Menetas

Menetas Untuk Indonesia!

Seorang pria asal Malang, bernama Prof. Herry S. Utomo, menempuh perjalanan panjang hingga mencapai posisi profesor teta...
12/08/2025

Seorang pria asal Malang, bernama Prof. Herry S. Utomo, menempuh perjalanan panjang hingga mencapai posisi profesor tetap di Louisiana State University (LSU), Amerika Serikat. Gelar ini dia raih setelah melewati berbagai tahapan: mulai dari asisten dosen hingga dianugerahi jabatan kehormatan sebagai F. Avalon Daggett Endowed Professor pada 2017, berkat prestasi dan dedikasinya dalam dunia pertanian dan pemuliaan tanaman. Dikutip dari Times Indonesia (Juli 2025), Lebih dari sekadar gelar akademik, Prof. Utomo dikenal sebagai penemu varietas padi revolusioner bernama Cahokia Rice. Ini adalah beren pertama di dunia yang secara alami (non-GMO) memiliki kandungan protein sekitar 50% lebih tinggi dibanding beras pada umumnya, serta memiliki indeks glikemik rendah. Aman untuk penderita diabetes dan cocok untuk pola hidup sehat.

Varietas ini dikembangkan melalui proses mutasi alami dan seleksi genetik, tanpa menggunakan teknik rekayasa genetika buatan. Cahokia Rice bukan hanya unggul dalam nutrisi, tapi juga tahan terhadap penyakit jamur Pyricularia grisea, memiliki umur pendek, serta bisa menghasilkan sampai 7.560 kg panen per hektar, atau sekitar 150 kg protein murni per hektar. Setara dengan konsumsi daging atau susu dalam jumlah besar.

Sekalipun sukses di Amerika, Prof. Utomo tetap terhubung dengan tanah kelahirannya. Ia sering berbicara bahwa semua berawal dari sekolah di Universitas Brawijaya Malang, lanjut S2 di University of Kentucky, hingga meraih Ph.D di LSU. Ia menekankan bahwa ilmu tidak boleh berhenti di jurnal, tapi harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Cahokia Rice kini sudah dipatenkan dan dipasarkan di Amerika Serikat. Selain itu, Prof. Utomo aktif memimpin diaspora ilmuwan Indonesia melalui organisasi seperti Indonesian Diaspora Network United (IDN‑U), sering menyelenggarakan kuliah daring, dan bahkan bekerja sama riset dengan universitas di Indonesia, terutama untuk adaptasi varietas ini di lahan lokal yang cocok. Misi beliau jelas, membawa inovasi yang tidak hanya ilmiah, tapi juga humanis. Cahokia Rice didesain agar bisa membantu mengatasi kekurangan gizi di berbagai negeri, terutama mereka yang memiliki keterbatasan akses protein hewani. Dengan produksi protein tinggi dari beras ini, potensi pemenuhan gizi nasional bisa meningkat drastis jika diadopsi secara luas.

Kisah Prof. Utomo menunjukkan bahwa asal kita mau berusaha, ide sederhana, seperti memodifikasi beras agar lebih bergizi, bisa jadi hal besar. Dari Malang, ke UB, lalu ke AS, sampai menemukan varietas yang mengubah paradigma pangan global.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Kita perlu tahu, kalau ayam broiler yang kulitnya renyah dan dagingnya montok itu bukan hasil alami seperti ayam kampung...
11/08/2025

Kita perlu tahu, kalau ayam broiler yang kulitnya renyah dan dagingnya montok itu bukan hasil alami seperti ayam kampung. Ayam ini adalah produk evolusi kilat versi manusia, direkayasa dalam waktu hanya sekitar 50 tahun, bukan jutaan tahun seperti di buku biologi.

Penelitian dari University of Alberta (Zuidhof et al., 2014) menunjukkan bahwa pada tahun 1957, berat rata-rata ayam broiler hanya sekitar 905 gram. Pada tahun 1978, angka itu naik menjadi 1.808 gram. Tapi puncaknya terjadi pada 2005, saat ayam broiler rata-rata mencapai berat 4.202 gram. Artinya, dari 1957 ke 2005 berat ayam meningkat sekitar 364%, lebih dari empat kali lipat.

Kok bisa cepat? Jawabannya sederhana, Dikutip dari Tallentire et al. 2016 & Hartcher 2020, manusia telah melakukan seleksi genetik bertarget, membuat ayam yang tumbuh sangat cepat, memiliki dada besar, dan efisiensi pakan tinggi. Hasilnya bukan transgenik, bukan GMO, tapi chicken yang lahir dari kawin silang selektif dan diimunisasi pakan kualitas tinggi. Proses ini membuat ayam broiler masa kini bisa siap panen dalam waktu 1–2 bulan, padahal dulu untuk mencapai ukuran besar butuh sekitar 120 hari, sekitar 3–4 bulan. Sekarang? Cukup 40 hari, bahkan hanya 36–38 hari tergantung varietas. Semua itu hasil genetik dan manajemen pakan, bukan hormon atau obat.

