07/09/2023
So Far Away
02. Altaera Hakim
—Katanya... Rindu itu menyakitkan! Rindu itu seperti jutaan air hujan yang turun dan mengenai mata. Perih! Namun, terkadang rindu itu bisa menutupi rasa kehilangan. Seperti air hujan, yang membantu ku menutupi kesedihan dari wajah. Sehingga, mereka tak akan pernah melihat, bahwa aku sedang menangis di bawah guyuran air hujan—
Satu jam sudah, aku dan Ferdi melewati waktu di dalam mobil. Kami masih terjebak macet di tengah kepadatan kota metropolitan. Entah kenapa, hari ini terasa begitu gelap. Awan yang tadinya putih pun, kini berubah menjadi kelabu. Setitik demi setitik air langit mulai membasahi tanah. Wangi debu mulai menyeruak ke salah satu panca indraku. Aku tersenyum kecil, ketika sepasang mata hitam milikku bertemu dengan beberapa anak yang sedang berlari menikmati tetesan hujan. Sekelibat bayangan di masa kanak-kanak ku datang menyapa. Terpartri dengan jelas wajahku yang masih terlihat mungil, tengah tertawa bersama dengan kedua orang tuaku. Saat itu, usia ku masih 5 tahun. Aku berlari mengelilingi halaman rumah yang tidaklah terlalu besar, namun cukup untuk membuat ku terasa lelah jika sedang bermain kejaran. Disana ada ayah yang sedang mengejar seraya ingin menangkap tubuh kecilku. Kami pun tertawa bersama ketika ayah berhasil menangkap ku di bawah guyuran hujan. Ibu, wanita itu hanya memandangi kami dari teras rumah. Akh! Masa-masa itu, sangatlah susah untuk aku lupakan. Mungkin itu adalah masa dimana aku merasakan kebahagiaan. Kini, semuanya hanyalah kenangan yang tersimpan rapat di memoriku. Masa itu, mungkin tidak akan pernah dapat aku rasakan lagi.
Dddrrrttttt……
Suara ponsel Ferdi berbunyi, dan itu berhasil mengembalikan kesadaran ku. Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam bayangan masa kecilku itu.
“Ya, hallo,” suara Ferdi menyapa dengan halus.
“Oh. Oke! Enggak masalah kok. Kami pun masih ditengah perjalanan,” lanjutnya lagi. Aku mengalihkan pandanganku ke wajah Ferdi, seakan-akan aku tahu siapa yang meneleponnya.
“Ya. Sama-sama,” Ferdi mengakhiri panggilan teleponnya.
Pria berambut gondrong itu menatapku sambil tersenyum. “Dari pihak manager-nya Altaera. Mereka cuma ngasih info, kalo kemungkinan mereka akan telat sampai di lokasinya. Karna masih kejebak macet,” aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
“Elu kenapa, Cha?” tanya Ferdi.
“Enggak. Gue enggak pa-pah kok.”
Aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah luar jendela yang masih dibasahi oleh rintikan-rintikan air. Aku rasa, hujan kali ini akan sedikit lebih lama mengguyur kota Jakarta. Terlihat beberapa kendaraan bermotor roda dua tengah menepi di pinggir jalan. Mereka berlindung di pinggiran toko atau halte, hanya untuk sekedar berteduh. Hujan turun memang sangatlah deras kali ini, terlebih lagi kota Jakarta memang sudah lama tidak di guyur oleh hujan, dikarenakan musim kemarau yang cukup panjang. Dan hari ini adalah hujan pertama di pertengahan bulan Oktober.
Mobil Ferdi sudah memasuki sebuah pelataran yang cukup luas. Ia seperti sedang mencari tempat yang pas untuk memarkirkan mobil Brio hitam. Sedangkan aku? Aku mengecek beberapa perlengkapan, takut-takut ada yang tertinggal — pasti akan membuat repot nantinya.
“Oke. Dah sampe nih kita,” Ferdi melepaskan ikatan pada sabuk pengaman yang terlilit ditubuhnya.
Aku menganggukkan kepalaku. “Oke. Semuanya dah siap ‘kan, Di?” tanya ku memastikan.
“Sudah, Cha.”
Aku dan Ferdi langsung bergegas mengambil langkah seribu menuju loby utama. Jarak dari area parkir ke loby, ternyata cukup membuat kami berdua kebasahan.
“Selamat siang menjelang sore. Apa ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang pria berseragam sekuriti.
Ferdi memajukan langkahnya, menghampiri pria yang ku taksir sekitar 50 tahunan. “Kami dari Wajah Citra Entertainment, Pak. Ingin melakukan wawancara dengan Altaera Hakim,” sambil menunjukan ID card karyawan.
