Ibu Peri

Ibu Peri akun FB pindah kesini ya Bun
https://www.facebook.com/share/15Be13wApyT/
Yang bantu Follow panjang umur dan banyak rezeki🤲

Pagi-pagi sekali Rudi sudah berdiri di depan rumah saudara laki-lakinya dengan wajah kusut, matanya merah karena semalam...
09/26/2025

Pagi-pagi sekali Rudi sudah berdiri di depan rumah saudara laki-lakinya dengan wajah kusut, matanya merah karena semalaman tak tidur. Rokok menyala di ujung jarinya, asapnya mengepul berbaur dengan hawa pagi. Di sampingnya, sang ibu, tampak tegang.

Romi yang tengah menyeruput kopi hangat di kursi teras menatap heran. "Lho, Rudi? Ibu? Pagi-pagi sekali ke sini. Ada apa?"

Bu Sari tidak banyak basa-basi. Ia langsung melangkah masuk dan duduk di kursi rotan dengan wajah menegang.

"Istri Rudi ada ke sini tidak?" tanyanya buru-buru.

"Istri? Maksudnya Nadia?" Romi mengernyit.

"Iya, siapa lagi istri adikmu kalau bukan Nadia?"

"Ngapain juga dia ke sini?" suara Romi meninggi sedikit. Ia benar-benar tidak paham.

"Rani bilang, kalau Nadia kabur, pasti ke sini tujuannya. Soalnya ke rumah Ibu juga nggak ada," jelas Bu Sari.

Rudi yang duduk di lantai teras, mengisap rokok dengan kasar, akhirnya ikut menimpali. "Dia kabur tadi malam, Mas."

Romi langsung meletakkan cangkir kopinya. Wajahnya penuh tanda tanya. "Ada masalah apa lagi? Bukannya urusan cicilan panci yang kamu bilang kemarin sudah lunas?"

"Bukan soal apa-apa. Aku cuma minta dia kerja, biar bisa kayak Mbak Mawar, jadi aku bisa terbantu, tahu sendiri gajiku cuma empat juta, mana cukup buat ngidupin dia terus," sahut Rudi cepat, seolah ingin membela diri.

"Empat juta itu sudah banyak. Pasti cukup karena anak kalian baru satu dan masih bayi. Lagian kamu gil4nya tidak ketolong. Masa disuruh kerja? Anak kamu siapa yang rawat kalau Nadia kamu suruh kerja? Mbak jangan diikuti, karena Masmu menggaji orang buat urus rumah dan anak-anak. Lah, kamu? Ngasih duit ke Nadia aja nggak," timpal Mawar, menatap adik iparnya tajam dari arah pintu utama.

Rudi spontan menatap ibunya yang tampak gelisah. Selama ini, uang gajinya tidak pernah diberikan pada Nadia. Selalu ibunya yang memegangnya.

"Tahu dari mana, Ma, kalau Rudi tidak ngasih istrinya uang?" tanya Romi yang menatap adik dan istrinya bergantian.

Mawar menarik napas. "Nadia pernah curhat soal uang. Tiap gajian Rudi cuma ngasih lima ratus ribu untuk sebulan. Uang segitu buat jajan anak kita aja nggak cukup!"

"Ya ampun, Rudi. Benar begitu? Terus sisanya ke mana?" Romi menggeram menatap adiknya yang terpaku.

"Iya. Itu karena Nadia tidak bisa mengatur keuangan, setiap pertengahan bulan uangnya sudah habis," keluh Rudi. "Tapi kalau Ibu yang kelola, uangnya masih sisa sampai aku gajian lagi," lanjut Rudi dengan wajah masam.

"Wajar masih sisa karena--"

"Jangan dibahas lagi. Sekarang gimana? Nadia tidak tahu keberadaannya," potong Bu Sari yang seketika menatap menantunya tajam.

"Awal kejadiannya gimana?" tanya Romi.

"Awalnya terjadi pertengkaran kecil." Rudi tampak gelisah. Tangannya tak berhenti mengetuk-ngetuk lutut. "Aku tinggal dia di jalan, terus aku pergi ke rumah Ibu. Pas balik lagi mau jemput dia, dia sudah nggak ada. Ada yang melihatnya, dia sama laki-laki naik mobil." Rahangnya menegang, rokok di tangannya hampir habis terb4kar.

Romi menatap adiknya dalam-dalam. Ada rasa kesal saat dia melihat adiknya itu. "Kamu tahu Nadia tidak punya keluarga di sini selain kita! Kalau dia kenapa-kenapa gimana? Gil4 kamu!" Romi menunjuk wajah adiknya dengan geram.

"Aku yakin itu selingkuhannya, Mas! Dia kabur sama selingkuhannya!" dengus Rudi, lalu menghembuskan asap rokok sekeras-kerasnya.

Belum sempat Romi menanggapi, kakak iparnya kembali bersuara. "Kabur? Atau kamu yang usir?" ucapnya dengan tersenyum sinis.

"K-kabur, Mbak. Masa iya aku usir?" Rudi terbata.

"Jangan bohong, Rud!" Mawar maju selangkah, suaranya bergetar oleh amarah. "Aku tahu semuanya. Nadia bukan kabur, tapi kamu yang usir, kamu pu-kul, kamu permalukan dia di depan orang banyak! Kalaupun dia pergi, itu wajar. Siapa yang tahan hidup sama laki-laki ringan tangan?"

Romi menghela napas panjang, wajahnya penuh kekecewaan. "Benar begitu, Rud? Keterlaluan kalau kamu sampai main tangan sama perempuan."