Tapi seperti halnya produk cepat dan instan, ayam broiler modern juga punya sisi kelam. Karena tumbuh super cepat, tubuh ayam tidak berkembang seimbang, kadang tulang, otot, dan organ jantung sering tidak tahan beban. Banyak ayam mengalami kelumpuhan kaki, sistem imun menurun, membuat peternak menambal dengan antibiotik, yang jika disalahgunakan bisa menimbulkan bakteri kebal obat, bahkan risiko ke manusia. (Dikutip dari Riber et al. 2024, Hartcher 2020 & Compassion Info)

Lebih dari itu, perilaku alami ayam makin hilang. Ayam broiler modern lebih sering duduk dan jarang bergerak karena berat tubuhnya. Mereka sulit berjalan, jarang mengais tanah, mandiri minum air, aktivitas dasar ayam pun terganggu. Sementara breed yang lebih lambat tumbuh cenderung lebih aktif, lebih sehat, dan punya kualitas hidup lebih baik.

Jadi ayam broiler modern yang kita nikmati itu adalah hasil rekayasa manusia, pertumbuhan 364% lebih cepat dalam 50 tahun bukan kebetulan. Tapi biaya yang dikorbankan adalah kesejahteraan ayam itu sendiri, sistem imunnya, mobilitasnya, bahkan kualitas hidupnya.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Menjadi pemimpin bukan soal bisa melakukan semua hal, tapi tahu kapan harus menyerahkan sesuatu kepada orang yang tepat....
09/08/2025

Menjadi pemimpin bukan soal bisa melakukan semua hal, tapi tahu kapan harus menyerahkan sesuatu kepada orang yang tepat. Itulah pesan utama dari dr. Tirta Mandira Hudhi saat menjadi pemateri di Leader’s Talk, ITB (2024). Ia dengan tegas menyampaikan bahwa seorang CEO, pemilik bisnis, atau pemimpin dalam organisasi apa pun, tidak seharusnya turun langsung mengurus hal-hal kecil yang seharusnya sudah bisa ditangani oleh tim. Jika seorang pemimpin masih repot menyusun roster kerja harian, mengatur stok barang, atau mengawasi langsung kasir di toko, itu bukan menunjukkan bahwa ia rajin, tapi menandakan ada yang salah dalam sistem kerjanya.

Delegasi bukan soal menyerahkan pekerjaan saja, melainkan membangun kepercayaan dan struktur kerja yang sehat. Ketika seorang pemimpin terlalu sering ikut campur di level paling bawah, masalahnya bukan semata karakter pemimpinnya, tapi justru ada pada sistem SOP dan struktur hierarki organisasi yang lemah. Pemimpin yang sibuk ngurusin kerjaan karyawannya, bukanlah sosok pahlawan yang rendah hati, tapi sinyal bahwa sistem kerja belum dirancang untuk tumbuh. Tugas seorang pemimpin adalah berpikir strategis, memetakan rencana jangka pendek, menengah, dan panjang, serta menyusun sistem kerja yang bisa berjalan tanpa ia harus hadir setiap saat. Mind mapping dan perencanaan organisasi menjadi tanggung jawab utama yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.

Namun untuk bisa melakukan delegasi dengan benar, seorang pemimpin tidak bisa berhenti belajar. Proses ini membutuhkan pengetahuan, kedewasaan, dan pengalaman. Tidak cukup hanya menyuruh orang lain bekerja, tapi juga harus paham bagaimana membagi tanggung jawab dengan adil, memberi otoritas yang seimbang, serta memfasilitasi pertumbuhan skill bagi tim yang diberi tugas. Inilah mengapa dr. Tirta menekankan pentingnya semangat long life learning bagi setiap pemimpin. Ketika seorang pemimpin berhenti belajar, maka cara ia memimpin akan stagnan. Dalam jangka panjang, hal ini akan memicu ketidakpercayaan dari karyawan atau timnya, karena tidak ada konsistensi dalam gaya kepemimpinan dan sistem kerja yang digunakan.

Lemahnya disiplin dan buruknya pola kepemimpinan akan membuat tim kehilangan rasa percaya. Mereka merasa tidak diberi ruang untuk berkembang, selalu dimonitor berlebihan, dan tidak dihargai saat mengambil inisiatif. Delegasi yang keliru bisa berdampak panjang, bukan hanya menurunkan produktivitas, tapi juga meningkatkan konflik internal, memperbesar beban kerja pemimpin, dan akhirnya membuat organisasi berjalan di tempat. Karena itulah, penting sekali bagi pemimpin untuk menyadari bahwa keberhasilan suatu sistem bukan diukur dari seberapa banyak yang ia kerjakan, tapi dari seberapa banyak hal yang tetap berjalan dengan baik meskipun ia tidak mengurusnya secara langsung.

