Ibu Peri

Ibu Peri Siap menemani Hari Ceriamu😘

"Mbak, majikannya ada?" Seorang wanita seksi berambut panjang pirang masuk di pekarangan rumah.Penampilannya; bak seoran...
11/27/2025

"Mbak, majikannya ada?" Seorang wanita seksi berambut panjang pirang masuk di pekarangan rumah.

Penampilannya; bak seorang model. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. Ia menenteng sebuah tas bermerek. Aku sangat tahu harga tas itu. Harganya diatas dua ratus jutaan.

Aku yang tengah mengelap jendela terpaksa menghentikan aktifitas saat wanita itu mendekat.

"Majikan kamu mana? Dari tadi ditanya, kok enggak menjawab? Budeg!"

"Majikan yang mana, yah? Salah alamat kali, Mbak," jawabku, bingung.

"Majikan mana? Salah alamat." Wanita itu mengulang pertanyaan dariku. "Yah, majikan kamulah. Masa iya majikan aku. Yah, kali aku punya majikan. Aku ini orang kedua terkaya setelah pemilik rumah ini. Paham kamu!" hardiknya.

Mengelus dada, beristigfar dalam hati. Aku mencoba untuk tidak terpancing emosi. Ditanya baik-baik, kok malah marah. Dia pikir dirinya siapa? Cukup menyebalkan.

"Dan ini alamatnya. Udah benar 'kan?" Secarik kertas bertuliskan alamat rumah ini ia berikan.

Aku terdiam. Mengangguk. "Iya, benar."

"Eh, Mbak. Kamu pembantu di sini 'kan? Kutanya sekali lagi mana majikanmu yang tampan itu? Katakan aku mau ketemu!" perintahnya lagi.

Aku sebenarnya sedikit tak percaya, bagaimana mungkin dia mengira aku pembantu di rumah sendiri? Apa karena aku memakai daster, ngelap kaca jendela hingga dia menganggapku seorang pembantu? Keterlaluan sekali.

Memangnya hanya pembantu doang yang makai daster, mengerjakan pekerjaan rumah? Selagi tidak sibuk, kenapa tidak? Bahkan istri pejabat pun bisa melakukan pekerjaan rumah. Apalagi jika pembantunya tidak ada alias p**ang kampung. Pasti semua itu dikerjakannya dengan s**a rela.

"Ditanya, kok bengong, sih? Budeg, yah?! Dasar pembantu!" Jari telunjuknya mendorong dahiku.

Satu kata untuk wanita itu. KURANG AJAR!

"Maaf, Mbak. Kalau bicara itu yang sopan dikit napa, sih? Apa Mbak tidak pernah diajarkan arti kesopanan disaat berbicara?" Dengan lembut aku menasehati. Namun penuh penekanan.

"Berani kamu, yah?! Jangan sok-sokan, deh! Kamu itu hanya seorang pembantu. Jadi, jangan sok pin–terrr!" Lagi, wanita itu mendorong dahiku dengan telunjuknya. Dia menekan kata di akhir kalimat.

Menghela napas. Tetap mencoba bersabar. Aku terdiam. Bicara sama wanita itu sepertinya tidak ada gunanya.

Eh, tunggu!

Apa dia bilang? Ingin ketemu majikan tampanku? Berarti suamiku bukan? Ya, hanya suamiku pria paling tampan di rumah ini. Yang lain hanya ada dua satpam dan sopir pribadi. Mereka semua sudah pada tua. Itupun mereka tidak ada di sini.

Biasalah, tiap hari ahad aku selalu mengizinkan mereka menikmati hidup di luar sana. Bagi yang ingin ketemu istrinya pun aku persilahkan. Dengan catatan harus p**ang sebelum Senin pagi.

"Mbak, tadi mau ketemu siapa?" tanyaku memastikan bahwa yang ingin dia temui adalah mas Farhan—suamiku.

"Banyak tanya!" Dia memutar bola matanya. Melangkah mendekati pintu.

Sepertinya dia mau masuk rumah. Kurang sopan! Padahal pemilik rumah saja belum mempersilakan masuk.

"Silfa?"

Aku dan wanita itu menoleh ke sumber suara.

"Mas Farhan?" Secara bersamaan aku dan wanita itu menyebut nama mas Farhan.

Kulihat mas Farhan kaget setengah mati. Sedang wanita yang tidak kukenal itu menghampiriku.

"He, pembantu! Berani sekali kamu memanggil calon suamiku mas? Kamu siapa? Pembantu tetap pembantu. Jangan ngarep banyak, deh."

Kutatap mas Farhan dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Bahkan dadaku pun terasa sangat sesak. Benarkah wanita itu calon istrinya suamiku? Pantas saja begitu berani dia menghardikku. Merasa dirinya tak lama lagi akan menjadi istri dari pemilik rumah.

"Mas, dia siapa?" tanyaku lembut, diiringi dengan air mata yang sudah jatuh di kedua p**i.

"Mas, mas! Kamu siapa, sih? Kurang sopan banget! He, kedudukanmu di sini sangat rendah. Pem–ban–tuuu!" tekan wanita yang mengaku sebagai calon istri suamiku.

Apapun yang dikatakannya, aku tidak peduli. Lebih baik fokus pada suamiku yang kini hanya terdiam. Tak mampu berkata-kata.

"Jawab, Mas! Dia siapa?!"

Kini intonasi suaraku meninggi. Menggoyangkan kedua bahunya. Meminta sebuah jawaban.

"Mas Farhan, pembantu ini kenapa memanggil mas dengan sebutan mas, sih? Dia siapa?" Giliran wanita itu bertanya.

Suamiku langsung menjawab, "Nabila. Bukan seorang pembantu. Dia istriku."

"Oh, jadi dia istri Mas? Pantes saja mas berpaling. Dia enggak secantik yang kupikir."

Dengan sombongnya dia bicara. Bersedekap dada memandangku seraya tersenyum miring.

Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka suamiku selingkuh. Aku berlari ke kamar. Menangis sejadi-jadinya.

Pria yang aku harapkan bisa hidup bersama di dunia dan akhirat, malah berkhianat. Siapa yang tidak sakit hati?