"Tidak, Mas! Mbak Mawar ngarang itu!" Rudi bangkit berdiri, wajahnya merah padam. Ia tak percaya iparnya bisa tahu detail kejadian semalam.

"Ngarang?" suara Mawar meninggi. Ia berbalik masuk rumah tanpa memberi kesempatan.

Hening sejenak. Rudi dan Bu Sari saling berpandangan, jantung mereka berpacu lebih cepat.

"Mau ngapain Mawar?" bisik Bu Sari pada Romi, takut kalau masalah semakin melebar.

"Lihat saja," sahut Romi.

Tak lama kemudian, Mawar keluar dengan ponsel di tangan. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, jari-jarinya cepat mengusap layar.

"Ada apa, Ma?" tanya Romi, ikut tegang.

Mawar menatap menatap satu per satu dengan sorot marah. "Ibu lihat ini. Kamu juga lihat, Mas. Rudi sekarang lagi viral!"

Ia menyodorkan ponsel. Di layar tampak jelas potongan video semalam di warung nasi goreng: suara bentakan Rudi yang membahana, tangisan bayi yang memilukan, serta wajah Nadia yang ketakutan sambil mendekap anaknya.

"Nadia itu sedang mengasihi anakmu, Rud!" suara Mawar bergetar, penuh amarah dan juga iba. "Dia lapar, cuma makan sesuap nasi goreng, tapi kamu permalukan dia! Suami macam apa kamu?" lanjut Mawar penuh kesal.

"Aku hanya memberinya pelajaran—"

Plak!

Belum sempat Rudi menyelesaikan kalimatnya, telapak tangan Romi sudah lebih dulu mendarat keras di p**inya. Suara tamparan itu menggema di teras, membuat Bu Sari yang duduk di kursi ikut terlonjak kaget.

Rudi terpaku. Rokok yang tadi terselip di jarinya jatuh ke lantai, masih menyala, lalu padam terinjak kakinya sendiri. Pipinya panas berdenyut, matanya melotot tak percaya.

"Memang bagus Nadia kabur!" Romi mendesis, nadanya penuh amarah yang ditahan-tahan. "Kalau dia tetap di rumahmu, bisa-bisa dia m4ti diperlakukan kayak gitu!"

"Jangan salahkan adikmu, Rom. Nadia yang harus kamu salahkan. Seharusnya dia tidak pergi dengan laki-laki lain. Ibu juga curiga kalau dia sudah berselingkuh dan menunggu waktu untuk kabur," ujar Bu Sari dengan nada tegas.

Romi menatap ibunya dengan sorot mata tajam, rahangnya mengeras. "Apa Ibu yakin Nadia selingkuh?"

"Itu iparnya Mawar bukan?"

Semua serentak menoleh ke luar pagar. Beberapa tetangga yang lewat untuk jalan pagi tampak menatap wajah Rudi.

"Iya, itu dia laki-laki biadapnya. Cuma karena sesuap nasi goreng, dia sanggup memu-kul dan mempermalukan istri sendiri. Miris!"

Rudi mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. "Aku bersumpah akan menemukan perempuan kurang ajar itu. Gara-gara dia aku jadi hilang harga diri!"

Selanjutnya baca di aplikasi KBM App.
Judul: PERKARA SESUAP NASI GORENG
Penulis: anisah1797

"Rencana kita berhasil, Sayang. Semua lawan sudah masuk dalam perangkap," pagi-pagi sekali aku mendapat pesan dari ibu m...
09/26/2025

"Rencana kita berhasil, Sayang. Semua lawan sudah masuk dalam perangkap," pagi-pagi sekali aku mendapat pesan dari ibu mertua.

Senyum langsung mengembang di bibirku. Rupanya ibu tidak main-main dalam bertindak. Beliau benar-benar membuatku kagum.

Aku juga merasa terharu, sebab demi membelaku ibu sampai harus melangkah sejauh ini. Tapi ada hikmah di balik masalahku. Satu per satu, topeng orang-orang yang selama ini dipercaya ibu akhirnya mulai terbuka.

Tanpa membalas pesan itu, aku langsung memutuskan pergi ke rumah ibu untuk menjalankan rencana selanjutnya.

Tiga puluh menit perjalanan dengan mobil pemberian ibu, aku pun sampai di pelataran rumahnya.

Saat turun dari mobil, tampak Mbok Minah, asisten rumah tangga di rumah ibu, menghampiriku dengan raut wajah yang sulit diteb4k.

"Non Nilam, kok pagi-pagi sudah ke sini?" tanyanya.

"Memangnya kenapa? Kelihatannya Mbok Minah kurang senang dengan kedatanganku," balasku.

Dia terdiam sejenak, matanya menoleh ke kiri dan kanan sebelum akhirnya berucap, "Bukan begitu, Non. Saya hanya kasihan. Takutnya Non sedang dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain. Apalagi yang saya dengar, Tuan Restu sudah menikah lagi. Apa Non benar-benar yakin nyonya besar sepenuhnya berpihak pada Non?"

Aku hanya menatapnya. Dalam hati aku sudah tahu siapa dia sebenarnya. Untung sebelumnya ibu sudah memberi peringatan bahwa Mbok Minah tidak bisa dipercaya.

Tapi aku memilih untuk mengikuti alurnya. Aku ingin membuat Mbok Minah merasa seolah-olah berhasil dengan perkataannya. Padahal, aku dan ibu sudah menyiapkan kejutan khusus untuknya.

"Masa sih, Mbok? Padahal aku selama ini menyayangi ibu. Kalau benar seperti kata Mbok, mungkin aku memang harus lebih berhati-hati," ucapku pura-pura percaya.

