Benuasabda

Benuasabda Motivasi - Inspirasi - Kebijaksanaan

Edgar Watson Howe lahir pada 3 Mei 1853 di Wabash County, Indiana, Amerika Serikat. Sejak muda, ia tertarik pada dunia t...
17/08/2025

Edgar Watson Howe lahir pada 3 Mei 1853 di Wabash County, Indiana, Amerika Serikat. Sejak muda, ia tertarik pada dunia tulis-menulis dan jurnalistik. Pada usia 19 tahun, ia sudah bekerja di surat kabar kecil, dan tak lama kemudian mendirikan media sendiri. Dari sanalah ia menapaki jalan hidupnya sebagai jurnalis yang tajam dan pengamat sosial yang kritis. Howe kemudian dikenal sebagai editor dan penulis yang kerap menyoroti kehidupan sehari-hari dengan gaya satir dan penuh humor getir.

Karya yang membuat namanya melambung adalah novel The Story of a Country Town (1883), yang dipuji karena penggambaran realistis tentang kehidupan masyarakat kecil Amerika. Buku ini bahkan diapresiasi oleh tokoh besar seperti Mark Twain dan William Dean Howells, menjadikan Howe terkenal secara nasional. Namun, meski karyanya sukses, ia tetap memilih jalur jurnalisme. Ia mengelola beberapa surat kabar di Kansas, termasuk Atchison Globe, yang ia bangun menjadi salah satu koran berpengaruh di daerahnya. Lewat editorialnya, Howe dikenal sebagai suara rakyat kecil—blak-blakan, kadang sinis, tapi selalu jujur.

Menjelang akhir hidupnya, Howe lebih banyak menulis renungan dan aforisme. Ia kemudian dijuluki “Sage of Atchison” (Orang Bijak dari Atchison) karena pandangan-pandangannya tentang hidup, cinta, masyarakat, dan moralitas. Kutipan-kutipannya kerap sederhana, tapi penuh makna, menjadikannya dikenang bukan hanya sebagai jurnalis, melainkan juga filsuf kehidupan sehari-hari. Howe wafat pada 3 Oktober 1937, meninggalkan warisan berupa kata-kata yang terus dikutip hingga kini.

Albert Einstein lahir di Ulm, Jerman, 14 Maret 1879. Sejak kecil, ia bukan murid yang dianggap istimewa—ia pendiam, seri...
17/08/2025

Albert Einstein lahir di Ulm, Jerman, 14 Maret 1879. Sejak kecil, ia bukan murid yang dianggap istimewa—ia pendiam, sering melamun, dan bahkan sempat dicap lambat oleh gurunya. Namun di balik keheningan itu, Einstein menyimpan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Ia gemar mengutak-atik kompas, mengajukan pertanyaan tentang cahaya, ruang, dan waktu. Pertanyaan-pertanyaan itu kelak membawanya pada terobosan yang mengubah wajah ilmu pengetahuan. Dari seorang anak yang tampak biasa, ia menjelma menjadi salah satu otak paling brilian dalam sejarah umat manusia.

Pada 1905, ketika bekerja di kantor paten di Bern, Einstein menerbitkan serangkaian makalah ilmiah yang disebut Annus Mirabilis—tahun ajaib. Di situlah lahir teori relativitas khusus yang mengguncang dunia sains, mengubah pemahaman tentang ruang dan waktu. Beberapa tahun kemudian, ia memperluas gagasannya menjadi teori relativitas umum, sebuah karya monumental yang menempatkannya di puncak ilmu fisika modern. Namun, kejeniusannya tidak hanya soal rumus. Einstein adalah simbol kebebasan berpikir, seorang pemimpi yang percaya bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan, karena imajinasi membuka kemungkinan tanpa batas.

Di luar kejeniusannya, hidup Einstein penuh pergulatan. Ia harus meninggalkan tanah kelahirannya karena kebangkitan N**i, hidup sebagai pengungsi, dan menyaksikan dengan pedih bagaimana teorinya digunakan untuk menciptakan bom atom—sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya. Di Amerika, ia mengajar di Princeton, menjalani hidup sederhana, bersuara lantang tentang perdamaian, hak asasi, dan kemanusiaan. Einstein wafat pada 18 April 1955, meninggalkan warisan lebih dari sekadar teori ilmiah: ia meninggalkan teladan bahwa kecerdasan sejati bukan hanya soal otak, melainkan juga keberanian untuk berdiri bagi kebenaran dan kemanusiaan.

Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Sejak kecil, ia dikenal tekun, pendiam, dan haus i...
17/08/2025

Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Sejak kecil, ia dikenal tekun, pendiam, dan haus ilmu. Di Belanda, ketika menempuh pendidikan ekonomi di Rotterdam, Hatta menemukan panggilan hidupnya: memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat pena, ide, dan diplomasi. Ia aktif di Perhimpunan Indonesia, menulis dengan tajam, menyuarakan hak bangsa terjajah, dan menolak tunduk pada kekuasaan kolonial. Dari Eropa yang jauh, namanya mulai diperhitungkan sebagai pemikir sekaligus aktivis pergerakan yang bersih dan berprinsip.

Sekembalinya ke tanah air, B**g Hatta bersama Soekarno menjadi dwitunggal proklamator. Jika B**g Karno adalah api yang membakar semangat massa, B**g Hatta adalah air yang menyejukkan, memberi arah dengan ketenangan dan rasionalitas. Pada 17 Agustus 1945, mereka berdiri bersama, membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Namun perjalanan politik Hatta berbeda dari banyak tokoh lain: ia tak pernah silau oleh kekuasaan. Saat menjadi wakil presiden, ia menolak segala bentuk korupsi, menolak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Bahkan, ketika merasa tak lagi sejalan dengan arah politik B**g Karno, ia berani mundur dari jabatan wakil presiden pada 1956—sebuah sikap integritas yang langka dalam sejarah bangsa.

Namun di balik kejayaan namanya, B**g Hatta menjalani hari tua yang penuh kesunyian. Ia hidup sangat sederhana, jauh dari kemewahan, hingga pernah tak sanggup membayar tagihan air PAM di rumahnya. Gaji pensiunnya kecil, hidupnya bergantung pada bantuan sahabat dan kebijakan pemerintah daerah. Meski demikian, ia tetap tegak, tidak pernah menyesali jalan lurus yang ia pilih. B**g Hatta wafat pada 14 Maret 1980, meninggalkan teladan bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah yang menumpuk kekayaan dari jabatan, melainkan yang tetap bersih sampai akhir hayatnya. Dari B**g Hatta kita belajar: integritas mungkin membuat hidup sederhana, bahkan miskin, tetapi justru itulah kekayaan yang tak ternilai bagi sebuah bangsa.

Soekarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901, dari keluarga sederhana namun sarat nilai kebangsaan. Sejak muda, ia dikenal se...
17/08/2025

Soekarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901, dari keluarga sederhana namun sarat nilai kebangsaan. Sejak muda, ia dikenal sebagai orator ulung, seorang anak muda yang mampu menggetarkan hati dengan kata-kata. Di Bandung, semasa kuliah teknik di Technische Hoogeschool, ia mendirikan kelompok diskusi yang kelak menjadi embrio nasionalisme modern Indonesia. Dari podium rapat hingga mimbar pengadilan, Soekarno mengibarkan gagasan tentang bangsa yang merdeka, tentang Indonesia yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Pidato-pidatonya bukan hanya politik, melainkan juga puisi, doa, dan teriakan jiwa yang membakar semangat rakyat.

Karier politiknya terus mengeras di bawah tekanan penjajah. Belanda memenjarakannya, membuangnya ke Ende dan Bengkulu, tetapi tak pernah berhasil meruntuhkan tekadnya. Soekarno justru mengasah ide-ide besar: Marhaenisme, persatuan nasional, dan semangat revolusi. Pada masa pendudukan Jepang, ia memanfaatkan ruang yang ada untuk menyiapkan bangsa menuju kemerdekaan. Hingga akhirnya, pada 17 Agustus 1945, bersama B**g Hatta, ia memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Momen itu menjadikannya bukan sekadar pemimpin politik, melainkan bapak bangsa, proklamator, simbol perlawanan sebuah negeri yang bangkit dari penjajahan panjang.