“Oh. Iya, silahkan lewat sini Pak. Tadi Pak Rian sudah mengkonfirmasi ke saya. Kalau ada wawancara dari majalah Wajah Citra Entertainment hari ini,” ucapnya dengan sopan. Rian merupakan nama manager dari Altaera.
Aku dan Ferdi pun mengikuti jejak pria itu. Kami dibawa ke salah satu ruangan khusus dari management Altaera Hakim. Ruangan yang berbentuk kubus itu cukup luas, mungkin sekitar 50x50. Yang dilengkapi beberapa furniture di dalamnya. Terdapat sebuah kasur king size, lemari pakaian, meja – kursi kerja, seperangkat sofa, kulkas, bahkan di dalam ruangan ini terdapat sebuah mini bar. Aku menganggapnya seperti sebuah apartemen mini, bukan kantor management. Mana ada, sebuah kantor memiliki fasilitas semewah ini. Tapi tidak heran, kalau yang menginginkan nya seorang artis papan atas seperti Altaera Hakim.
Aku mengedarkan pandangan mata, menelisik setiap sudut ruangan ini. Dari segi penampilan kantor, ku rasa cukup untuk menilai kepribadian Altaera Hakim. Dia bisa dibilang sebagai makhluk perfeksionis. Semuanya serba sempurna, tanpa ada kekurangan satu apapun. Membayangkan karakternya, mampu membuat aku bergidik. Meraba-raba seperti apa sosoknya. Sosok yang angkuh kah? Atau sosok yang dingin tidak terjamah sama sekali.
“Maaf! Membuat kalian menunggu,” ucap seseorang dengan suara baritonnya seraya menutup pintu ruangan.
Aku pun membalikan badan ke asal suara tersebut. Sosok pria tampan dengan tinggi kira-kira 178 cm itu, berdiri tepat di hadapan ku. Wajah yang putih mempesona, memang cukup menghipnotis wanita yang berada di dekatnya. Tak heran, jika hampir seluruh gadis di dunia menggilainya. Cengiran disenyumnya seakan ciri khas dari pria ini. Deretan gigi yang putih dan rata ia pamerkan. Rambut yang hitam legam tebal, sedikit bergelombang mampu menambahkan kerupawanan di wajahnya yang eksotis. Jangan lupakan bola matanya yang hitam jernih dan tajam, dapat menyapa siapa saja yang bersitatap dengan sosok yang satu ini.
Entah sudah berapa lama aku memandangi ciptaan Tuhan yang terbilang sempurna di mata manusia. Tak ada cacat cela di tiap pahatan lekuk dari tubuh pria di depanku ini. Mungkin, Tuhan tidak memberinya satu kekurangan. Ya, dia terlihat sangat sempurna.
Otakku dengan cepat di jajah oleh ketampanannya. Ia seperti jelmaan dari Dewa Hermes. Ataukah? Akh, mana mungkin Dewa Hermes menjelma jadi manusia. Toh, itu hanya mitologi Yunani.
“Hei, Mba!” pria itu menjentikkan jarinya tepat di kedua mata ku. Hal itu cukup mengembalikan kesadaran ku yang sempat melanglang buana entah kemana.
“Akh, iya. Maaf!” aku menundukkan kepalaku. Merutuki kebodohan yang sempat aku buat.
Pria itu berjalan kearah kamar mandi. Mungkin ia ingin membersihkan dirinya setelah terkena beberapa tetesan air hujan. Sedangkan aku menghampiri Ferdi dan duduk di samping lelaki itu.
“Sadar, Cha! Usia dia sama elu itu terpaut jauh. Belum lagi status sosialnya. Dan satu lagi yang lebih penting….” Ferdi menjeda ucapannya. “Elu sama dia beda keyakinan. Ujung-ujungnya, elu yang bakal sakit hati,” ucap Ferdi yang mencoba menyadarkan aku.
“Apaan sih elu!” ketus ku. “Ya, gue juga masih waras kali, Di. Masa iya pacaran sama berondong begitu,” lanjut ku menyanggah ucapan Ferdi yang tadi.
“Sebagai temen, gue cuma ngingetin elu aja, Cha.”
“Dah. Enggak usah dibahas lagi,” pungkasku.
Sekitar 20 menit kami menunggu Altaera. Lelaki tampan itu keluar dari kamar mandi. Mengenakan sepasang pakaian santai. Kaos yang terlihat besar dan celana panjang berwarna hijau lumut yang kebesaran itu, sedikit menenggelamkan tubuhnya yang atletis.
“Maaf, ya! Lagi-lagi, bikin kalian menunggu,” katanya sembari menyandarkan punggung tegapnya disandaran sofa single.
