01/12/2024
Hutan Perempuan di Desa Enggros, Jayapura, yang hanya boleh dimasuki oleh perempuan, kini mengalami ancaman serius.
Selama enam generasi, para perempuan di desa tersebut menjalankan tradisi Tonotwiyat, yang secara harfiah berarti ‘bekerja di hutan’.
Di sana, mereka mengumpulkan kerang, menangkap kepiting, memancing ikan, hingga mencari kayu bakar, untuk menghidupi keluarga mereka.
Namun, kini polusi dan pembangunan telah menggerus hutan mangrove ini.
Hampir enam dekade lalu, luas hutan yang terletak di Teluk Youtefa itu sekitar 514 hektar, dan kini diperkirakan hanya setengahnya yang tersisa.
Hal ini menyebabkan keanekaragaman hayati di hutan adat itu juga turut menyusut.
“Dulu saya bisa mencari banyak kerang. Tapi sekarang, saya hanya menemukan sampah,” kata Paula Hamadi, salah satu perempuan Desa Enggros.
Meski Hutan Perempuan kini telah tercemar sampah plastik dan hasil tangkapan terus berkurang, para perempuan Enggros tetap berjuang melestarikan hutan tersebut.
Mereka membersihkan sampah, melakukan pembibitan, dan menanam kembali pohon mangrove di area yang hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat kota Jayapura itu.
“Saya melakukannya bersama teman-teman di sini untuk konservasi, untuk menjaga hutan ini,” kata Petronela Merauje, tokoh perempuan Enggros lainnya.
Selain upaya penghijauan kembali, pakar sebut perlu adanya jaminan bahwa hutan yang tersisa tak akan dihilangkan untuk pembangunan di masa depan.
“Saat ini, belum ada peraturan daerah yang melindungi Teluk Youtefa, khususnya Hutan Perempuan,” kata John Dominggus Kalor, seorang dosen ilmu perikanan & kelautan di Universitas Cenderawasih, Papua.
Padahal, menurutnya, peraturan daerah dapat membantu mencegah deforestasi Hutan Perempuan di masa mendatang.
“Tidak boleh ada lagi aktivitas pemanfaatan lahan atau eksploitasi di Teluk Youtefa yang merusak ekosistem mangrove,” seru Kalor.