Janda Mania

Janda Mania Refresh your mind

11/15/2025

Lintang dan Sari bertemu pada musim penghujan yang sama ketika mereka masih anak-anak—di antara genangan air dan rak buku bekas di ruang baca kampung. Waktu itu, Sari menunduk mengambil buku bergambar langit malam yang hampir sobek, sementara Lintang menahan tawa karena kakinya terpeleset di lumpur. Mereka saling tertawa, lalu berjanji—dengan suara kecil yang polos—untuk bertemu lagi di bawah pohon mangga setiap hujan turun.

Janji itu kemudian menjadi mereka. Tahun demi tahun, pohon mangga tua di halaman sekolah berubah menjadi saksi bisu dari pertama pertemuan, ciuman yang kikuk, dan kata-kata yang tak tega diucapkan. Sari memainkan piano kecil di ruang seni, jemarinya lentik seperti lengkung hujan. Lintang melukis—mencoba merekam wajah Sari di atas kanvas, berusaha menangkap cara matanya menutup manis saat tertawa.

Mereka membangun kehidupan yang sederhana tapi penuh rumah: rumah kontrakan kecil di tepi kota, dapur kecil yang selalu dipenuhi aroma kopi, dan rak buku yang selalu berantakan. Sari bekerja di klinik ibu kota, merawat pasien-pasien yang lelah, sementara Lintang meneruskan mimpinya menjadi pelukis, menunggu undangan pameran yang tak kunjung datang. Malam-malam mereka dihabiskan dengan obrolan ringan dan saling membaca surat-surat yang ditulis saat masing-masing pergi keluar kota. Cinta mereka tidak meledak, tapi mengendap—seperti hujan yang meresap ke tanah, perlahan namun pasti.

Pada suatu musim kemarau, ketika musim hujan terasa jauh, Sari merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya—sebuah letupan nyeri yang datang dan pergi di balik tulang rusuk. Awalnya Sari mengabaikannya seperti hal-hal kecil lain yang tak layak menjadi perhatian. Tetapi rasa sakit itu lambat laun menjadi teman setiap paginya. Dia menolak untuk memberitahu Lintang; tidak karena ia takut, melainkan karena ia tak ingin mencemari rutinitas sederhana mereka dengan kata “penyakit” yang berat.

Namun tubuh punya cara lain untuk menuntut kebenaran. Suatu malam, setelah pulang dari klinik, Sari pingsan di depan pintu. Lintang, yang sedang menggantung lukisan untuk sebuah pameran kecil, menemukan tubuh Sari terkulai, wajahnya pucat seperti kertas yang sudah lama tersimpan. Di ruang gawat darurat rumah sakit, kata-kata dokter menjadi lonceng yang berdenting di telinganya: “kanker,” kata dokter, “stadium lanjut.”

Keheningan setelahnya berat seperti malam yang menutup kota. Sari mencoba tersenyum—senyum yang seperti kabut tipis, yang menenangkan tapi rapuh. “Kita punya waktu,” katanya, dengan suara yang bergetar namun penuh tekad. “Beri aku waktu.”

Mereka berpikir positif, seperti orang yang memutuskan menanam kembali bunga meskipun musim dingin belum pergi. Perawatan dimulai: kemoterapi, kunjungan ke rumah sakit, malam tanpa tidur. Sari tetap bekerja bila tenaga mengizinkan, menolak menempatkan hidupnya hanya pada pasienannya sendiri. Lintang mengantarkan dan menjemput, menggambar wajahnya di sela-sela waktu kosong, mencatat segala perubahan di tubuh Sari seperti pelukis yang takut kehilangan cat terakhirnya.

Di antara jarum suntik dan jadwal obat, cinta mereka tumbuh dengan cara yang tak kasat mata. Sari menulis surat yang ia selipkan di saku jaket Lintang, surat-surat yang isinya tidak selalu kata-kata manis—sering kali hanya gambar daun atau catatan kecil: “Belanja susu,” “Jangan lupa panggilan ke pak Wira.” Mereka tertawa membaca catatan seperti itu; mereka menemukan keindahan dalam hal-hal paling biasa.

