11/24/2025
Bayangan di Balik Senyum Mertua
Di sebuah kota kecil yang tenang, tinggallah seorang perempuan bernama Alya, seorang istri muda yang baru menikah dengan Rafa, lelaki lembut yang sangat mencintainya. Hidup mereka seharusnya sederhana dan bahagia. Namun, semuanya berubah sejak mereka memutuskan tinggal sementara di rumah orang tua Rafa, terutama karena keadaan ekonomi yang belum stabil.
Bab 1 — Senyum yang Tidak Pernah Tulus
Saat pertama kali masuk rumah itu, Alya disambut senyuman dari ibu mertua, Bu Ratna, tapi entah kenapa senyum itu terasa seperti sebuah topeng—manis di luar, pahit di dalam.
Awalnya Alya mencoba berpikir positif. “Mungkin aku cuma gugup,” pikirnya.
Namun, malam pertama saja sudah mulai terasa berbeda. Bu Ratna memandang Alya dari ujung rambut hingga kaki, lalu berkata pelan tapi menusuk:
> “Kamu cantik… tapi sepertinya bukan tipe menantu yang saya bayangkan.”
Alya hanya tersenyum kaku. Rafa yang mendengar itu mencoba mengalihkan suasana, tapi Bu Ratna tetap memandang Alya seolah ia ancaman di rumah itu.
Bab 2 — Cobaan yang Tidak Pernah Usai
Hari-hari berikutnya, Alya selalu berusaha membantu pekerjaan rumah—menyapu, memasak, mencuci—tanpa diminta. Tapi apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata Bu Ratna.
Ketika Alya memasak sop:
> “Terlalu hambar. Kamu tidak bisa masak, ya?”
Saat ia menyapu:
> “Sudut ruangan itu masih kotor. Kamu ini cuma pura-pura rajin.”
Alya sering menahan air mata. Rafa tahu istrinya tertekan, tapi ia selalu berusaha menenangkan:
> “Sabar ya, Sayang. Mama cuma belum terbiasa.”
Namun semakin lama, semakin jelas bahwa Bu Ratna memang tidak ingin terbiasa.
Bab 3 — Fitnah yang Menyakiti
Puncak kesabaran Alya hampir runtuh ketika suatu pagi Bu Ratna menuduhnya mengambil gelang emas miliknya. Padahal Alya bahkan tidak tahu di mana gelang itu disimpan.
Bu Ratna membentaknya di ruang tamu di depan semua anggota keluarga:
> “Sejak kamu datang, barang-barang saya hilang! Kamu kira saya tidak tahu siapa pelakunya?”
Alya tercekat. Hatinya hancur. Rafa segera membela:
> “Mah, jangan asal tuduh! Alya nggak mungkin begitu!”
Tapi Bu Ratna tetap bersikeras, wajahnya penuh kebencian yang akhirnya terungkap sepenuhnya.
Beberapa hari kemudian gelang itu ditemukan—ternyata terselip di dalam laci lemari Bu Ratna sendiri. Namun ia tidak pernah meminta maaf. Ia hanya berkata:
> “Sudahlah. Anggap saja saya lupa.”
Padahal luka di hati Alya tetap tertinggal.
Bab 4 — Kekuatan yang Bangkit dari Luka
Suatu malam Alya menangis di kamar. Rafa memeluknya, dan saat itu untuk pertama kalinya Alya berkata:
> “Aku tidak kuat lagi tinggal di sini.”
Rafa yang selalu mencoba menengahi akhirnya sadar—ia sudah terlalu lama membiarkan istrinya tersakiti. Keesokan harinya, ia mengajak Alya pergi mencari kontrakan kecil.
Ketika mereka berpamitan, Bu Ratna menatap Alya dengan dingin:
> “Jangan salahkan saya kalau rumah tanggamu nanti tidak bahagia.”
Alya hanya tersenyum. Senyum kecil, tapi tegas.
> “Justru kami pergi supaya rumah tangga kami tetap bahagia.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bu Ratna terdiam tanpa kata.
Bab 5 — Kebahagiaan di Rumah Kecil
Tinggal di tempat baru bukan hal mudah, tapi rasa lega jauh lebih besar. Alya bisa bernafas, tersenyum, dan kembali menjadi dirinya sendiri. Hubungannya dengan Rafa semakin kuat karena mereka saling mendukung.
Dan perlahan… tanpa mereka sadari… Bu Ratna mulai merasa kehilangan.
Diam-diam ia menyadari bahwa rumahnya sekarang sepi. Tidak ada lagi aroma masakan hangat Alya. Tidak ada lagi tawa kecil pasangan itu. Tidak ada lagi yang membantunya saat ia kesepian.
Suatu hari, Bu Ratna datang berkunjung. Dengan suara pelan, ia berkata:
> “Alya… kalau mama ada salah selama ini… maafkan, ya.”
Alya menatapnya. Luka itu belum sepenuhnya hilang, tapi ia tersenyum.
> “Saya sudah memaafkan sejak lama, Bu. Tapi biarkan kami membangun rumah tangga kami sendiri.”
Untuk pertama kalinya, senyum Bu Ratna terlihat tulus.
Akhir — Luka yang Menemukan Ketenangan
Alya belajar bahwa tidak semua mertua akan langsung menerima kehadiran menantunya. Kadang butuh waktu, kadang butuh ruang, kadang butuh keberanian untuk berkata “cukup.”
Dan dari semua luka itu, Alya tumbuh menjadi perempuan yang lebih kuat.
Karena kadang, cinta rumah tangga justru diuji bukan oleh pasangan… melainkan oleh keluarga yang mengelilinginya.