Antinomi Institute

Antinomi Institute Antinomi Institute adalah sebuah komunitas ilmiah interdisipliner (Sains, Filsafat, dan Agama) yang

René Descartes, filsuf besar abad ke-17, meninggal di Stockholm pada 1650. Salah satu penyebab yang sering dikaitkan den...
25/08/2025

René Descartes, filsuf besar abad ke-17, meninggal di Stockholm pada 1650. Salah satu penyebab yang sering dikaitkan dengan kematiannya adalah kebiasaan bangun terlalu pagi.

Demi memenuhi permintaan Ratu Christina dari Swedia untuk memberi pelajaran filsafat pada pukul 5 pagi, Descartes harus mengorbankan rutinitas sehatnya.

Dalam udara dingin Stockholm, hal ini membuatnya terkena peneumonia yang akhirnya merenggut nyawanya.

Ketika manusia berhenti menjadi pusat, apa yang terjadi dengan nilai dan tanggung jawab kita terhadap makhluk lain?Artik...
25/08/2025

Ketika manusia berhenti menjadi pusat, apa yang terjadi dengan nilai dan tanggung jawab kita terhadap makhluk lain?

Artikel “Pasca-Antroposentrisme atau Obskuritas Antroposentris?” membuka pertanyaan ini lebih dalam. Ayo baca dan renungkan bersama!

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/pasca-antroposentrisme/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Rangga Kala Mahaswa

Tantangan terbesar bagi pasca-antroposentrisme ialah pertanyaan tentang subjektivitas yang membeku (frozen subjectivity).

Apakah hanya karena kita manusia, lalu segalanya harus tentang manusia?Keniscayaan epistemik tentang keterbatasan perspe...
25/08/2025

Apakah hanya karena kita manusia, lalu segalanya harus tentang manusia?

Keniscayaan epistemik tentang keterbatasan perspektif manusia memang tak terhindarkan: kita tidak bisa keluar dari kerangka bahasa, konsep, dan perangkat kognitif manusia.

Namun, hal ini tidak kemudian mengandaikan bahwa semua nilai moral harus manusia-sentris.

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/kerancuan-antroposentrisme/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Risalatul Hukmi

Membedakan antroposentrisme sebagai keniscayaan epistemik dari antroposentrisme sebagai doktrin normatif adalah langkah penting.

Menurut Fajar Nurcahyo, bila bukan manusia yang memikul beban moral, lantas siapa? Dan lebih penting lagi—berani kah kit...
11/08/2025

Menurut Fajar Nurcahyo, bila bukan manusia yang memikul beban moral, lantas siapa? Dan lebih penting lagi—berani kah kita memercayakan dunia pada etika yang tidak berpijak pada diri kita sendiri?

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/mempertahankan-antroposentrisme/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Fajar Nurcahyo

Menemukan posisi antroposentrisme sebagai terdakwa utama dalam diskursus etika lingkungan merupakan sebuah hal yang umum. Pada awalnya, ketika menulis artikel ...

Mesin mungkin bisa mengalahkan kita dalam bermain game, menulis puisi memukau, bahkan menyetir tanpa menyebabkan kecelak...
26/07/2025

Mesin mungkin bisa mengalahkan kita dalam bermain game, menulis puisi memukau, bahkan menyetir tanpa menyebabkan kecelakaan—tapi apakah itu berarti mereka mengerti apa yang mereka lakukan?

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/bisakah-mesin-punya-agensi/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Fajar Nurcahyo

Murtiningsih mengajukan klaim yang tegas dalam perdebatan mengenai kapasitas mesin dalam memahami dan merepresentasikan nilai.

Menolak antroposentrisme bukan berarti menghapus manusia dari daftar pertimbangan etis, tetapi melepaskannya sebagai pus...
11/07/2025

Menolak antroposentrisme bukan berarti menghapus manusia dari daftar pertimbangan etis, tetapi melepaskannya sebagai pusat nilai atau pertimbangan utama dan menjadikannya hanya sebagai salah satu pertimbangan di antara banyak pertimbangan lain.

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/dua-masalah-antroposentrisme/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Risalatul Hukmi

Dalam perdebatan etika kontemporer, terutama yang berkaitan dengan krisis ekologis dan masa depan keberlanjutan planet, antroposentrisme biasa menjadi titik tolak sekaligus sasaran kritik.

Menurut Fajar Nurcahyo, menganggap rekayasa semesta sebagai kekerasan terhadap alam mengabaikan bahwa ia adalah kelanjut...
11/07/2025

Menurut Fajar Nurcahyo, menganggap rekayasa semesta sebagai kekerasan terhadap alam mengabaikan bahwa ia adalah kelanjutan dari dorongan manusia untuk melampaui batas-batas alamiahnya. Tak ada hukum alam yang mewajibkan semesta dijaga tetap, seolah-olah ia relik museum.

