17/07/2025
( Nelangsa Nenek Fatimah ; Dibuang Empat Anaknya ke Griya Lansia )
Benarlah sabda orang-orang bijak bestari. Satu ibu bisa mengurus dan membesarkan tujuh anak sekaligus, tapi tujuh anak belum tentu bisa mengurusi satu ibu. Tengoklah bagaimana nestapanya seorang perempuan tua di Jawa Timur. Punya empat anak yang telah ia besarkan dengan air susunya, telah ia rawat dengan tetes keringat tapi saat hari senjanya tiba, semua anaknya menolak ia hadir. Sang ibu diserahkan ke panti jompo. Nenek Fatimah namanya.
Mata perempuan renta itu masih sempat menengok ke belakang. Netranya berembun. Tatapannya sendu dan amat berharap anak lelakinya yang bernama Lukman, mau meralat pilihannya. Batinnya bergejolak, hatinya remuk redam. Tangannya perpegang erat ke leher seorang petugas Griya Lansia Khusnul Khatimah, yang menggendongnya, keluar dari Perlis Gang 6, Surabaya, Jawa Timur, tempatnya selama ini membesarkan anak-anaknya. Kini rumah itu bukan lagi tempat pulang, tapi titik berangkat menuju kesunyian.
Peristiwa yang membuat langit marah ini terjadi Rabu, 16 Juli 2025. Siang itu, ditemani beberapa orang, pimpinan Griya Lansia, Arief Camara datang. Seseorang menghubunginya, ingin menyerahkan ibundanya. Rupanya, pengundangnya bernama Lukman. Saat bertemu, Arief dibuat terkejoet terheran-heran. Lukman, atas nama tiga saudaranya merelakan sang ibu untuk pergi. “Kami tak bisa merawatnya. Kami semua punya masalah hidup,” begitu alasan sang anak, lelaki yang dagingnya dari susu sang ibu, pria yang tulangnya dibentuk dari darah Fatimah.
Biar lebih dramatis dan dikasihani, Lukman menambah narasi deritanya. "Saya enggak punya rumah, sedangkan mba saya enggak ada, yang perempuan itu di luar pulau. Ada juga yang sedang bermasalah dengan polisi," jawab Lukman. Arief makin heran, kenapa sama sekali tidak ada anak yang mau merawat ibunya. "Kami enggak mau," ulang Lukman, bergeming. Hatinya mendadak jadi batu.
Faisal, anak pertama. Lukman kedua. Lalu Warda yang ketiga, perempuan. Anak keempat tak sempat disebut namanya. Anak-anak ini, oleh Fatimah dilahirkan dengan bertaruh nyawa, dirawat dengan aneka lezanya kasih sayang. Di tiap malam, Fatimah melangitkan doa, agar anak-anaknya sukses dan jadi orang baik. Nyatanya, di usia menjelang ajalnya, anak-anaknya malah bersepakat membuang ibunya ke Panti Jompo.
Arief tak menyerah. Ia kembali membujuk Lukman agar meninjau ulang putusannya. Dituturkan aturan soal Griya Lansia Khusnul Khatimah yang tidak membolehkan siapapun menjenguk ibu mereka termasuk tidak akan diberi tahu jika ibu Fatimah sudah pindah alam. “Nda apa apa Pak. Kami tidak usah diberitahu kalau ibu meninggal,” teriris hati Fatimah mendengar ucapan anaknya itu.
Bagi Lukman dan tiga saudaranya, Fatimah hanyalah pengasuh masa lalu. Setelah dewasa, ibu bukan lagi prioritas, hanya pengingat usia. Maka dititipkanlah perempuan yang doanya bisa mengguncang Arsy itu ke panti, meski dengan aturan tanpa diberi kabar jika sang ibu mati. Anak-anaknya, bahkan tidak lagi peduli jika jantung ibu mereka berhenti.
Arief akhirnya benar-benar memboyong ibu Fatimah ke pantinya. Tapi Fatimah tak kuasa menahan tangisnya saat mengikuti dzikir, ia merasa nelangsa merenungi nasib. Bagaimana bisa, empat anaknya membiarkannya menjalani hari tua dengan cara dibuang. Anak-anak itu tak pernah sadar bahwa doa ibu adalah tali langit.
Lukman dan saudaranya mungkin tak berpikir jika kutukan seorang ibu bisa membuat hidupmu pincang walau kau bergelimang harta. Selasar langit digoncang oleh doa seorang ibu. Dalam kubur nanti, Fatimah akan menjadi saksi. Apakah engkau layak disebut anak? Atau hanya penumpang rahim yang tak tahu balas budi?
Wahai anak, ingatlah, dulu ibumu tidak menitipkanmu kepada siapa pun ketika kau lemah dan tak berdaya. Ia mendekapmu siang malam, menahan lapar demi kenyangmu, menahan kantuk demi tidurmu, menahan sakit demi sehatmu. Maka mengapa ketika ia lemah dan renta, kau titipkan ia pada orang lain?
Jangan lagi ada kisah seperti ini. Sesukar apapun hidupmu, Ibu haruslah jadi segalanya...!
---