"Nabila, Nabila tunggu, Sayang! Mas bisa jelasin."

Masih bisa kudengar suamiku berteriak. Kuyakin dia pasti akan menyusul. Sejurus kemudian, benar saja mas Farhan sudah berada di ambang pintu. Masuk, lalu mengunci kamar. Sedang wanita tadi, entah ke mana dia.

"Maafkan mas, Nabila. Mas khilaf. Sudah dua pekan ini mas tidak pernah berhubungan dengannya," terang mas Farhan.

"Sudah berapa lama Mas? Sudah berapa lama Mas berhubungan dengan dia? Sejauh mana hubungan kalian berdua?!"

Aku melempar mas Farhan dengan bantal.

"Aku membencimu Farhan Sanjaya. Aku membencimu!" teriakku.

Kembali keluar. Malam ini aku memilih tidur di kamar tamu. Tidak ada yang jauh lebih sakit dari dikhianati seorang yang kita cinta. Aku tidak siap bila harus melihat wajah pengkhianatnya.

Aku muak!

***

Pagi-pagi sekali aku terbangun dan mendapati diriku tidur di kamar bersama suami. Mungkin suamiku yang memindahkan aku ke sini saat tertidur.

"Sayang, sudah bangun? Mandi sana, pagi ini kita jalan-jalan," ajak mas Farhan. Wajahnya sudah segar, sudah berpakaian rapi.

"Ajak wanita itu saja, Mas. Jangan aku. Aku tidak berarti di hati Mas," balasku.

"Nabila, mas 'kan sudah minta maaf. Tidak usah dibahas lagi, d**g, Sayang. Mas janji tidak akan mengulangi. Silfa juga sudah mas usir, kok."

"Sudahlah, Mas. Aku capek! Kalau mau jalan. Jalan aja sana!"

Tidak semudah itu aku melupakan pengkhianatanmu mas. Maaf, saat ini sakit hati yang mas ciptakan sudah sangat mendalam.

"Mas, mohon ... Sayang. Maafkan mas. Plis!"

Berkali-kali mas Farhan memohon. Aku akhirnya memaafkan. Tapi pagi ini aku tidak ingin jalan-jalan bersamanya. Aku izin ke rumah mama selama satu pekan.

"Mas antar, yah."

"Tidak usah. Aku bisa sendiri. Rumah mama 'kan dekat," balasku seraya mengemasi barang yang akan kubawa ke sana.

Sejurus kemudian semuanya sudah aku siapkan. Aku sama sekali tidak mandi. Hanya ganti pakaian saja.

"Aku jalan, Mas."

"Hati-hati, Sayang. Kabari jika mau p**ang. Mas akan jemput."

Aku tak menjawab. Langsung keluar menuju mobil pribadiku. Naik dan menjalankannya. Tidak kuhiraukan mas Farhan yang melambaikan tangan.

Tetes demi tetes air mataku jatuh. Masih tidak menyangka mas Farhan yang aku percaya setega itu mengkhianati kepercayaanku.

"Astaghfirullah."

Terpaksa aku kembali ke rumah saat menyadari sesuatu. HP-ku tertinggal di kamar.

Tiba di rumah, aku dikagetkan dengan sebuah suara desahan aneh dari kamar tamu.

Dadaku kian bergemuruh. Mungkinkah itu suara wanita selingkuhan suamiku? Tapi mana mungkin? Bukankah suamiku sudah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya?

Perlahan aku mendekat. Membuka pintu kamar yang tak terkunci itu.

'Astagfirullah.'

Kepalaku terasa pusing.

Bersambung

Baca selengkapnya di KBM App
Judul ANAK PEMBANTUKU SEORANG PEREBUT
Penulis Akhtaria Syafiura

Kisah pilu seorang gadis yang memilih tidak mudik Lebaran karena merasa hanya dijadikan mesin uang oleh orang tuanya.Bag...
11/27/2025

Kisah pilu seorang gadis yang memilih tidak mudik Lebaran karena merasa hanya dijadikan mesin uang oleh orang tuanya.

Bag. 7b

Tut ... Aisyah menutup sambungan telepon sepihak. Hatinya sidah taknkuat mendengar ocehan ibunya dari seberang. Sebelum merepet kemana-mana.

Aisyah menatap layar ponselnya yang gelap. Sesuatu dalam hatinya retak semakin dalam.

Tak ada tanya kabar. Tak ada kata rindu. Tak ada "Hati-hati di jalan kalau p**ang."

Hanya soal uang. Lagi dan lagi.

Tiba-tiba, hatinya benar-benar mantap.

Tahun ini, dia tidak akan p**ang.

"Abang denger sendiri kan, Bang." Aisyah menahan buliran bening di sudut mata yang hampir saja tumpah.

Renald mengangguk, sangat berbeda jauh dengan keluarganya yang selalu bertanya kapan p**ang, ayah rindu, ibu rindu. Mungkin ini ujian untuk Aisyah yang selalu menuruti kata orang tuanya.

Baru kali ini Renald melihat dia sedikit membangkang dan berontak

"Ya udah, Bang, aku masuk dulu. Besok kita masih ada kerjaan sebelum libur, kan?" Aisyah bangkit, menepuk-nepuk celananya yang sedikit basah.

Renald ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa menghapus kesedihan di mata gadis itu. Tapi sebelum sempat bicara, Aisyah sudah melangkah pergi, meninggalkan jejak basah di tanah merah yang mulai mengering.

Renald menatap punggung sahabatnya itu. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Firman Tuhan terlintas di benaknya, tentang bagaimana seorang anak wajib menghormati orang tua, bagaimana seorang ibu adalah jalan ke surga.

Namun, bagaimana jika orang tua justru menjadi alasan seorang anak merasa tak punya tempat untuk p**ang?

Renald menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, dia tak tahu harus berkata apa. Dia pun bingung harus berbuat apa. Ingin sekali ia bawa Aisyah p**ang ke rumahnya, membawakan Aisyah keluarga baru yang pasti akan menerima Aisyah dengan riang.

