11/10/2025
Menikah itu Bukan Hanya Soal Satsetsatset
Saya tidak tertarik mengikuti perkembangan para selebritis tanah air, meski saya juga menyadari bahwa orang-orang yang saya kenal tampaknya selalu tertarik untuk memerhatikan mereka, bahkan untuk sesuatu yang menyangkut hal-hal pribadi. Seperti yang kemarin ramai dibagikan oleh nyaris 8 dari 10 teman teman perempuan saya. Pernikahan Amanda Manopo dan suaminya, memenuhi beranda Facebook saya, pun dimanfaatkan oleh para pencari dollar.
Saya tidak tertarik mengikuti perkembangan mereka, tapi memilih untuk tertarik membaca isi pikiran orang-orang. Satsetsatset, menikah. Demikian kesimpulan yang saya dapatkan dari berbagai komentar yang ada. Komentar seperti ini, entah disadari atau tidak, seolah merangkum pernikahan sebagai sesuatu yang sederhana, cepat dan instan. Namun, benarkah menikah muda itu? Apakah ikatan seumur hidup bisa disederhanakan menjadi sekadar satsetsatset langsung jadi?
Saya tidak sedang meremehkan kegembiraan orang-orang yang merayakan momen bahagia pasangan selebritis Amanda dan suaminya itu atau yang lainnya. Pun hal yang sama ketika dulu, teman-teman saya beramai-ramai berduka atas seseorang yang tidak pernah mereka lihat sendiri, tidak pernah jumpai di dunia nyata, hanya karena keseringan melihat versi lain darinya di luar kebut-kebutan motor, menarik perhatian mereka. Saya malah ikut tersenyum ketika melihat foto-foto mereka, yang, dibagikan oleh-oleh teman-teman saya dan berharap dolarnya semakin banyak yang menempel. Satsetsatset, menikah. Hehe.
Kita seolah hidup di dunia mimpi. Karena itu, ketika kita melihat orang lain AKA selebritis bahagia, kita seolah mendambakan kebahagiaan seperti itu. Persis itulah yang terjadi dengan beberapa teman saya ketika Amanda Manopo menikah. Satsetsatset, menikah. Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari narasi satsetsatset ini. Ada suatu realitas yang jauh lebih rumit dari sekedar secepat jadi atau langsung nikah itu.
Menikah bukan cuma soal momen puncak di hari H, ketika semua orang tersenyum dan kamera berderet untuk mengabadikannya. Dalam konteks lokal, seperti yang sering saya ikuti di Sumba, pernikahan ideal adalah pernikahan yang mengikuti template nikahnya orang-orang yang telah menikah sebelumnya. Tidak ada yang istimewa yang bisa dipetik oleh tamu undangan dari moment pernikahan yang maha makan biaya itu. Sebab, template-nya sudah dibuat; tamu datang, terima tamu, sambutan-sambutan, bonus kalau ada tarian, makan kue pengantin, foto bersama, makan dan ditutup dengan joget-joget.
Membaca pernikahan ideal, yang memiliki makna bagi para hadirin, saya pernah berdiskusi panjang soal ini dengan kk Erlin Mali di kantornya beberapa bulan lalu. Saya sempat merekam percakapan kami. Kalau sempat, nanti saya tuliskan, hehe.
Menikah adalah tentang perjalanan panjang sebelum dan sesudahnya. Ia adalah tentang dua manusia dengan latar belakang, kebiasaan, dan luka masing-masing, yang memutuskan untuk berjalan bersama, yang, ini kalau saya tulis panjang soal menikah saja, sudah seperti pakarnya, padahal, "itu, kan, karena kau belum menikah, belum punya anak," seperti kata beberapa orang yang ketika mengeluh soal anak, saya selalu timpali dengan kata-kata, siapa suruh menikah cepat. Jadi, menikah itu bukan hanya soal satsetsatset.
Saya ingat percakapan dengan beberapa teman yang sudah menikah. Dalam obrolan kami, sering kali mereka berkata, cepat sudah, atau kapan waktunya, atau kapan nyusul. Saya tidak tertarik menanggapi pertanyaan sejenis ini, sebab, alasan dibaliknya adalah, menikah itu enak. Ah, kalau saja seenak itu, pikir saya, mereka tidak akan berhutang pada saya hanya untuk membelikan anak mereka susu.
Kalau menikah hanya soal satsetsatset, tidak ada lagi cerita tentang bagaimana orang-orang berumah tangga harus belajar memahami ego masing-masing, mengelola konflik, dan menemukan keseimbangan antara mimpi pribadi dan tujuan bersama. Satsetsatset mungkin bisa menggambarkan keputusan untuk menikah, tapi tidak cukup untuk merangkum perjuangan mempertahankan pernikahan.
Diskusi tentang nilai-nilai hidup, visi keluarga, hingga bagaimana menghadapi perbedaan pendapat soal keuangan atau mendidik anak. Belum lagi soal kesiapan menghadapi tekanan dari keluarga besar, ekspektasi masyarakat, atau bahkan perubahan yang tidak terduga, seperti sakit atau kegagalan. Ini semua tidak akan terlihat di media sosial. Sebab, di media sosial, kita hanya melihat puncak gunung es. Foto prewedding di lokasi eksotis, cincin berkilau, resepsi megah, tamu undangan yang banyak, dan, tentu saja ini semua ada yang namanya kabha mata. Karena itu, sangat amat sesat apabila menikah itu hanya soal satsetsatset.
π·; Amandamanopo