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/menggugat-kosmosentrisme/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Fajar Nurcahyo

Perdebatan moral terraforming bukanlah sekadar persoalan teknologi maupun sebuah ambisi luar angkasa, melainkan bagian dari upaya untuk menyentuh inti dari bagaimana kita memahami tempat yang kita tinggali (sebagai manusia) dalam semesta

✨ SEKILAS INFO ANTINOMI ✨Mulai Juli 2025, Antinomi akan berbagi gudang dengan . Seiring perubahan ini, kami tidak lagi m...
30/06/2025

✨ SEKILAS INFO ANTINOMI ✨

Mulai Juli 2025, Antinomi akan berbagi gudang dengan . Seiring perubahan ini, kami tidak lagi melayani pemesanan buku secara langsung. Eiitsss, tapi tenang, teman-teman tetap bisa kok mendapatkan buku-buku Antinomi melalui para reseller kami berikut:

📚
📚

Dalam buku ini, Eddington mengajukan satu tesis filosofis yang ia sebut sebagai "subjektivisme selektif". Menurutnya, pe...
30/06/2025

Dalam buku ini, Eddington mengajukan satu tesis filosofis yang ia sebut sebagai "subjektivisme selektif". Menurutnya, pengetahuan fisis (pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmu fisis) itu selalu bersifat subjektif-selektif. Hal itu karena sebelum dirumuskan menjadi sebuah pengetahuan ilmiah, pengeta-huan fisis itu melewati proses pengamatan dan penyimpulan.

Pengamatan tidak lain adalah seleksi indrawi terhadap ob-jek ilmu fisis; sedangkan penyimpulan tidak lain adalah kerja pikiran yang tidak bisa tidak memuat elemen-elemen subjektif. Oleh karena itu, menurut Eddington, dalam proses pembentukan pengetahuan fisis, "ada penyaringan ganda, pertama oleh peralatan indra, kedua oleh peralatan intelektual".

Fasisme—ideologi politik ultranasionalis yang beroperasi lewat militerisme dan represi terhadap individu atau kelompok t...
30/06/2025

Fasisme—ideologi politik ultranasionalis yang beroperasi lewat militerisme dan represi terhadap individu atau kelompok tertentu—datang melalui berbagai strategi politis. Salah satunya, yang sering kali terlewatkan, melalui kultivasi nilai estetis tertentu. Dengan kata lain, pemerintah fasis mempromosikan satu preferensi estetis yang seragam.

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/estetika-fasis/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Samuel Jonathan

Pemerintah fasis memanfaatkan kecondongan estetis kita untuk kepentingan mereka—yang saya sebut sebagai estetika fasis.

Memahami realitas gangguan mental berarti memahami bahwa realitas tersebut bukan hanya persoalan biologis atau psikologi...
30/06/2025

Memahami realitas gangguan mental berarti memahami bahwa realitas tersebut bukan hanya persoalan biologis atau psikologis saja, tetapi jejaring kompleks yang menuntut kepekaan epistemologis dan etis.

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/apakah-gangguan-mental-itu-nyata/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Risalatul Hukmi

Thomas Szasz, seorang psikiater Hongaria-Amerika, pernah menulis, “there is no such thing as mental illness, it’s only problem of living.” Pernyataan ini, meskipun kontroversial, telah menjadi salah satu kutipan paling terkenal dalam perdebatan filsafat psikiatri kontemporer.

Nasionalisme hari ini tidak lebih dari topeng kekuasaan. Kita disuruh bangga jadi bangsa besar, tapi perut-perut kita di...
22/03/2025

Nasionalisme hari ini tidak lebih dari topeng kekuasaan. Kita disuruh bangga jadi bangsa besar, tapi perut-perut kita dikosongkan, suara-suara kita dibungkam, dan hak-hak kita digadaikan atas nama 'persatuan'.

Kita disuruh mencintai negara, tapi tidak pernah diajari mencintai kebenaran. Lantas, kapan kita sadar bahwa yang harus diperjuangkan bukan lagi nasionalisme-semu, melainkan sebuah kemerdekaan berpikir dan keberanian untuk bersuara?

Jika nasionalisme hanya dijadikan alat untuk menekan, maka sesungguhnya musuh bangsa ini bukan 'orang luar'—tapi negara yg terus membajak makna kebangsaan demi kekuasaan. Jadi, mari kita rebut kembali imajinasi kita sebagai bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang dikendalikan bayang-bayangnya sendiri.

Selengkapnya, sila baca di laman: https://antinomi.org/membayangkan-negara-indonesia-aristoteles-hingga-benedict-anderson/

Selamat membaca!

Ditulis oleh: Fajar Nurcahyo

Jika ditelusuri jauh ke belakang, konsep tentang negara berakar dari ‘polis’, yang dalam pengertian awalnya merujuk pada suatu tempat atau pusat kehidupan di mana para penghuninya

Address

Jalan Kaliurang Km 5. 2
Yogyakarta City
55281

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Antinomi Institute posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Antinomi Institute:

Share

Category