Namun langkah Aisyah terhenti. Bukan karena suara Renald yang memanggilnya, tapi karena suara ledakan kecil dari arah barak lama yang sudah lama tak dipakai.

*Duar!*

Tanah di bawah mereka seakan bergetar pelan. Renald refleks berdiri, pandangannya menajam.

"Ais, kamu denger itu?"

Aisyah menoleh, alisnya bertaut. "Iya... barak tua, kan?"

Seketika, sirene darurat berbunyi. Renald langsung mencabut HT dari pinggangnya.

"Pos dua, pos dua! Ada ledakan kecil di sektor barak lama, mohon tim evakuasi bersiap. Ulangi, barak lama—ada kemungkinan kebakaran kecil atau kerusakan jalur gas," suara dari radio terdengar tergesa-gesa.

Renald menatap Aisyah, dan Aisyah mengangguk sebelum dia sempat bertanya.

"Aku ikut, Bang."

Mereka berlari menuju arah sumber suara.

Asap tipis mulai terlihat dari kejauhan. Lampu-lampu darurat di sekitar area tambang menyala bergantian, menciptakan bayangan panjang dan mencekam.

Begitu sampai di lokasi, beberapa petugas lain sudah berada di tempat. Namun yang membuat Aisyah merinding bukanlah asap atau retakan di tanah—melainkan suara lirih seperti orang memanggil.

"Syah…"

Renald berhenti di sebelahnya. "Dengar, nggak?"

Aisyah mengangguk pelan. Suara itu… seperti suara perempuan, serak dan lirih.

"Syah … p**ang … p**anglah…"

****

Bersambung...

Selanjutnya baca di K-B-M app
Judul: MENANTI KAU PULANG
Penulis: Ayaa Humaira

"Buat kem4ti4nnya itu seolah-olah murni karena kecel4kaan. Atau terserah kalian, tapi buatlah serapi mungkin. Jangan sam...
11/27/2025

"Buat kem4ti4nnya itu seolah-olah murni karena kecel4kaan. Atau terserah kalian, tapi buatlah serapi mungkin. Jangan sampai suamiku curiga, kalo ternyata ada yang tidak beres dari kematian putri kesayangannya itu. "

"Siap, Bu. Besok kita akan menjalankan semuanya dengan sangat rapi, seperti sebelumnya."

"Bagus. Lagian, menghabisi ibunya tanpa jejak aja kalian bisa. Masa anaknya yang masih ingusan itu kalian gagal."

Aku berdiri dengan tubuh gemetar, di balik dinding pembatas antara kolam renang dan halaman belakang. Rasa takut dan marah berpadu menjadi satu. Meski masih kelas 3 SD, tapi aku sudah bisa mencerna dengan baik apa yang sedang dibahas oleh Ibu tiriku, dan teman-temannya di halaman belakang, kala itu.

Dan andai saja tidak ada yang menarik tubuhku ke belakang, lalu telapak tangan besarnya membekap mulutku. Mungkin akan dengan gegabahnya aku langsung melabrak Ibu tiriku, yang saat itu sedang tertawa bersama teman-temannya. Seolah rahasia besar mereka benar-benar tidak ada yang mengetahui.

"Ssttt, ini paman. Ayo cepat berkemas. Bawa barang-barang yang kamu anggap paling penting saja. Dan secepatnya kita pergi dari rumah ini," ucap seseorang, yang suaranya sangat aku kenali.

Kalau saja waktu itu tidak ada yang membantuku untuk kabur. Mungkin hari ini aku nggak akan bisa melihat wanita itu lagi. Wanita yang tujuh belas tahu lalu sudah menghabisi nyawa Ibu, dan juga membuatku terbuang dari rumah sendiri.

"Oh, tamunya udah datang, ya?" Seseorang berucap lirih di samping telingaku.

Dan tanpa menoleh pun aku sudah tahu suara siapa itu.

"Iya, Mbok. Mereka itu--"

"Mereka itu calon besannya Pak Kusuma, Nduk. Keluarga Pranoto. Nah, yang pake gaun merah itu yang mau dijodohkan sama Mas Athar. Cocok ya mereka. Sama-sama anak konglomerat."

Aku hanya mengangguk pelan, menanggapi ucapan Mbok Tarmi. ART paling senior di kediaman keluarga Kusuma. Dan ia juga yang membawaku ke rumah ini. Sampai akhirnya bisa bertemu lagi dengan mereka, keluarga Pranoto.

"Ayah." Aku bergumam pelan, melihat pria paruh baya dengan balutan jas hitam, yang duduk tepat di depan Pak Kusuma.

Aku merindukannya. Selama tujuh belas tahun aku hanya bisa menatapnya dari layar kaca.

"Bersabarlah, Arsyila. Tunggu sebentar lagi, kita akan merebut kembali apa yang seharusnya jadi milik kamu," ungkap seseorang, yang selama ini menyembunyikan keberadaan dan juga menjagaku.

"Heh, malah ngelamun. Ayo buruan tata makanannya."

Aku sedikit terperanjat, saat Mbok Tarmi menepuk pelan bahuku. Lalu menoleh ke belakang, melihat teman-teman mulai menata hidangan di atas meja makan.

"Si Lala pasti lagi bayangin gimana rasanya jadi keluarga konglomerat. Dari tadi nggak kedip liat keluarga Pranoto," ledek Mbak Diah, dengan logat Jawa yang sangat kental.

Sementara aku hanya cengengesan menanggapi ledekannya. Lalu segera membantu yang lain menata makanan, dan menyiapkan piring untuk nanti keluarga Pak Kusuma dan tamunya makan malam.

"Buat kaum rakjel kayak kita ini. Emang paling enak bayangin jadi anak konglomerat, atau paling nggak jadi menantu merekalah," ucap Mbak Sri, diiringi kekehan geli kita semua.

Sementara di dalam hati aku bergumam, bagaimanapun caranya. Suatu saat aku akan merebut kembali tahtaku di keluarga Pranoto.

"Lho, Mas Athar kok, di belakang? Mau kabur lagi, ya?" Ucapan Mbok Tarmi itu spontan membuatku menoleh.