Kondisi Sari memburuk pada musim hujan berikutnya. Rambutnya rontok, tubuhnya kurus. Ada hari-hari ketika ia tak sanggup lagi bermain piano; jemarinya terlalu lelah, otot-ototnya menolak. Lintang menggantikan nada-nada itu dengan lukisan: guratan warna biru, noda-noda merah, semua mencoba merekam memori yang mungkin suatu hari akan hilang. Ia tidur di kursi rumah sakit, menggigil kedinginan oleh AC dan oleh rasa ketidakpastian.

Suatu pagi—hari ketika hujan turun pelan seperti suara yang menanyakan kabar—Sari meminta sesuatu yang tak pernah ia minta sejak dulu: ia ingin mendengar cerita lama mereka, kisah-kisah kecil yang dahulu membawa tawa. Lintang duduk di samping tempat tidurnya, memegang tangan yang terasa kecil dan rapuh. Ia mulai bercerita: tentang pohon mangga, tentang pertama kali Sari menutup mata saat tertawa, tentang jaket warna tua yang selalu membuat Sari tersenyum.

Sari mendengarkan dengan mata setengah tertutup. Di antara napasnya yang pendek, ia menggenggam tangan Lintang dan berbisik, “Kau janji kita akan punya rumah di tepi laut, ingat? Kau janji.”

Lintang menelan ludah, mencoba menahan badai yang berkecamuk. “Aku janji,” jawabnya. “Kita akan punya rumah. Kita akan menanam pohon mangga baru.”

Sari tersenyum, matanya berkilat. “Kalau hujan datang, kau akan bermain piano untukku di balkon, ya?”

“Kalau aku tak bisa main piano, aku akan menggambar hujan untukmu,” kata Lintang setengah bercanda, setengah merasakan takdir yang mengintip dari celah-celah.

Hujan menjadi saksi pada hari-hari terakhir itu. Hari-hari ketika tubuh Sari menjadi kurang ramah, ketika ia menolak makan karena kehilangan nafsu, ketika senyumnya menjadi lebih padat—bahkan ketika matanya sulit menahan air. Di malam terakhir sebelum Sari dirawat di rumah sakit tanpa harapan lagi, mereka duduk berdua di ruang tamu, hanya ditemani bunyi rintik yang nyaris tak terdengar. Sari menatap Lintang, memegang wajahnya, dan bertanya, “Apa kau menyesal?”

Lintang menjerit di dalam hatinya karena penyesalan itu seperti todongan. Ia menyesal karena tak pernah mampu memberinya rumah di tepi laut lebih cepat. Ia menyesal karena kadang memilih pameran kecil daripada waktu bersama. Namun di bibirnya ia hanya menjawab, “Tidak. Aku tidak menyesal, karena aku mencintaimu.”

Di ranjang rumah sakit, Sari menutup mata dengan tenang. Senyumnya tetap ada—sebuah senyum yang membuat Lintang merasa seolah dunia berhenti selama satu detik penuh. Dokter menatap dengan teduh, keluarga berkumpul. Lagu-lagu lama yang pernah mereka dengarkan diputar melalui speaker kecil, dan Lintang berdiri di sudut, memegang sebuah kertas kosong yang belum sempat ia isi.

Ketika Sari pergi, dunia Lintang runtuh seperti gelas yang terjatuh dari meja. Ia jatuh pada malam-malam tanpa hadap, tidur yang diisi mimpi-mimpi di mana Sari masih menantinya dengan jas hujan di bawah pohon mangga. Ia menemukan tumpukan surat yang belum sempat dibaca—surat-surat dari Sari yang selalu berakhir dengan “Sampai jumpa di hujan.” Rambutnya yang dulu rontok kini tersimpan di sebuah toples kecil yang Sari minta Lintang pegang. Lintang menatap toples itu seperti menatap masa lalu; dia merasakan semua janji yang berubah menjadi kepingan kecil.