Mbok Minah mengangguk-angguk. Lalu menundukkan suara, seolah takut didengar orang lain. "Saya hanya ingin mengingatkan, Non. Kalau boleh kasih saran, lebih baik Non menjaga jarak dengan nyonya besar, sebelum terlambat."

Aku menahan senyum. Bagiku, ucapannya hanyalah fitnah untuk memecah hubungan baikku dengan ibu.

Tak lama kemudian, ibu muncul dari balik pintu. Wajahnya ramah seperti biasa.

"Eh, Nilam sayang, ternyata kamu sudah datang? Kenapa di luar? Kenapa nggak langsung masuk?" sapanya hangat.

Belum sempat aku menjawab, Mbok Minah sudah menyela, "Padahal tadi sudah saya ajak masuk, tapi katanya mau ngobrol dulu sama saya."

Ibu hanya tersenyum tipis. "Ya sudah, Mbok. Tolong siapkan minum dan sarapan untuk kami, ya. Kita makan sama-sama nanti."

"Baik, Nyonya," jawab Mbok Minah sambil berlalu.

Setelah ia pergi, ibu langsung menarik tanganku ke samping rumah. Dengan suara pelan, beliau mulai menjelaskan rencana untuk membuka kedok pengkhianatan yang dilakukan orang kepercayaannya itu.

POV Penulis

Di tempat lain, Restu menghadapi masalah.

"Maaf, Pak. Ua-ng ini tidak bisa dipakai. Ada yang tidak beres," ucap seorang penjaga toko perhiasan.

"Apa? Tidak mungkin," b a ntah Restu kaget.

Pasalnya, uang itu diambil dari brank4s milik ibunya sendiri.

"Mbak pasti salah. Uang ini asli," ia masih bersikeras.

Namun setelah dicek ulang dan diperdebatkan, Restu terpaksa mengalah karena malu sudah jadi tontonan banyak orang.

"Gimana sih, Mas? Kok bisa begini?" keluh Rosa kesal.

"Iya, Restu. Malu banget Mama jadinya," tambah ibu Rosa dengan nada menyesal.

Restu benar-benar bingung. Bagaimana mungkin uang dari brankas ibunya bisa bermasalah? Ia mencoba meng hu-bungi Mbok Minah, berharap mendapat penjelasan. Namun ponselnya tak kunjung tersambung.

"Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu tetap harus beliin aku perhiasan," desak Rosa.

Restu terdiam. Ia tahu tak mungkin meminta u4ng lagi pada ibunya. Sambil menggerutu, ia akhirnya mencoba lagi meng hu-bungi Mbok Minah.

Kali ini, ada balasan.

"Mbok, malam ini kita jalankan rencana kedua. Saya tunggu di lokasi. Jangan sampai ibu tahu."

"Baik, Tuan. Semua akan saya urus," balas Mbok Minah.

Restu tersenyum, merasa akan se ge ra menang. Padahal, ia tak tahu bahwa rencana yang disusunnya justru akan berbalik menj-e r4t dirinya sendiri.

Bersambung …

selengkapnya di KBM App
Judul: Ibu Mertuaku Jangan Dilawan
Penulis: Dinda_Ramadhani

(8) Sadam tiba di sebuah kafe. Setelah memarkirkan mobilnya, dia langsung bergegas masuk ke dalam kafe tersebut untuk me...
09/26/2025

(8) Sadam tiba di sebuah kafe. Setelah memarkirkan mobilnya, dia langsung bergegas masuk ke dalam kafe tersebut untuk menemui seseorang.

Di dalam kafe, seorang pria sudah duduk sambil memainkan gelas kopi. Pria itu, dengan jas rapi dan kacamata tipis, segera berdiri begitu melihat Sadam masuk.

"Anda terlambat, Tuan," sapa pria itu pelan.

Sadam duduk santai, meletakkan kunci mobil di meja. "Saya tahu, Iqbal. Ada sedikit urusan."

Iqbal mengangkat alisnya, sedikit heran melihat raut wajah Sadam yang malam ini lebih lembut dari biasanya.

"Urusan yang penting sampai Anda rela turun tangan sendiri?"

Sadam menatap kopi yang disajikan pelayan, lalu meneguknya. "Bisa dibilang begitu."

"Ini tentang perusahaan?" Iqbal menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

Sadam menggeleng pelan. "Bukan. Ini tentang seseorang."

Iqbal menyipitkan mata. "Seseorang? Perempuan?"

Sadam hanya menatap Iqbal sebentar, bibirnya sedikit terangkat. "Ya. Seorang perempuan yang sangat spesial. Dan aku sudah bertunangan dengannya, Iqbal."

Ucapan itu membuat Iqbal nyaris tersedak. "Bertunangan? Kapan Anda—?"

"Tadi siang." Sadam memotong dengan tenang. "Semuanya berjalan mendadak. Aku bahkan belum sempat menjelaskan padamu."

Iqbal terdiam sejenak, lalu menggeleng sambil tertawa kecil tak percaya. "Tuan Sadam yang selalu mengatakan tidak akan buru-buru menikah, sekarang justru sudah punya tunangan. Siapa dia?"

Sadam menatap keluar jendela. Lampu jalan berpendar samar di matanya.

"Seorang perempuan yang tidak pernah berharap banyak dari dunia. Tapi justru dia yang membuatku yakin untuk menetap. Dia, cinta pertama saya, Iqbal. Nazeera Lintang Rinjani."

"Apa? Nona Nazeera? Bukannya dia akan dijodohkan dengan Tuan Arfandi?" tanya Iqbal dengan raut wajah terkejut.

"Takdir berpihak pada saya, Iqbal. Arfandi membatalkan pertunangannya pada Nazeera dan dia justru memilih adiknya Nazeera," jawab Sadam dengan raut wajah terpancar kebahagiaan.