Namun perjalanan hidup B**g Karno tak hanya berisi sorak-sorai kemenangan. Setelah memimpin republik di era penuh gejolak, dari demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin, ia harus menghadapi badai politik dan kudeta tersembunyi pada 1965. Ia dipinggirkan, dijatuhkan, lalu dikurung dalam sepi sebagai tahanan rumah di Wisma Yaso. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, tubuhnya sakit, wajahnya bengkak, namun matanya masih menyimpan api yang dulu menggetarkan massa. B**g Karno wafat pada 21 Juni 1970, dalam kesepian seorang tahanan politik, tapi warisan kata-kata dan keberanian hidupnya tetap abadi di hati rakyat. Ia pernah berkata: “Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat.”

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909, dari keluarga Minangkabau yang terhormat. Sejak muda ia dikenal seb...
17/08/2025

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909, dari keluarga Minangkabau yang terhormat. Sejak muda ia dikenal sebagai intelektual brilian, haus akan ilmu, dan tajam dalam berpikir. Ketika menempuh pendidikan di Belanda, ia bukan hanya mahasiswa hukum, melainkan juga aktivis pergerakan. Di negeri jauh itu, ia bergaul dengan kaum sosialis, membaca Marx, mengenal demokrasi Eropa, dan meneguhkan keyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan dengan kecerdasan, bukan semata dengan senjata.

Kep**angannya ke tanah air menjadi babak baru. Syahrir bergabung dengan Partai Indonesia (PNI Baru) bersama Amir Sjarifuddin, lalu aktif di bawah tanah melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Ia sering bergerak dalam diam, menulis, berdiskusi, membangun jaringan intelektual muda. Sosoknya yang halus, tenang, dan penuh visi membuatnya disegani. Namun, ia juga keras kepala: tak mau tunduk pada fasisme Jepang, sehingga lebih banyak memilih bergerak di balik layar ketimbang bekerja sama dengan pemerintahan militer.

Ketika proklamasi dikumandangkan 17 Agustus 1945, Syahrir memainkan peran penting meneguhkan republik di panggung diplomasi. Dalam usia muda—hanya 36 tahun—ia diangkat menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia. Dengan kefasihan dan wawasannya yang luas, ia memimpin perundingan dengan Belanda di tengah tekanan dunia internasional. Namun hidupnya tak berjalan mulus: intrik politik, perbedaan pandangan, dan tekanan rezim membuatnya tersingkir. Di masa Orde Lama ia dipenjarakan, lalu di masa Orde Baru dibuang ke Zurich, Swiss, dalam keadaan sakit parah. Ia meninggal pada 9 April 1966, jauh dari tanah air yang pernah ia bela dengan seluruh akal dan nuraninya.

Jogja Sudah Tidak Punya Apa-apa Lagi, B**gDesember 1948. Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia, berubah menjadi kota y...
16/08/2025

Jogja Sudah Tidak Punya Apa-apa Lagi, B**g

Desember 1948. Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia, berubah menjadi kota yang dicekam ketakutan. Fajar baru saja merekah ketika langit di atas Adisutjipto dipenuhi pesawat-pesawat Belanda. Dentuman bom dan tembakan mesin otomatis memecah pagi yang tenang. Rakyat berhamburan, pasukan TNI berusaha bertahan dengan senjata seadanya, namun kekuatan itu terlalu timpang.

Di tengah kekacauan itu, B**g Karno dan B**g Hatta masih berada di kota. Yogyakarta bukan sekadar tempat tinggal sementara—ia adalah jantung republik setelah Jakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1946. Dari sinilah, dengan segala keterbatasan, Indonesia berusaha berdiri, mengatur pemerintahan, menyusun strategi diplomasi, dan menyalakan api perlawanan.

Namun kini, ibu kota kecil itu diserbu habis-habisan. Tentara Belanda melancarkan operasi besar yang mereka sebut Operatie Kraai. Dalam hitungan jam, bandara jatuh, pos pertahanan lumpuh, dan Yogyakarta terkepung.

Di dalam keraton, suasana mencekam. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sosok yang sejak awal memberikan Yogyakarta sebagai ibu kota republik, berdiri dengan wajah tegas tapi mata yang berkabut. Ia tahu, kota ini sudah habis-habisan. Rakyatnya telah menyerahkan harta benda, makanan, bahkan perhiasan pribadi untuk membiayai perjuangan. Lumbung padi kosong, kas keraton terkuras, dan darah sudah terlalu banyak tertumpah di jalanan.
Dalam suasana genting itu, Sultan menyampaikan kalimat yang kelak abadi dalam sejarah:

“Jogja sudah tidak punya apa-apa lagi, B**g. Silakan lanjutkan pemerintahan di Jakarta.”

