30/06/2025
Kalau kamu tumbuh di keluarga atau lingkungan yang masih percaya bahwa hidup bisa โdibereskanโ lewat jalan pintas yang penuh mistik, kamu tidak sendirian. Mungkin di antara kita pernah mendengar kalimat seperti, โCoba ke orang pintar deh, biar daganganmu laris,โ atau, โItu rejekimu ketahan orang, coba minta dibukain jalannya.โ Narasi seperti itu sudah mengakar. Bahkan jadi semacam tradisi diam-diam, diturunkan lintas generasi tanpa pernah ditanya ulang, masuk akal kah?
Satu hal yang bikin kita tercengang, masih banyak orang yang ingin kaya, ingin bisnisnya maju, tapi langkah pertamanya adalah pergi ke dukun. Bukan belajar strategi, bukan memperbaiki manajemen. Tapi cari โjalan ghaib.โ Ironisnya, tempat yang dituju pun jauh dari gambaran kemapanan. Dukunnya sendiri tinggal di rumah reyot, motornya karatan, bahkan listrik sering mati. Lalu muncul satu pertanyaan sederhana tapi tajam, kalau memang ilmunya bikin kaya, kenapa dia sendiri tidak kaya?
Dukun bukan sekadar sosok. Ia adalah simbol dari cara berpikir instan. Kita hidup di bangsa yang kadang alergi proses panjang, s**a keajaiban mendadak. Semangat kerja keras, analisis pasar, trial and error dianggap โjalan orang biasa.โ Kita pengen jadi โorang luar biasaโ dengan shortcut. Padahal, di balik semua orang sukses, pasti ada proses berdarah-darah yang tidak ditayangkan di TV. Namun warisan โpergi ke dukun biar larisโ ini seolah jadi kebiasaan turun-temurun. Disampaikan dari orang tua ke anak, seolah itu jalan satu-satunya ketika logika tidak memberi solusi. Mungkin dulunya hanya mitos, tapi karena terus diulang, akhirnya menjadi keyakinan. Kita lupa bertanya, โApa benar begitu caranya?โ
Di era digital sekarang, hampir semua yang kita butuhkan untuk sukses bisa diakses mulai dari pengetahuan, mentor, sampai tools. Tapi anehnya, sebagian dari kita masih terpaku pada langkah-langkah magis seperti, mandi kembang, bakar kemenyan, bawa sesajen. Bukan berarti spiritualitas tidak penting. Tapi saat semua problem hidup dikaitkan dengan hal ghaib, itu jadi pembenaran untuk tidak berkembang. Lebih menyedihkan lagi, kita tidak hanya mempercayainya sendiri, tapi mewariskannya. Seperti luka batin yang tidak sembuh, kita wariskan ketakutan, kemalasan, dan ilusi kepada generasi berikutnya.
Masalahnya bukan cuma soal logika. Tapi soal mentalitas. Ketika kita percaya ada โorang lainโ yang bisa menyelesaikan hidup kita, kita berhenti percaya pada diri sendiri. Kita berhenti belajar. Kita berhenti bertanya. Kita berhenti bergerak. Dan saat semua jalan mentok, kita menyalahkan takdir. Bukan strategi. Kita jadi bangsa yang mudah menyerah pada keadaan. Padahal tidak semua hal harus diserahkan pada langit, apalagi dukun. Bukankah Tuhan sendiri menyuruh kita untuk berikhtiar dan bertawakal, bukan bersandar pada ritual yang bahkan tak pernah diajarkan dalam agama?
Di Agama kita, bergantung pada hal-hal semacam perdukunan dan ramalan adalah perkara serius. โKita diperintahkan untuk menyambung sebab-sebab duniawi dengan usaha yang nyata, bukan dengan yang ghaib yang tidak ada tuntunannya.โ Jika seseorang percaya bahwa kesuksesan datang dari hal ghaib, maka otaknya akan berhenti bekerja secara rasional. Bahkan produksi hormon kebahagiaan pun menurun, karena hidup dipenuhi rasa takut dan khawatir pada hal yang tak terlihat. Islam mengajarkan tawakal, bukan pasrah. Tawakal artinya berusaha dulu semaksimal mungkin, baru berserah diri pada hasil. Tapi ketika kita justru โberusahaโ lewat jalan pintas yang bertentangan dengan akidah, kita bukan tawakal, kita sedang kabur dari tanggung jawab.
Negara-negara maju tidak menjadi maju karena dukun mereka lebih sakti. Tapi karena masyarakatnya dibiasakan berpikir ilmiah dan berproses. Mereka menghargai waktu, data, perencanaan. Mereka punya tradisi membaca, belajar, dan terus berkembang. Sementara kita, masih sibuk mencari hari baik, warna hoki, atau tanggal keramat. Kita habiskan energi memuaskan rasa penasaran mistik, padahal realita di depan mata sudah sangat butuh pembenahan. Kita lupa, bahwa orang yang mau kerja keras, belajar dari kegagalan, dan konsisten, akan jauh lebih kuat dari pada orang yang sibuk pasang pagar ghaib tapi tidak pernah membangun pagar strategi.
Warisan yang tidak pas mungkin tidak perlu dilestarikan. Warisan hanya jadi beban kalau kita tidak berani mengubahnya. Justru generasi kita hari ini punya kesempatan untuk menghentikan siklus. Untuk tidak lagi menyelesaikan masalah lewat jalan kabur. Jika orang tua dulu tidak sempat belajar strategi bisnis karena hidupnya sulit, kita hari ini punya media sosial, buku, kelas online, mentor, bahkan komunitas. Kita tidak bisa pakai alasan โkami nggak tahuโ ketika sebenarnya kita hanya malas mencari tahu.
Mungkin kita pernah merasa gagal. Pernah bisnis bangkrut. Pernah ditipu. Dan saat itu, datang godaan untuk โcoba alternatif lainโ, termasuk ke jalur mistik. Tapi ingat, begitu kita menyerahkan hidup ke tangan orang lain (apalagi yang menjual harapan palsu), kita kehilangan martabat. Jauh lebih baik jatuh karena mencoba strategi logis, daripada berhasil karena dibantu oleh tipu muslihat ghaib yang tak bertanggung jawab. Sudah saatnya kita ubah cara berpikir. Jangan lagi mewariskan ketakutan dan kebodohan, tapi gantikan dengan keberanian dan pengetahuan. Kita bisa mulai dari hal sederhana, belajar dari yang berhasil, bertanya pada yang paham, berusaha tanpa lelah, dan berdoa dengan iman.
Karena orang-orang besar tidak dibesarkan oleh mantra. Tapi oleh proses panjang, kesabaran, dan keberanian menghadapi kenyataan. Apakah kita masih mau percaya pada jalan pintas yang bahkan tidak bisa dipertanggungjawabkan? Atau kita mulai merawat pola pikir yang sehat, yang membawa kita betul-betul naik level, bukan hanya mimpi?
Hidup ini tidak harus instan. Tapi harus punya arah. Dan arah itu tidak akan datang dari orang lain, apalagi dukun. Arah itu harus kita pilih sendiri. Dengan kepala dingin. Dengan akal sehat. Dengan iman yang lurus.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.