Ada anggapan lama, bahwa pemimpin yang baik adalah yang tahu semua hal dan ikut turun tangan di semua lini. Padahal, dalam dunia kerja modern, pemimpin bukan pelaksana, tapi perancang. Ia harus mengatur arah, memastikan tim yang ia bentuk bisa saling menopang, dan percaya bahwa proses akan tetap berjalan selama sistemnya kuat. Delegasi yang baik adalah yang disertai dengan kejelasan peran, batas tanggung jawab, dan evaluasi rutin. Ini bukan berarti lepas tangan, tapi membiarkan orang yang kompeten bekerja dengan leluasa, tanpa intervensi yang merusak.

Dalam pengalaman membangun bisnis, ia belajar bahwa rasa lelah dan rasa tidak percaya kepada tim muncul karena ia tidak membuat sistem kerja yang cukup baik. Ia baru benar-benar berkembang saat mulai membangun SOP yang rapi, menyusun struktur hirarki yang tegas, dan mulai mempercayai bahwa tugas-tugas tertentu bisa dijalankan dengan hasil yang baik tanpa ia harus mengawasi terus-menerus. Delegasi yang dilakukan dengan struktur membuat energi dan waktu seorang pemimpin bisa dialihkan untuk membangun visi yang lebih besar.

Delegasi juga bukan urusan teknis semata, tapi tentang hubungan antar manusia. Ketika seorang pemimpin bisa mempercayakan tanggung jawab kepada timnya, itu menciptakan rasa dihargai. Tim merasa punya ruang untuk bertumbuh, mengambil keputusan, dan merasa punya andil dalam kesuksesan organisasi. Di sisi lain, pemimpin juga belajar bahwa membagi pekerjaan bukan melepas tanggung jawab, tapi justru memperkuat pondasi kerja jangka panjang.

Sayangnya, tidak semua pemimpin menyadari hal itu. Banyak yang masih terjebak dalam pola pikir lama, merasa harus terlibat di semua proses, karena takut tim tidak bisa diandalkan. Padahal, justru karena terlalu sering campur tangan, tim jadi tidak berkembang, terlalu bergantung, bahkan tidak merasa punya tanggung jawab. Akibatnya, organisasi tidak pernah bisa mandiri. Jika pemimpin cuti atau absen sebentar, semua kegiatan macet. Ini adalah pertanda bahwa tidak ada sistem, hanya ada satu orang yang memegang semuanya.

Untuk itu, penting sekali bagi pemimpin, baik pemilik usaha, kepala divisi, maupun manajer, untuk mengubah cara pandangnya. Seorang pemimpin yang hebat bukan yang paling sibuk, tapi yang tahu cara membagi kesibukan dengan bijak. Ia bukan yang paling tahu segalanya, tapi yang tahu siapa orang terbaik untuk menangani hal tertentu. Ia bukan yang mengontrol segalanya, tapi yang tahu kapan harus percaya dan kapan harus membimbing. Dalam konteks bisnis, leadership bukan soal gaya bicara atau kemampuan meyakinkan investor. Leadership adalah soal keberanian untuk menyusun sistem yang sehat, dan kemampuan untuk mempercayai sistem itu bekerja. Delegasi adalah bagian dari kepercayaan itu. Jika dilakukan dengan benar, itu akan menjadi fondasi kuat yang menopang organisasi di masa depan.

Jika hari ini sedang memimpin, baik tim kecil, perusahaan rintisan, atau bahkan proyek organisasi kampus, mulailah belajar delegasi. Tulis ulang struktur kerja. Identifikasi siapa yang bisa dipercaya. Bangun SOP yang sederhana tapi efektif. Dan mulailah lepaskan hal-hal kecil, agar bisa mengurus hal yang lebih besar.

Karena pada akhirnya, pemimpin sejati bukan yang mengerjakan semua, tapi yang memastikan semua bisa tetap berjalan, dengan atau tanpa kehadirannya.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Beberapa hari terakhir, muncul banyak kabar yang meresahkan, katanya Indonesia bisa bubar tahun 2030 kalau terus-terusan...
08/08/2025

Beberapa hari terakhir, muncul banyak kabar yang meresahkan, katanya Indonesia bisa bubar tahun 2030 kalau terus-terusan utang. Isu ini muncul setelah lembaga riset ekonomi regional bernama AMRO (ASEAN+3 Macroeconomic Research Office) merilis laporan terbarunya tentang kondisi fiskal Indonesia. Di laporan itu, mereka memperkirakan rasio utang pemerintah Indonesia bisa naik sampai 42% dari total PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2029.