Iqbal mendesah pendek. "Boleh saya tahu seperti apa perempuan itu? Saya harus selalu memastikan apapun yang berhubungan dengan Tuan."

Sadam mengusap wajahnya sebentar, seolah menimbang kata-kata.

"Sederhana. Sangat sederhana. Tapi dia punya harga diri yang lebih tinggi daripada perempuan-perempuan yang sering mengelilingi saya. Dia tidak memandang saya karena jabatan, bukan juga karena apa yang saya punya. Dia hanya menerima seorang lelaki yang tulus padanya."

Iqbal terdiam, kali ini lebih lama. "Anda serius dengan perempuan ini, Tuan?"

Sadam mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat serius."

Iqbal memainkan sendok di tangannya, masih tampak sulit percaya. "Jadi sekarang, apa yang akan Anda lakukan? Ini tidak seperti rencana yang dulu Anda susun."

Sadam menatap Iqbal tajam sejenak, lalu kembali tersenyum tipis. "Rencana tetap berjalan, Iqbal. Tidak ada yang berubah. Hanya saja, kali ini saya punya alasan lebih untuk melakukannya dengan hati-hati."

Iqbal tidak bertanya lebih jauh. Ia mengenal betul Tuannya. Jika sudah berbicara dengan nada seperti itu, berarti keputusan sudah bulat. Tidak ada yang bisa membatalkan.

"Kapan saya bisa bertemu dengan tunangan Anda itu?" tanya Iqbal akhirnya.

"Nanti saja. Belum saatnya. Saya tidak mau dia tahu siapa saya sebenarnya sekarang," jawab Sadam singkat.

Iqbal mengangguk. "Baiklah. Tapi saya hanya berharap, kali ini Anda benar-benar bahagia. Bukan hanya bagian dari permainan besar yang selalu Anda jalankan."

Sadam terdiam lama, lalu mengangkat cangkirnya. "Doakan saja. Saya juga ingin tahu apakah ini takdir atau hanya ujian lain yang harus saya lewati."

"Lalu, apa yang harus saya lakukan sekarang, Tuan?" tanya Iqbal.

"Persiapkan acara pernikahan sederhana antara saya dan Nazeera. Cukup di KUA dan tidak boleh ada yang tahu tentang pernikahan ini," jawab Sadam mantap.

"Lalu keluarga Anda?"

"Nanti saya yang urus. Satu lagi, Iqbal. Di depan Nazeera, saya hanyalah seorang sopir. Jadi kamu tidak boleh muncul di depan saya pada saat saya bersama Nazeera. Paham?" ujar Sadam menekan.

"Baik, Tuan Muda. Akan saya laksanakan sesuai perintah Anda."

"Bagus. Kamu memang bisa diandalkan. Saya sudah tidak sabar ingin menikahi Nazeera, Iqbal. Ya Allah ... Dari pertama kali saya melihat dia, sampai sekarang rasa yang saya miliki padanya tidak berkurang sedikitpun. Dia cantik, meskipun aku sendiri tidak tahu bagaimana rupa wajahnya."

"Maksud Tuan dia tidak terlihat?" tanya Iqbal bingung.

"Dia bercadar, Iqbal. Sejak SMA dulu, dia selalu istiqomah menutupi wajahnya dengan kain cadar," jawab Sadam menjelaskan.

"Hmm. Benar-benar perempuan yang istimewa. Kapan Tuan berencana untuk menikahi Nona Nazeera?"

"Bagaimana kalau besok?" canda Sadam.

"Ya ampun. Tuan Sadam ini kebelet nikah ternyata," goda Iqbal.

"Hari Minggu aku libur, Iqbal. Saya akan persiapkan pernikahan saya dengan Nazeera."

"Lalu bagaimana dengan rencana Anda untuk Tuan Arfandi dan keluarganya?" tanya Iqbal.

"Masih berlangsung. Saya sudah dapat beberapa informasi yang bisa melemahkan Arfandi dan ayahnya. Hanya saja, untuk sekarang ini saya ingin fokus pada Nazeera dulu. Kasihan sekali dia, hidup Nazeera pasti menderita melihat ibu dan adik tirinya sangat tidak ramah padanya."

"Hmm. Jika Tuan membutuhkan saya, tolong segera beritahu," ucap Iqbal lalu ia menyeruput kopinya kembali.

•••

Keesokan harinya, Nazeera seperti biasa melangkah ke kantor. Suasana pagi itu terasa berat, tapi ia tetap menegakkan kepala. Kantor itu seharusnya menjadi tempat ia melanjutkan amanah ayahnya, tetapi kenyataannya berbeda. Linda dengan segala kelicikan sudah merebut kursi CEO. Sementara Nazeera, darah daging pewaris asli perusahaan itu, hanya ditempatkan di bagian administrasi.

Di ruangan besar yang penuh staf, terdengar suara bentakan melengking.

"Nazeera! Apa-apaan laporan ini?! Bagaimana bisa berkas penting berantakan seperti ini?" Linda menghempaskan berkas ke lantai, kertas-kertas itu berhamburan tepat di bawah kaki Nazeera.

Nazeera menunduk, menahan perih di dada. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan kasar itu. Namun hari ini, tatapan seluruh karyawan terasa menusuk lebih dalam.

"Kak Nazeera memang tidak becus, Bu," timpal Nirmala, dengan suara yang penuh ejekan.

"Aku sudah menyelesaikannya dengan baik dan tidak ada yang salah. Ibu dan Nirma hanya ingin mempermalukan aku di depan semua karyawan kan?" tanya Nazeera lantang.