Melihat Pak Athar yang datang dari arah belakang. Pantas waktu mengintip tadi, aku nggak melihat keberadaan lelaki tampan itu.

"Ah, nggak kok. Kebetulan saya baru p**ang, dan nggak enak kalo harus masuk lewat depan, " sahutnya, diikuti senyum simpul. Menanggapi ledekan Mbok Tarmi.

Pasalnya, dari gosip yang aku dengar. Pak Athar ini entah sudah berapa kali selalu menghindar tiap kali mau dijodohkan, dengan gadis-gadis dari rekan bisnis ayahnya.

"Kalo sekarang nggak bakal nolak lagi pasti ya, Mas Athar. Soalnya Mbak Elena kan cuantik pol," tutur Mbak Sri, yang disahuti kekehan oleh Pak Athar.

Sebelum berlalu ke kamarnya. Lelaki itu pun sempat menimpali sekali lagi.

"Nggaklah, biasa aja, Mbak. Cantikan juga sampean."

Aku menatap cengo Pak Athar. Ketika dia menimpali ucapan Mbak Sri, tapi kedua matanya justru menatapku cukup lama.

***
"Sampean kok, malah di sini, Mbak?" tanyaku, pada Hanum. Anak bungsu Pak Kusuma, sekaligus anak perempuan satu-satunya.

Gadis itu malah ikut ngerumpi dengan kita, para ART di rumahnya. Ketimbang ikut jamuan makan malam mewah yang diadakan sang ayah.

"Halah, kamu kayak nggak tau aku aja, La. Aku paling males nimbrung di acara perjodohan Mas Athar gitu. Membosankan," ucapnya, sembari mengunyah sukun goreng yang dibuat oleh Mbok Tarmi.

Meski statusnya sebagai majikan, tapi Hanum memang sudah biasa nimbrung dengan kita begini. Dan selain sebagai majikan, dia pun salah satu teman dekatku di kampus.

Iya, aku kuliah sembari bekerja. Dulu, sebelum kerja di rumah Pak Kusuma. Aku kerja di warung sembako, yang akhirnya mempertemukan aku dengan Mbok Tarmi. Kemudian ia membawaku ke rumah ini, yang kebetulan saat itu membutuhkan tambahan ART.

Meski sempat terkejut, karena ternyata di rumah ini ada Pak Athar dan Hanum. Aku yang p**ang kuliah selalu disibukan dengan mencari uang. Jadi nggak pernah sekalipun punya kesempatan main ke rumah Hanum. Seringnya dia yang datang ke kostanku.

Sedangkan Pak Athar sendiri, dia adalah salah satu dosen di fakultas Hukum. Aku sudah sering berhadapan dengannya dari semester awal, sampai sekarang. Selain itu, dia pun seorang pengacara yang sudah memiliki firma hukum sendiri.

"Liat, Mas Athar aja udah pengen kabur dari acara makan malam ini."

Hanum menunjukan layar ponselnya, yang memperlihatkan isi pesan dari Pak Athar.

"Mau tak kasih tau rahasia?" imbuh Hanum, yang langsung diangguki oleh kita semua.

"Kenapa Mas Athar selama ini selalu nolak perjodohan, dan nggak pernah pacaran dengan siapa pun? Ya, karena dia masih percaya kalau perempuan yang dia s**a itu masih hidup," ungkap Hanum dengan suara pelan, tapi aku dan yang lain malah saling berpandangan bingung.

"Maksudte piye toh, Mbak?" tanya Mbak Sri, suaranya pun tak kalah pelan dari Hanum.

"Jadi, sebenarnya Mas Athar itu memang s**a dengan salah satu anak dari keluarga Pranoto. Tapi, bukan Mbak Elena ataupun adiknya itu. Kalian pernah denger kan, isu tentang kematian anak Om Baskara dari istri pertamanya beberapa belas tahun lalu?"

Yang lain mengangguk mendengar pertanyaan Hanum. Sementara aku dibuat terpaku dengan fakta itu.

"Nah, Mas Athar sampe hari ini nggak percaya kalau anak sulung Om Baskara itu beneran udah meninggoy. Karena sampe hari ini memang nggak pernah ditemukan jasadnya," tutur Hanum, dengan mimik wajah yang serius.

"Tapi, kenapa Pak Athar bisa s**a sama perempuan itu? Sementara dia udah hilang belasan tahun," ucapku, dan tanpa sadar telapak tanganku yang sudah berkeringat mengepal.

"Karena, waktu kecil dulu Mas Athar sering main ke rumah Om Baskara, dan ketemu dia. Biasalah, cinta-cinta monyet. Tapi sayangnya, gadis itu keburu menghilang. Itu juga yang bikin Mas Athar jadi pengacara. Diam-diam dia masih menyelidiki kejadian itu. Tapi ini rahasia, ya. Jangan ada pengkhianat di antara kita."

Mendengar penjelasan Hanum, aku seperti mendapat angin segar. Itu artinya, akan ada lagi yang membantuku. Tapi, gimana caranya memberi tahu Pak Athar, kalau aku lah anak dari seorang Baskara Adji Pranoto, yang sudah dianggap mati dari belasan tahun lalu itu?

Bersambung

Judul : Kembalinya Pewaris Tahta
Penulis : Hana Jasmine

“Dika! Mama nggak setuju kamu menikah lagi!” teriak Ibu mertuaku lantang. Menolak keinginan anak lanangnya menikah lagi....
11/26/2025

“Dika! Mama nggak setuju kamu menikah lagi!” teriak Ibu mertuaku lantang. Menolak keinginan anak lanangnya menikah lagi.

Kurem*s baju d@da ini. Sungguh sakit sekali ya Allah, saat lelaki yang telah sebelas tahun menikahiku itu, hari ini ijin untuk menikah lagi.

“Bu, Dika ingin punya anak. Sebelas tahun Dika menikah dengan Hilda, tak ada tanda-tanda kehamilan,” bantah Mas Dika. Semakin memperdalam lvka di dalam sini. “Apa Ibu tak ingin memiliki cucu?”

Ibu terlihat membuang muka. Wajahnya terlihat sangat murka.

