13/12/2025
Beberapa waktu lalu, dunia politik Thailand bikin gebrakan besar. Perdana Menteri mereka, Anutin Charnvirakul, secara mengejutkan mengumumkan pembubaran parlemen. Langkah itu katanya demi mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Dan hanya dalam hitungan hari, Raja Thailand pun menyetujui keputusan itu lewat dekrit resmi. Hasilnya? Rakyat Thailand akan kembali ke TPS dalam waktu 45 hingga 60 hari ke depan. Cepat, tegas, dan cukup membuat dunia menganga.
Kalau langkah seperti ini terjadi di Indonesia, mungkin akan jadi headline nasional selama sebulan penuh, dibumbui dengan kontroversi, debat kusir di TV, dan analisis politik yang tidak kunjung tuntas. Tapi satu hal yang pasti, di Indonesia, pembubaran DPR oleh Presiden itu mustahil secara hukum. Tidak peduli seberapa kesalnya rakyat atau presidennya, konstitusi kita tidak memberikan kewenangan seperti itu. Parlemen hanya bisa berganti lewat pemilu lima tahunan, bukan lewat ketukan meja satu orang.
Ini jadi kontras yang menarik. Thailand, dengan segala kekisruhan politiknya, bisa membubarkan parlemen dalam waktu singkat demi merespon konflik. Sementara Indonesia, meski terkesan demokratis dan stabil, justru sering terlihat seperti negara yang tidak tahu cara membersihkan dapurnya sendiri. Parlemen tetap ada, meski tidak jelas kontribusinya. Anggota DPR tetap digaji, meski sering tidak hadir. Dan rakyat? Ya, rakyat tetap menonton dari jauh, kadang dengan cemas, kadang dengan geli, kadang dengan apatis.
Di Thailand, alasan pembubaran parlemen karena konflik politik. Di Indonesia, konflik juga sering terjadi. Hanya saja, solusinya bukan pembubaran, melainkan perundingan yang dibungkus lobi-lobi senyap, barter jabatan, dan pernyataan pers yang membingungkan. Lalu semuanya kembali ke titik nol, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sebenarnya, kalau DPR kita memang bekerja sebagaimana mestinya, sistem ini tidak perlu dikeluhkan. Tapi mari jujur sejenak. Apa sih yang benar-benar kita rasakan dari keberadaan DPR RI hari ini?
Banyak masyarakat merasa DPR hanya jadi institusi formalitas, bukan wakil rakyat dalam arti sebenarnya. Mereka membuat undang-undang yang tidak diminta rakyat. Mereka absen saat rakyat membutuhkan suara mereka. Mereka ramai saat pemilu, tapi sunyi saat rakyat butuh dibela. Wajar kalau muncul pertanyaan, apa sebenarnya fungsi DPR RI selain menyetujui anggaran dan menjadi stempel kebijakan pemerintah?
Bahkan tak jarang DPR dianggap sebagai beban. Setiap tahun mereka menerima anggaran besar, gaji tinggi, tunjangan luar biasa, fasilitas negara, perjalanan dinas, sampai pensiun seumur hidup. Sementara di sisi lain, guru honorer dan tenaga kesehatan masih harus berjuang mendapatkan hak dasar mereka. Ketimpangan ini semakin nyata ketika banyak anggota DPR justru terjerat kasus korupsi, gratifikasi, atau memperkaya diri dari posisi mereka.
Masyarakat juga makin jengah dengan proses legislasi yang dirasa jauh dari partisipasi publik. Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, disahkan tengah malam dengan pembahasan kilat dan minim transparansi. Saat masyarakat turun ke jalan, apa respons parlemen? Tertutup dan defensif. Tidak heran, ketika kata DPR disebut, banyak orang langsung mengaitkannya dengan kata-kata seperti absen, setuju tanpa baca, atau wakil siapa, sih?
Bandingkan dengan Thailand. Meski pemerintahannya juga sering disebut tidak stabil, setidaknya ketika konflik memuncak, mereka punya mekanisme untuk mengembalikan keputusan kepada rakyat lewat pemilu cepat. Apakah itu solusi ideal? Belum tentu. Tapi setidaknya rakyat masih diberi ruang memilih kembali arah masa depannya. Di Indonesia, kita harus menunggu lima tahun, tidak peduli seburuk apapun kualitas perwakilan kita.
Lucunya, ketika muncul wacana bubarkan DPR di Indonesia, jawaban pejabat dan ahli hukum selalu sama, tidak bisa, itu melanggar konstitusi. Secara hukum, benar. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan betapa rakyat tidak punya ruang kontrol langsung terhadap lembaga perwakilan yang seharusnya bekerja untuk mereka. Kita bisa mencaci, mengkritik, dan bahkan membuat petisi. Tapi semua itu tidak punya kekuatan hukum apapun. DPR tetap aman, tetap bergaji, dan tetap berseragam lengkap saat sidang tahunan meski absen di rapat-rapat penting.
Ketika sistem demokrasi gagal membuat rakyat merasa punya kendali, maka yang lahir adalah ketidakpercayaan. Dan itu yang sedang terjadi di Indonesia. Survei demi survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR selalu rendah. Bahkan sering jadi lembaga dengan tingkat kepercayaan terendah di antara institusi negara lainnya. Di sisi lain, pemerintah juga tidak selalu tampil meyakinkan. Dalam banyak isu, mulai dari harga pangan, pendidikan, hingga energi, komunikasi pemerintah sering simpang siur. Rakyat bingung siapa yang harus dipercaya. Dan saat bingung itulah, banyak dari kita merasa sendirian, seolah tidak ada lembaga negara yang benar-benar hadir membela.
Sementara itu, DPR dan pemerintah tetap saling menyalahkan. Ketika ada kebijakan yang salah sasaran, pemerintah bilang sudah disetujui DPR. DPR bilang hanya menjalankan apa yang diajukan pemerintah. Semuanya lempar bola, tak ada yang mau bertanggung jawab. Rakyat? Lagi-lagi jadi penonton. Kondisi seperti ini membuat demokrasi kita tampak seperti panggung sandiwara, di mana semua tokoh sudah tahu perannya, tapi lupa siapa yang seharusnya mereka wakili. Padahal, demokrasi bukan soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan rakyat banyak.
Mungkin itulah sebabnya mengapa langkah Thailand terasa seksi di mata sebagian orang. Ketika konflik terjadi, mereka punya opsi untuk mulai dari awal. Rakyat kembali memilih. Meski belum tentu hasilnya lebih baik, tapi setidaknya rakyat diberi kesempatan mengambil alih kemudi. Di Indonesia, kita hanya bisa berharap. Harap pemilu berikutnya membawa perubahan. Harap wakil rakyat benar-benar mewakili. Harap hukum benar-benar ditegakkan. Harap-harap yang tak kunjung habis.
Akhirnya, kita tidak bisa menyalin sistem Thailand begitu saja. Tapi kita bisa belajar. Bahwa demokrasi yang sehat bukan soal stabil atau cepat. Tapi soal kepercayaan. Dan untuk membangun kepercayaan, semua institusi harus mau dikritik, diawasi, dan jika perlu, dibenahi dari akarnya. Karena sebaik apapun sistem hukum dan undang-undangnya, kalau wakil rakyat tidak merasa mereka adalah bagian dari rakyat, maka parlemen hanya akan jadi gedung kosong yang penuh suara, tapi tidak punya gema.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.