Beberapa karyawan menunduk, pura-pura sibuk. Sebagian lagi saling berbisik sambil menahan tawa.

Tepat saat itu, pintu terbuka. Seorang pria berkemeja rapi masuk dengan membawa sebuket bunga mawar putih dan sekotak makanan dan itu Sadam.

Semua mata langsung tertuju padanya. Pria itu melangkah dengan tenang, sorot matanya langsung jatuh pada Nazeera yang masih dibentak.

"Ada apa ini?" tanya Sadam, membuat beberapa karyawan yang sedang menahan tawa buru-buru diam.

Linda menoleh dengan tatapan meremehkan. "Mau ngapain kamu ke sini?" katanya sinis.

Sadam meletakkan buket bunga di atas meja, lalu menatap Linda tanpa gentar. "Saya datang untuk mengantar makan siang pada tunangan saya."

Ucapan itu membuat seisi ruangan heboh. Suara bisik-bisik bergemuruh. Beberapa karyawan tak bisa menahan tawa, sementara Nirmala dengan cepat menyambar kesempatan.

"Dengar semuanya! Kak Nazeera sudah bertunangan dengan sopir biasa!" ucap Nirmala lantang sambil terkekeh.

Linda menambahkan dengan nada mengejek, "Benar. Malang sekali nasibnya. Tidak seperti putri saya yang sudah bertunangan dengan Tuan Muda Arfandi dari keluarga Wiratno."

Gelak tawa pun pecah. Hampir semua staf tidak mampu menahan diri, menertawakan kenyataan itu.

Sadam mengepalkan tangan, ingin membela Nazeera. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, tangan Nazeera perlahan terangkat, menahannya.

"Sudahlah, Mas," ucap Nazeera lirih, matanya tetap menatap lantai. "Tidak perlu berdebat dengan mereka. Mari kita pergi."

Sadam menatap wajah tunangannya itu, lalu menghela napas panjang. Ia pun meraih bunga dan makanan yang ia bawa, lalu berjalan beriringan bersama Nazeera meninggalkan ruangan.

Di luar kantor, udara lebih segar. Namun, hati Nazeera masih sesak. Sadam menoleh padanya, lalu menyodorkan buket bunga itu.

"Ini untukmu. Saya tahu mungkin tidak bisa menutupi rasa sakit tadi. Tapi setidaknya, izinkan saya menghiburmu."

Nazeera menatap bunga itu lama, lalu akhirnya menerima dengan senyum tipis di balik cadarnya.

"Terima kasih. Mas tidak perlu repot-repot seperti ini."

Sadam menggeleng cepat. "Bagi saya ini bukan repot, Nazeera. Saya ingin kamu selalu tahu, ada satu orang di dunia ini yang tidak akan pernah merendahkanmu."

Hening sejenak. Hanya angin yang berhembus pelan.

Sadam lalu memberanikan diri. Ia menatap Nazeera lekat-lekat meskipun gadis itu tetap menunduk.

"Nazeera," ucap Sadam melembut. "Maukah kamu menikah dengan saya Minggu depan? Sederhana saja, di KUA. Saya akan urus semua berkasnya. Yang penting saya ingin segera menghalalkanmu."

Nazeera terdiam. Hatinya bergejolak, antara ragu dan haru. Lalu, perlahan, bibirnya melengkungkan senyum kecil di balik cadar.

"Kalau itu memang yang terbaik, saya setuju, Mas."

Mata Sadam membesar. Seketika ia berdiri, meloncat kecil kegirangan. "Alhamdulillah! Ya Allah, akhirnya!"

Nazeera sampai terkekeh melihat tingkah Sadam yang seperti anak kecil. "Mas Sadam, ya Allah."

Sadam tertawa lepas, wajahnya berseri penuh kebahagiaan. "Nazeera, Kamu tidak tahu betapa saya menunggu momen ini. Kamu setuju, Nazeera! Kamu benar-benar setuju!"

"Iya, Mas. Niat baik harus segera dilaksanakan. Saya bersedia menikah dengan Mas."

"Ya Allah, ya Allah. Masya Allah." Sadam benar-benar salah tingkah tidak menentu.

Nazeera menertawakan kebahagiaan itu bersama Sadam. Di tengah segala cemoohan dan kepahitan, justru di sini ia merasakan ada cahaya baru yang menenangkan hatinya.

"Kamu tenang saja, Nazeera. Saat saya sudah menikahimu. Saya akan kembalikan apa yang sudah dirampas darimu," ujar Sadam kemudian.

"Maksud, Mas?" tanya Nazeera bingung.

Sadam hanya menjawab dengan senyum misteriusnya.

Bersambung

Judul: Dilamar Sopir G4dung4n
By AlmeeraAz09
KBM

(8) “Tidak mungkin mobil ini milikmu! Kamu hanya tukang bakso. Anak PNS-ku saja belum tentu bisa membeli mobil semewah i...
09/25/2025

(8) “Tidak mungkin mobil ini milikmu! Kamu hanya tukang bakso. Anak PNS-ku saja belum tentu bisa membeli mobil semewah ini. Jangan-jangan….”

***

Sejak hari di mana Ibu termakan omongan tetangga, tentang hadiah perhi asan yang aku berikan kepadanya. Ibu tidak pernah sekalipun mengajakku bicara. Sikap Ibu semakin dingin dan itu membuat aku merasa tersiks a. Untuk apa aku p**ang kalau keberadaanku tidak pernah dianggap ada oleh Ibu.