“Ibu ingin sekali memiliki cucu. Tapi anak kalian. Dari Rahim Hilda bukan dari rahim wanita lain!” ucap Ibu tajam.

Kupejamkan mata yang terus mengelvarkan air mata. Sungguh perasaan h@ncur di dalam sini tak bisa aku jelaskan dengan kata. Terus kurem*s baju d ini. Untuk mengontrol emosi yang siap naik ke ubun-ubun.

“Tapi, Bu! Sebelas tahun! Tapi, Hilda tak ada tanda-tanda kehamilan,” ucap Mas Dika masih kekeuh. Dia terus memojokanku, atas belum adanya zuriat dalam pernikahan ini.

Ya Allah ... kuatkan hamba!

“Dika! Ibu malu dengan sikapmu! Di mana hatimu! Kehamilan itu mutlak kuasa Allah. Bukan keinginan Hilda juga. Ibu yakin Hilda juga tak mau ada di posisi ini! Ibumu ini juga perempuan Dika! Ibu tahu persis bagaimana sakit dan perihnya perasaan Hilda saat kamu ijin meminta nikah lagi!” sungut Ibu dengan napas yang memburu.

Astagfirullah ... hati ini semakin terasa bergemuruh hebat. Sesak sekali ya Allah. Aku memang masih diam. Karena masih terus menata hati, yang terasa sangat sesak ini.

“Pokok Dika tetap kekeuh ingin menikah lagi. Karena Dika ingin punya anak. Dan kamu Hilda, jangan berpikir aku egois. Harusnya kamu yang jangan egois! Kalau kamu tak bisa punya anak, bukan berarti aku harus tak punya anak jugakan?” ucap Mas Dika. Semakin menghujam t4jam di dalam sini. Semakin menggores hati yang selama ini setia akan s**a dvkanya pernikahan ini.

“Dika!” teriak Ibu dengan nada lantang. Matanya melotot tajam, mengarah ke Mas Dika. Anak laki-laki satu-satunya.

Saat ibu terlihat melotot tajam seperti itu, aku lihat ekspresi Mas Dika sedikit menciut. Ia nampak sedikit menunduk dan terlihat sedikit salah tingkah.

“Apa kamu lupa, siapa yang membiayaimu saat kamu terkena usvs buntu? Apa kamu lupa, saat kamu kecel@kaan empat tahun yang lalu, siapa yang setia mendampingimu? Apa kamu lupa, dana dari mana biaya terapi kamu pasca kecelak@an?” tanya Ibu dengan ekspresi melotot.

Mas Dika terlihat nyengir dan mengacak rambutnya kasar. Matanya terlihat tak fokus.

“Kamu lupa Dika? Siapa yang begitu tulus denganmu? Hilda! Bahkan ia sampai rela menjual tanah w4risan orang tuanya, demi bisa melihatmu berjalan kembali! Demi bisa rutin membawamu terapi tanpa absen. Apa kamu lupa itu semua!” sungut Ibu lantang. Nada suara itu aku dengar sangat bergetar. Ada nada suara kecewa yang mendalam.

Mas Dika terlihat meneguk lvdah. Mengacak kasar rambutnya lagi. Aku, masih memilih diam.

“Dika ingat itu semua, Bu! Dika nggak lupa. Tapi Dika menginginkan hadirnya seorang anak. Anak Dika, dar4h d@ging Dika!” balas Mas Dika, semakin terasa menggores lvka di dalam sini.

Aku lihat d4da Ibu terlihat naik turun. Emosinya aku lihat sudah sangat memuncak.

“Kalau kamu ingat, kenapa kamu tega melvkai hati wanita yang sangat tulus mencintaimu, Dika! Kamu mungkin bisa memiliki anak dari perempuan lain. Tapi, kamu tak akan menemukan cinta setulus cinta Hilda padamu!” ucap Ibu yang masih terus membelaku.

Ibu Wiji Astuti. Ibu Mertua yang sangat baik menurutku. Mertua idaman para menantu yang memiliki masalah sama denganku. Masalah susahnya mendapatkan garis dua, tanda keh4milan.

“Apa kamu lupa, Dika! Saat kita di usir Bank, karena almarhum bapakmu terlilit hvtang, hingga akhirnya semua di sita, siapa yang membantu kita saat itu? Almarhum orang tuanya Hilda, Dika! Apa kamu lupa itu? Hingga tega kamu melukai hati anak mereka? Hah? Ibu nggak habis pikir!” sungut Ibu lagi. Mencoba untuk mengingatkan anak lanangnya.

Aku perhatikan Mas Dika, matanya terlihat memerah. Kemudian mata itu terlihat berkaca-kaca.

“Dika ingat, Bu! Dika ingat semuanya ... tapi ....” ucap Mas Dika lirih, seraya menunduk. Tak melanjutkan ucapannya itu.

“Tapi kenapa kamu tega ingin menduakan cintanya?” sungut Ibu melanjutkan ucapan Mas Dika. Mas Dika terlihat menggeleng pelan. Kemudian terlihat air mata menetes begitu saja.

“Tapi Dika sudah menghamili perempuan lain, Bu. Dan dia memaksa akan menggugvrkan jika Dika tak mau menikahinya. Tolong ijinkan aku menikahinya! Aku ingin memiliki anak. Anak dari dar@h dag!ngku,” jelas Mas Dika, cukup membuatku tercengang.

“Apa???” teriak Ibu.

Glegaaaarr ....

Bagai di sambar petir di siang hari, aku mendengar penjelasan itu. Aku lihat Ibu beranjak dan mendekati anak lanangnya.

Pl*kkk ....

Satu tamparan mendarat begitu saja di p**i Mas Dika.

Pl*kk ....

Lagi. Dua kali ibu menamparnya. Sorot mata murka sangat terlihat jelas.

“Pergi kamu dari rumah ini! Ibu jijik melihatmu! Bahkan Ibu menyesal telah melahirkanmu! Mulai detik ini kamu bukan anakku! Anakku hanya Hilda! Dan kamu mulai detik ini Ibu anggap telah mati! Memalvkan!” sungut Ibu.