“Akh, enggak masalah kok,” ucapku dengan susulan senyuman kecil.
“Oke! Kita mulai wawancaranya aja. Gimana?” usulku untuk menutupi kecanggungan diri ku. Pria itu menganggukan kepalanya, sebagai tanda menyetujui usul ku.
Aku dan Ferdi menyiapkan beberapa alat yang kami butuhkan. Ferdi pun sudah menyiapkan kamera, yang ia gantungkan di lehernya. Sedangkan aku, menyiapkan ponsel ku untuk melakukan perekaman. Setelah semuanya sudah siap. Aku memperbaiki posisi duduk ku agar terlihat santai dan nyaman.
“Oke. Mas Altaera Hakim.”
“Tae. Panggil aja saya dengan panggilan itu,” potongnya. Sebelum aku sempat melanjutkan kata-kata ku.
“Oke. Tae,” aku memperbaiki panggilannya dan sedikit mengulaskan senyuman tulus yang ku miliki.
“Apakah, menjadi seorang seniman di dunia panggung hiburan merupakan impian kamu?” pertanyaan pertama terlontar halus lewat mulutku.
Pria itu tersenyum. “Bisa dikatakan, iya. Tapi ketika masih kecil, saya ingin menjadi saksofonis. Pemain saksofon.”
“Kenapa?”
“Karena, itu satu-satunya alat musik yang bisa saya mainkan,” ujarnya yang dibarengi kekehan kecil.
“Berarti… Anda menyukai genre musik jazz atau klasik,” tebak ku.
“That’s true!” Tae menjentikan kedua jarinya dan mengedipkan sebelah matanya.
Sesi wawancara ku dengan Altaera Hakim berjalan selama 2 jam. Ini kali pertamanya aku melakukan wawancara dengan durasi yang cukup lama. Biasanya aku hanya melakukan paling tidak selama 1 jam. Bahkan, rasanya sangat kurang!
Pria itu, tidak seperti apa yang aku bayangkan. Aku sempat berfikir kalau dia sosok yang dingin. Tapi nyatanya, ia jauh lebih hangat dari yang aku bayangkan. Tae memiliki sifat yang terbuka. Ia pandai menempatkan dirinya. Selama wawancara berlangsung pun, ia selalu bisa mencairkan suasana. Ada banyak guyonan yang lolos dari bibirnya yang tebal. Aku menyukainya! Ya, aku menyukai kepribadiannya yang hangat.
Waktu kini telah berlalu. Ku tengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri ku. Tak terasa, jarum jam nya sudah menunjuk angka 5. Aku dan Ferdi pun memutuskan untuk menyelesaikan wawancara ini. Toh, poin-poin tanya jawabnya sudah kami dapatkan. Itu sudah jauh lebih dari cukup, untuk nanti nya kami kelola sebagai artikel di majalah kami.
Pihak management nya pun memiliki sikap yang bersahabat. Kami diantar keluar sampai di loby utama. Dan setelah itu, aku dan Ferdi segera melanjutkan perjalanan kami ke tempat parkir, menuju kantor kami.
“Elu kenapa, Cha? Perasaan dari tadi senyum-senyum aja,” tanya Ferdi yang fokus pada roda kemudinya.
“Enggak. Emang nya enggak boleh kalo gue senyum?”
“Bukannya enggak boleh, Cha. Gue Cuma takut aja ada sesuatu di otak elu,” candanya.
Aku membalasnya dengan tawa kecil yang dibarengi gerakan spontan memukul lengan Ferdi. “Sialan loe!”
“Enggak jatuh cinta pada pandangan pertama ‘kan loe?” tanya nya kembali.
Aku menoleh dan menatap Ferdi. Pria itu masih menatap lurus kearah jalan. Perlahan aku mencerna tiap kata yang ia ucapkan. Aku jatuh cinta? Apakah mungkin? Rasanya, sangat tidak mungkin aku merasakan perasaan itu lagi. Bahkan, aku sudah lupa. Seperti apa rasanya jatuh cinta. Dan, kapan kali terakhir aku merasakannya?
Tapi? Wajah Tae tidak asing bagi ku. Apakah karna dia seorang selebritis? Atau memang aku dan dia pernah bertemu sebelumnya? Entahlah. Hanya saja, aku sedikit merasakan sebuah perasaan yang berbeda. Namun, aku belum dapat mengatakan kalau ini adalah cinta pada pandangan pertama, seperti yang Ferdi katakan barusan. Di tambah lagi dengan masa laluku yang kurang baik. Membuat aku sedikit berhati-hati dalam menggunakan perasaan ku ini.
—Bukan karna perasaan yang sudah menghilang. Namun, karna luka itu semakin dalam menusuknya—