Begitu juga dengan Amar. Adik itu dengan sengaja mengajakku per ang dingin. Dia selalu menghindar saat aku dekati. Dan sama sekali tidak pernah mengajakku bicara. Dia lebih memilih untuk berjibaku dengan kertas-kertas yang aku tidak tahu apa itu isinya. Ataupun laptop yang ada di hadapannya.

Sepertinya Amar memang sengaja ingin menunjukkan kesibukannya kepadaku. Amar ingin menunjukkan kalau pekerjaannya lebih bergengsi daripada aku yang hanya seorang pedagang bakso biasa.

Belum tahu saja dia kalau aku merupakan juragan bakso yang sudah memiliki cabang di mana-mana. Tidak perlu bekerja ker as jika ingin mendapatkan keuntungan. Karena sudah ada banyak karyawan yang bekerja untukku. Sehingga aku tinggal ongkang-ongkang kaki saja. Sementara uwng sendiri yang akan menghampiriku tanpa perlu aku bersusah payah.

Dan seperti biasa hanya Rani yang selalu ada untukku. Dia selalu mengerti kondisiku. Aku sedang sibuk memeriksa pemasukan hasil penjualan dari masing-masing cabang warung baksoku. Karena kebetulan ini sudah mendekati akhir bulan. Saat Rani tiba-tiba mengetuk pintu gvdang yang telah menjadi kam arku.

Belum sempat aku menyuruhnya masuk, pintu gvdang tempat aku tidur sudah terbuka. Kemudian disusul dengan kemunculan kepala Rani.

"Mas Bas lagi apa? Aku ganggv tidak? Aku boleh masuk 'kan?" tanya Rani secara beruntun.

Dia bahkan tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa menjawab pertanyaannya terlebih dulu, karena adikku itu terus bertanya tanpa jeda.

"Ini lagi memeriksa penjualan. Masuk saja Dek," jawabku.

Setelah mendapat izin masuk dariku, Rani berjalan dengan penuh semangat menuju ke arahku.

"Rani mau lihat, pembukuan bakso itu seperti apa sih Mas? Apa semuanya Mas Bas lakukan sendiri? Apa Mas Bas tidak merasa kerepotan? Belum lagi harus menyiapkan bahan-bahan bakso? Kenapa tidak mencari orang saja agar bisa membantu meringankan pekerjaan Mas Bas?"

Adikku itu memang memiliki kebiasaan bvrvk, yaitu banyak bertanya tanpa jeda. Mungkin karena rasa penasarannya yang begitu besar. Namun di balik sifat ceriwisnya itu, Rani merupakan adik yang sangat baik dan juga tekun. Meskipun kecerdasannya berbeda dengan Amar. Dari ketiga anak Ibu, memang Amar-lah yang paling cerdas di antara kami. Sehingga tidak heran jika dia bisa menjadi seorang pegawai pemerintahan.

Rani yang selalu ingin tahu, langsung duduk di atas tikar bersebelahan denganku. Wajahnya dicondongkan ke arah tablet yang ada di tanganku sekarang. Kedua mata Rani berbinar takjub, saat mengetahui kalau aku memiliki benda yang bisa dibilang cukup mhal tersebut.

"Mas Bas keren, ternyata Mas Bas juga punya tablet. Pedagang bakso jaman sekarang memang canggih ya," celetuk Rani yang sengaja memuji.

Sementara aku hanya tersenyum menanggapi. Adikku itu memang sangat lucu. Namun Rani langsung mengelvh, saat melihat deretan angka-angka yang terdapat di dalam tabletku.

"Itu apa sih Mas? Kenapa angkanya banyak sekali? Rani jadi pvsing melihatnya?"

Deretan angka merupakan hal yang sangat dibenci oleh Rani. Waktu SMA saja dia tidak mau masuk jurusan akuntansi. Rani selalu bilang sangat memb enci angka, matematika, dan juga fisika.

"Kalau pvsing jangan dilihat," ucapku sambil tersenyum.

"Tapi Mas, hanya jualan bakso saja kenapa harus servmit itu? Nggak pernah ada tuh Pak Wahyu tetangga kita memakai pembukaan seperti itu. Yang ada dia sibuk mondar-mandir ke pasar untuk membeli bahan bakso," bingung Rani dan mulai membandingkan aku dengan tukang bakso tetangga kami.

"Ya bedalah Dek."

"Bedanya apa? Kan kalian sama-sama berjualan bakso?"

Karena Rani terus bertanya, aku berusaha menjelaskan dengan cara yang paling sederhana tentang pembukuan, data pemasukan dan pengeluaran bisnis warung baksoku."

"Aduh, tambah pvsing Rani Mas."

Mendengar itu aku langsung tertawa. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Rani kembali bersuara.

"Oh ya Mas, niat Rani datang kemari karena ingin melihat kondisi Mas Bas? Apa Mas Bas baik-baik saja karena sikap Ibu dan Mas Amar yang sedikit keterlaluan? Seharusnya Ibu dan Mas Amar tidak mendiamkan Mas Bas seperti ini. Rani percaya kok kalau perhi asan yang Mas belikan untuk Rani dan Ibu adalah em as asli. Jadi kenapa Ibu dan Mas Amar harus memvsingkan omongan tetangga," ucap Rani kepadaku.

Lagi-lagi aku tersenyum mendengar pembelaan Rani kepadaku. Aku bersyukur memiliki Rani. Di saat hatiku sedang galav dan bersedih atas sikap Ibu dan Amar kepadaku. Masih ada Rani yang selalu mendukung dan mempercayaiku.

"Mas Bas baik-baik saja Dek. Mungkin Ibu dan Mas Amar perlu waktu untuk bisa percaya dengan apa yang Mas Bas katakan. Sungguh Mas tidak merasa keberatan akan hal itu."

