16/08/2025
Suatu sore yang lengang di akhir tahun 1970-an, di rumah kecilnya di kawasan Jakarta Selatan, Mohammad Hatta duduk di depan meja kayu tua. Ia baru saja membuka amplop putih berisi slip gaji pensiunan. Jumlahnya tidak besar, hanya cukup untuk hidup sederhana. Di meja itu, tergeletak p**a beberapa lembar kertas: tagihan listrik, iuran air, dan pajak rumah yang menunggu untuk dibayar.
Tangannya yang gemetar pelan meraba angka-angka pada kertas itu. Hampir tujuh puluh persen dari uang pensiunan habis hanya untuk membayar listrik. Sisanya, terlalu tipis untuk bisa menutupi biaya air PAM, gas, dan kebutuhan harian. B**g Hatta menghela napas. Tak ada rasa menyesal, hanya ada keheningan yang panjang. Baginya, kesederhanaan adalah harga yang sudah ia pilih sejak muda. Tetapi kesunyian dalam ketidakmampuan membayar iuran air—sesuatu yang begitu dasar—menjadi potret getir seorang bapak bangsa di masa senjanya.
Di dapur rumah itu, seringkali lauk-pauk sederhana hadir bukan dari uang di dompetnya, melainkan dari pemberian kerabat dan tetangga yang masih peduli. Tak jarang, meja makan keluarga Hatta hanya diisi nasi, sayur bening, dan tempe goreng. Namun di ruang tamu, rak buku yang penuh dengan literatur politik, ekonomi, dan filsafat tetap menjadi sahabat setia. Bagi Hatta, buku adalah harta paling berharga yang tak bisa diganti dengan apapun. Pernah ia berkata kepada anak-anaknya: “Aku rela tidak membeli sepatu, asal masih bisa membeli buku.”
Ironi itu begitu mencolok. Lelaki yang pernah duduk di meja proklamasi, yang menandatangani kemerdekaan sebuah bangsa bersama Soekarno, kini kesulitan menyalakan lampu rumahnya. Orang yang berjuang melawan kolonialisme, menolak kekuasaan mutlak, dan berdiri tegak melawan segala bentuk korupsi, justru di masa tuanya harus menunduk di hadapan tagihan-tagihan kecil.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu. Ali terperangah, bahkan nyaris tak percaya. Bagaimana mungkin, seorang proklamator, Wakil Presiden pertama Indonesia, hidup dalam kondisi sesulit ini? Hatinya tergerak. Ali segera mengajukan usul agar B**g Hatta diangkat sebagai warga utama kota Jakarta, sebuah status khusus yang membuatnya dibebaskan dari kewajiban membayar listrik, air, dan pajak rumah. DPRD menyetujui usulan itu dengan cepat. Bukan karena iba semata, melainkan karena rasa malu: malu pada sejarah, malu pada sosok yang begitu jujur, tapi dilupakan oleh negerinya.
Namun bagi B**g Hatta, keputusan itu bukanlah kemenangan. Ia menerima dengan tenang, tanpa merasa terbantu berlebihan, tanpa menuntut lebih. Baginya, kehormatan bukan diukur dari besar kecilnya rumah, bukan dari saldo di rekening bank, tetapi dari kebersihan hati dan integritas. Selama hidupnya, ia menolak untuk memperkaya diri dengan fasilitas negara. Ia menolak tawaran proyek, menolak gratifikasi, bahkan menolak hadiah mewah sekalipun datang dari sahabat.
Kisah ini bukan sekadar catatan kelam, melainkan cermin. Bahwa seorang proklamator bisa hidup sederhana, bahkan sampai tak mampu membayar tagihan air, karena ia memilih jalan lurus—jalan yang membuat namanya harum sepanjang masa. B**g Hatta tidak meninggalkan harta benda, tetapi meninggalkan warisan moral: kejujuran, kesetiaan pada rakyat, dan kesederhanaan yang tak pernah bisa dibeli dengan uang.
Dan di sanalah letak kebesaran sejatinya. B**g Hatta mungkin tak mampu membayar tagihan air di masa pensiun, tetapi ia membayar jauh lebih besar: ia membayar dengan hidupnya, dengan konsistensi, dengan menolak korupsi, agar bangsa ini punya teladan tentang arti kemerdekaan batin. Merdeka dari kerakusan. Merdeka dari godaan kekuasaan. Merdeka untuk hidup jujur, sekalipun harus sederhana sampai akhir hayat.