Kabar itu langsung bikin geger. Banyak yang langsung membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka, yang juga pernah punya rasio utang 42% pada 2019 dan bangkrut cuma dua tahun setelahnya. Tapi, apakah Indonesia benar-benar bisa mengalami nasib serupa?

Mari kita luruskan.

Menurut AMRO, kenaikan utang Indonesia ini terjadi karena defisit anggaran makin lebar dan biaya pinjaman semakin mahal. Sementara itu, pendapatan negara diprediksi nggak naik signifikan karena kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang tadinya direncanakan di tahun 2025 ternyata dibatalkan. Di sisi lain, pengeluaran negara terus meningkat, buat subsidi, bansos, dan program lainnya. Tapi penting untuk dicatat, rasio utang Indonesia saat ini masih di bawah batas maksimal yang diizinkan oleh Undang-Undang, yaitu 60% dari PDB. Artinya, secara hukum, kondisi keuangan negara masih aman.

Hal ini juga sudah dikonfirmasi langsung oleh pemerintah lewat Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto Dikutip dari amroasiaorg, yang bilang bahwa rasio utang kita masih sesuai aturan, dan masih jauh dari kondisi yang perlu dikhawatirkan seperti Sri Lanka. Meskipun belum bahaya, bukan berarti kita bisa tenang-tenang saja. Kalau utang terus naik, sementara pendapatan negara seret dan pengeluaran makin besar, kondisi ini bisa jadi bom waktu. Apalagi kalau tiba-tiba ada krisis global, suku bunga dunia naik, atau nilai tukar rupiah melemah, maka bunga utang yang harus dibayar Indonesia juga ikut membengkak. Itulah yang dikhawatirkan para pengamat dan lembaga internasional.

Beberapa ekonom mengingatkan bahwa situasi Indonesia mulai mirip dengan Sri Lanka dulu. Bedanya, Indonesia punya cadangan devisa yang lebih besar, ekonomi domestik yang lebih kuat, dan sistem keuangan yang relatif stabil. Tapi kalau hutang terus dilakukan, bukan nggak mungkin kita juga bisa kesandung masalah. AMRO menyebut bahwa tahun-tahun menuju 2030 akan jadi masa ujian buat Indonesia. Apakah negara ini bisa menunjukkan bahwa kita disiplin dalam mengelola anggaran, atau justru masuk ke jebakan negara-negara berkembang yang gagal naik kelas, alias middle-income trap.

Yang jadi sorotan adalah bagaimana pemerintah menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan. Jika belanja terus naik tanpa peningkatan pendapatan yang seimbang, maka negara akan terus menambal dengan utang. Dan kalau sudah begitu, makin besar utangnya, makin berat beban rakyat di masa depan. AMRO sendiri tidak mengatakan Indonesia akan bangkrut atau bubar di tahun 2030, tapi mereka menekankan bahwa pola fiskal seperti sekarang harus segera diperbaiki, supaya jangan sampai krisis beneran kejadian. Mereka justru mengapresiasi beberapa langkah pemerintah, seperti menjaga inflasi tetap rendah dan menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5%.

Kita nggak perlu panik, tapi jangan juga cuek. Kondisi keuangan negara kita ibaratnya belum masuk lampu merah. Tapi sudah lampu kuning, tandanya harus waspada. Kita perlu mendorong pemerintah supaya lebih bijak dalam berutang, dan pastikan utang digunakan untuk hal produktif, pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jangka panjang. Bukan untuk pemborosan yang tidak jelas dampaknya. Yang lebih penting, kita juga perlu ikut mengawasi. Jangan sampai karena merasa itu urusan pemerintah, kita jadi apatis. Karena ujung-ujungnya, yang menanggung utang itu ya kita semua, lewat pajak, harga barang, atau peluang kerja yang makin terbatas.

Mungkin rasio utang Indonesia bisa naik ke 42% PDB di tahun 2029, seperti kata AMRO. Tapi belum tentu itu artinya Indonesia bakal bubar. Semuanya tergantung pada bagaimana pemerintah mengatur keuangan negara dalam beberapa tahun ke depan. Kalau disiplin dijaga, pengeluaran dikendalikan, dan pendapatan negara ditingkatkan secara adil dan sehat, maka kita bisa tetap melaju tanpa khawatir krisis.

Tapi kalau tidak, ya, kita sendiri yang harus siap menanggung risikonya. Dengan pajak-pajak yang di pertengahan tahun ini sudah mulai bertambah.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Siapa sangka, spons kecil berbentuk wajah senyum yang sering dipakai untuk nyuci piring ini ternyata menyimpan kisah bis...
07/08/2025

Siapa sangka, spons kecil berbentuk wajah senyum yang sering dipakai untuk nyuci piring ini ternyata menyimpan kisah bisnis luar biasa. Namanya Scrub Daddy, produk pembersih rumah tangga asal Amerika Serikat yang kini bukan hanya laris manis di pasar, tapi juga telah menjadi IP (intellectual property) global dengan nilai miliaran rupiah.