Rani langsung tersenyum dengan begitu ceria, setelah mendengar jawabanku. Rupanya dia begitu ketakutan kalau aku akan mrah atas sikap dingin yang ditunjukkan Ibu dan Amar kepadaku.

"Mas Bas baik banget. Semoga setelah ini Ibu dan Mas Amar sadar, kalau perbuatan mereka tidak benar. Oh ya Mas, Rani ke sini sekalian mau ajak Mas Bas ikut pergi ke Kabupaten," ucap Rani yang membuatku mengerutkan kening.

"Ke Kabupaten? Dalam rangka apa?" tanyaku merasa penasaran

"Mas Bas nggak tahu ya kalau ada bakso yang lagi viral. Padahal baru banget buka. Tetangga yang sudah pernah ke sana bilang baksonya memang enak. Makanya Rani penasaran dan minta Mas Amar traktir. Untungnya Mas Amar setuju."

"Memang Mas Amar punya dvit Dek? Mas Amar kan belum ga jian. Takut memberatkannya."

"Mas Amar bilangnya punya. Kalo nggak punya nggak mungkin ngajak Rani dan Ibu. Rani ajak Mas Bas juga biar kita bisa jalan-jalan sekeluarga. Jarang-jarang kita punya kesempatan seperti ini. Tapi Mas Bas nggak bosen kan kalau kita jajan bakso?"

Mendengar pertanyaan Rani aku langsung menggeleng.

"Tentu saja tidak. Kenapa harus bosen. Ya sudah Mas Bas ikut."

Merasa apa yang dikatakan oleh Rani benar, aku pun menyetujui untuk ikut keluargaku pergi ke kabupaten. Meskipun nanti aku tidak ikut makan bakso. Sebab aku lebih menyukai kebersamaanku dengan keluarga. Apalagi aku merasa cvriga, kalau bakso viral yang dimaksud Rani tadi merupakan cabang baksoku sendiri.

"Bakso yang sedang viral di kabupaten? Apa jangan-jangan?" monologku dalam hati.

Jawabanku membuat Rani merasa senang. Hingga terdengar suara teri akan Amar dari luar gvdang

"Rani ayo cepat, katanya mau pergi ke Kabupaten beli bakso yang sedang viral itu!"

"Iya Mas."

Mendengar panggilan Amar, membuat Rani langsung men4rikkv keluar dari gvdang.

"Ayo Mas kita berangkat."

Amar begitu terkejvt melihatku akan ikut bersama mereka.

"Mas Bas juga ikut?" tanya Amar kepadaku.

"Iya Mas, aku yang ajak Mas Bas. Kan enak kalau rame-rame," sambar Rani mewakiliku.

"Kalau semuanya ikut, kita mau pergi naik apa?" Ibu tiba-tiba muncul dari arah dapur.

"Ibu tidak usah khawatir. Baskoro sudah pesan taksi online," sambarku cepat.

Ibu hanya diam, tak lagi membalas kata-kataku. Berbeda dengan Amar.

"Memang Mas Bas punya uwng? Sudahlah Mas, jangan sok-sok'an jadi orang. Pake pesen taksi online segala," ucap Amar meremehkan. Tapi aku tetap diam tak mau menanggapinya.

Hampir setengah jam berlalu. Namun mobilku masih belum juga datang. Padahal Marno orang kepercayaanku bilang dia sudah di jalan. Lama menunggu membuat Amar kembali menggervtv.

"Sebenarnya taksi onlinenya ada nggak sih Mas. Apa kamu cuma membval saja? Makanya Mas, kalau nggak ada uwng nggak usah sok pesan taksi online. Begini kan jadinya, kita menunggu sesuatu yang tidak pasti."

Tepat setelah Amar mengomel, terdengar suara klakson dari halaman rumah. Rupanya mobil yang baru aku beli untuk Ibu sudah datang. Sehingga aku langsung keluar dengan disusul oleh anggota keluargaku yang lain.

Melihat mobil mewah terparkir di depan rumah kami, membuat kedua mata Amar dan Ibu melotot dengan sempurna.

"Mas Bas yakin itu taksi online-nya? Kenapa bagus sekali?"

***

Judul : Bukan A nak Kebanggaan Ibu
Penulis : Richan25

Sudah TAMAT di KBM Apps, cari dengan judul yang sama atau nama penulisnya.

[Aisyah, lihat ini!] Bella mengirimi sebuah foto undangan pernikahan ke ponsel Aisyah.[Syah, itu Irwan kan, pacar kamu? ...
09/25/2025

[Aisyah, lihat ini!]
Bella mengirimi sebuah foto undangan pernikahan ke ponsel Aisyah.

[Syah, itu Irwan kan, pacar kamu? Nama dan orang dalam foto itu mirip sekali dengannya.]

[Besok nikahnya dan langsung resepsi.]

[Bibi menyuruhku mewakili dia hadir di sana. Kata Bibi, yang punya hajat nikahan itu tetangga yang rumahnya paling ujung. Pas ditunjukkan kartu undangannya, aku kaget lihat wajah sama nama mempelai lakinya mirip Irwan. Langsung kufoto dan kukirim ke kamu.]

Rentetan pesan Bella, Aisyah baca dengan hati berdenyut nyeri.

Tangannya bergetar melihat kiriman foto dari sahabatnya tersebut. Matanya nanar mengamati foto lelaki yang bersanding mesra dengan wanita cantik mengenakan gaun pengantin putih. Ingin menyanggah tapi tak bisa, saat nama lengkap calon mempelai lelaki beserta nama orang tuanya, tertera dengan jelas di sana. Lekuk wajah dalam foto tersebut tidak dapat dipungkiri kalau itu adalah Irwan, pacarnya yang pamit p**ang kampung seminggu yang lalu dengan alasan neneknya sakit.