Kalimat itu bukan bentuk keputusasaan, melainkan pengakuan jujur dari hati seorang raja yang telah memberikan segalanya. Ia menyerahkan Yogyakarta sepenuhnya, dengan segala pengorbanannya, agar B**g Karno tahu: kota ini telah menjadi tiang penopang republik, meski sekarang sudah runtuh oleh gempuran senjata.

B**g Karno terdiam. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu betapa besar pengorbanan Yogyakarta. Sejak awal revolusi, kota kecil itu menerima beban yang seharusnya dipikul sebuah bangsa. Rakyatnya rela makan singkong dan jagung, menggadaikan emas, menanggung lapar, hanya demi republik yang masih rapuh. Dan kini, setelah semuanya dikerahkan, Yogyakarta jatuh juga.

Belanda kemudian menangkap B**g Karno, B**g Hatta, Sutan Syahrir, dan para pemimpin lain. Mereka diasingkan. Namun ironinya, keputusan B**g Karno untuk tetap tinggal di Yogyakarta dan ditawan Belanda justru menjadi senjata diplomasi di dunia internasional. Dunia melihat, Belanda bukan lagi melawan pemberontak lokal, melainkan menahan seorang kepala negara sah. Simpati pun mengalir, tekanan internasional memaksa Belanda duduk di meja perundingan.

Di sisi lain, Sultan Hamengkubuwono IX bersama rakyat Yogyakarta tetap berdiri tegak. Dari reruntuhan kota, ia mendukung gerilya Jenderal Sudirman, yang meski sakit paru-paru tetap bergerilya di hutan dan gunung. Yogyakarta mungkin sudah tidak punya apa-apa, tetapi masih menyisakan sesuatu yang lebih besar daripada harta dan senjata: keberanian dan pengabdian tanpa syarat.

Kalimat Sultan itu akhirnya menjadi simbol ketulusan Yogyakarta. Kota ini pernah mengosongkan dirinya sendiri demi republik. Ia memberikan istananya untuk dijadikan istana negara, kantong-kantong rakyatnya untuk menampung pengungsi, dan hidupnya untuk menjaga api kemerdekaan tetap menyala.

Dan benar, dari kehancuran itu, Indonesia justru memperoleh kemenangan diplomatik. Beberapa bulan kemudian, dunia menekan Belanda untuk mundur. Yogyakarta yang “sudah tidak punya apa-apa” justru melahirkan harapan baru, membuktikan bahwa republik ini tak bisa dimatikan dengan peluru dan penjara.

Kisah Pilu B**g Karno di Pernikahan Putrinya, RachmawatiDi penghujung tahun 1969, sebuah kabar bahagia datang di tengah ...
16/08/2025

Kisah Pilu B**g Karno di Pernikahan Putrinya, Rachmawati

Di penghujung tahun 1969, sebuah kabar bahagia datang di tengah suasana yang getir. Rachmawati Soekarnoputri, putri Presiden pertama Republik Indonesia, hendak menikah dengan dokter Martomo Priatman Marzuki. Tetapi kabar bahagia itu bersanding dengan kenyataan pahit: sang ayah, B**g Karno, bukan lagi pemimpin yang diagungkan rakyat, melainkan seorang tahanan politik yang diawasi ketat oleh rezim Orde Baru.

Kala itu, B**g Karno sudah renta. Penyakit ginjal membuat wajahnya bengkak, tubuhnya kurus, dan langkahnya tertatih. Ia tinggal dalam pengawasan ketat di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Meski demikian, dalam dirinya masih tersisa satu tekad yang tak bisa ditawar: ia ingin menikahkan putrinya dengan tangannya sendiri, sebagaimana seorang ayah sejati.

Namun, ada masalah yang lebih sunyi, lebih menusuk hati: B**g Karno tak punya cukup uang untuk membiayai pesta pernikahan itu. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk republik, bukan untuk mengumpulkan harta. Di masa senja, ia bahkan tidak memiliki simpanan. Kepada istrinya, Yurike Sanger, dengan suara lirih ia meminta tolong:

“Mas tidak ingin diberi stempel sebagai bapak yang gagal… Hidupku selama ini hanya untuk bangsa dan negara. Tapi, aku tidak punya apa-apa untuk menikahkan anakku.”