Hari demi hari berlalu, tetapi waktu bagi Lintang membeku. Ia pergi bekerja—melakukan hal-hal yang dulu memberinya kegembiraan—tetapi pameran lukisan terasa seperti ruang kosong. Kanvas tidak lagi mampu menampung warna yang dulu dia gunakan untuk menggambar Sari. Lukisan-lukisannya menjadi gelap; garis-garisnya tajam dan dingin. Teman-teman datang, memberi pelukan yang lembut, kata-kata yang niatnya baik tapi kosong. Mereka mengatakan, “Waktu akan mengurangi sakitmu.” Lintang tahu itu kata-kata standar; ia tahu waktu memang membuat bekas yang menipis—tetapi bekas itu tetap ada, seperti bayangan di dinding yang tak mau lenyap.

Musim berikutnya, Lintang menerima sebuah undangan pameran keliling ke sebuah kota pesisir—kota kecil dengan jalanan berpasir dan langit yang sering menangis hujan. Ia menolak pada awalnya. Jalanan ke laut itu terasa terlalu dekat dengan janji-janji yang belum terpenuhi. Namun suatu pagi, ia menemukan sekeranjang surat di bawah bantal Sari—surat yang ia pikir tak akan pernah ia baca. Di atas kertas Sari menulis: “Jika aku pergi duluan, pergi lah ke laut. Bawa lukisan-lukisanku, dan cari rumah itu sendiri. Kalau kau menunggu sampai nanti, mungkin hujan tak akan datang lagi.”

Surat itu seperti angin yang mengusik api di dalam Lintang. Ia ingin menolak, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya—sebuah rasa bahwa Sari menginginkan hidupnya kembali, bukan terkurung dalam kenangan. Ia memutuskan pergi ke kota pesisir itu, membawa beberapa lukisan Sari, beberapa kenangan, dan seluruh keberanian yang tersisa.

Kota pesisir menerima Lintang dengan uap laut dan suara ombak. Ia menemukan sebuah rumah tua yang ditinggalkan, dindingnya penuh gariskan garam, jendela-jendela berdebu; rumah yang sempurna untuk menjadi tempat tinggal baru dengan cerita lama. Ia membeli rumah itu dengan uang yang dikumpulkan dari hasil penjualan beberapa lukisannya—lukisan-lukisan yang kini mendapat perhatian orang setelah berita tentang Sari tersebar. Ironisnya, dunia baru melihat karya Lintang ketika Sari sudah tak ada lagi.

Lintang mulai memperbaiki rumah itu, menanam pohon mangga di halaman yang kecil, menunda-nunda di mana menaruh piano yang tak pernah ia mainkan. Ia menyimpan toples rambut Sari di laci meja, berjalan setiap pagi ke pantai sambil memikirkan barang-barang yang harus ia perbaiki. Kadang-kadang, saat matahari tenggelam, ia duduk di beranda sambil memegang selembar foto Sari. Angin malam membelai wajahnya, mengangkat rambut yang mulai beruban.

Musim hujan datang kembali. Di suatu malam ketika hujan turun lebat, Lintang berdiri di balkon, jaket tipis menempel di bahunya, menatap laut yang gelap. Hujan memukul jendela dengan gemuruh kecil yang tak berbeda jauh dari detak jantungnya yang rapuh. Ia memegang buku catatan—catatan yang berisi surat-surat yang belum dikirim, kata-kata yang tak sempat diucapkan. Ia menulis pada kertas kosong: “Sari, aku datang. Aku menepati janji untuk menanam pohon mangga. Aku menepati janji untuk mencari rumah itu. Tapi di sini, di tepi laut, aku merasa hampa. Hujan tidak menjawabku.”

Di luar, hujan semakin deras, seolah sedang menghapus setiap batas antara langit dan laut. Lintang merasakan sesuatu yang aneh—bukan dingin biasa, melainkan perasaan kosong yang makin meluas di dadanya. Napasnya mulai berat. Ia menoleh pada piano tua yang ia taruh di sudut ruang tamu—piano yang belum pernah ia sentuh sejak Sari pergi. Jemari yang dulu menggambar kini gemetar karena lelah, karena rindu.

Ia bergerak ke piano, duduk, dan menempatkan tangan di atas tuts. Nada pertama yang keluar seperti bisikan; tutsnya dingin, tetapi suaranya hangat seperti memori. Ia mulai memainkan lagi—lagu sederhana yang dulu selalu mereka dengarkan bersama. Suara piano menembus kabut hujan, menempel pada udara malam. Lintang bermain, dan saat nada-nada itu mengalun, ia merasakan ada sesuatu yang jatuh—bukan air, tetapi kepingan kenangan yang meleleh.