Gleeegaaaarr .... saat Ibu baru saja menghentikan ucapannya, suara petir terdengar menyambar. Tak berselang lama, hujan turun dengan derasnya.

“PERGI!!!” teriak Ibu lagi, mengusir Mas Dika dalam keadaan baru saja turun hujan dengan sambaran kilat dan petir.

Mas Dika terlihat menganga. Kemudian dengan sangat berat ia beranjak. Semakin erat aku merem*s baju d*da ini. Sungguh hati ini sangat pilu.

“Mas ....” sapaku sebelum ia melangkah keluar. Ia terlihat menghentikan langkah kakinya. Kemudian menoleh pelan ke arahku.

“Aku pikir kamu tahu betul bagaimana hatiku. Bagaimana inginku. Kamu tahu sekali, kalau ini bukan inginku? Bukan kuasaku. Ini semua mutlak kuasa Allah dan kamu tahu itu.” Ucapku dengan nada yang sangat berat, seolah tercekat.

Aku menoleh ke arah Ibu, wanita yang sangat aku hormati itu nampak tegar, walau p**inya telah basah dengan air mata.

“Maafkan aku Hilda!” ucap Mas Dika, dengan berat aku menganggukan kepala ini.

“Aku pasti memaafkanmu! Tapi, aku hanya minta satu hal darimu, sebelum kamu menikahi perempuan yang telah hamil anakmu itu,” ucapku mengajukan syarat.

“Katakan syarat apa yang kamu minta? Aku pasti kabulkan, asal kamu memberiku ijin dan merestuiku, untuk menikah lagi Aku menginginkan anak itu Hilda,” tanya Mas Dika. Aku menoleh ke arah Ibu, ia nampak membelalakan mata memandangku.

“Silahkan menikah lagi! Karena perempuan itu sudah terlanjur h@mil anakmu! Tapi, jatuhkan talak padaku! Agar kamu bisa leluasa untuk menikah lagi,” pintaku.

Aku lihat mata Mas Dika membulat. Dan aku lihat Ibu menjatuhkan badannya dengan lemas di sofa.

"Maaf ... aku jatuhkan talak satu untukmu!"

Gleegaaar ....

Lagi aku mendengar suara petir menyamb@r-nyamb@r. Ternyata Mas Dika memang menginginkan anak itu, yang entah dari rah1m wanita mana.

Sebelas tahun pengorbananku, nampaknya sudah tak ia pikirkan lagi.

Ya Allah ... jika tak ada janin yang berkembang di rahimku, itu semua mutlak kuasaMU. Bukan inginku.

"PERGI KAMU! JANGAN BALIK LAGI KE RUMAH INI!!! BAHKAN SAAT IBUMU INI SUDAH TIADA NANTI, JANGAN DATANG KE MAKAMKU! HAR* M BAGIMU MEMBAWA APAPUN KELUAR DARI RUMAH INI! KELUARLAH HANYA DENGAN APA YANG MENEMPEL DI BAD*NMU!"

Teriak Ibu lantang. Cukup membuatku tercengang. Hingga akhirnya aku lihat Mas Dika tetap memilih pergi.

Astagfirullah ... ini semua bukan inginku!
...................................
Sudah tamat di KBM app
Judul : Bukan Inginku
Penulis : Naimatun_Niqmah

"Istrimu itu sudah miskin, gak pandai masak p**a! Menyedihkan sekali hidupmu, Rud!" umpat Ibu membuatku lekas berbalik b...
11/26/2025

"Istrimu itu sudah miskin, gak pandai masak p**a! Menyedihkan sekali hidupmu, Rud!" umpat Ibu membuatku lekas berbalik badan.

"Sssttt, jangan begitu, Bu. Nanti Alma dengar," pintaku.

"Bodo amat! Aku memang sengaja, biar istrimu dengar. Lagian bisa-bisanya kamu nemuin istri sebo—doh dia!" Ibu masih meracau seraya menuang masakan buatan Alma ke dalam tong sampah.

Akhirnya aku memilih pergi dari samping Ibu, jika kuladeni terus menerus, beliau tidak akan berhenti berbicara.

"Loh, mau ke mana?" tanyaku bingung saat membuka pintu kamar dan mendapati Alma sedang mengemasi pakaian.

"Maaf, Kang. Aku udah nggak kuat, aku mau pergi aja. Setelah setahun nikah sama kamu, dan selama itu p**a aku mencoba meluluhkan hati Ibumu, tapi gak pernah ada hasilnya." Alma tersedu, tangannya masih sibuk memasukkan baju-baju ke dalam ransel besar.

Kuhela napas dalam, memilih diam tapi lekas memeluknya.

"Aku minta kamu sabar sedikit lagi, Sayang. Sedikit ... saja," ucapku.

Alma tak berontak, tapi tangisnya semakin menjadi.

"Nanti, setelah lamaranku di pabrik aci diterima. Aku janji akan mencari kontrakan, dan kita gak perlu tinggal di sini lagi," lanjutku.

Alma tak menjawab, dia masih sibuk menangis. Namun aku yakin, hatinya menyetujui permintaanku.

***

"Masyaallah, memang kamu itu menantu terbaik, Neng!" Ibu bersorak gembira saat kakak iparku, alias menantu ibu memberikan sesuatu.

"Ah, ini gak seberapa, Bu. Nanti kalau Ajeng udah lolos P3K, Ajeng bakalan kasih tas yang lebih bagus," katanya terdengar bangga.

"Udah, jangan repot-repot. Lebih baik uangnya ditabung, biar proses pembangunan rumahmu cepat dimulai." Ibu berujar dengan sangat ramah, berbeda sekali jika pada istriku, Ibu selalu sewot dan ketus.

"Bu, Rudi berangkat dulu." Selesai mengikat tali sepatu, aku kembali berdiri.

Ibu hanya mengangguk, sedang Alma yang sedang menyapu ruangan tamu kini menghampiriku untuk mencium punggung tangan ini.

Namun baru saja sampai ke depan teras, aku harus berhenti melangkah karena ada tiga orang asing yang berdiri di depan pagar bambu rumah ini.