"Foto apa ini, Wan? Kamu berbohong!" desis Aisyah dengan suara parau masih mengamati lekat kiriman gambar dari Bella.

Ponsel hampir terlepas dari tangannya saat terdengar nada dering dan getaran yang menandakan ada telepon masuk.

Dari Bella.

"Halo." Aisyah mencoba menekan suaranya agar tidak terdengar bergetar.

"Halo, Syah. Kamu baik-baik saja kan?" Terdengar nada khawatir di seberang sana. Bella tahu Aisyah pasti sedih mendengar kabar ini. Menutupinya juga bukan solusi yang baik, Bella ingin mata Aisyah terbuka lebar kalau Irwan adalah lelaki breng sek!

"Ya, bagaimana kabar bibimu? Sehat kah?" Aisyah mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah sudah membaik. Bibi sudah mau makan. Kamu sudah lihat foto undangan yang kukirim? Itu Irwan kan? Maaf Syah, aku baru tahu hari ini dan langsung mengabarimu."

"Iya ..., itu Irwan," aku Aisyah. Ia pikir tidak mungkin juga membantah. Bukti nyata terpampang di kartu undangan.

"Dia pamit p**ang padaku karena neneknya sakit keras, tapi ternyata …," ucap Aisyah terjeda, ia tak sanggup melanjutkan. Bibirnya bergetar, dan buliran bening hangat yang sudah ditahannya, menetes juga dari kedua mata. Dengan cepat ia menutup mulutnya agar tidak terdengar oleh Bella.

"Syah, maaf. Kamu yang sabar ya, sedari awal aku sudah memperingatkanmu bukan? jangan terlalu royal dengannya. Aku sudah nggak respect saat dengar ceritamu yang bilang dia meminjam uang buat kuliahnya dan masih membebanimu dengan segala tetek bengeknya yang lain. Sedangkan kuliahmu sendiri tertunda. Irwan itu kayak benalu. Kamu yang kerja keras, tapi dia yang menghabiskannya." Saking emosi, Bella lupa menjaga hati temannya itu. Ia nyerocos terus terkesan menyalahkan Aisyah.

Aisyah mendesah berat. Sudah terlalu sering Bella memperingatkan, tapi Aisyah pikir Irwan tidak mungkin berbohong, apalagi menipunya. Hubungan mereka sudah berjalan selama lima tahun, dan selama itu p**a ia sangat mempercayai Irwan. Lelaki berambut cepak tersebut juga berjanji akan segera mengganti uang yang telah dipinjamnya setelah mereka menikah. Dia juga berjanji akan membiayai kuliahnya kelak. Namun sepertinya itu tinggallah janji.

"Syah, kamu masih di situ kan? Syah, Maaf," lirih Bella pelan. Ia menyesal telah mengungkit hal tersebut bukannya menenangkan sahabatnya yang lagi bersedih.

Hening. Aisyah sedang menetralisir perasaannya yang sedang berkecamuk. Namun tak bisa, karena air mata terus mengalir deras di kedua p**inya.

"Pernikahannya besok?" tanya Aisyah. Tangannya tak henti menyeka air mata di p**i.

"Iya." Bella bergumam lirih. Ada perasaan tidak enak mendengar suara sahabatnya yang terdengar sedih. Ia juga dapat menangkap tangis tertahan di seberang sana.

"Kamu bisa jemput aku, Bel? Aku mau datang ke sana."

"Kesini?" Kamu yakin Syah?" Bella terkejut mendengar perkataan Aisyah.

"Ya, aku mau ngasih kejutan, mau ngasih hadiah buatnya. Hadiah yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya." Aisyah mengatakan dengan penuh penekanan.

"Ngasih kejutan? Apa?" Kening Bella mengernyit. Dia tidak mengerti maksud perkataan Aisyah, tapi benaknya menerka-nerka kalau Aisyah mungkin ingin merusak pesta pernikahan Irwan atau menggagalkannya.

"Nanti aku cerita. Besok subuh jemput aku di terminal. Malam ini aku naik bis ke sana," terang Aisyah menjelaskan.

"Iya, besok kamu chat aja kalau sudah sampai di terminal, biar kujemput," jawab Bella.

"Makasih Bel, infonya. Aku tutup ya."

"Iya."

Ponsel dihempaskan Aisyah ke atas tempat tidur lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Persendiannya terasa lemas. Ia menangis tergugu setelah selesai berteleponan dengan Bella. Hatinya terkoyak perih mendengar berita mengejutkan tentang Irwan. Laki-laki yang dulu menjanjikan akan menikahinya setelah selesai kuliah, malah sekarang sedang merajut asa untuk menikahi wanita lain.

***

Aisyah menghapus air matanya. Ia berjalan pelan menuju lemari pakaian dan mengambil sesuatu di sana. Sebuah notebook berukuran kecil. Dibukanya lembar tiap lembar isi di dalamnya. Menatap tajam susunan angka-angka yang tertulis rapi di sana. Tertulis nama lengkap Irwan di pojok paling atas sebelah kanan, dan bubuhan tanda tangan bermaterai di pojok paling bawah. Kemudian ditutupnya kembali buku tersebut.

"Tunggulah Wan, aku akan datang. Akan kuambil kembali apa yang telah menjadi hakku."

_______

Kira-kira Aisyah mau ngapain ya?

Baca selengkapnya di k b m app
Ditinggal Nikah
By : Syarlina

Address

New York, NY

Telephone

+81228963595

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ibu Peri posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share