Yurike terdiam, hatinya perih. Bagaimana mungkin seorang proklamator, yang namanya terukir sejajar dengan sejarah dunia, harus berhutang hanya demi pernikahan anak?

Dengan segala daya, ia mencari pinjaman. Seorang pengusaha akhirnya bersedia membantu, memberikan pinjaman sebesar dua juta rupiah—jumlah besar di masa itu—untuk menutupi biaya pesta. Maka terselamatkanlah kehormatan B**g Karno sebagai seorang ayah.

Hari pernikahan pun tiba. Rachmawati menulis surat kepada Presiden Soeharto, memohon agar ayahnya diizinkan hadir sebagai wali. Permintaan itu dikabulkan, namun dengan syarat: Soekarno harus hadir dalam status tahanan, dikawal ketat oleh aparat militer bersenjata.

Di rumah tempat akad berlangsung, suasana haru tak terbendung. B**g Karno datang dengan wajah pucat dan bengkak, langkahnya gontai, harus dipapah menaiki tangga. Kehadirannya bagai luka yang terbuka: seorang bapak bangsa, yang dulu dielu-elukan jutaan orang di lapangan terbuka, kini hadir di pesta kecil putrinya dengan tubuh ringkih dan tatapan mata yang redup.

Fatmawati, istri pertamanya, menembus barisan tentara demi menyambut B**g Karno. Tangis pecah, air mata mengalir deras. Guntur Soekarnoputra dan B**g Hatta yang hadir pun tak kuasa menahan haru. Semua orang tahu: ini bukan sekadar pernikahan, ini adalah pertemuan keluarga yang nyaris mustahil terjadi, di bawah bayang-bayang pengawasan rezim.

Namun momen sakral tetap berlangsung. Dengan suara parau, B**g Karno menikahkan putrinya. Tangannya gemetar, suaranya lirih, tapi penuh dengan cinta seorang ayah. Saat ijab kabul terucap, seisi ruangan hanyut dalam rasa syukur bercampur kesedihan.

Ketika upacara usai, waktu yang diberikan tentara pun habis. B**g Karno dipaksa kembali ke mobil tahanan. Tentara menggiringnya, bahkan menarik tangannya dengan kasar, seolah-olah ia hanyalah seorang penjahat. Pemandangan itu menusuk hati: proklamator yang pernah menggetarkan dunia, kini diperlakukan bak seorang pesakitan.

Bagi Rachmawati, hari itu menjadi kenangan yang tak pernah ia lupakan. Pernikahannya bukan sekadar hari bahagia, tetapi juga hari air mata. Bahwa ayahnya hadir bukan sebagai bapak yang merdeka, melainkan sebagai tahanan yang direnggut haknya.

Kisah ini adalah potret getir dari ironi sejarah. Seorang pemimpin besar yang mengorbankan segalanya untuk negeri, pada akhirnya harus berhutang untuk menikahkan anaknya, dan hadir dengan tubuh lemah di bawah todongan senjata. Namun justru di situlah kebesaran Soekarno terlihat: dalam kelemahannya, ia tetap menjalankan kewajiban seorang ayah, tetap memberi cinta di tengah pengawasan, tetap menjaga martabat meski dunia telah membelakanginya.

Suatu sore yang lengang di akhir tahun 1970-an, di rumah kecilnya di kawasan Jakarta Selatan, Mohammad Hatta duduk di de...
16/08/2025

Suatu sore yang lengang di akhir tahun 1970-an, di rumah kecilnya di kawasan Jakarta Selatan, Mohammad Hatta duduk di depan meja kayu tua. Ia baru saja membuka amplop putih berisi slip gaji pensiunan. Jumlahnya tidak besar, hanya cukup untuk hidup sederhana. Di meja itu, tergeletak p**a beberapa lembar kertas: tagihan listrik, iuran air, dan pajak rumah yang menunggu untuk dibayar.

Tangannya yang gemetar pelan meraba angka-angka pada kertas itu. Hampir tujuh puluh persen dari uang pensiunan habis hanya untuk membayar listrik. Sisanya, terlalu tipis untuk bisa menutupi biaya air PAM, gas, dan kebutuhan harian. B**g Hatta menghela napas. Tak ada rasa menyesal, hanya ada keheningan yang panjang. Baginya, kesederhanaan adalah harga yang sudah ia pilih sejak muda. Tetapi kesunyian dalam ketidakmampuan membayar iuran air—sesuatu yang begitu dasar—menjadi potret getir seorang bapak bangsa di masa senjanya.