"Maaf, Dek. Saya mengganggu. Mau tanya, rumah ya Ibu Salsih di mana, ya?" tanya wanita yang tidak terlalu muda tapi penampilannya sangat mewah.

"Ini rumahnya Bu Salsih, Bu. Ada apa, ya?" tanyaku bingung.

"Alhamdulillah ... akhirnya ketemu juga setelah muter-muter. Maaf, Dek. Katanya yang namanya Alma tinggal di sini?" tanyanya lagi membuatku penasaran.

"Betul, Bu. Alma istri saya. Ada perlu apa, ya?"

"Siapa, Rud?" Suara Ibu dari belakang membuatku menoleh.

"Ini, Bu. Ada yang cari Alma," jawabku.

Ibu terdiam, tapi menatap orang asing di hadapan itu dari ujung kaki sampai kepala.

"Almaaa! Almaaaa! Budeg banget, sih! Almaaaa!" teriak Ibu, membuat istriku yang sedang memegang sapu tergopoh-gopoh keluar.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Nih, ada yang cari kamu. Ada urusan apa mereka sama kamu? Jangan bilang kamu ngutang?" tebak Ibu terdengar mustahil.

"Jadi, ini Alma?" ujar wanita yang dandanannya mirip orang kota itu.

Alma pun mengangguk.

"Yaa Allah, anakku ...." Wanita itu meraung, tangisnya pecah bersamaan dengan tangannya yang merangkul tubuh Alma.

Judul ; Istri Miskinku Mendadak Sultan
Penulis : Azu Ra

“Aku talak kamu, Kaisya Fatimah Adnan!”Kata-kata itu menghantam dada Fatimah seperti batu besar yang dijatuhkan dari lan...
11/26/2025

“Aku talak kamu, Kaisya Fatimah Adnan!”

Kata-kata itu menghantam dada Fatimah seperti batu besar yang dijatuhkan dari langit. Suara riuh aula reuni mendadak lenyap seketika. Semua orang menoleh. Musik berhenti. Gelas-gelas di meja bergetar halus. Namun yang lebih bergetar adalah tubuh Fatimah sendiri.

Ia tidak menyangka kedatangannya ke sana, justru berakhir dengan perceraian di depan puluhan pasang mata.

Fatimah terdiam, membeku, dan tak mampu untuk berkata-kata.

Detik itu juga, Fatimah seolah teringat dengan enam puluh menit yang telah ia lalui sebelumnya. Waktu di mana ia tidak mengira, bahwa setelahnya ia akan mendengar kata talak tersebut dijatuhkan padanya.

Saat itu, Fatimah baru saja selesai melipat sajadah ketika menyadari ponselnya bergetar. Ia beranjak untuk mengecek ponselnya dan mendapati Dinda, sahabatnya, telah menghubungi beberapa kali.

“Assalamualaikum, Din?”

“Waalaikumsalam. Syukurlah diangkat juga. Dari tadi loh aku telepon.”

“Aku lagi salat tadi, Din. Ada apa?”

“Fat… aku lihat suami kamu di kafe. Tapi dia nggak sendiri. Dia bawa cewek.”

Deg.

Fatimah membeku. Kedua kelopak matanya melebar, sementara wajahnya memucat di balik cadar. Ada jeda cukup lama sebelum Fatimah menanggapi ucapan Dinda. Meskipun isi kepalanya berkecamuk mendengar kabar tersebut, tetapi lidahnya kelu.

“Fat?”

Suara panggilan Dinda dari seberang panggilan menyadarkan Fatimah dari isi kepalanya yang berisik. Ia menarik napas, berusaha untuk tetap tenang.

“Kamu yakin itu Mas Bayu?”

“Yakin seribu persen. Aku bisa kirim fotonya kalau kamu nggak percaya. Tapi kurang jelas sih, makanya kamu ke sini aja deh pastiin sendiri.”

“Iya, kirim alamatnya, Din. Aku ke sana sekarang.”

“Oke. Cepet ya.”

Setelah panggilan berakhir, Fatimah mendapatkan lokasi kafe yang dimaksud. Dengan tubuh gemetar dan perasaan campur aduk, ia segera pergi ke sana dengan pakaian seadanya—serba hitam yang menjuntai menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya.

Tak lama setelah sampai di kafe itu, matanya menangkap sosok Dinda yang sudah menunggunya di halaman parkir kafe elit tersebut. Dinda terburu-buru menghampirinya. Wajah wanita itu kelihatan prihatin.

“Yang sabar ya, Fat.” Gadis itu memeluknya. Fatimah bingung, perasaannya semakin resah.

“Di mana Mas Bayu?”

“Di aula sana, ayo kutunjukin.” Dinda menuntunnya ke sana. Setiap langkah terasa berat. Ia masih berharap yang dilihat Dinda bukan Bayu—melainkan pria lain yang kebetulan mirip. Namun…

Sesampainya di tempat itu, Fatimah membeku. Ternyata apa yang dikatakan Dinda benar. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, Bayu sedang asyik berdansa dengan wanita lain. Mereka tertawa, saling menatap penuh cinta. Tatapan yang belum pernah Bayu berikan padanya selama pernikahan mereka.

Bayu dan Fatimah memang menikah bukan karena cinta, melainkan karena perjodohan. Mereka bahkan belum sah secara negara—baru sekadar menikah siri yang dilakukan di rumah sakit ketika Ayah Fatimah menghembuskan napas terakhirnya di sana.

Sebenarnya, sejak awal Bayu sudah menolak dijodohkan dengannya. Namun hutang budi membuatnya tak bisa berkutik. Bayu bisa menjadi seorang tentara karena jasa ayahnya. Fatimah pikir setelah pernikahan itu Bayu akan belajar menerimanya. Tapi ternyata…

“Mas…”

Suara Fatimah bergetar saat mendekati suaminya.

Bayu menoleh—dan wajahnya langsung berubah kaget.

“Fatimah? Ngapain kamu di sini?”

“Siapa perempuan ini, Mas?” bukannya menjawab, Fatimah justru balik bertanya. Ia menunjuk perempuan cantik bergaun merah yang berada di samping suaminya.