Semua dimulai karena kebutuhan yang praktis. Aaron Krause, seorang detailer mobil profesional, mengalami masalah saat menggunakan spons biasa untuk membersihkan mobil, spons itu justru merusak permukaan cat. Ia lalu mengembangkan potongan spons dari bahan khusus bernama FlexTexture yang awalnya ditujukan untuk industri otomotif. Namun, setelah ia menjual bisnis utama ke perusahaan 3M pada 2008, potongan spons sisa itu tidak ikut dibeli. Di rumah, Aaron mencoba menggunakan spons buatannya untuk cuci piring. Dan hasilnya luar biasa.

Aaron sadar, spons sisa ini punya potensi besar. Lalu pada tahun 2012, ia mendirikan Scrub Daddy, Inc. dan mulai mengenalkan produknya secara langsung ke pasar lokal dan lewat QVC, saluran belanja televisi terkenal di Amerika. Tapi momen terbesarnya datang saat Aaron tampil di acara bisnis Shark Tank pada Oktober 2012. Di sana, ia menunjukkan bahwa spons ini bisa berubah tekstur tergantung suhu air, spons akan keras saat air dingin, lembut saat air hangat. Selain itu, desain wajah senyumnya bukan sekadar lucu, tapi juga fungsional, bagian mata untuk pegang spons, mulutnya bisa membersihkan peralatan makan seperti sendok dan garpu.

Dikutip dari Wikipedia dan blog resmi Scrub Daddy( 2023), Investor Lori Greiner langsung tertarik dan menawarkan $200.000 (sekitar 3,1 miliar) untuk 20% saham. Setelah tampil di acara tersebut, produk Scrub Daddy laku keras, terjual lebih dari 42.000 unit hanya dalam beberapa jam di QVC. Dari sana, Scrub Daddy meroket. Spons ini mulai dijual di berbagai toko besar seperti Target, Home Depot, Walmart, hingga Bed Bath & Beyond. Hanya dalam lima tahun, penjualannya menembus $100 juta atau sekitar 1,55 triliun per tahun. Pada tahun 2023, angka penjualan Scrub Daddy di seluruh dunia telah mencapai $926 juta atau sekitar 14,3 triliun secara akumulatif. Di tahun 2024 saja, pendapatan perusahaan diproyeksikan tembus $340 juta atau sekitar 5,27 triliun. Ini menjadikannya salah satu produk paling sukses sepanjang sejarah acara Shark Tank.

Yang membuat Scrub Daddy istimewa bukan cuma angka penjualannya. Produk ini berhasil dikembangkan menjadi lebih dari 160 varian, dari Scrub Mommy (versi dua sisi dengan busa yang lebih lembut), Eraser Daddy, hingga aksesoris seperti tempat sabun, caddy sink, hingga spons berbentuk bunga bernama Scrub Daisy. Semua inovasi itu dilindungi dengan hak paten dan desain yang terdaftar secara resmi. Membangun kekuatan bisnis bukan hanya dari produk fisik, tapi juga dari nilai IP-nya.

Salah satu keunggulan Scrub Daddy dibanding spons biasa adalah kemampuannya berubah tekstur, tidak mudah menyerap bau, dan tidak meninggalkan goresan. Review dari berbagai media seperti The Spruce dan BestProducts menyebut Scrub Daddy sebagai spons cuci piring paling pintar dan menyenangkan karena bentuknya yang unik dan performanya yang tahan lama. Kini, Scrub Daddy sudah hadir di lebih dari 257.000 toko ritel di seluruh dunia, dari Amerika, Eropa, hingga Asia. Bahkan, CEO Aaron Krause kabarnya sedang mempertimbangkan untuk go public atau melepas saham perusahaan ke publik, dengan bantuan lembaga keuangan besar seperti JP Morgan. Perusahaan ini dievaluasi memiliki potensi nilai hingga ratusan juta dolar atau setara triliunan rupiah.

Yang menarik, semuanya berawal dari produk sederhana, spons. Tapi lewat kreativitas, strategi branding yang cerdas, dan perlindungan paten yang kuat, Scrub Daddy kini telah menjadi kekuatan bisnis global. Bukan cuma laku di pasaran, tapi juga jadi contoh bagaimana produk rumahan bisa berkembang jadi kekuatan IP yang bernilai sangat tinggi. Scrub Daddy bukan hanya kisah sukses tentang spons. Ia adalah pelajaran bahwa ide kecil yang dieksekusi dengan tepat bisa menjadi besar.

