11/27/2025
"Mbak, majikannya ada?" Seorang wanita seksi berambut panjang pirang masuk di pekarangan rumah.
Penampilannya; bak seorang model. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. Ia menenteng sebuah tas bermerek. Aku sangat tahu harga tas itu. Harganya diatas dua ratus jutaan.
Aku yang tengah mengelap jendela terpaksa menghentikan aktifitas saat wanita itu mendekat.
"Majikan kamu mana? Dari tadi ditanya, kok enggak menjawab? Budeg!"
"Majikan yang mana, yah? Salah alamat kali, Mbak," jawabku, bingung.
"Majikan mana? Salah alamat." Wanita itu mengulang pertanyaan dariku. "Yah, majikan kamulah. Masa iya majikan aku. Yah, kali aku punya majikan. Aku ini orang kedua terkaya setelah pemilik rumah ini. Paham kamu!" hardiknya.
Mengelus dada, beristigfar dalam hati. Aku mencoba untuk tidak terpancing emosi. Ditanya baik-baik, kok malah marah. Dia pikir dirinya siapa? Cukup menyebalkan.
"Dan ini alamatnya. Udah benar 'kan?" Secarik kertas bertuliskan alamat rumah ini ia berikan.
Aku terdiam. Mengangguk. "Iya, benar."
"Eh, Mbak. Kamu pembantu di sini 'kan? Kutanya sekali lagi mana majikanmu yang tampan itu? Katakan aku mau ketemu!" perintahnya lagi.
Aku sebenarnya sedikit tak percaya, bagaimana mungkin dia mengira aku pembantu di rumah sendiri? Apa karena aku memakai daster, ngelap kaca jendela hingga dia menganggapku seorang pembantu? Keterlaluan sekali.
Memangnya hanya pembantu doang yang makai daster, mengerjakan pekerjaan rumah? Selagi tidak sibuk, kenapa tidak? Bahkan istri pejabat pun bisa melakukan pekerjaan rumah. Apalagi jika pembantunya tidak ada alias p**ang kampung. Pasti semua itu dikerjakannya dengan s**a rela.
"Ditanya, kok bengong, sih? Budeg, yah?! Dasar pembantu!" Jari telunjuknya mendorong dahiku.
Satu kata untuk wanita itu. KURANG AJAR!
"Maaf, Mbak. Kalau bicara itu yang sopan dikit napa, sih? Apa Mbak tidak pernah diajarkan arti kesopanan disaat berbicara?" Dengan lembut aku menasehati. Namun penuh penekanan.
"Berani kamu, yah?! Jangan sok-sokan, deh! Kamu itu hanya seorang pembantu. Jadi, jangan sok pin–terrr!" Lagi, wanita itu mendorong dahiku dengan telunjuknya. Dia menekan kata di akhir kalimat.
Menghela napas. Tetap mencoba bersabar. Aku terdiam. Bicara sama wanita itu sepertinya tidak ada gunanya.
Eh, tunggu!
Apa dia bilang? Ingin ketemu majikan tampanku? Berarti suamiku bukan? Ya, hanya suamiku pria paling tampan di rumah ini. Yang lain hanya ada dua satpam dan sopir pribadi. Mereka semua sudah pada tua. Itupun mereka tidak ada di sini.
Biasalah, tiap hari ahad aku selalu mengizinkan mereka menikmati hidup di luar sana. Bagi yang ingin ketemu istrinya pun aku persilahkan. Dengan catatan harus p**ang sebelum Senin pagi.
"Mbak, tadi mau ketemu siapa?" tanyaku memastikan bahwa yang ingin dia temui adalah mas Farhan—suamiku.
"Banyak tanya!" Dia memutar bola matanya. Melangkah mendekati pintu.
Sepertinya dia mau masuk rumah. Kurang sopan! Padahal pemilik rumah saja belum mempersilakan masuk.
"Silfa?"
Aku dan wanita itu menoleh ke sumber suara.
"Mas Farhan?" Secara bersamaan aku dan wanita itu menyebut nama mas Farhan.
Kulihat mas Farhan kaget setengah mati. Sedang wanita yang tidak kukenal itu menghampiriku.
"He, pembantu! Berani sekali kamu memanggil calon suamiku mas? Kamu siapa? Pembantu tetap pembantu. Jangan ngarep banyak, deh."
Kutatap mas Farhan dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Bahkan dadaku pun terasa sangat sesak. Benarkah wanita itu calon istrinya suamiku? Pantas saja begitu berani dia menghardikku. Merasa dirinya tak lama lagi akan menjadi istri dari pemilik rumah.
"Mas, dia siapa?" tanyaku lembut, diiringi dengan air mata yang sudah jatuh di kedua p**i.
"Mas, mas! Kamu siapa, sih? Kurang sopan banget! He, kedudukanmu di sini sangat rendah. Pem–ban–tuuu!" tekan wanita yang mengaku sebagai calon istri suamiku.
