25/09/2025
Beberapa hari terakhir, warga Hong Kong dilanda gelombang kepanikan menjelang kedatangan Topan Ragasa yang diprediksi akan cukup besar dan berdampak. Hal ini langsung tercermin di berbagai pusat perbelanjaan, di mana fenomena panic buying kembali terjadi. Rak-rak supermarket dengan cepat kosong, terutama bagian makanan instan dan kebutuhan pokok. Salah satu produk yang jadi buruan utama warga adalah mie instan asal Indonesia, Indomie. Banyak warga melaporkan bahwa produk ini cepat sekali habis diambil pembeli, bahkan ada yang rela antre panjang hanya untuk mendapat beberapa bungkus. Fenomena ini memancing diskusi luas di media sosial dan jadi sorotan media, baik lokal maupun internasional.
Laporan CNBC Indonesia, misalnya, mencatat bahwa mie instan menjadi komoditas cepat habis selama gelombang panic buying itu berlangsung.
Di sisi lain, media lokal seperti Dimsum Daily bahkan menyoroti insiden seorang pria yang dikritik publik karena memborong dua gerobak penuh berisi mie instan dan makanan beku. Aksinya dianggap berlebihan dan egois di tengah kondisi genting yang seharusnya dihadapi bersama. Tidak hanya itu, dari laporan Detik Health, disebutkan juga bahwa beberapa warga yang datang agak siang ke supermarket sudah tidak mendapatkan sayur, roti, bahkan air kemasan. Mereka menyebut fenomena ini sebagai serangan sebelum badai. Hal ini bukan pertama kali terjadi di Hong Kong. Saat COVID meledak dulu, kejadian serupa pernah terjadi, hanya saja kali ini, kekhawatiran dipicu oleh cuaca ekstrem, bukan pandemi.
Fenomena panic buying seperti ini bukan hanya soal rak kosong atau produk hilang, tapi mencerminkan betapa cepatnya rasa takut bisa menggerakkan banyak orang untuk bertindak di luar kewajaran. Sejumlah pakar psikologi menyebut bahwa panic buying dipicu oleh rasa kehilangan kontrol terhadap situasi, dan membeli barang secara berlebihan dianggap sebagai bentuk usaha mengambil kembali kendali terhadap ketidakpastian. Dalam situasi seperti ini, kebutuhan akan rasa aman jauh lebih dominan ketimbang rasionalitas. Warga tidak lagi berpikir tentang berapa lama badai akan berlangsung, atau berapa banyak yang sebenarnya dibutuhkan, tapi lebih pada yang penting punya cadangan. Apalagi, Indomie sebagai produk populer dengan rasa yang disukai banyak orang, mudah disiapkan, dan tahan lama, menjadi simbol makanan darurat yang ideal dalam kondisi genting.
Sayangnya, kepanikan ini bisa menimbulkan dampak kurang baik, terutama bagi kelompok rentan yang terlambat datang ke toko atau tidak memiliki daya beli yang besar. Mereka bisa jadi p**ang dengan tangan kosong, atau harus membeli produk pengganti dengan harga lebih mahal. Jika tidak dikendalikan, panic buying bisa memperburuk situasi krisis karena menciptakan ketimpangan akses terhadap kebutuhan dasar. Supermarket memang bisa menerapkan pembatasan pembelian, tapi dalam praktiknya, tidak semua orang patuh, apalagi jika pengawasan longgar. Dalam beberapa kasus, bahkan muncul pihak-pihak yang menimbun barang dan menjual kembali dengan harga lebih tinggi, mengambil untung dari kepanikan publik.
Sebenarnya, untuk menghindari fenomena seperti ini, perlu ada pendekatan menyeluruh. Pemerintah selain memberikan informasi yang transparan dan menenangkan, juga harus memastikan pasokan barang tidak terganggu, dan memberikan batasan pembelian secara tegas. Edukasi kepada masyarakat juga penting, bahwa mengambil barang sesuai kebutuhan justru akan memastikan ketersediaan untuk semua orang. Selain itu, produsen dan distributor juga diharapkan menyiapkan logistik darurat ketika ada prediksi bencana. Kepercayaan publik terhadap sistem distribusi akan sangat menentukan apakah panic buying bisa dihindari atau tidak.
Di balik semua itu, kejadian seperti ini mengingatkan kita bahwa rasa panik bisa menyebar lebih cepat daripada badai itu sendiri. Saat satu orang mulai memborong, yang lain ikut-ikutan, dan akhirnya situasi jadi tidak terkendali. Padahal, jika semua membeli dengan bijak, rasa aman bisa dibagi bersama.
Melihat kondisi ini, kita hanya bisa berharap bahwa warga Hong Kong dan negara terdampak lainnya tetap aman dan terlindungi dari dampak buruk Topan Ragasa. Semoga badai segera berlalu, dan semua kembali normal. Semoga p**a, kejadian ini bisa jadi pelajaran bersama, bahwa di tengah krisis, solidaritas jauh lebih penting daripada egoisme konsumsi. Kita tak pernah bisa mengendalikan bencana alam, tapi kita bisa memilih bagaimana bersikap saat bencana itu datang.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.