Bahwa kekuatan branding, desain, dan perlindungan hukum (IP) bisa mengangkat produk biasa menjadi luar biasa. Dan yang paling penting, kadang solusi untuk pasar miliaran bukan datang dari teknologi rumit, tapi dari benda kecil yang kita pakai tiap hari, yang dibuat lebih baik dari sebelumnya.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Buat yang punya kafe, barbershop, gym, warung kopi, atau tempat usaha lainnya yang muter lagu buat nambah suasana, kita ...
07/08/2025

Buat yang punya kafe, barbershop, gym, warung kopi, atau tempat usaha lainnya yang muter lagu buat nambah suasana, kita harus tahu satu hal penting ini, muter lagu di ruang publik tanpa izin bisa bikin kena tagihan royalti. Iya, betul. Bahkan meski lagu itu kita putar dari Spotify Premium, Apple Music, atau YouTube Premium. Mau kita udah bayar langganan tiap bulan, tetap saja, itu bukan izin buat muter lagu di tempat umum.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, penggunaan lagu di tempat usaha termasuk kategori komunikasi publik. Jadi, setiap kali kita putar lagu di tempat yang bisa didengar pelanggan, maka secara hukum, kita sedang menggunakan karya cipta secara komersial dan artinya, kita harus bayar royalti. Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM juga mengingatkan soal ini. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa pemutaran musik di tempat usaha seperti restoran, kafe, pusat kebugaran, toko, hingga hotel, tetap harus bayar royalti, meskipun si pemilik sudah pakai layanan premium seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music. "Meskipun layanan streaming bersifat personal, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial," tegas Agung. (Dikutip dari laman DJKI Kemenkumham, 2023)

Menurut LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), saat lagu dipakai untuk tujuan komersial, apa pun medianya, pemilik usaha wajib bayar royalti tahunan. Besaran tarifnya tergantung dari jenis usaha, luas ruangan, dan jumlah pengunjung. Dikutip dari Tirto.id (2023), biaya royalti bisa mulai dari 400 ribu per tahun untuk kafe kecil, dan bisa mencapai jutaan untuk tempat usaha yang lebih besar.
Banyak pelaku usaha yang kaget saat dapat surat dari LMK atau DJKI, karena merasa tidak pernah diberi tahu soal kewajiban ini. Bahkan sebagian mengira itu modus penipuan karena belum ada edukasi yang masif dari pihak berwenang.

Dikutip dari Detik.com (2022), sejumlah UMKM mengeluh saat diminta bayar royalti, karena mereka merasa hanya memutar musik untuk hiburan biasa, bukan sebagai alat komersial. Tapi pada kenyataannya, musik yang diputar di tempat usaha memang bisa bikin pelanggan lebih betah, dan itu adalah bagian dari nilai tambah bisnis. Yang bikin miris, UMKM sering kena getah paling awal dari kebijakan ini. Padahal mereka adalah garda depan ekonomi kerakyatan. Kafe kecil, warung kopi pinggir jalan, tempat cukur sederhana, harusnya diperlakukan berbeda dari hotel bintang lima atau restoran waralaba besar. Dikutip dari Kompas.com (2023), LMKN dan DJKI mengaku sedang menyiapkan skema tarif royalti yang lebih ramah untuk pelaku usaha mikro dan kecil, supaya tetap adil tanpa memberatkan. Karena prinsipnya, menghargai karya itu wajib, tapi jangan sampai mematikan usaha kecil yang baru merangkak.

Intinya memutar lagu di tempat usaha sama dengan pakai karya orang lain dan wajib bayar. Tapi bukan berarti semua pelaku usaha langsung dicap pelanggar hukum. Banyak dari mereka cuma belum paham. Dan disinilah pentingnya edukasi. Pemerintah dan lembaga terkait harus hadir bukan hanya untuk menagih, tapi juga untuk menjelaskan. Karena menghargai karya itu penting, tapi memberdayakan pelaku usaha kecil juga sama pentingnya.

Semoga kita semua bisa saling memahami dan belajar dari berita yang kerap muncul tapi sering terabaikan. Semoga keteledoran karena satu dan hal lainnya, jadi pembelajaran untuk kita semua. Jangan sampai kejadian yang dialami Mie Gacoan menimpa yang lain. Sudah saatnya kita belajar, bukan hanya nonton dan berkomentar tidak baik.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Di Tulungagung, sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur yang dikenal tenang dan bersahaja, kini tengah ramai dibicarakan ga...
06/08/2025

Di Tulungagung, sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur yang dikenal tenang dan bersahaja, kini tengah ramai dibicarakan gara-gara warganya menjual beras bansos, beras bantuan pangan dari pemerintah. Bukan karena warga tak butuh bantuan, tapi justru karena beras saja tak cukup untuk bertahan hidup. Dikutip dari Suara Jatim (26 Juli 2025) dan Merdeka, fenomena ini ramai setelah beberapa warga kedapatan menjual beras bantuan pemerintah di media sosial. Bahkan ada yang terang-terangan memajang karung beras bertuliskan “Bantuan Pangan Pemerintah” dengan caption “20 kg, bisa COD, lokasi Tulungagung Kota”.