Apapun yang dikatakannya, aku tidak peduli. Lebih baik fokus pada suamiku yang kini hanya terdiam. Tak mampu berkata-kata.
"Jawab, Mas! Dia siapa?!"
Kini intonasi suaraku meninggi. Menggoyangkan kedua bahunya. Meminta sebuah jawaban.
"Mas Farhan, pembantu ini kenapa memanggil mas dengan sebutan mas, sih? Dia siapa?" Giliran wanita itu bertanya.
Suamiku langsung menjawab, "Nabila. Bukan seorang pembantu. Dia istriku."
"Oh, jadi dia istri Mas? Pantes saja mas berpaling. Dia enggak secantik yang kupikir."
Dengan sombongnya dia bicara. Bersedekap dada memandangku seraya tersenyum miring.
Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka suamiku selingkuh. Aku berlari ke kamar. Menangis sejadi-jadinya.
Pria yang aku harapkan bisa hidup bersama di dunia dan akhirat, malah berkhianat. Siapa yang tidak sakit hati?
"Nabila, Nabila tunggu, Sayang! Mas bisa jelasin."
Masih bisa kudengar suamiku berteriak. Kuyakin dia pasti akan menyusul. Sejurus kemudian, benar saja mas Farhan sudah berada di ambang pintu. Masuk, lalu mengunci kamar. Sedang wanita tadi, entah ke mana dia.
"Maafkan mas, Nabila. Mas khilaf. Sudah dua pekan ini mas tidak pernah berhubungan dengannya," terang mas Farhan.
"Sudah berapa lama Mas? Sudah berapa lama Mas berhubungan dengan dia? Sejauh mana hubungan kalian berdua?!"
Aku melempar mas Farhan dengan bantal.
"Aku membencimu Farhan Sanjaya. Aku membencimu!" teriakku.
Kembali keluar. Malam ini aku memilih tidur di kamar tamu. Tidak ada yang jauh lebih sakit dari dikhianati seorang yang kita cinta. Aku tidak siap bila harus melihat wajah pengkhianatnya.
Aku muak!
***
Pagi-pagi sekali aku terbangun dan mendapati diriku tidur di kamar bersama suami. Mungkin suamiku yang memindahkan aku ke sini saat tertidur.
"Sayang, sudah bangun? Mandi sana, pagi ini kita jalan-jalan," ajak mas Farhan. Wajahnya sudah segar, sudah berpakaian rapi.
"Ajak wanita itu saja, Mas. Jangan aku. Aku tidak berarti di hati Mas," balasku.
"Nabila, mas 'kan sudah minta maaf. Tidak usah dibahas lagi, d**g, Sayang. Mas janji tidak akan mengulangi. Silfa juga sudah mas usir, kok."
"Sudahlah, Mas. Aku capek! Kalau mau jalan. Jalan aja sana!"
Tidak semudah itu aku melupakan pengkhianatanmu mas. Maaf, saat ini sakit hati yang mas ciptakan sudah sangat mendalam.
"Mas, mohon ... Sayang. Maafkan mas. Plis!"
Berkali-kali mas Farhan memohon. Aku akhirnya memaafkan. Tapi pagi ini aku tidak ingin jalan-jalan bersamanya. Aku izin ke rumah mama selama satu pekan.
"Mas antar, yah."
"Tidak usah. Aku bisa sendiri. Rumah mama 'kan dekat," balasku seraya mengemasi barang yang akan kubawa ke sana.
Sejurus kemudian semuanya sudah aku siapkan. Aku sama sekali tidak mandi. Hanya ganti pakaian saja.
"Aku jalan, Mas."
"Hati-hati, Sayang. Kabari jika mau p**ang. Mas akan jemput."
Aku tak menjawab. Langsung keluar menuju mobil pribadiku. Naik dan menjalankannya. Tidak kuhiraukan mas Farhan yang melambaikan tangan.
Tetes demi tetes air mataku jatuh. Masih tidak menyangka mas Farhan yang aku percaya setega itu mengkhianati kepercayaanku.
"Astaghfirullah."
Terpaksa aku kembali ke rumah saat menyadari sesuatu. HP-ku tertinggal di kamar.
Tiba di rumah, aku dikagetkan dengan sebuah suara desahan aneh dari kamar tamu.
Dadaku kian bergemuruh. Mungkinkah itu suara wanita selingkuhan suamiku? Tapi mana mungkin? Bukankah suamiku sudah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya?
Perlahan aku mendekat. Membuka pintu kamar yang tak terkunci itu.
'Astagfirullah.'
Kepalaku terasa pusing.
Bersambung
Baca selengkapnya di KBM App
Judul ANAK PEMBANTUKU SEORANG PEREBUT
Penulis Akhtaria Syafiura