan pohon, tapi kerja sama antara pemerintah, peneliti, swasta, dan petani sendiri.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Address

Tulungagung

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when PecahTelur posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to PecahTelur:

Share