Di dapur rumah itu, seringkali lauk-pauk sederhana hadir bukan dari uang di dompetnya, melainkan dari pemberian kerabat dan tetangga yang masih peduli. Tak jarang, meja makan keluarga Hatta hanya diisi nasi, sayur bening, dan tempe goreng. Namun di ruang tamu, rak buku yang penuh dengan literatur politik, ekonomi, dan filsafat tetap menjadi sahabat setia. Bagi Hatta, buku adalah harta paling berharga yang tak bisa diganti dengan apapun. Pernah ia berkata kepada anak-anaknya: “Aku rela tidak membeli sepatu, asal masih bisa membeli buku.”

Ironi itu begitu mencolok. Lelaki yang pernah duduk di meja proklamasi, yang menandatangani kemerdekaan sebuah bangsa bersama Soekarno, kini kesulitan menyalakan lampu rumahnya. Orang yang berjuang melawan kolonialisme, menolak kekuasaan mutlak, dan berdiri tegak melawan segala bentuk korupsi, justru di masa tuanya harus menunduk di hadapan tagihan-tagihan kecil.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu. Ali terperangah, bahkan nyaris tak percaya. Bagaimana mungkin, seorang proklamator, Wakil Presiden pertama Indonesia, hidup dalam kondisi sesulit ini? Hatinya tergerak. Ali segera mengajukan usul agar B**g Hatta diangkat sebagai warga utama kota Jakarta, sebuah status khusus yang membuatnya dibebaskan dari kewajiban membayar listrik, air, dan pajak rumah. DPRD menyetujui usulan itu dengan cepat. Bukan karena iba semata, melainkan karena rasa malu: malu pada sejarah, malu pada sosok yang begitu jujur, tapi dilupakan oleh negerinya.

Namun bagi B**g Hatta, keputusan itu bukanlah kemenangan. Ia menerima dengan tenang, tanpa merasa terbantu berlebihan, tanpa menuntut lebih. Baginya, kehormatan bukan diukur dari besar kecilnya rumah, bukan dari saldo di rekening bank, tetapi dari kebersihan hati dan integritas. Selama hidupnya, ia menolak untuk memperkaya diri dengan fasilitas negara. Ia menolak tawaran proyek, menolak gratifikasi, bahkan menolak hadiah mewah sekalipun datang dari sahabat.

Kisah ini bukan sekadar catatan kelam, melainkan cermin. Bahwa seorang proklamator bisa hidup sederhana, bahkan sampai tak mampu membayar tagihan air, karena ia memilih jalan lurus—jalan yang membuat namanya harum sepanjang masa. B**g Hatta tidak meninggalkan harta benda, tetapi meninggalkan warisan moral: kejujuran, kesetiaan pada rakyat, dan kesederhanaan yang tak pernah bisa dibeli dengan uang.

Dan di sanalah letak kebesaran sejatinya. B**g Hatta mungkin tak mampu membayar tagihan air di masa pensiun, tetapi ia membayar jauh lebih besar: ia membayar dengan hidupnya, dengan konsistensi, dengan menolak korupsi, agar bangsa ini punya teladan tentang arti kemerdekaan batin. Merdeka dari kerakusan. Merdeka dari godaan kekuasaan. Merdeka untuk hidup jujur, sekalipun harus sederhana sampai akhir hayat.

Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso (1921–2004) adalah tokoh polisi Indonesia yang dikenal luas karena integrit...
16/08/2025

Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso (1921–2004) adalah tokoh polisi Indonesia yang dikenal luas karena integritas, kejujuran, dan kesederhanaannya. Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, Hoegeng awalnya menempuh pendidikan hukum di Rechtshogeschool Jakarta, namun terhenti karena pecahnya Perang Dunia II. Ia kemudian masuk pendidikan kepolisian di Jepang dan mengabdikan diri di kepolisian Indonesia setelah kemerdekaan, dengan reputasi sebagai aparat yang tegas namun manusiawi.