Sontak saja publik heboh. Reaksi datang dari berbagai arah, dari yang menyayangkan hingga yang mencibir. Tapi yang menarik, Pemkab Tulungagung sendiri tak langsung marah. Melalui Kepala Dinas Sosial, Pemkab menyatakan akan melakukan evaluasi data penerima bantuan. Karena mungkin saja ada ketidaktepatan sasaran atau kondisi penerima yang berubah. Tapi, mereka juga tidak serta-merta menyalahkan. Mungkin kenyataannya, ada yang lebih penting dari sekadar beras, yaitu kelayakan hidup.

Begini logikanya, bantuan beras yang diberikan memang banyak, 20 kilogram per kepala keluarga per bulan. Tapi coba pikirkan baik-baik, siapa yang bisa makan nasi saja tanpa lauk? Tanpa garam? Tanpa minyak goreng? Nah, ini yang menjadi alasan utama kenapa sebagian warga justru menjual beras bansos. Bukan karena tidak bersyukur, tapi karena butuh menukar beras itu dengan bahan kebutuhan lain. Seperti dikutip dari Merdeka (27 Juli 2025), salah seorang warga penerima bansos mengatakan: “Saya jual setengahnya, buat beli telur, cabe, bumbu dapur. Wong berasnya banyak, tapi enggak ada lauk. Mosok makan nasi tok tiap hari?”

Ini bukan cerita satu-dua orang. Banyak warga yang melakukan hal serupa diam-diam. Karena bantuan dari pemerintah sering kali datang dalam bentuk satu jenis barang, tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil di dapur. Ya, beras penting, tapi tidak bisa sendirian menyelamatkan isi perut keluarga.

Sebetulnya bukan kali ini saja fenomena bantuan seperti ini jadi masalah. Pembagian bansos dari dulu sering jadi ajang evaluasi besar-besaran. Karena tidak sedikit yang menerima padahal sebenarnya mampu, dan tidak sedikit p**a yang butuh justru terlewat. Seperti dikutip dari Kompas (25 Juli 2025), jumlah penerima bantuan pangan di Tulungagung tercatat mencapai 80.875 jiwa. Bantuan itu disalurkan ke 257 desa dan 14 kelurahan. Tentu angka ini luar biasa besar. Banyak warga yang mengaku, tetangga sebelah yang rumahnya sudah bertingkat malah tetap menerima bansos, sementara dirinya yang hanya pekerja harian malah tidak terdata. Jadi wajar kalau banyak yang skeptis soal sistem ini.

Mereka yang menjual beras bansos bukan karena moralnya yang bobrok. Tapi karena hidup di desa, apalagi yang tak punya pendapatan tetap, adalah soal bertahan dari hari ke hari. Ada yang harus bayar listrik, ada yang harus beli susu anak, ada yang harus bayar utang di warung. Kalau bantuan hanya datang dalam bentuk beras, maka mereka tak punya pilihan selain “menyesuaikannya”.

Dalam sebuah wawancara yang dikutip oleh iNews Jatim (27 Juli 2025), seorang warga lain bahkan dengan pasrah berkata: “Daripada dipinjamkan ke rentenir, mending saya jual beras ini, separuhnya, buat beli kebutuhan yang lain. Lagi p**a masih ada sisa.”

Jadi jika ada yang bertanya, “kenapa dijual?”, jawabannya bukan karena tamak atau tidak tahu diri. Tapi karena itu bentuk paling jujur dari survival, bertahan hidup dengan apa yang dimiliki. Di negeri yang kadang lebih ramai urusan anggaran ketimbang dapur rakyat, kita perlu sedikit menunduk. Mendengar cerita warga yang menukar beras bansos demi bisa menghidangkan sayur di meja adalah potret nyata. Bukan sekadar masalah bantuan, tapi tentang bagaimana negara melihat kebutuhan warganya secara utuh.

Jadi, saat beras bansos dijual, jangan langsung menghakimi. Mungkin di balik itu ada anak yang bisa makan lauk, ada ibu yang bisa beli minyak, atau ayah yang bisa isi token listrik.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Hari ini kalau kita jalan ke gang sempit, pasar tradisional, atau scroll media sosial, pasti kita lihat banyak yang jual...
06/08/2025

Hari ini kalau kita jalan ke gang sempit, pasar tradisional, atau scroll media sosial, pasti kita lihat banyak yang jualan. Jajanan homemade, keripik, kue rumahan, baju preloved, sabun handmade, sampai tanaman hias. Di balik itu semua, ada 63 juta pelaku usaha mikro yang jadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Pertanyaannya, benarkah ini tanda ketangguhan ekonomi rakyat dari kerapuhan ekonomi negeri?