Di saat itu, dada Lintang terasa begitu sesak. Napasnya tersengal, tubuhnya lunglai di kursi piano. Namun tangannya terus memainkan, seolah musik itu satu-satunya cara untuk menahan ambruknya dunia. Tetangga mendengar suara piano di tengah hujan, lalu melihat cahaya temaram di jendela rumah tua. Di lain tempat, orang-orang bertanya-tanya mengapa ada lagu yang sedih sekali, mengalun dari rumah di tepi laut.

Lintang menyelesaikan lagu, lalu menunduk. Di kertas yang ada di pangkuannya, ia menulis satu kalimat terakhir—sebuah surat untuk hujan, untuk Sari, untuk dirinya sendiri: “Aku sudah menepati janji, tapi aku tak sanggup menepati hidup tanpamu.”

Ketika hujan berhenti, Lintang tidak lagi bangun dari kursi itu. Tetangga menemukan tubuhnya diantara tuts yang hangus oleh air mata. Tangan kosongnya memegang kertas yang basah, tinta bercampur dengan air hujan. Di sampingnya, di rak kecil, terbuka sebuah kotak kecil berisi surat-surat Sari yang tak pernah terbaca—surat-surat yang kini akan dibaca oleh orang lain yang menemukan rumah mereka.

Pemakaman mereka sederhana. Pohon mangga yang baru ditanam masih kecil, namun ia menatap tanah yang diberi. Rintik hujan turun perlahan ketika Lintang dimakamkan, seolah langit mengerti bahwa ada dua orang yang kini telah pergi menempati musim yang sama. Teman, keluarga, dan beberapa orang dari kota datang membawa bunga dan kata-kata penghiburan yang begitu biasa. Mereka berbicara tentang cinta Lintang dan Sari—tentang bagaimana cinta itu murni tapi akhirnya runtuh oleh waktu dan penyakit.

Di akhir cerita ini tidak ada mukjizat. Tidak ada kebangkitan, tidak ada surat yang menjawab kembali. Hanya ada rumah di tepi laut, pohon mangga yang menunggu musim berikutnya, dan hujan yang, seperti selalu, turun tanpa bertanya. Orang-orang yang datang kerap meninggalkan bunga di makam, mengambil cerita mereka sebagai peringatan: bahwa cinta indah sekalipun bisa rapuh, bahwa janji-janji bisa ditunaikan, namun hidup tak selalu memberi hadiah sesuai doa.

Di suatu sore yang dingin, seseorang yang membersihkan rumah tua menemukan sebuah lukisan kecil yang tersembunyi di balik papan. Lukisan itu menggambarkan dua sosok berdiri di bawah pohon mangga, payung kecil menutupi kepala mereka. Di bawahnya tertulis, dengan tinta lembut: “Sampai jumpa di hujan.” Tidak ada yang tahu apakah Lintang sempat menggantung lukisan itu sebelum pergi atau apakah itu hanya sisa memori yang ia tinggalkan.

Cerita Lintang dan Sari tetap hidup—di antara garis-garis lukisan, di dalam surat-surat yang basah, dan di rintik hujan yang kadang membuat orang menoleh ke jendela, berharap melihat dua bayangan yang pernah saling menunggu. Mereka pergi, tetapi mereka meninggalkan sesuatu yang tak dapat diambil kembali: sebuah kenangan tentang cinta yang sederhana, yang tumbuh, yang berjuang, dan yang akhirnya diterima pergi dengan lembut oleh hujan.

Akhirnya, hujan terus turun—menyeka jejak-jejak kaki di pantai, membasahi daun pohon mangga yang kecil, dan mengaduk kenangan yang tetap hidup di rumah tua itu—sebuah pengingat bahwa ada cinta yang berakhir bukan karena kurangnya usaha, melainkan karena takdir yang tak bisa ditawar.

09/08/2025

Address

Houston, TX
77026

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Janda Mania posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Janda Mania:

Share