Kariernya terus menanjak hingga pada 1968 ia diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Selama menjabat, Hoegeng dikenal tidak pernah berkompromi terhadap praktik korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan intervensi politik. Ia bahkan berani menindak kasus-kasus besar yang melibatkan orang berpengaruh, meski sikap itu membuatnya tidak disenangi oleh kalangan elite politik. Karena ketegasannya, Hoegeng hanya menjabat Kapolri selama lima tahun sebelum akhirnya diberhentikan pada 1971.

Setelah pensiun, Hoegeng menjalani hidup sederhana bersama keluarganya, jauh dari kemewahan meski pernah memegang jabatan tinggi. Ia wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta, meninggalkan nama harum sebagai simbol polisi ideal yang bersih, jujur, dan berani menegakkan keadilan. Hingga kini, masyarakat masih mengingatnya dengan ungkapan: “Hanya ada tiga polisi yang jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”

Sir Charles Spencer Chaplin (1889–1977) adalah aktor, sutradara, penulis, sekaligus komposer asal Inggris yang menjadi s...
16/08/2025

Sir Charles Spencer Chaplin (1889–1977) adalah aktor, sutradara, penulis, sekaligus komposer asal Inggris yang menjadi salah satu ikon terbesar dalam sejarah perfilman dunia. Ia lahir di London dari keluarga seniman miskin, dan masa kecilnya penuh kesulitan karena sering hidup dalam kemiskinan serta harus tinggal di panti miskin. Namun, bakat alaminya dalam akting dan komedi membawanya bergabung dengan kelompok teater sejak usia muda, hingga akhirnya merantau ke Amerika Serikat dan menemukan panggung besarnya di dunia film bisu.

Chaplin mendunia dengan karakter “The Tramp” — sosok pria kecil dengan topi bowler, kumis tipis, tongkat, dan sepatu kebesaran. Melalui karakter ini, ia memadukan humor slapstick dengan satire sosial yang menyentuh hati. Film-filmnya seperti The Kid (1921), City Lights (1931), Modern Times (1936), dan The Great Dictator (1940) bukan hanya hiburan, tetapi juga kritik sosial yang berani, terutama tentang kemiskinan, industrialisasi, dan tirani politik.

Di balik layar, Chaplin adalah perfeksionis yang menguasai hampir semua aspek produksi film. Meski sempat diusir dari Amerika karena pandangan politiknya, ia tetap dihormati sebagai pelopor perfilman modern. Ia wafat pada 25 Desember 1977 di Swiss, meninggalkan warisan yang tak ternilai dalam seni film. Hingga kini, Charlie Chaplin tetap dikenang sebagai seniman yang membuat dunia tertawa sambil merenungkan sisi kemanusiaan.

Kurt Donald Cobain (1967–1994) adalah musisi, penulis lagu, sekaligus ikon generasi grunge yang lahir di Aberdeen, Washi...
16/08/2025

Kurt Donald Cobain (1967–1994) adalah musisi, penulis lagu, sekaligus ikon generasi grunge yang lahir di Aberdeen, Washington, Amerika Serikat. Ia dikenal luas sebagai vokalis, gitaris, sekaligus pendiri band Nirvana. Dengan suara khasnya yang mentah dan penuh emosi, Cobain menjadi simbol pemberontakan anak muda pada awal 1990-an. Album Nevermind (1991) yang berisi lagu fenomenal Smells Like Teen Spirit melambungkan Nirvana dan menandai era baru musik rock alternatif.

Di balik kesuksesan, Cobain bergulat dengan tekanan ketenaran, kesehatan fisik yang rapuh, serta masalah kecanduan. Ia sering menyalurkan rasa sakit dan keresahan batinnya melalui lirik-lirik yang jujur, gelap, dan puitis. Hidup pribadinya, termasuk pernikahannya dengan musisi Courtney Love dan hubungan yang rumit dengan media, semakin membuatnya menjadi figur kontroversial sekaligus kultus.

Pada 5 April 1994, Kurt Cobain meninggal dunia di usia 27 tahun akibat bunuh diri, menjadikannya bagian dari apa yang dikenal sebagai “27 Club”. Meski hidupnya singkat, warisan musik dan kejujurannya dalam mengekspresikan luka batin meninggalkan pengaruh mendalam dalam sejarah musik dunia. Cobain dikenang bukan hanya sebagai rocker, tetapi juga sebagai suara generasi yang mencari makna di tengah kekacauan hidup modern.

Address

Yogyakarta City

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Benuasabda posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share