Perempuan bergaun merah itu mendengus, lalu melipat tangan di dada. “Aku? Aku pacarnya. Kamu siapa?”

Fatimah mengerjap. “Pacar?” Lalu tatapannya beralih kepada Bayu.

“Mas, apa itu benar? Dia… pacar kamu?” Fatimah menahan getaran suaranya.

“Sayang, dia siapa sih?” Wanita bergaun merah itu merangkul lengan Bayu, menempelkan tubuhnya tanpa jarak sama sekali.

“Dia—”

“Aku istrinya!” jawab Fatimah cepat.

“What?” Wanita bergaun merah itu terkejut.

Sementara itu Bayu, yang kesal, langsung menarik Fatimah menjauh dengan kasar.

“Pulang, Fat!” usir Bayu. Ia bahkan dengan teganya mendorong Fatimah pergi.

“Nggak! Sebelum kamu jelasin semuanya sama aku. Siapa perempuan itu dan kenapa kamu ajak dia ke sini?”

“Nggak usah ngeyel! Pulang sekarang! Jangan bikin aku malu!” bentak Bayu.

“Oh, masih punya malu kamu? Terus kenapa kamu nggak malu selingkuh dengan wanita lain di tempat umum seperti ini?”

“Jaga bicara kamu, ya! Aku itu bukan selingkuhannya. Aku calon istrinya! Bahkan kami sudah pengajuan nikah dinas ke kesatuannya Bayu!” sahut wanita itu, tak terima.

Fatimah tersenyum kecut. Satu lagi fakta mengejutkan yang ia terima.

“Apa itu benar, Mas? Kamu mau pengajuan nikah dinas sama dia?”

Bayu diam saja.

Napas Fatimah tercekat. “Jadi… apa ini alasan kamu selalu menunda meresmikan pernikahan kita? Karena kamu punya rencana lain?”

Bayu mengusap wajah dengan kesal. “Udahlah, nggak usah drama. Lebih baik kamu p**ang sekarang!”

Fatimah menatapnya lama. Ada rasa sakit menyesak yang tak bisa ia tahan. Kedua matanya pun terasa panas, tetapi Fatimah sekuat tenaga menahannya.

“Aku nggak akan p**ang,” ucapnya tegas. “Selama statusku masih istrimu, aku akan tetap di sini.”

Bayu mengepalkan tangan. “Jangan membantah, Fatimah! Atau kamu akan tahu risikonya!”

“Dan apa risikonya?” tanya Fatimah menantang.

“Kamu—”

“Aku apa?” Mata Fatimah mulai berkaca. Pada akhirnya, sekuat apapun ia menahan, air mata itu begitu mendesak untuk jatuh. “Kalau memang kamu mau aku pergi… talak aku. Sekarang. Karena aku nggak sudi punya suami yang nggak tahu diri seperti kamu!”

“Apa maksud kamu ngomong gitu, hah?!”

“Kamu pasti paham maksudku.”

“Oh… kamu mau ngungkit kebaikan orang tuamu? Kamu pikir aku nggak bisa bayar? Aku akan bayar semua biaya pendidikanku asal aku bisa terbebas dari pernikahan sampah ini! Kamu pikir aku mau nerima wanita seperti kamu? Maaf, seleraku bukan wanita kampungan!”

“Oh, kampungan ya?” Fatimah tersenyum tipis. Bayu akhirnya mengeluarkan sifat aslinya.

“Nggak apa-apa kamu bilang aku kampungan, Mas… daripada kamu... MURAHAN!” balas Fatimah sengit.

“Cukup! Kamu mau aku talak, kan? Ya, aku talak kamu sekarang!”

Dan semua orang di aula menoleh. Ingatan peristiwa beberapa saat lalu tersebut rasanya seperti mimpi.

Fatimah berdiri kaku. Tubuhnya gemetar. Telapak tangannya dingin. Kata talak itu masih menggema keras di kepalanya.

Hatinya seperti disayat pisau tajam berkarat. Perih luar biasa.

Perempuan bergaun merah itu mendekat sambil tersenyum sinis. “Tuh kan. Puas sekarang? Udah ditalak. Sekarang minggir. Jangan ganggu hubungan kami lagi.”

Lalu ia melirik Fatimah dari atas sampai bawah.

“Dan jujur ya… siapa sih laki-laki yang mau sama cewek modelan kayak kamu? Cewek kampung, pakaiannya kayak istri ter0r!s. Ngapain itu muka ditutupin? Takut kelihatan ya wajah buriknya?”

Beberapa orang di sekitar tertawa kecil. Seolah tak ada satu pun seseorang yang berpihak kepada Fatimah yang dianggap hina.

Fatimah menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air matanya agar tidak tumpah.

Ia ingin lari.

Ia ingin menghilang dari sini.

Tapi kakinya seakan mengakar di lantai.

Tiba-tiba…

“Ada.”

Suara itu membuat ruangan seketika hening.

Semua orang menoleh ke sumber suara.

Seorang pria berseragam loreng berdiri tegak di dekat pintu, wajahnya tegas, posturnya tinggi, dan auranya membuat semua orang otomatis diam. Pria itu maju mendekati Fatimah dan Bayu—yang kini menjadi pusat perhatian.

Lambang dua melati kecil di bahunya membuat banyak tamu menelan ludah. Jelas, pria itu bukan orang sembarangan.

Fatimah mengangkat wajah, dan ia benar-benar tidak mengenal pria itu. Sementara pria itu menatap lurus ke arah Bayu seperti hendak menusvknya dengan tatapan tajamnya.

“Saya ulangi.” Suaranya dalam. “Kalau ada yang bertanya siapa lelaki yang mau menikahi perempuan ini…” Ia menoleh kepada Fatimah. “…maka jawabannya adalah… SAYA.”

Mata Bayu membelalak. “Ko-Komandan?!”
**
Baru netes nih novel baru. Rame nggak ya?

Judul : Talak di Acara Reuni
KBM App
Karya Brata Yudha ya.

Address

New York, NY

Telephone

+81228963595

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ibu Peri posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share