Data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2018 menyebutkan bahwa 99,99% dari total 64,2 juta unit usaha di Indonesia adalah UMKM. Mereka menyerap 97% tenaga kerja nasional, sekitar 119 juta orang. Angka ini terdengar mengagumkan.
Tapi begitu dilihat lebih dalam, banyak usaha mikro justru lahir karena terpaksa dan keadaan, bukan karena mimpi atau passion. Mereka bukan sedang merintis startup impian, tapi lebih ke “daripada nganggur, mending jualan gorengan.”

Memang faktanya, mayoritas pelaku usaha mikro adalah mereka yang tersingkir dari sistem formal. Pekerjaan formal makin susah didapat, PHK di mana-mana, dan lapangan kerja yang ada pun sering kali menawarkan upah tak layak. Maka, berjualan jadi opsi paling masuk akal, walaupun seadanya. Bahkan, tak sedikit yang akhirnya menciptakan kerja bagi orang lain, baik dari keluarga, tetangga, hingga lulusan sekolah. Semua saling menopang agar tetap bisa makan esok hari.

Tapi persoalan muncul ketika kita bicara soal naik kelas. Ada fenomena yang disebut Missing Middle, dimana pelaku usaha mikro sulit naik jadi usaha kecil atau menengah. Menurut data World Bank dan Kemenkop UKM, dari 1.000 usaha mikro, hanya 3 yang naik ke level usaha kecil (0,3%), 7 dari 10.000 naik ke menengah (0,07%), dan hanya 1 dari 10.000 yang bisa jadi usaha besar (0,01%). Artinya, sebagian besar UMKM Indonesia stuck di bawah. Bertahun-tahun. Berpuluh-puluh tahun.

Apa penyebabnya?

Salah satu sebabnya adalah ekosistem bisnis yang belum ramah bagi usaha kecil. Banyak pelaku UMKM tak punya akses permodalan, tak mengerti legalitas usaha, dan belum terhubung ke pasar digital. Menurut Kemenkop UKM (2023), baru 26% UMKM yang punya legalitas seperti NIB. Padahal tanpa legalitas, mereka tak bisa mengakses program pemerintah, KUR, atau ikut pengadaan barang dan jasa. Tanpa akses modal dan pasar, bagaimana bisa tumbuh?

Padahal jika sistemnya dibuat inklusif dan ringan, bukan tak mungkin pelaku UMKM bisa naik kelas. Maka solusi bukan cuma soal kasih modal, tapi pendampingan yang nyata dan panjang. Inkubator bisnis harusnya bukan cuma ajang pelatihan 3 hari yang selesai tanpa follow-up. Tapi benar-benar seperti sekolah bisnis kecil dengan mentor, evaluasi rutin, dan bantuan sampai usaha stabil. Soal pasar, banyak UMKM yang hanya berjualan di lingkup sempit, tetangga, RT, atau pasar lokal. Padahal, era digital membuka peluang pasar yang jauh lebih besar. Sayangnya, tidak semua pelaku UMKM familiar dengan TikTok Shop, Shopee, atau Tokopedia. Program digitalisasi seperti “100.000 UMKM Go Digital” dari Kominfo dan Kemenkop UKM sangat bagus, tapi nampaknya perlu dievaluasi. Jangan hanya menyasar UMKM yang benar-benar membutuhkan, bukan sekadar yang sudah melek digital.

Soal akses permodalan, pemerintah memang punya program KUR (Kredit Usaha Rakyat) dengan bunga rendah. Sayangnya syaratnya masih dianggap rumit, apalagi bagi pelaku usaha ultra mikro. Sebagai konsumen juga bisa berkontribusi. Cara sederhananya, belanja ke warung sebelah, beli makanan dari tetangga, atau pilih produk lokal di marketplace. Jangan cuma belanja ke toko fancy yang sudah mapan. Kalau kita ingin roda ekonomi berputar adil, maka uang kita juga harus berputar ke sesama rakyat kecil. Ingat, kadang satu transaksi kecil dari kita bisa jadi harapan besar bagi mereka.

UMKM adalah simbol ketangguhan, tapi juga sekaligus indikator bahwa banyak orang Indonesia hidup dalam perjuangan. Ketangguhan yang dipaksa oleh keadaan, bukan karena sistem yang mendukung. Maka, tugas bersama kita bukan hanya memuji pelaku UMKM sebagai pahlawan ekonomi. Tapi menciptakan ekosistem di mana mereka bisa tumbuh, naik kelas, dan hidup dengan layak.
---


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Address


Telephone

+6281330051711

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Menetas posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Menetas:

Shortcuts

  • Address
  • Telephone
  • Alerts
  • Contact The Business
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share